Quote:
Jenderal Soedirman yang jatuh cinta kepada seorang gadis cantik asal cilacap. Wanita yang setia dan selalu membantu perjuangannya.
Siti Alfiah namanya, wanita luar bisa yang dapat meluluhkan hati sang jenderal. Bertemu dalam satu sekolah menengah pertama Parama Wiwirotomo (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs), Soedirman mengagumi kepandaian Siti.
Namun tidak mudah bagi Soedirman untuk mendapatkan Siti. Sebab banyak pemuda yang juga jatuh hati kepadanya. Bukan Soedirman namanya jika patah semangat. Meski banyak pesaing, pria kelahiran 24 Januari 1916 tersebit tidak habis akal.
Berbekal sebagai aktivis Muhammadiyah, ia 'modus' dengan memilih wanita idamannya itu sebagai bendahara saat menjadi panitia teater. Saat itu Soedirman menjadi ketua panitia.
Sebagai pengurus Hizbul Wathan dan Pemuda Muhammadiyah, Soedirman kerap silaturahmi ke rumah orang tua Alfiah, Sastroatmodjo yang notabene merupakan pengurus Muhammadiyah.
Lelaki lain pun akhirnya menyadari jika panglima besar sedang jatuh hati kepada Siti, mereka akhirnya tak lagi mendekati kembang desa tersebut. Apalagi Soedirman sangat disegani di lingkungannya.
Kisah cinta Soedirman pun tidak berjalan mulus. Paman Alfiah yang bernama Haji Mukmin menentang keras hubungan dua sejoli tersebut.
Mukmin berkinginan agar Alfiah itu mendapatkan pendamping hidupnya dari kalangan kelas atas (orang kaya). Sedangkan Soedirman hanya anak ajudan wedana yang bergaji kecil.
Lagi, Soedirman masih tetap memperjuangkan pujaan hati. Dan akhirnya Soedirman pun menikahi Alfiah dengan biaya dari sang ibunda, Siyem.
Namun perlakuan Haji Mukmin berubah setelah Soedirman dilantik menjadi Panglima Besar oleh Presiden Sukarno 28 Juni 1947 di Yogyakarta (Gedung Agung).
Kisah percintaan keduanya kembali diuji saat Soedirman terbaring di Rumah Sakit Panti Rapih, Yogyakarta. Kala itu, Alfiah diminta sang jenderal untuk merokok dan meniupkan asap rokok ke wajahnya. Sejak peristiwa itu, Alfiah menjadi seorang perokok.
Quote:
Penyakit yang diderita Soedirman sudah lama. Meski begitu, dengan separuh paru-parunya ia terus bergerilya. Singkat cerita, Soedirman terbaring ditempat tidur akibat tak mengindahkan saran Alfiah, agar mandi dengan air hangat pada malam itu. Meski demikian, kebiasaan merokoknya pun tidak ditinggalkan.
Dari hasil diagnosa tim dokter, penyakit yang diderita ialah tuberkolosis, infeksi paru-paru. Namun Soedirman masih belum percaya, dan langsung meminta lagi dua dokter senior, Asikin Wijayakusuma dan Sim Ki Ay memeriksanya kembali. Hasilnya tak jauh berbeda. Atas saran Asikin, Soedirman dibawa ke Rumah Sakit Panti Rapih, Yogyakarta.
Namun Soegiri, bekas ajudan Soedirman dalam catatannya menceritakan jika komandannya itu dirawat di Kamar 8 Bangsal Maria, Rumah Sakit Katolik. Diketahinya penyakit tersebut dari dokter yang merawatnya.
Menurut Soegiri, obat yang dibutuhkan hanya ada di Jakarta. Kalaupun sampai di Yogyakarta, obat itu harus melalui jalur penyelundupan. Karena Jakarta saat itu dikuasai tentara sekutu.
Karena Panglima Besar membutuhkan penanganan yang cepat, tim dokter memutuskan harus menjalani operasi untuk menyelamatkannya. Penyakit tersebut lanjut Soegiri, sudah sangat komplikasi sehingga membuat dokter menempuh cara dengan mengangkat satu paru-parunya.
Pasca operasi, tim dokter berbohong kepada Soedirman. Mereka mengatakan operasi itu cuma mengangkat satu organ kecil di paru-paru yang menghambat saluran pernafasan.
Soedirman pulang ke rumahnya di Bintaran, usai sebulan menjalani perawatan di rumah sakit. Pernah beberapa kali terlihat merokok Saat di rumah, sehingga hal itulah yang memperburuk kesehatannya kembali. Bahkan pernah muntah darah.
Pada 17 Desember 1948, Soedirman tiba-tiba bisa bangkit dari tempat tidur. kepada Alfiah, Soedirman berkata ada firasat bahwa Belanda akan melakukan agresi. Dua hari berselang, firasat sang Jenderal terbukti dan Belanda menyerang Yogyakarta.
Awalnya Soedirman mengajukan cuti sebagai Panglima kepada Soekarno namun tidak disetujui. Karena Belanda kembali menyerang, cutipun ditinggalkannya.
Selama delapan bulan Soedirman keluar masuk hutan bergerilya diluar Yogyakarta. Sesampai di Pacitan, Jawa Timur, ia sakit. Para prajuritnya kemudian mendatangkan dokter dari Solo
Seorang suster yang merawat Jenderal itu, Rika, dalam tulisannya menceritakan, saat dirawat Soedirman menggunakan nama samara Abdullah Lelana Putra. Pengakuan Rika pada 1985 itu dimuat surat kabar yang naskahnya kini tersimpan di Museum Sasmitaloka.
Alasan menyamarkan nama tersebut supaya keberadaan Soedriman tidak diketahui Belanda. Beberapa minggu kemudian dia kembali ke rumah. Pada 18 Januari 1950, Soedirman memanggil seluruh petinggi tentara. Dan memanggil isteri dan ketujuh anaknya, keesok harinya.
Seolah itu sudah menjadi pertanda. Senin, 29 Januari 1950, tubuh Jenderal Soedirman sudah semakin lemah. Berlinang air mata, Siti Alfiah meminta suaminya tegar. Panglima Besar kemudian menatap istrinya dan meminta menuntunnya membaca kalimat tauhid. Satu kalimat terucap, Soedirman kemudian mangkat sekitar pukul 18.30 waktu setempat.