- Beranda
- Komunitas
- Story
- Stories from the Heart
Goodbye My Friend, It's Not The End #SFTHChallenge


TS
vitawulandari
Goodbye My Friend, It's Not The End #SFTHChallenge



Spoiler for :
Ruangan studio Elfara sudah sepi sejak satu jam yang lalu. Semua lampu dimatikan, kecuali yang terdapat di sudut ruangan dekat jendela. Lampu itu masih menyala karena masih ada seseorang di sana. Gadis yang menempati meja di dekat jendela itu memasang headsetdan mulai mendekatkan bibirnya ke microphone.
source: dok pribadi
Nadira duduk bersandar di kursi dengan kedua tangan dilipat di depan dada. Keningnya berkerut dan matanya menatap lekat-lekat ponsel yang tergeletak di meja kerjanya. Ia tidak habis pikir kenapa ponsel imut dengan berbagai macam hiasan gantung itu tidak berdering, tidak berkelap-kelip, tidak bergetar, tidak melakukan apa pun!
“Ke mana saja kau?”desis Nadira sambil mengetuk-ngetuk ponselnya dengan kukunya yang dicat merah marun.
“Kau bicara dengan ponsel, Nad?”
Nadira mengangkat wajah dan menoleh. Elisa yang baru masuk ke ruangan tersenyum kepadanya. Elisa yang manis, berambut ikal sebahu, beberapa tahun lebih tua daripada Nadira.
“Sudah selesai siaran?” tanya Elisa ringan sambil menutup pintu.
Nadira mendesah. “Sudah,” jawabnya lemas.
Mereka berdua sama-sama penyiar di salah satu stasiun radio paling populer di kota Malang. Elisa lebih senior daripada Nadira. Siaran utama yang ditanganinya adalah Morning Spirits, sementara Nadira membawakan program request dan tangga lagu mingguan.
“Hei, kenapa lesu begitu?” tanya Elisa sambil mengetuk-ngetuk pelan kepala Nadira dengan bolpoin. “Bukankah biasanya kau paling suka hari Jumat?”
Nadira mengangkat kepala dan tersenyum muram. Hari Jumat memang hari yang paling disukainya karena hari Jumat adalah awal akhir pekan yang ditunggu-tunggu. Tapi hari ini jadi pengecualian. Ia sedang tidak bergembira.
“Ooh... aku mengerti,” kata Elisa tiba-tiba dan tersenyum. “Belum menelepon rupanya.”
Nadira menggigit bibir dan mengangguk lemah. Ia kembali melirik ponselnya. Lalu seakan sudah membulatkan tekad, ia mendengus dan meraih ponsel itu.
“Lupakan saja,” katanya tegas, lebih kepada dirinya sendiri. Dengan gerakan acuh tak acuh ia melemparkan ponselnya ke dalam tas tangan dan berdiri dari kursi.
“Mbak Elis, ayo kita pulang sekarang,” katanya. “Tidak ada gunanya menanti kabar dari yang sengaja kabur.”
Elisa menatap temannya dengan bingung. “Sengaja kabur?”
Nadira duduk bersila di lantai ruang tengah rumahnya. Ia menjulurkan kedua tangan ke depan, merentangkan kesepuluh jari, lalu mulai meniup kuku-kukunya yang baru dicat warna ungu dengan semangat. Pagi ini ia tidak ada jadwal kuliah sehingga ia bermaksud merapikan kamarnya yang berantakan seperti habis diamuk angin puting beliung. Ia memutuskan memulai dari lemari pakaian. Tetapi begitu menemukan sebotol cat kuku Revlon yang terselip di antara pakaian-pakaiannya, ia melupakan rencana awal dan akhirnya asyik mengecat kuku di ruang tengah sambil mendengarkan radio.
“Voila!”Nadira tersenyum puas dan menggerak-gerakkan kesepuluh jari tangan, mengagumi hasil karyanya.
“Selamat siang, kanca muda. Bagaimana kabar hari ini?”
Nadira mendengar suara Elisa yang ceria di radio dan melirik jam dinding. Oh, Morning Spirits sudah dimulai. Siaran itu adalah salah satu program paling diminati dan setiap hari banyak sekali whatsapp pendengar yang masuk ke stasiun radio. Nadira sendiri suka mendengarkan siaran itu kalau sempat.
Tiba-tiba ia mendengar bunyi ponsel. Ia berjalan tertatih-tatih ke kamar tidurnya dan mengambil ponsel yang tergeletak di tempat tidur. Ia menatap layar ponsel dan tersenyum.
“Hallo, bang Yudha Sandi Prawira” katanya begitu ia menempelkan ponsel ke telinga.
“Jadi, kemana saja kau seminggu terakhir ini? Kalau kau masih ingat, waktu itu kau janji mau menjemputku di stasiun. Kau tahu berapa lama aku menunggu? Kalau tidak bisa menjemput, kau kan bisa menelepon? Bukankah itu salah satu alasanmu membeli ponsel? Untuk memberi kabar, berita dan cerita?”
Yudha tidak segera menjawab. Ia menahan tawa dan berusaha meyakinkan dirinya sendiri bahwa ia lebih suka Nadira yang cerewet, daripada Nadira yang pura-pura tidak mengenalnya ketika sedang mengambek.
Mereka berdua sudah berteman sejak Yudha berdinas di Lanud Abdurrahman Saleh. Mereka bertemu untuk pertama kalinya ketika Nadira menjadi MC di acara Air Show setahun yang lalu. Keberadaan gadis bawel itu membuat hidupnya berwarna.
“Halo? Kau mau mulai menjelaskan sekarang atau mau menunggu sampai Anggun jadi bintang iklan shampoo lain?”
Terdengar Yudha terkekeh di ujung telepon.
“Baiklah, aku minta maaf,” kata Yudha hati-hati. “Aku minta maaf karena tidak bisa menjemputmu di stasiun. Aku juga minta maaf karena tidak menghubungimu.”
“Ke mana saja seminggu terakhir ini?”
“El-Fasher.”
Nadira mengerjapkan mata. “El-Fasher? Sudan?”
“Iya. Aku bertugas mengantar pasukan Garuda yang akan melaksanakan misi perdamaian PBB”
“Oh..” Gumam Nadira yang merasa bersalah setelah tau alasan Yudha. Yudha adalah seorang tentara angkatan udara. Beberapa bulan terakhir dia memang di daulat menjadi co-pilot dalam sejumlah penerbangan militer.
Yudha melirik jam tangannya, lalu memandang ke luar jendela, memperhatikan orang-orang yang berlalu lalang. Ia menempati meja di samping jendela sehingga bisa melihat jalanan di luar sana dengan jelas.
Gadis itu sudah terlambat dua puluh menit. Yudha menyesap kopinya dan kembali membaca majalah yang disediakan pengelola cafe. Sesekali ia memandang ke luar jendela.
“Maaf, aku terlambat.”
Yudha mengangkat wajah dan melihat Nadira berdiri di samping meja dengan wajah memerah dan napas terengah-engah. Rambut hitam lurusnya agak berantakan, namun sama sekali tidak mengurangi kecantikannya.
“Sudah lama?”tanya gadis itu lagi sambil tersenyum lebar. Ia cepat-cepat merapikan rambutnya dan menjatuhkan diri di sofa di depan Yudha.
Yudha menutup majalah dan tersenyum lebar sambil melambaikan tangan memanggil pelayan.
“Bosan?” tanya Yudha sementara mereka menunggu pesanan diantarkan.
Nadira tersenyum dan melipat kedua lengannya di meja. “Mm, sedikit. Ngomong-ngomong, kau pernah berkata bahwa aku bisa mendengar permainan pianomu secara langsung kalau tanganmu sudah sembuh“ katanya sambil memandang grand piano Yamaha yang berada di sisi kanan ruangan.
“Maksudmu, kau ingin mendengarnya sekarang?”
Nadira mengangguk semangat.
“Baiklah” Yudha beranjak dari sofa dan berjalan menuju piano itu. Nadira juga berdiri dan mengikutinya. Yudha duduk di bangku piano, menempatkan kesepuluh jemarinya yang panjang diatas tuts piano dan mulai memainkan beberapa nada dengan cepat. Tidak ada masalah dengan tangannya.
“Sini, duduklah..” katanya sambil menepuk bangkunya.
Nadira menurut dan duduk di samping kiri Yudha. “Lagu apa yang akan kau mainkan?”
“Kesalahan yang sama” sahut Yudha. Ia menatap Nadira, lalu tersenyum kecil. “Aku memikirkanmu ketika menulis lagu ini. Karena setiap kali melihatmu, aku ingin kau menerima sebagaimana adanya diriku”
Tanpa menunggu reaksi Nadira, jari-jari Yudha mulai bergerak anggun diatas tuts piano, memenuhi seluruh penjuru Vosco Coffee dengan alunan nada indah yang bisa menghangatkan kota Malang yang terkenal dingin.
Aku memikirkanmu ketika menulis lagu ini.
Kata-kata Yudha membuat Nadira merinding. Dan walaupun ia tak ingin mengakuinya, perasaan hangat mulai menjalari dadanya. Seulas senyum tanpa alasan tersungging di bibirnya.
Nadira membuka matanya yang tanpa sadar dipejamkannya selama mendengarkan lagu. Yudha tadi berkata bahwa ia memikirkan Nadira ketika menulis lagu ini. Dan sekarang Nadira memikirkan Yudha ketika mendengar lagu ini. Sebelum Nadira bisa berpikir lebih jauh, lagu melankolis itu berakhir.
“Bagaimana?”tanya Yudha sambil menoleh dan menatap Nadira penuh harap.
Nadira tersenyum, lalu mendongak menatap Yudha. “Kenapa kau bertanya sesuatu yang sudah tau jawabannya? Bagus. Sangat bagus. Dan aku suka.”
Yudha mengamati rona merah samar yang menjalari pipi Nadira, sementara gadis itu menekan satu tuts piano dengan jari telunjuknya.
Bunyi apa itu?
Nadira mengerang pelan dan menarik selimut untuk menutupi kepala, tapi samar-samar masih terdengar bunyi berisik seperti sirene yang meraung-raung.
Nadira meraih bantal dan menutup kepalanya, berharap bunyi itu segera berhenti. Tapi ternyata bunyi itu sanggup menembus bantal dan sampai di telinganya. Ia melempar bantal ke samping, menendang selimut dan mengerang kesal.
Demi Tuhan! Hari ini hari Minggu, time to sleep all day long! Nadira membuka matanya dan mulai sadar jika dia sedang berada di rumah sakit Lavalette, menemani ponakannya yang sedang opname. Dan suara berisik tadi ternyata ambulance. Nadira segera bergegas ke toilet untuk mandi.
Nadira keluar dari toilet dan berjalan kembali ke kamar rawat Adibah. Ketika ia melewati jendela kaca besar yang menghadap ke halaman samping rumah sakit, langkah kakinya terhenti. Ia membalikkan tubuh, menempelkan kedua telapak tangan di kaca dan memandang ke luar. Pandangannya terarah pada seorang laki-laki yang duduk sendirian di bangku kayu panjang di taman kecil rumah sakit itu.
Oh... Bang Yudha? Langsung saja wajah Nadira berseri-seri dan senyum senang tersungging di bibirnya.
Hari ini angin bertiup kencang dan Nadira menggigil. Ia baru ingat ia meninggalkan jaket dan syalnya di kamar rawat Adibah.
Dari balik kaca terlihat Yudha bangkit dan mulai berjalan. Nadira cepat-cepat berlari menyusul sambil berseru memanggilnya. Yudha berhenti dan menoleh. Ia juga menampilkan wajah terkejut setelah melihat siapa yang memanggilnya.
“Nad,”katanya kaget. “Sedang apa kau di sini?”
“Aku datang menjenguk ponakanku yang baru menjalani operasi usus buntu,” sahutnya. “Kau sendiri? Kau tidak sakit, bukan?”
Yudha menggeleng, “Aku datang menjenguk teman.”
“Kau sepertinya sedang tidak sehat,” kata Nadira sambil mengamati wajah Yudha yang pucat.
Yudha mengusap wajah dengan sebelah tangan. “Hanya kurang tidur.”
Nadira memeluk tubuhnya sendiri dan menggigil lagi.
“Di mana jaketmu?” tanya Yudha dengan kening berkerut. “Kenapa keluar memakai baju setipis ini?”
Nadira tertawa kecil. “Jaketku tertinggal di kamar Adibah.”
“Adibah?”
“Ponakanku yang suka nyanyi, kau masih ingat?,” Nadira mengingatkan. “Dia baru menjalani operasi usus buntu dan dirawat di sini.”
Yudha kembali mengamati Nadira dari kepala sampai ke kaki. “Kau kedinginan,” katanya.
Kemudian ia mengeluarkan tangannya dari saku mantel, menggenggam kedua tangan Nadira dan menariknya mendekat.
Nadira mengerjapkan mata dan tercengang. Tapi ia menurut saja ketika Yudha menariknya ke dalam pelukannya sehingga mantel hitam panjang yang dikenakan laki-laki itu bisa membungkus tubuh mereka berdua. Nadira menyadari kedua lengan Yudha merangkul seluruh tubuhnya dengan mudah. Ia tidak pernah mengganggap dirinya bertubuh mungil, tapi ternyata ia begitu kecil dalam pelukan Yudha.
“Bagaimana? Agak mendingan?”
Nadira mendengar suara Yudha di samping kepalanya. Ia tidak sanggup bersuara, hanya bisa mengangguk. Dipeluk Yudha seperti ini membuat jantungnya serasa berhenti berdetak dan napasnya tercekat. Mereka begitu dekat sehingga ia bisa merasakan debar jantung laki-laki itu. Rasanya hangat dan sangat nyaman, seakan ia sedang melayang di awan.
“Aaah... Musim hujan ini dingin sekali,” desah Yudha.
Nadira mengangguk lagi di bahu Yudha. Ia bisa merasakan Yudha tersenyum. Untuk beberapa saat mereka berdiri berpelukan seperti itu, di taman rumah sakit yang dipenuni pohon-pohon berwarna hijau pupus. Nadira berdoa dalam hati agar ia bisa selamanya merasakan perasaan bahagia ini.
Namun sikap Yudha masih tetap membuatnya bingung. Beberapa hari terakhir Nadira merasa Yudha berubah pendiam dan sepertinya agak menjaga jarak darinya, dan sekarang laki-laki itu tiba-tiba memeluknya seolah itu hal yang paling wajar di dunia. Apa yang sedang dipikirkan?
“Bang Yudha?” panggil Nadira.
“Hm?”
“Apa ada yang mengganggu pikiranmu?”
Yudha menghela napas. “Tidak ada.”
“Pekerjaanmu baik-baik saja?”
“Mm.” Yudha mengangguk.
“Latihan gabungan lancar?”
“Mm.” Yudha mengangguk lagi.
Kalau bukan masalah pekerjaan, pasti ada hubungannya dengan masalah keluarga.
“Kenapa kau bertanya hal yang aneh-aneh?” Yudha balik bertanya.
“Karena kau berubah pendiam belakangan ini,” gumam Nadira tidak yakin. “Dan sekarang kau tiba-tiba saja... memelukku.” Suaranya semakin pelan ketika mengucapkan kata-kata terakhir.
“Kau tidak suka?” tanya Yudha dengan nada bercanda.
Nadira cepat-cepat menggeleng. Pipinya terasa panas. “Bukan... Maksudku...,” ia berusaha menjelaskan dengan tergagap-gagap.
Yudha tertawa pelan dan mempererat pelukannya. “Aku hanya sedang pusing karena banyak pekerjaan yang harus diselesaikan dalam waktu singkat. Tidak ada masalah serius.”
“Sungguh?” tanya Nadira. Ia ingin merasa benar-benar yakin.
“Gara-gara deadline, aku cuma bisa tidur empat jam dalam tiga hari terakhir ini,” Yudha menjelaskan. “Karena itu sekarang aku lelah sekali.”
“Kau pasti bekerja sepanjang hari seperti mesin. Tolong ingat kau bukan mesin. Kau tentu tahu kalau tidak istirahat kau bisa sakit nantinya. Mesin juga bisa meledak kalau dipakai terus-menerus tanpa henti. Kau dengar?”
Yudha tertawa lagi mendengar ocehan Nadira. Suara gadis itu membuatnya merasa hangat. “Karena itulah sekarang aku memelukmu,” sahutnya. “Aku bisa mengisi ulang tenagaku.”
“Ish abang, jangan bercanda,” kata Nadira sambil berusaha melepaskan pelukannya, tapi Yudha tidak mau melepasnya.
“Aku tidak bercanda, Nadira,” kata laki-laki itu sambil menatap mata Nadira. Mata kelabu yang hangat dan dalam. Lalu laki-laki itu tersenyum. “Kau membuatku merasa lebih baik. Menyenangkan sekali memelukmu seperti ini, sampai-sampai aku takut tidak akan sanggup melepasnya.”
Ketika mengucapkan kalimat terakhir itu, tatapan Yudha menerawang, seakan sedang bicara pada diri sendiri.
“Memangnya kau berniat melepaskan diri?” tanya Nadira polos.
Tatapan Yudha kembali terpusat padanya. Laki-laki itu tertegun sejenak. “Tidak. Kalau memang boleh, aku tidak berniat melepaskan diri.”
Nadira mengerjapkan mata lagi. Kalau boleh? Apakah Yudha sedang meminta izinnya? Tapi Nadira tidak mau bertanya lagi karena tadi ia sudah melontarkan pertanyaan konyol yang membuatnya malu sendiri. Dan jawaban Yudha sudah membuat wajahnya panas.
Aneh sekali. Laki-laki ini bisa membuatnya merasakan apa yang sedang dirasakannya saat ini. Tapi Nadira tidak mau memikirkannya sekarang. Untuk saat ini ia akan membiarkan dirinya sendiri menikmati kebersamaannya dengan Yudha Sandi Prawira.
“Bang Yudha,” panggilnya lagi.
“Hm?”
“Kalau ada masalah, kau bisa menceritakannya padaku. Mungkin aku tidak bisa membantumu, tapi setidaknya aku bisa menjadi pendengar yang baik.”
Beberapa saat Yudha tidak menjawab, lalu ia bergumam, “Jangan khawatirkan aku, Nadira. Aku tidak apa-apa. Semuanya akan baik-baik saja. Selama kau bahagia, aku juga akan bahagia. Sesederhana itu.”
Karena satu jam lagi ia harus siaran, Nadira memilih makan siang di restoran fast foodyang paling dekat ke stasiun radio, sehingga ia tidak perlu buru-buru mengejar waktu siaran.
“Aneh,” gumam Nadira sambil menatap ponselnya.
Nadira mengerutkan kening dan menggigit-gigit bibir. “Ponselnya tidak aktif.”
“Ponsel siapa?” tanya Elisa tanpa mengalihkan pandangan dari piringnya.
“Yudha.”
Kali ini Elisa memandang Nadira sekilas, lalu kembali mengunyah nasinya. “Mungkin dia sibuk dan tidak bisa menjawab telepon.”
“Mmm mungkin juga", Nadira menyesap tehnya lalu menerawang jauh.
Sementara di dalam cockpit pesawat Casa 212, Yudha tengah mengoperasikan fligh control. Hari ini team skadron 32 TNI AU akan bertolak ke Bandara Halim Perdanakusuma Jakarta.
Sudah tiga hari ini Yudha sibuk latihan dan pembekalan. Yudha baru menyadari ia sangat merindukan Nadira. Mendengar celoteh gadis itu bisa membuat jantungnya berdebar kencang. Sia-sia ia berusaha menghindari Nadira selama ini. Ia bisa saja menghindari gadis itu, tapi ia tidak bisa menghindari perasaannya.
"Tit tit tit.."
Suara alarm engine berbunyi. Yudha mendongakkan kepala, terlihat Gunung Salak di kejauhan. Tak lama terdengar suara Letkol Wahyu Hidayat yang mulai dilanda kepanikan. Yudha ikut membantu berusaha menaikkan posisi pesawat beberapa ribu kaki namun nihil.
BUKK!!
"Allahu Akbar!", jerit Yudha dalam hati.
Hari ini adalah hari yang paling bersejarah bagi Yudha. Semua orang penting dalam hidupnya hadir dalam ceremonyini. Mama dan Papanya berpenampilan sangat rapi. Di sudut lainnya, terlihat keluarga dan teman-teman sekolah hingga kalangan militer dan para pejabat.
Di sisi kanan, terlihat Nadira berdiri dengan kaku. Dia begitu cantik dengan jilbab hitamnya. Pipinya sedikit mengkilat, mungkin ada air mata yang menetes dari sudut matanya. Apakah dia pernah menangis sebelumnya?
From dust you are and to the dust you will returted. Upacara pemakaman militer mulai dikomandokan. Para kerabat melemparkan tanah dan bunga, sedikit demi sedikit. Letnan Dua Penerbang Yudha Sandi Prawira bersembunyi di balik tanah, untuk menghadap Pencipta-nya.
Nadira meletakkan bolpoinnya. Saat menulis diary, hatinya hancur berkeping-keping dan tangisnya pun pecah. Ia membenamkan wajahnya dalam kedua tangan dan tersedu-sedu. Ia tidak tahu apa yang bisa dilakukan untuk menutup lubang besar yang menganga di dalam dadanya. Tempat dimana Yudha dulu berada.
"Goodbye my friend, it's not the end.."
source: dok pribadi
- END -
source: dok pribadi
Nadira duduk bersandar di kursi dengan kedua tangan dilipat di depan dada. Keningnya berkerut dan matanya menatap lekat-lekat ponsel yang tergeletak di meja kerjanya. Ia tidak habis pikir kenapa ponsel imut dengan berbagai macam hiasan gantung itu tidak berdering, tidak berkelap-kelip, tidak bergetar, tidak melakukan apa pun!
“Ke mana saja kau?”desis Nadira sambil mengetuk-ngetuk ponselnya dengan kukunya yang dicat merah marun.
“Kau bicara dengan ponsel, Nad?”
Nadira mengangkat wajah dan menoleh. Elisa yang baru masuk ke ruangan tersenyum kepadanya. Elisa yang manis, berambut ikal sebahu, beberapa tahun lebih tua daripada Nadira.
“Sudah selesai siaran?” tanya Elisa ringan sambil menutup pintu.
Nadira mendesah. “Sudah,” jawabnya lemas.
Mereka berdua sama-sama penyiar di salah satu stasiun radio paling populer di kota Malang. Elisa lebih senior daripada Nadira. Siaran utama yang ditanganinya adalah Morning Spirits, sementara Nadira membawakan program request dan tangga lagu mingguan.
“Hei, kenapa lesu begitu?” tanya Elisa sambil mengetuk-ngetuk pelan kepala Nadira dengan bolpoin. “Bukankah biasanya kau paling suka hari Jumat?”
Nadira mengangkat kepala dan tersenyum muram. Hari Jumat memang hari yang paling disukainya karena hari Jumat adalah awal akhir pekan yang ditunggu-tunggu. Tapi hari ini jadi pengecualian. Ia sedang tidak bergembira.
“Ooh... aku mengerti,” kata Elisa tiba-tiba dan tersenyum. “Belum menelepon rupanya.”
Nadira menggigit bibir dan mengangguk lemah. Ia kembali melirik ponselnya. Lalu seakan sudah membulatkan tekad, ia mendengus dan meraih ponsel itu.
“Lupakan saja,” katanya tegas, lebih kepada dirinya sendiri. Dengan gerakan acuh tak acuh ia melemparkan ponselnya ke dalam tas tangan dan berdiri dari kursi.
“Mbak Elis, ayo kita pulang sekarang,” katanya. “Tidak ada gunanya menanti kabar dari yang sengaja kabur.”
Elisa menatap temannya dengan bingung. “Sengaja kabur?”
***
Nadira duduk bersila di lantai ruang tengah rumahnya. Ia menjulurkan kedua tangan ke depan, merentangkan kesepuluh jari, lalu mulai meniup kuku-kukunya yang baru dicat warna ungu dengan semangat. Pagi ini ia tidak ada jadwal kuliah sehingga ia bermaksud merapikan kamarnya yang berantakan seperti habis diamuk angin puting beliung. Ia memutuskan memulai dari lemari pakaian. Tetapi begitu menemukan sebotol cat kuku Revlon yang terselip di antara pakaian-pakaiannya, ia melupakan rencana awal dan akhirnya asyik mengecat kuku di ruang tengah sambil mendengarkan radio.
“Voila!”Nadira tersenyum puas dan menggerak-gerakkan kesepuluh jari tangan, mengagumi hasil karyanya.
“Selamat siang, kanca muda. Bagaimana kabar hari ini?”
Nadira mendengar suara Elisa yang ceria di radio dan melirik jam dinding. Oh, Morning Spirits sudah dimulai. Siaran itu adalah salah satu program paling diminati dan setiap hari banyak sekali whatsapp pendengar yang masuk ke stasiun radio. Nadira sendiri suka mendengarkan siaran itu kalau sempat.
Tiba-tiba ia mendengar bunyi ponsel. Ia berjalan tertatih-tatih ke kamar tidurnya dan mengambil ponsel yang tergeletak di tempat tidur. Ia menatap layar ponsel dan tersenyum.
“Hallo, bang Yudha Sandi Prawira” katanya begitu ia menempelkan ponsel ke telinga.
“Jadi, kemana saja kau seminggu terakhir ini? Kalau kau masih ingat, waktu itu kau janji mau menjemputku di stasiun. Kau tahu berapa lama aku menunggu? Kalau tidak bisa menjemput, kau kan bisa menelepon? Bukankah itu salah satu alasanmu membeli ponsel? Untuk memberi kabar, berita dan cerita?”
Yudha tidak segera menjawab. Ia menahan tawa dan berusaha meyakinkan dirinya sendiri bahwa ia lebih suka Nadira yang cerewet, daripada Nadira yang pura-pura tidak mengenalnya ketika sedang mengambek.
Mereka berdua sudah berteman sejak Yudha berdinas di Lanud Abdurrahman Saleh. Mereka bertemu untuk pertama kalinya ketika Nadira menjadi MC di acara Air Show setahun yang lalu. Keberadaan gadis bawel itu membuat hidupnya berwarna.
“Halo? Kau mau mulai menjelaskan sekarang atau mau menunggu sampai Anggun jadi bintang iklan shampoo lain?”
Terdengar Yudha terkekeh di ujung telepon.
“Baiklah, aku minta maaf,” kata Yudha hati-hati. “Aku minta maaf karena tidak bisa menjemputmu di stasiun. Aku juga minta maaf karena tidak menghubungimu.”
“Ke mana saja seminggu terakhir ini?”
“El-Fasher.”
Nadira mengerjapkan mata. “El-Fasher? Sudan?”
“Iya. Aku bertugas mengantar pasukan Garuda yang akan melaksanakan misi perdamaian PBB”
“Oh..” Gumam Nadira yang merasa bersalah setelah tau alasan Yudha. Yudha adalah seorang tentara angkatan udara. Beberapa bulan terakhir dia memang di daulat menjadi co-pilot dalam sejumlah penerbangan militer.
***
Yudha melirik jam tangannya, lalu memandang ke luar jendela, memperhatikan orang-orang yang berlalu lalang. Ia menempati meja di samping jendela sehingga bisa melihat jalanan di luar sana dengan jelas.
Gadis itu sudah terlambat dua puluh menit. Yudha menyesap kopinya dan kembali membaca majalah yang disediakan pengelola cafe. Sesekali ia memandang ke luar jendela.
“Maaf, aku terlambat.”
Yudha mengangkat wajah dan melihat Nadira berdiri di samping meja dengan wajah memerah dan napas terengah-engah. Rambut hitam lurusnya agak berantakan, namun sama sekali tidak mengurangi kecantikannya.
“Sudah lama?”tanya gadis itu lagi sambil tersenyum lebar. Ia cepat-cepat merapikan rambutnya dan menjatuhkan diri di sofa di depan Yudha.
Yudha menutup majalah dan tersenyum lebar sambil melambaikan tangan memanggil pelayan.
“Bosan?” tanya Yudha sementara mereka menunggu pesanan diantarkan.
Nadira tersenyum dan melipat kedua lengannya di meja. “Mm, sedikit. Ngomong-ngomong, kau pernah berkata bahwa aku bisa mendengar permainan pianomu secara langsung kalau tanganmu sudah sembuh“ katanya sambil memandang grand piano Yamaha yang berada di sisi kanan ruangan.
“Maksudmu, kau ingin mendengarnya sekarang?”
Nadira mengangguk semangat.
“Baiklah” Yudha beranjak dari sofa dan berjalan menuju piano itu. Nadira juga berdiri dan mengikutinya. Yudha duduk di bangku piano, menempatkan kesepuluh jemarinya yang panjang diatas tuts piano dan mulai memainkan beberapa nada dengan cepat. Tidak ada masalah dengan tangannya.
“Sini, duduklah..” katanya sambil menepuk bangkunya.
Nadira menurut dan duduk di samping kiri Yudha. “Lagu apa yang akan kau mainkan?”
“Kesalahan yang sama” sahut Yudha. Ia menatap Nadira, lalu tersenyum kecil. “Aku memikirkanmu ketika menulis lagu ini. Karena setiap kali melihatmu, aku ingin kau menerima sebagaimana adanya diriku”
Tanpa menunggu reaksi Nadira, jari-jari Yudha mulai bergerak anggun diatas tuts piano, memenuhi seluruh penjuru Vosco Coffee dengan alunan nada indah yang bisa menghangatkan kota Malang yang terkenal dingin.
***
Aku memikirkanmu ketika menulis lagu ini.
Kata-kata Yudha membuat Nadira merinding. Dan walaupun ia tak ingin mengakuinya, perasaan hangat mulai menjalari dadanya. Seulas senyum tanpa alasan tersungging di bibirnya.
Nadira membuka matanya yang tanpa sadar dipejamkannya selama mendengarkan lagu. Yudha tadi berkata bahwa ia memikirkan Nadira ketika menulis lagu ini. Dan sekarang Nadira memikirkan Yudha ketika mendengar lagu ini. Sebelum Nadira bisa berpikir lebih jauh, lagu melankolis itu berakhir.
“Bagaimana?”tanya Yudha sambil menoleh dan menatap Nadira penuh harap.
Nadira tersenyum, lalu mendongak menatap Yudha. “Kenapa kau bertanya sesuatu yang sudah tau jawabannya? Bagus. Sangat bagus. Dan aku suka.”
Yudha mengamati rona merah samar yang menjalari pipi Nadira, sementara gadis itu menekan satu tuts piano dengan jari telunjuknya.
***
Bunyi apa itu?
Nadira mengerang pelan dan menarik selimut untuk menutupi kepala, tapi samar-samar masih terdengar bunyi berisik seperti sirene yang meraung-raung.
Nadira meraih bantal dan menutup kepalanya, berharap bunyi itu segera berhenti. Tapi ternyata bunyi itu sanggup menembus bantal dan sampai di telinganya. Ia melempar bantal ke samping, menendang selimut dan mengerang kesal.
Demi Tuhan! Hari ini hari Minggu, time to sleep all day long! Nadira membuka matanya dan mulai sadar jika dia sedang berada di rumah sakit Lavalette, menemani ponakannya yang sedang opname. Dan suara berisik tadi ternyata ambulance. Nadira segera bergegas ke toilet untuk mandi.
Nadira keluar dari toilet dan berjalan kembali ke kamar rawat Adibah. Ketika ia melewati jendela kaca besar yang menghadap ke halaman samping rumah sakit, langkah kakinya terhenti. Ia membalikkan tubuh, menempelkan kedua telapak tangan di kaca dan memandang ke luar. Pandangannya terarah pada seorang laki-laki yang duduk sendirian di bangku kayu panjang di taman kecil rumah sakit itu.
Oh... Bang Yudha? Langsung saja wajah Nadira berseri-seri dan senyum senang tersungging di bibirnya.
Hari ini angin bertiup kencang dan Nadira menggigil. Ia baru ingat ia meninggalkan jaket dan syalnya di kamar rawat Adibah.
Dari balik kaca terlihat Yudha bangkit dan mulai berjalan. Nadira cepat-cepat berlari menyusul sambil berseru memanggilnya. Yudha berhenti dan menoleh. Ia juga menampilkan wajah terkejut setelah melihat siapa yang memanggilnya.
“Nad,”katanya kaget. “Sedang apa kau di sini?”
“Aku datang menjenguk ponakanku yang baru menjalani operasi usus buntu,” sahutnya. “Kau sendiri? Kau tidak sakit, bukan?”
Yudha menggeleng, “Aku datang menjenguk teman.”
“Kau sepertinya sedang tidak sehat,” kata Nadira sambil mengamati wajah Yudha yang pucat.
Yudha mengusap wajah dengan sebelah tangan. “Hanya kurang tidur.”
Nadira memeluk tubuhnya sendiri dan menggigil lagi.
“Di mana jaketmu?” tanya Yudha dengan kening berkerut. “Kenapa keluar memakai baju setipis ini?”
Nadira tertawa kecil. “Jaketku tertinggal di kamar Adibah.”
“Adibah?”
“Ponakanku yang suka nyanyi, kau masih ingat?,” Nadira mengingatkan. “Dia baru menjalani operasi usus buntu dan dirawat di sini.”
Yudha kembali mengamati Nadira dari kepala sampai ke kaki. “Kau kedinginan,” katanya.
Kemudian ia mengeluarkan tangannya dari saku mantel, menggenggam kedua tangan Nadira dan menariknya mendekat.
Nadira mengerjapkan mata dan tercengang. Tapi ia menurut saja ketika Yudha menariknya ke dalam pelukannya sehingga mantel hitam panjang yang dikenakan laki-laki itu bisa membungkus tubuh mereka berdua. Nadira menyadari kedua lengan Yudha merangkul seluruh tubuhnya dengan mudah. Ia tidak pernah mengganggap dirinya bertubuh mungil, tapi ternyata ia begitu kecil dalam pelukan Yudha.
“Bagaimana? Agak mendingan?”
Nadira mendengar suara Yudha di samping kepalanya. Ia tidak sanggup bersuara, hanya bisa mengangguk. Dipeluk Yudha seperti ini membuat jantungnya serasa berhenti berdetak dan napasnya tercekat. Mereka begitu dekat sehingga ia bisa merasakan debar jantung laki-laki itu. Rasanya hangat dan sangat nyaman, seakan ia sedang melayang di awan.
“Aaah... Musim hujan ini dingin sekali,” desah Yudha.
Nadira mengangguk lagi di bahu Yudha. Ia bisa merasakan Yudha tersenyum. Untuk beberapa saat mereka berdiri berpelukan seperti itu, di taman rumah sakit yang dipenuni pohon-pohon berwarna hijau pupus. Nadira berdoa dalam hati agar ia bisa selamanya merasakan perasaan bahagia ini.
Namun sikap Yudha masih tetap membuatnya bingung. Beberapa hari terakhir Nadira merasa Yudha berubah pendiam dan sepertinya agak menjaga jarak darinya, dan sekarang laki-laki itu tiba-tiba memeluknya seolah itu hal yang paling wajar di dunia. Apa yang sedang dipikirkan?
“Bang Yudha?” panggil Nadira.
“Hm?”
“Apa ada yang mengganggu pikiranmu?”
Yudha menghela napas. “Tidak ada.”
“Pekerjaanmu baik-baik saja?”
“Mm.” Yudha mengangguk.
“Latihan gabungan lancar?”
“Mm.” Yudha mengangguk lagi.
Kalau bukan masalah pekerjaan, pasti ada hubungannya dengan masalah keluarga.
“Kenapa kau bertanya hal yang aneh-aneh?” Yudha balik bertanya.
“Karena kau berubah pendiam belakangan ini,” gumam Nadira tidak yakin. “Dan sekarang kau tiba-tiba saja... memelukku.” Suaranya semakin pelan ketika mengucapkan kata-kata terakhir.
“Kau tidak suka?” tanya Yudha dengan nada bercanda.
Nadira cepat-cepat menggeleng. Pipinya terasa panas. “Bukan... Maksudku...,” ia berusaha menjelaskan dengan tergagap-gagap.
Yudha tertawa pelan dan mempererat pelukannya. “Aku hanya sedang pusing karena banyak pekerjaan yang harus diselesaikan dalam waktu singkat. Tidak ada masalah serius.”
“Sungguh?” tanya Nadira. Ia ingin merasa benar-benar yakin.
“Gara-gara deadline, aku cuma bisa tidur empat jam dalam tiga hari terakhir ini,” Yudha menjelaskan. “Karena itu sekarang aku lelah sekali.”
“Kau pasti bekerja sepanjang hari seperti mesin. Tolong ingat kau bukan mesin. Kau tentu tahu kalau tidak istirahat kau bisa sakit nantinya. Mesin juga bisa meledak kalau dipakai terus-menerus tanpa henti. Kau dengar?”
Yudha tertawa lagi mendengar ocehan Nadira. Suara gadis itu membuatnya merasa hangat. “Karena itulah sekarang aku memelukmu,” sahutnya. “Aku bisa mengisi ulang tenagaku.”
“Ish abang, jangan bercanda,” kata Nadira sambil berusaha melepaskan pelukannya, tapi Yudha tidak mau melepasnya.
“Aku tidak bercanda, Nadira,” kata laki-laki itu sambil menatap mata Nadira. Mata kelabu yang hangat dan dalam. Lalu laki-laki itu tersenyum. “Kau membuatku merasa lebih baik. Menyenangkan sekali memelukmu seperti ini, sampai-sampai aku takut tidak akan sanggup melepasnya.”
Ketika mengucapkan kalimat terakhir itu, tatapan Yudha menerawang, seakan sedang bicara pada diri sendiri.
“Memangnya kau berniat melepaskan diri?” tanya Nadira polos.
Tatapan Yudha kembali terpusat padanya. Laki-laki itu tertegun sejenak. “Tidak. Kalau memang boleh, aku tidak berniat melepaskan diri.”
Nadira mengerjapkan mata lagi. Kalau boleh? Apakah Yudha sedang meminta izinnya? Tapi Nadira tidak mau bertanya lagi karena tadi ia sudah melontarkan pertanyaan konyol yang membuatnya malu sendiri. Dan jawaban Yudha sudah membuat wajahnya panas.
Aneh sekali. Laki-laki ini bisa membuatnya merasakan apa yang sedang dirasakannya saat ini. Tapi Nadira tidak mau memikirkannya sekarang. Untuk saat ini ia akan membiarkan dirinya sendiri menikmati kebersamaannya dengan Yudha Sandi Prawira.
“Bang Yudha,” panggilnya lagi.
“Hm?”
“Kalau ada masalah, kau bisa menceritakannya padaku. Mungkin aku tidak bisa membantumu, tapi setidaknya aku bisa menjadi pendengar yang baik.”
Beberapa saat Yudha tidak menjawab, lalu ia bergumam, “Jangan khawatirkan aku, Nadira. Aku tidak apa-apa. Semuanya akan baik-baik saja. Selama kau bahagia, aku juga akan bahagia. Sesederhana itu.”
* * *
Karena satu jam lagi ia harus siaran, Nadira memilih makan siang di restoran fast foodyang paling dekat ke stasiun radio, sehingga ia tidak perlu buru-buru mengejar waktu siaran.
“Aneh,” gumam Nadira sambil menatap ponselnya.
Nadira mengerutkan kening dan menggigit-gigit bibir. “Ponselnya tidak aktif.”
“Ponsel siapa?” tanya Elisa tanpa mengalihkan pandangan dari piringnya.
“Yudha.”
Kali ini Elisa memandang Nadira sekilas, lalu kembali mengunyah nasinya. “Mungkin dia sibuk dan tidak bisa menjawab telepon.”
“Mmm mungkin juga", Nadira menyesap tehnya lalu menerawang jauh.
Sementara di dalam cockpit pesawat Casa 212, Yudha tengah mengoperasikan fligh control. Hari ini team skadron 32 TNI AU akan bertolak ke Bandara Halim Perdanakusuma Jakarta.
Sudah tiga hari ini Yudha sibuk latihan dan pembekalan. Yudha baru menyadari ia sangat merindukan Nadira. Mendengar celoteh gadis itu bisa membuat jantungnya berdebar kencang. Sia-sia ia berusaha menghindari Nadira selama ini. Ia bisa saja menghindari gadis itu, tapi ia tidak bisa menghindari perasaannya.
"Tit tit tit.."
Suara alarm engine berbunyi. Yudha mendongakkan kepala, terlihat Gunung Salak di kejauhan. Tak lama terdengar suara Letkol Wahyu Hidayat yang mulai dilanda kepanikan. Yudha ikut membantu berusaha menaikkan posisi pesawat beberapa ribu kaki namun nihil.
BUKK!!
"Allahu Akbar!", jerit Yudha dalam hati.
***
Hari ini adalah hari yang paling bersejarah bagi Yudha. Semua orang penting dalam hidupnya hadir dalam ceremonyini. Mama dan Papanya berpenampilan sangat rapi. Di sudut lainnya, terlihat keluarga dan teman-teman sekolah hingga kalangan militer dan para pejabat.
Di sisi kanan, terlihat Nadira berdiri dengan kaku. Dia begitu cantik dengan jilbab hitamnya. Pipinya sedikit mengkilat, mungkin ada air mata yang menetes dari sudut matanya. Apakah dia pernah menangis sebelumnya?
From dust you are and to the dust you will returted. Upacara pemakaman militer mulai dikomandokan. Para kerabat melemparkan tanah dan bunga, sedikit demi sedikit. Letnan Dua Penerbang Yudha Sandi Prawira bersembunyi di balik tanah, untuk menghadap Pencipta-nya.
***
Apakah ada yang tahu bagaimana rasanya merindukan seseorang yang seharusnya dilepaskan? Aku tahu.
Hidup ini sungguh aneh, juga tidak adil. Kadang hidup melambungkanmu setinggi langit. Namun tak jarang hidup mengempaskanmu begitu keras ke bumi.
Ketika aku menyadari dialah satu-satunya yang kubutuhkan dalam hidup ini, kenyataan berteriak di telingaku dia juga satu-satunya orang yang tidak bisa kudapatkan.
Andai dia tahu, aku rela melepaskan apa saja, melakukan apa saja, asal bisa tetap bersamanya. Tetapi, apakah manusia bisa mengubah takdir?
Satu-satunya yang bisa kulakukan sekarang adalah move on. Aku tidak akan melupakan dirinya, tetapi aku harus melupakan perasaanku padanya, walaupun itu berarti aku harus menghabiskan sisa hidupku mencoba melakukannya.
Sekarang, saat ini saja. Untuk beberapa detik saja. Tanpa beban, tuntutan atau harapan, aku ingin mengaku.
"Aku mencintainya.."
Hidup ini sungguh aneh, juga tidak adil. Kadang hidup melambungkanmu setinggi langit. Namun tak jarang hidup mengempaskanmu begitu keras ke bumi.
Ketika aku menyadari dialah satu-satunya yang kubutuhkan dalam hidup ini, kenyataan berteriak di telingaku dia juga satu-satunya orang yang tidak bisa kudapatkan.
Andai dia tahu, aku rela melepaskan apa saja, melakukan apa saja, asal bisa tetap bersamanya. Tetapi, apakah manusia bisa mengubah takdir?
Satu-satunya yang bisa kulakukan sekarang adalah move on. Aku tidak akan melupakan dirinya, tetapi aku harus melupakan perasaanku padanya, walaupun itu berarti aku harus menghabiskan sisa hidupku mencoba melakukannya.
Sekarang, saat ini saja. Untuk beberapa detik saja. Tanpa beban, tuntutan atau harapan, aku ingin mengaku.
"Aku mencintainya.."
Nadira meletakkan bolpoinnya. Saat menulis diary, hatinya hancur berkeping-keping dan tangisnya pun pecah. Ia membenamkan wajahnya dalam kedua tangan dan tersedu-sedu. Ia tidak tahu apa yang bisa dilakukan untuk menutup lubang besar yang menganga di dalam dadanya. Tempat dimana Yudha dulu berada.
"Goodbye my friend, it's not the end.."
source: dok pribadi
- END -


Originally stories by vitawulandari
Diubah oleh vitawulandari 14-08-2018 08:17




swiitdebby dan anasabila memberi reputasi
2
19.8K
Kutip
129
Balasan


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan