- Beranda
- Komunitas
- Story
- Stories from the Heart
Kedai Tanpa Waktu.


TS
samsara21
Kedai Tanpa Waktu.

Di kedai ini tidak ada kemarin, tidak ada besok, tidak ada waktu.
Spoiler for CHAPTER1:

Spoiler for Prologue:
Dari atas sini, cahaya-cahaya kota punya warna-warni yang mistis. Di dalam benakku seolah mereka bisa menjelma menjadi apa saja. Menjadi kue pai hangat yang dibuatkan ibu untuk ulang tahunku atau mungkin menjadi pohon mangga tempatku tidur siang di samping halaman. Dan lampu raksasa gedung-gedung korporat keparat itu, baru ini kali aku bisa mengaguminya.
Oh sungguh mungkin ini tempat yang sempurna untuk mengakhiri hidupku.
Maka dengan mantap kulangkahkan kaki menuju tepian gedung ini, dengan satu pikiran yang pasti. Aku harus mati.
Sejengkal lagi menuju terjun bebas dari lantai dua belas, pikiranku mulai meracau. Aku diserang oleh banyak tanda tanya. Jika aku mati lantas siapa yang memberi makan dan merawat Bonna anjingku? Apa kawan-kawanku akan datang ke pemakaman dan menangisiku? Oh iya, bagaimana dengan cicilan kulkas yang belum lunas di apartemenku. Kira-kira berapa biaya yang akan keluargaku keluarkan untuk pemakamanku? Kudengar hari-hari ini sulit mencari lahan kuburan, lantas jasadku akan diapakan? Yang lebih parahnya lagi, foto apa yang akan dicetak keluargaku untuk di letakan di sisi peti matiku di rumah duka. Ah ternyata mati itu tidak semudah dan se simpel itu.
"Hei kau yang disana" sahut seseorang di belakang mengejutkanku.
"Kalau mau bunuh diri jangan disini. Nanti mayatmu jatuh kebawah, kepalamu pecah, isinya berceceran. Berantakan! Dasar, merepotkan saja" katanya sambil menggerutu sambil melangkah pergi.
Dasar pak tua tak punya perasaan, makanya ia bertahun-tahun kerjanya selalu sama, tukang bersih-bersih. Sekali-kali kek coba ia bersihkan mulutnya yang kotor itu.
Tapi mungkin pak tua itu ada benarnya, bunuh diri itu tidak hanya merepotkan bagiku namun bagi orang lain juga. Ah keterlaluan memang, hidup susah matipun susah !
Lantas aku turun dari atas gedung kantorku-
Ah maksudku, mantan kantorku.
Ya, begitulah, aku baru saja dipecat.
Tidak, aku sedang tidak ingin membicarakannya sekarang.
Dengan langkah yang lunglai aku lewati gang-gang di pingiran kota entah menuju kemana.
Sungguh ini hari yang melelahkan bagiku, dan aku hanya ingin pulang ke kampung halaman.
Ditengah jalan, di sela-sela gang sempit dan lampu remang-remang, ada sebuah kedai yang menarik perhatianku.
Kedai itu terlihat usang dan tua. Bahkan plang namanya pun sudah kusam dan tak terbaca lagi.
Tapi ada hawa hangat yang menyelip keluar dari sela-sela pintu kedai tersebut, dan hawa tersebut sungguh mengingatkanku kepada rumahku di kampung.
Hawa tersebut tidak bisa kujelaskan dengan kata-kata, tapi yang pasti ia berbeda dengan hawa dingin dan bekunya kota ini. Ada dorongan yang kuat dalam diriku untuk membuka pintu kedai itu.
Setelah menimbang-nimbang sesaat, aku memutuskan untuk masuk dan mampir sebentar untuk segelas bir.
Setelah kubuka pintu kedai, kulihat interior kedai yang ternyata sama tuanya dengan apa yang terlihat dari luar. Tapi sungguh, kedai tersebut punya suatu hal yang sulit kuungkapkan dengan kata-kata, namun hal tersebut sungguh membuatku nyaman. Lampun neon oranyenya? Atau mungkin kursi dan meja kayu tuanya? Ah entahlah.
Kedai itu lumayan sempit. Kira-kira hanya bisa memuat 9 orang pelanggan. Meja dan kursinya dibentuk dan disusun berdampingan berbentuk persegi mengelilingi si penjaga kedai. Kira-kira dibentuk seperti bar restoran jepang seperti sushi atau yakiniku di mall-mall mahal. Tapi bedanya, tidak ada pengorengan di tengahnya, melainkan hanya beberapa teko berisikan kopi dan teh ,dan juga botol-botol bir yang disusun rapi berdampingan dengan gelas-gelas kosong. Dengan susunan yang demikian, otomatis kau akan duduk menghadap si penjaga kedai dan bersebelahan dengan pelanggan-pelanggan lain.
Saat aku masuk, si penjaga kedai dengan ramah menyapaku dan menyambutku. Ia terlihat sangat ramah meskipun keriput wajahnya tidak bisa ia sembunyikan dibalik senyumnya. Dalam perkiraanku ia mungkin berumur 40an. Tak hanya keriput di wajahnya, uban yang tumbuh di sela-sela rambut tipisnya semakin meyakinkan asumsiku. Ia memakai sebuah celemek tua dan sebuah kemeja hitam yang terlihat agak kebesaran di tubuhnya yang kurus.
Lantas aku langsung duduk di hadapannya. Kulihat di sekeliling meja, ada beberapa pelanggan yang sedang asik sendiri. Di ujung sana ada seorang waria yang merias wajahnya, adapula di sebelah kiriku kira-kira selisih dua kursi ada seorang bapak tua yang termenung seorang diri memendam dirinya dalam cangkir kopinya yang masih penuh. Sungguh pemandangan dan suasana yang ganjil.
"Mau pesan apa?" Tanya si penjaga kedai
"Ah, sebotol bir" Jawabku
Tak begitulama tersedia sebotol bir dan segelas kosong berisi balok-balok es dihadapanku.
Segera kutuang bir tersebut kedalam gelas dan mulai merogoh sakuku untuk mencari korek untuk memantik batang rokok yang sedari tadi kuselipkan diantara bibirku.
"Ini pakai saja punyaku" tawar si penjaga kedai sambil menyodorkan sebuah korek kepadaku.
"Terimakasih," lantas ku bakar rokok dan kutarik dalam-dalam.
"omong-omong ini jam berapa ya?" tanyaku kepada si penjaga kedai.
Sontak kalimatku disambut oleh tawa cekikikan kecil dari si waria.
"Ah maaf, telepon ku sedang habis batre, dan jam tanganku entah mengapa sedari tadi tidak berjalan, sepertinya rusak" belaku kepada seisi kedai.
Si penjaga kedai lantas menghampiriku.
"Jam tanganmu tidak rusak, justru ia menunjukan waktu yang tepat"
"Maksudmu?" Tanyaku kebingungan.
"Selamat datang di kedai tanpa waktu, disini waktu tidak bergerak, tidak ada kemarin, tidak ada besok, tidak ada waktu" Jelasnya singkat.
Dengan segala keanehan yang terjadi dalam hariku, sungguh ini menduduki peringkat teratas dalam segala hal lainya. Ya, bahkan lebih aneh dari percobaan bunuh diri dan kejadian pemecatanku.
Lantas aku melangkah keluar dari kedai dan memperhatikan jarum jam tanganku yang mati sedari tadi.
Yang benar saja, sekarang ia mulai bergerak lagi.
Segera ku masuki lagi kedai aneh tersebut dan kudapati jarum jam tanganku kembali berhenti.
Sekarang aku yang tertawa cekikikan.
Ku teguk habis gelas bir yang tadi kutuang.
"Bagaimana mungkin ada tempat seperti ini dan aku baru mengetahuinya sekarang" Tanyaku heran keapada penjaga kedai
"Kedai ini hanya membuka pintunya kepada siapa yang membutuhkan keberadaanya"
"Aku? Mengapa aku membutuhkan kedai ini?"
"Justru itu yang ingin aku tanyakan kepadamu" Jawab si penjaga kedai.
"Sekarang, mulailah bercerita –
apa yang membuatmu berakhir di kedai ini ?"
Oh sungguh mungkin ini tempat yang sempurna untuk mengakhiri hidupku.
Maka dengan mantap kulangkahkan kaki menuju tepian gedung ini, dengan satu pikiran yang pasti. Aku harus mati.
Sejengkal lagi menuju terjun bebas dari lantai dua belas, pikiranku mulai meracau. Aku diserang oleh banyak tanda tanya. Jika aku mati lantas siapa yang memberi makan dan merawat Bonna anjingku? Apa kawan-kawanku akan datang ke pemakaman dan menangisiku? Oh iya, bagaimana dengan cicilan kulkas yang belum lunas di apartemenku. Kira-kira berapa biaya yang akan keluargaku keluarkan untuk pemakamanku? Kudengar hari-hari ini sulit mencari lahan kuburan, lantas jasadku akan diapakan? Yang lebih parahnya lagi, foto apa yang akan dicetak keluargaku untuk di letakan di sisi peti matiku di rumah duka. Ah ternyata mati itu tidak semudah dan se simpel itu.
"Hei kau yang disana" sahut seseorang di belakang mengejutkanku.
"Kalau mau bunuh diri jangan disini. Nanti mayatmu jatuh kebawah, kepalamu pecah, isinya berceceran. Berantakan! Dasar, merepotkan saja" katanya sambil menggerutu sambil melangkah pergi.
Dasar pak tua tak punya perasaan, makanya ia bertahun-tahun kerjanya selalu sama, tukang bersih-bersih. Sekali-kali kek coba ia bersihkan mulutnya yang kotor itu.
Tapi mungkin pak tua itu ada benarnya, bunuh diri itu tidak hanya merepotkan bagiku namun bagi orang lain juga. Ah keterlaluan memang, hidup susah matipun susah !
Lantas aku turun dari atas gedung kantorku-
Ah maksudku, mantan kantorku.
Ya, begitulah, aku baru saja dipecat.
Tidak, aku sedang tidak ingin membicarakannya sekarang.
Dengan langkah yang lunglai aku lewati gang-gang di pingiran kota entah menuju kemana.
Sungguh ini hari yang melelahkan bagiku, dan aku hanya ingin pulang ke kampung halaman.
Ditengah jalan, di sela-sela gang sempit dan lampu remang-remang, ada sebuah kedai yang menarik perhatianku.
Kedai itu terlihat usang dan tua. Bahkan plang namanya pun sudah kusam dan tak terbaca lagi.
Tapi ada hawa hangat yang menyelip keluar dari sela-sela pintu kedai tersebut, dan hawa tersebut sungguh mengingatkanku kepada rumahku di kampung.
Hawa tersebut tidak bisa kujelaskan dengan kata-kata, tapi yang pasti ia berbeda dengan hawa dingin dan bekunya kota ini. Ada dorongan yang kuat dalam diriku untuk membuka pintu kedai itu.
Setelah menimbang-nimbang sesaat, aku memutuskan untuk masuk dan mampir sebentar untuk segelas bir.
Setelah kubuka pintu kedai, kulihat interior kedai yang ternyata sama tuanya dengan apa yang terlihat dari luar. Tapi sungguh, kedai tersebut punya suatu hal yang sulit kuungkapkan dengan kata-kata, namun hal tersebut sungguh membuatku nyaman. Lampun neon oranyenya? Atau mungkin kursi dan meja kayu tuanya? Ah entahlah.
Kedai itu lumayan sempit. Kira-kira hanya bisa memuat 9 orang pelanggan. Meja dan kursinya dibentuk dan disusun berdampingan berbentuk persegi mengelilingi si penjaga kedai. Kira-kira dibentuk seperti bar restoran jepang seperti sushi atau yakiniku di mall-mall mahal. Tapi bedanya, tidak ada pengorengan di tengahnya, melainkan hanya beberapa teko berisikan kopi dan teh ,dan juga botol-botol bir yang disusun rapi berdampingan dengan gelas-gelas kosong. Dengan susunan yang demikian, otomatis kau akan duduk menghadap si penjaga kedai dan bersebelahan dengan pelanggan-pelanggan lain.
Saat aku masuk, si penjaga kedai dengan ramah menyapaku dan menyambutku. Ia terlihat sangat ramah meskipun keriput wajahnya tidak bisa ia sembunyikan dibalik senyumnya. Dalam perkiraanku ia mungkin berumur 40an. Tak hanya keriput di wajahnya, uban yang tumbuh di sela-sela rambut tipisnya semakin meyakinkan asumsiku. Ia memakai sebuah celemek tua dan sebuah kemeja hitam yang terlihat agak kebesaran di tubuhnya yang kurus.
Lantas aku langsung duduk di hadapannya. Kulihat di sekeliling meja, ada beberapa pelanggan yang sedang asik sendiri. Di ujung sana ada seorang waria yang merias wajahnya, adapula di sebelah kiriku kira-kira selisih dua kursi ada seorang bapak tua yang termenung seorang diri memendam dirinya dalam cangkir kopinya yang masih penuh. Sungguh pemandangan dan suasana yang ganjil.
"Mau pesan apa?" Tanya si penjaga kedai
"Ah, sebotol bir" Jawabku
Tak begitulama tersedia sebotol bir dan segelas kosong berisi balok-balok es dihadapanku.
Segera kutuang bir tersebut kedalam gelas dan mulai merogoh sakuku untuk mencari korek untuk memantik batang rokok yang sedari tadi kuselipkan diantara bibirku.
"Ini pakai saja punyaku" tawar si penjaga kedai sambil menyodorkan sebuah korek kepadaku.
"Terimakasih," lantas ku bakar rokok dan kutarik dalam-dalam.
"omong-omong ini jam berapa ya?" tanyaku kepada si penjaga kedai.
Sontak kalimatku disambut oleh tawa cekikikan kecil dari si waria.
"Ah maaf, telepon ku sedang habis batre, dan jam tanganku entah mengapa sedari tadi tidak berjalan, sepertinya rusak" belaku kepada seisi kedai.
Si penjaga kedai lantas menghampiriku.
"Jam tanganmu tidak rusak, justru ia menunjukan waktu yang tepat"
"Maksudmu?" Tanyaku kebingungan.
"Selamat datang di kedai tanpa waktu, disini waktu tidak bergerak, tidak ada kemarin, tidak ada besok, tidak ada waktu" Jelasnya singkat.
Dengan segala keanehan yang terjadi dalam hariku, sungguh ini menduduki peringkat teratas dalam segala hal lainya. Ya, bahkan lebih aneh dari percobaan bunuh diri dan kejadian pemecatanku.
Lantas aku melangkah keluar dari kedai dan memperhatikan jarum jam tanganku yang mati sedari tadi.
Yang benar saja, sekarang ia mulai bergerak lagi.
Segera ku masuki lagi kedai aneh tersebut dan kudapati jarum jam tanganku kembali berhenti.
Sekarang aku yang tertawa cekikikan.
Ku teguk habis gelas bir yang tadi kutuang.
"Bagaimana mungkin ada tempat seperti ini dan aku baru mengetahuinya sekarang" Tanyaku heran keapada penjaga kedai
"Kedai ini hanya membuka pintunya kepada siapa yang membutuhkan keberadaanya"
"Aku? Mengapa aku membutuhkan kedai ini?"
"Justru itu yang ingin aku tanyakan kepadamu" Jawab si penjaga kedai.
"Sekarang, mulailah bercerita –
apa yang membuatmu berakhir di kedai ini ?"
Diubah oleh samsara21 23-01-2018 17:53


anasabila memberi reputasi
1
1.1K
Kutip
9
Balasan


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan