- Beranda
- Komunitas
- Entertainment
- The Lounge
pramuria ARGOPURO


TS
cyberking204
pramuria ARGOPURO
pramuria ARGOPURO


DAY 1
Sore itu, tujuh tas carrier sudah siap berdiri dipojok kursi. Ditengah hiruk pikuk para sahabat mempersiapkan diri baik mental, fisik dan kewarasan yang tersisa. Sejak dari kemarin mereka sibuk mengurus ini itu demi perjalanan terbaik yang sampai saat ini enggan terlupakan. Sebuah perjalanan yang menyajikan tawa, tangis, marah dan cinta.
Kami adalah tujuh orang insan dengan kepribadian yang berbeda dan mempunyai latar belakang yang berbeda pula. Diantaranya ada lima lelaki jantan yaitu Togog, Jebol, bejo, oton, dan saya teges. Ditambah lagi dengan dua wanita anggun yang senantiasa mengikuti perjalanan ini. Kedua wanita tangguh itu adalah cucut dan kimpul. Memang terdengar aneh tapi memang begitulah cara kami menyapa satu sama lain.
Pada waktu itu sekitar jam 22.30 kami semua berangkat dari kampus menuju terminal Tirtonadi Solo. Rencananya kami akan naik bus menuju Surabaya. Awalnya kami ingin naik bus Sumber Selamat akan tetapi pada saat itu bus yang benar-benar siap berangkat adalah bus Mira. Mungkin tak apalah naik bus ini, toh juga sama-sama memacu adrenalin. Malam ini kondisi bus lumayan ramai. Semua kursi pun penuh terisi. Untungnya kami semua mendapatkan tempat duduk. Tapi ada dua orang dari kita yang duduknya agak terpisah di depan, yaitu si Togog dan Kimpul. Kami pun bepesan pada kimpul untuk berhati-hati untuk jangan kebanyakan curhat, apalagi jika disandingkan dengan togog yang suka sekali bercerita. Karena perjalanan menuju surabaya masih cukup lama sekitar lima jam. Satu persatu dari kami mulai memejamkan mata. Akupun juga memposisikan diri mencari posisi yang nyaman, terlebih diriku yang agak susah untuk tidur ditempat yang tak biasa. Sekedar mengistirahatkan tubuh sembari mendengarkan lagu Ed Sheeran, Photograph dari join headset si Cucut yang sedari tadi hanya melihat keluar jendela. Pikiranku teringat akan yang disana seiring lirik lagu yang dimainkan,”Wait for me come home” haha pasti kami semua akan pulang. Yang pertama kali tertidur pulas sudah pasti si Jebol yang memang terkenal tukang tidur dimanapun tempatnya. Pernah suatu ketika Jebol masih bisa tertidur pulas di dalam tenda yang sudah tergenang air pasang laut dipantai, sungguh dewa.
Menjelang Subuh sampailah diterminal Surabaya. Kami mendapatkan beberapa informasi dari seseorang selepas turun dari bus mengenai bus selanjutnya jika akan melanjutkan perjalanan. Yaitu dengan menaiki bus tujuan probolinggo. Hal menarik yang terjadi adalah serbuan calo yang menghampiri kami menawarkan bus tentunya dengan harga yang lebih mahal. Kami mengatur siasat agar tidak terkena jebakan harga dari para calo tersebut dengan menunggu situasi untuk menunggu para calo itu pergi dan langsung menghampiri kondektur atau supir bus. Pada saat menunggu tiba-tiba ada seorang laki-laki menghampiri kami. Kami berbincang dan ternyata pria itu juga hendak mendaki Argopuro. Pria itu juga kaget mendengar kami rombongan dari solo. Ternyata pria itu juga dari solo dan satu kampus dengan kami. Dia adalah anak Hitzbul Wathan. Sontak pria itu melihat lambang Mapala di lengan PDH kami dan benar kami anak Mapala fakultas Geografi Giri Bahama. Masih satu kampus dengannya.
Matahari sudah terbit dan kami belum juga mendapatkan peluang menghindar dari calo. Bejo yang termuda dari kamipun mulai suntuk. Terlihat dari raut wajahnya yang ditekuk seperti karet sendal. Si Togog yang tidak melihat situasi berniat untuk mengajak bercanda demi membunuh rasa bosan. Akan tetapi tidak di respon dengan baik oleh si Bejo. Bejo pun melayangkan ancaman akan meludahinya jika tidak berhenti. Togog yang tak mengubrisnya tetap terus menggoda si Bejo hingga air liur Bejo mendarat tepat di wajah si Togog. Togog pun terdiam mengusap wajah dengan pakaiannya dan semua ikut terdiam. Melihat tingkah dua orang temanya, si Jebol yang paling tua diantara kamipun ikut bersuara. Dengan nada tegas “Neq do raiso meneng tak antemi siji-siji”. Mereka berdua pun mengakhirinya. Kemudian kami mendapati supir bus yang hendak memberangkatkan busnya. Kami bertanya kepada si supir mengenai tarif menuju probolinggo. Setelah mendapatkan tarif yang sesuai kami bertujuh dan pria yang entah namanya itu bergegas naik kedalam bus. Sebenarnya agak mudah membedakan mana calo dan mana supir atau kondektur bus sebenarnya. Kami sedari tadi hanya mencari supir dan kondektur yang memakai seragam perusahaan busnya. Berbeda dengan para calo yang memakai pakaian lain seperti kemeja atau kaos biasa. Dibelakang tempat duduk kami ada seorang pria yang baru saja naik bersamaan dengan salah satu calo. Betapa kagetnya kami ternyata pria itu mendapatkan tarif dua kali lipat lebih mahal. Tak hanya itu, disaat bus kami hendak melaju para calo itu berhamburan mengejar bus untuk meminta jatah bagian kepada supir. Ternyata para calo itu lebih mengerikan daripada serbuan zombie.
Pagi itu kami menikmati perjalanan didalam bus yang tidak terlalu ramai. Kami dapat leluasa memandang keluar membayangkan hal apa yang akan terjadi di Argopuro. Canda tawa yang tercipta diantara kami menghiasi perjalanan ini. Tapi masih ada yang saling diam. Mungkin karena kejadian di terminal tadi Bejo dan Togog kini hanya berdiam diri. Saya berharap mereka segera baikan. Suatu hal yang sangat beresiko bilamana tim tidak bisa kompak dalam perjalanan ini.
Ketika memasuki kabupaten Probolinggo ada penjaja gorengan yang unik menurut kami. Pria paruh baya itu menjajakan gorengan seperti bakwan dan risoles. Tapi pada setiap gorengan bapak itu tertancap sebuah cabai rawit dan daun bawang utuh yang menjuntai keatas. Kami sempat berfikir bapak itu menjual gorengan atau bibit bawang hehe. Karena sekilas penampakan dari gorengan itu rimbun dengan daun bawang diatasnya. Kami mencoba membeli beberapa untuk mengganjal perut yang belum sarapan sedari tadi subuh. Ternyata enak juga gorengan bapak itu, mungkin karena lapar atau apa gorengan tadi lumayan enak.
Sampai di terminal Probolinggo kami berpisah dengan pria tanpa nama yang kami jumpai di Surabaya. Setelah turun rupanya kedua kawan kami tengah berbaikan. Bejo memulai minta maaf kepada Togog dan mengakui kesalahannya. Begitu pula dengan Togog juga minta maaf telah menggodanya dan akhirnya kembalilah solid tim ini. Kemudian pria tanpa nama itu pamit hendak mendaki Argopuro melalui jalur Bremi, Probolinggo. Berbeda dengan rencana kami yang akan memulai pendakian melalui jalur Bederan, Situbondo. Pria itu sudah mengatur janji dengan kawannya dari jember untuk bertemu di terminal Probolinggo. Karena waktu kami yang tidak banyak, kami memutuskan untuk melanjutkan perjalanan menuju Besuki. Kami berpamitan dengan pria itu dan memohon maaf tidak bisa menemaninya menunggu kawannya datang. Pria itu pun tak apa dan malah berterima kasih sudah menemaninya dari Surabaya dan meloloskan diri dari para calo disana. Tak lama setelah itu bus menuju Besuki datang. Kami segera naik dan mengatur barang bawaan kami di belakang.
Sungguh hal yang merepotkan membawa tujuh tas carrier besar di dalam bus. Apalagi pada saat itu kondisi bus sangatlah ramai dan penuh sesak. Kami hanya bisa pasrah menerima keadaan ini. Hal yang maklum dimana didaerah ini minim transportasi. Dimana selang dari bus ini datang lebih dari 30 menit. Padahal lama perjalanan hanya memakan waktu 1,5 jam. Tapi yang kami rasakan pada waktu itu. Waktu berputar sangat lama ditengah penuh sesaknya di dalam bus tua. Ada seorang kakek yang duduk disebelah kami sedari tadi memperhatikan. Mungkin heran melihat muda-mudi membawa barang yang sangat banyak. Hingga kakek itupun bertanya kepada kami mengenai asal dan tujuan kami. Sehingga obrolan baru tercipta dan melupakan sejenak tentang perjalanan kami dan tak terasa kami melewati bangunan besar di tepi pantai. Bangunan itu tidak seperti bangunan biasa, bangunan itu adalah pembangkit listrik Paiton wow. Seluruh penumpang melirik keluar menyaksikan kemegahan bangunan itu dari sebelah kiri bus. Tapi tidak dengan diriku, aku melihat ciptaan tuhan yang lebih besar. Dari sebelah kanan aku menyadari bahwa itu adalah punggungan kaki gunung Argopuro yang begitu besarnya sampai di tepi pantai. Aku pun membayangkan bagaimana kalau ku mulai pendakian dari sini, melihat dari kontur peta yang mungkin bisa dilewati tapi mau sampai kapan kepuncak hehe.
Selepas dari Paiton tibalah di kota kecil yang menurutku sepi jika dibandingkan dengan kota Solo dan Surabaya. Besuki, begitulah nama tempat ini yang merupakan bagian dari kabupaten Situbondo. Kami turun tepat di alun-alun kota. Disitu kami melihat hanya ada beberapa orang disana. Mungkin karena siang hari dan matahari sangat terik pada saat itu jadi orang orang enggan keluar. Kami semua merebahkan diri di pelataran alun-alun meluruskan kaki yang sedari tadi ditekuk diperjalanan.
Ditengah istirahat kami datanglah seorang pria menawarkan transportasi kepada kami. Bapak itu menanyakan tujuan kami dan menawarkan jasa ojek kepada kami. Kamipun menolak karena rencana kami ingin menyewa angkot menuju Baderan. Bapak itu dengan senang hati memanggil kawannya yang merupakan supir angkot yang tak jauh dari pasar disamping alun-alun. Dan kami pun memulai tawar menawar harga dengan si supir. Hal yang menjadi patokan kami adalah refrensi harga yang kami temui di beberapa situs web pendakian Argopuro mengenai tarif sewa angkot ditempat ini. Setelah negosiasi, kami mendapatkan tarif dibawah harga yang kami ketahui dari situs web. Setelah itu kami mengatur rencana untuk membagi orang untuk membeli kebutuhan logistik di pasar dan berlanjut makan siang. Kami memutuskan untuk makan siang di warung yang berada di dekat pasar. Menu pada hari itu kami memesan makanan khas Jawa Timur, yaitu Rawon. Sekarang perut sudah kenyang, Cucut dan Kimpul kembali sibuk menghitung pengeluaran setelah berbelanja di pasar tadi. Aku pun juga sibuk mendokumentasikan meraka para sahabat yang selalu tak pernah membuatku bosan.
Tak lama setelah itu datanglah empat orang anak muda sembari menggendong tas carrier masuk ke dalam warung. Sebagai ciri khas sesama pendaki ialah saling bertegur sapa. Setelah sedikit berbincang ternyata mereka adalah Sispala dari Kota Semarang. Para Siswa Sma ini tengah melakukan Ekspedisi mendaki Argopuro sembari libur sekolah. Hal yang tak terduga adalah mereka juga menumpang angkot yang sudah kami sewa menuju Baderan dengan harga yang lebih murah dari tarif kami. Merasa jengkel kami menanyakan kepada supir untuk mengklarifikasi masalah itu. Dan ternyata masalahnya ada pada bapak-bapak yang kami temui sebelumnya. Bapak itu merupakan calo yang mempertemukan kami dengan si supir. Tentunya si calo akan meminta bagian kepada si supir karena telah membawakan customer kepadanya. Itulah mengapa si supir tidak bisa memasang tarif lebih rendah karena memperhitungkan bagian untuk si calo. Berbeda dengan para anak Sispala itu. Mereka beruntung dapat bertemu langsung dengan si supir dan mendapatkan tarif langsung tanpa ada calo. Pada saat itu kami benar-benar merasa kecolongan. Kami mendapat tips dari si supir jika ingin mencari kendaraan transportasi cukup satu orang saja tanpa membawa atribut yang menunjukan bawasanya dirimu seorang pejalan. Biarlah teman-temanmu menunggu dan kamu dapat dengan leluasa mencari informasi tanpa terdeteksi oleh para calo.
Perjalanan menuju Baderan kali ini di iringi dengan deras hujan. Perjalanan melewati desa-desa pun terasa asing dengan kesunyiannya. Kamipun heran berapa sih jumlah penduduk di daerah ini, rasanya seperti bukan di pulau Jawa. Akupun tertidur di perjalanan ini, sudah dari semalam aku tidak bisa tidur diperjalanan. Mungkin karena suasana dan aroma hujan menghantarkanku ke alam bawah sadar. Ketika ku bangun ternyata kami sudah sampai di desa Baderan.
Kupikir perjalanan ini masihlah jauh untuk menuju basecamp pendakian. Setahuku setiap basecamp pendakian merupakan pemukiman terakhir untuk memulai pendakian. Dimana pemukiman itu sudahlah pasti berada di ketinggian dari permukaan laut dan sudah pasti aroma suhu gunung yang dingin pasti akan langsung merasuk kedalam tulang. Tapi tidak disini, ini hanya pemukiman biasa yang menurutku belum diketinggian. Meskipun telah diguyur hujan tetap saja aku belum merasakan dingin seperti di Tawangmangu atau di Selo.Bederan merupakan desa di kabupaten Situbondo dan menjadikan basecamp pendakian gunung Argopuro. Meskipun begitu kami sangat menyukai suasana di desa itu. Terlebih lagi dengan masyarakatnya yang sangat ramah. Basecamp Baderan di jaga oleh salah satu petugas perhutani pegunungan hyang. Beliau bernama pak Samhaji, beliaulah yang membantu kami memperoleh informasi tentang Argopuro sebelum kami memutuskan untuk kesini. Pak Samhaji ini menurutku cukup lucu terlebih pada saat berbicara dengannya. Logat Madura yang jarang kami dengarkan di Solo, terdengar asing ditelinga kami. Oleh Pak Samhaji kami dipersilahkan menaruh barang bawaan kami di bangunan depan rumahnya yang juga kantor perhutani itu. Disini kami membagi orang lagi untuk menyiapkan makan malam, mengurus administrasi bersama pak Samhaji dan diriku memutuskan untuk membeli gorengan di warung yang kulihat sebelum rumah pak Samhaji. Setelah membeli gorengan dengan ukuran jumbo aku memutuskan untuk bergabung mengurus administrasi. Kami diberi penjelasan oleh pak Samhaji mengenai kondisi terkini Argopuro. Beliau pun sabar menanggapi beberapa pertanyaan kami yang sedikit nyeleneh. Kami juga bertanya pasal jalur baru yang memotong jalur lama dari puncak menuju cemara lima. Kami disarankan lebih berhati-hati saat melewati jalur itu terlebih jika kulihat dari peta jalur itu cukuplah terjal dilihat dari kerapatan garis konturnya. Semoga kami semua di berikan keselamatan sampai rumah nanti, Amin.
Keempat anak Sispala itu rupanya tengah menunggu kami mengurus administrasi didepan rumah. Kini kami bergantian dengan mereka dan menuju rumah kecil didepan tadi. Cucut yang tampak kebingungan bertanya “masak opo kie?”. Secara otomatis kami pun menjawab ”sak sak’e”. Terkadang aku juga berpesan menghemat logistik untuk berjaga-jaga. Cucut pun makin bingung dan akhirnya gadis berpipi tembam itu memasakan kami sayur sop beserta dengan kerupuknya. Sungguh kenikmatan yang hakiki bisa makan bersama kawan disini. Tak lupa kami saling menawarkan makanan kepada anak-anak Sispala tadi yang juga tengah makan malam. Obrolan demi obrolan tercipta pada malam itu hingga rasa kantuk mulai menyergap kami. Diaturlah posisi tidur yang terbaik agar semua merasa nyaman diruangan yang sempit itu. Hal yang wajar jika basecamp belum mempunyai ruangan besar bilamana gunung ini masih sepi dari pendaki. Nilai tambahnya adalah keasrian gunung Argopuro masih terjaga dari para pendaki dadakan yang tak beretika.
Jangan meninggalkan apapun kecuali jejak.
Jangan membunuh apapun kecuali waktu.
Jangan mengambil apapun kecuali gambar, pengalaman, ilmu, hikmah dan cinta.




DAY 1
Sore itu, tujuh tas carrier sudah siap berdiri dipojok kursi. Ditengah hiruk pikuk para sahabat mempersiapkan diri baik mental, fisik dan kewarasan yang tersisa. Sejak dari kemarin mereka sibuk mengurus ini itu demi perjalanan terbaik yang sampai saat ini enggan terlupakan. Sebuah perjalanan yang menyajikan tawa, tangis, marah dan cinta.
Kami adalah tujuh orang insan dengan kepribadian yang berbeda dan mempunyai latar belakang yang berbeda pula. Diantaranya ada lima lelaki jantan yaitu Togog, Jebol, bejo, oton, dan saya teges. Ditambah lagi dengan dua wanita anggun yang senantiasa mengikuti perjalanan ini. Kedua wanita tangguh itu adalah cucut dan kimpul. Memang terdengar aneh tapi memang begitulah cara kami menyapa satu sama lain.
Pada waktu itu sekitar jam 22.30 kami semua berangkat dari kampus menuju terminal Tirtonadi Solo. Rencananya kami akan naik bus menuju Surabaya. Awalnya kami ingin naik bus Sumber Selamat akan tetapi pada saat itu bus yang benar-benar siap berangkat adalah bus Mira. Mungkin tak apalah naik bus ini, toh juga sama-sama memacu adrenalin. Malam ini kondisi bus lumayan ramai. Semua kursi pun penuh terisi. Untungnya kami semua mendapatkan tempat duduk. Tapi ada dua orang dari kita yang duduknya agak terpisah di depan, yaitu si Togog dan Kimpul. Kami pun bepesan pada kimpul untuk berhati-hati untuk jangan kebanyakan curhat, apalagi jika disandingkan dengan togog yang suka sekali bercerita. Karena perjalanan menuju surabaya masih cukup lama sekitar lima jam. Satu persatu dari kami mulai memejamkan mata. Akupun juga memposisikan diri mencari posisi yang nyaman, terlebih diriku yang agak susah untuk tidur ditempat yang tak biasa. Sekedar mengistirahatkan tubuh sembari mendengarkan lagu Ed Sheeran, Photograph dari join headset si Cucut yang sedari tadi hanya melihat keluar jendela. Pikiranku teringat akan yang disana seiring lirik lagu yang dimainkan,”Wait for me come home” haha pasti kami semua akan pulang. Yang pertama kali tertidur pulas sudah pasti si Jebol yang memang terkenal tukang tidur dimanapun tempatnya. Pernah suatu ketika Jebol masih bisa tertidur pulas di dalam tenda yang sudah tergenang air pasang laut dipantai, sungguh dewa.
Menjelang Subuh sampailah diterminal Surabaya. Kami mendapatkan beberapa informasi dari seseorang selepas turun dari bus mengenai bus selanjutnya jika akan melanjutkan perjalanan. Yaitu dengan menaiki bus tujuan probolinggo. Hal menarik yang terjadi adalah serbuan calo yang menghampiri kami menawarkan bus tentunya dengan harga yang lebih mahal. Kami mengatur siasat agar tidak terkena jebakan harga dari para calo tersebut dengan menunggu situasi untuk menunggu para calo itu pergi dan langsung menghampiri kondektur atau supir bus. Pada saat menunggu tiba-tiba ada seorang laki-laki menghampiri kami. Kami berbincang dan ternyata pria itu juga hendak mendaki Argopuro. Pria itu juga kaget mendengar kami rombongan dari solo. Ternyata pria itu juga dari solo dan satu kampus dengan kami. Dia adalah anak Hitzbul Wathan. Sontak pria itu melihat lambang Mapala di lengan PDH kami dan benar kami anak Mapala fakultas Geografi Giri Bahama. Masih satu kampus dengannya.
Matahari sudah terbit dan kami belum juga mendapatkan peluang menghindar dari calo. Bejo yang termuda dari kamipun mulai suntuk. Terlihat dari raut wajahnya yang ditekuk seperti karet sendal. Si Togog yang tidak melihat situasi berniat untuk mengajak bercanda demi membunuh rasa bosan. Akan tetapi tidak di respon dengan baik oleh si Bejo. Bejo pun melayangkan ancaman akan meludahinya jika tidak berhenti. Togog yang tak mengubrisnya tetap terus menggoda si Bejo hingga air liur Bejo mendarat tepat di wajah si Togog. Togog pun terdiam mengusap wajah dengan pakaiannya dan semua ikut terdiam. Melihat tingkah dua orang temanya, si Jebol yang paling tua diantara kamipun ikut bersuara. Dengan nada tegas “Neq do raiso meneng tak antemi siji-siji”. Mereka berdua pun mengakhirinya. Kemudian kami mendapati supir bus yang hendak memberangkatkan busnya. Kami bertanya kepada si supir mengenai tarif menuju probolinggo. Setelah mendapatkan tarif yang sesuai kami bertujuh dan pria yang entah namanya itu bergegas naik kedalam bus. Sebenarnya agak mudah membedakan mana calo dan mana supir atau kondektur bus sebenarnya. Kami sedari tadi hanya mencari supir dan kondektur yang memakai seragam perusahaan busnya. Berbeda dengan para calo yang memakai pakaian lain seperti kemeja atau kaos biasa. Dibelakang tempat duduk kami ada seorang pria yang baru saja naik bersamaan dengan salah satu calo. Betapa kagetnya kami ternyata pria itu mendapatkan tarif dua kali lipat lebih mahal. Tak hanya itu, disaat bus kami hendak melaju para calo itu berhamburan mengejar bus untuk meminta jatah bagian kepada supir. Ternyata para calo itu lebih mengerikan daripada serbuan zombie.
Pagi itu kami menikmati perjalanan didalam bus yang tidak terlalu ramai. Kami dapat leluasa memandang keluar membayangkan hal apa yang akan terjadi di Argopuro. Canda tawa yang tercipta diantara kami menghiasi perjalanan ini. Tapi masih ada yang saling diam. Mungkin karena kejadian di terminal tadi Bejo dan Togog kini hanya berdiam diri. Saya berharap mereka segera baikan. Suatu hal yang sangat beresiko bilamana tim tidak bisa kompak dalam perjalanan ini.
Ketika memasuki kabupaten Probolinggo ada penjaja gorengan yang unik menurut kami. Pria paruh baya itu menjajakan gorengan seperti bakwan dan risoles. Tapi pada setiap gorengan bapak itu tertancap sebuah cabai rawit dan daun bawang utuh yang menjuntai keatas. Kami sempat berfikir bapak itu menjual gorengan atau bibit bawang hehe. Karena sekilas penampakan dari gorengan itu rimbun dengan daun bawang diatasnya. Kami mencoba membeli beberapa untuk mengganjal perut yang belum sarapan sedari tadi subuh. Ternyata enak juga gorengan bapak itu, mungkin karena lapar atau apa gorengan tadi lumayan enak.
Sampai di terminal Probolinggo kami berpisah dengan pria tanpa nama yang kami jumpai di Surabaya. Setelah turun rupanya kedua kawan kami tengah berbaikan. Bejo memulai minta maaf kepada Togog dan mengakui kesalahannya. Begitu pula dengan Togog juga minta maaf telah menggodanya dan akhirnya kembalilah solid tim ini. Kemudian pria tanpa nama itu pamit hendak mendaki Argopuro melalui jalur Bremi, Probolinggo. Berbeda dengan rencana kami yang akan memulai pendakian melalui jalur Bederan, Situbondo. Pria itu sudah mengatur janji dengan kawannya dari jember untuk bertemu di terminal Probolinggo. Karena waktu kami yang tidak banyak, kami memutuskan untuk melanjutkan perjalanan menuju Besuki. Kami berpamitan dengan pria itu dan memohon maaf tidak bisa menemaninya menunggu kawannya datang. Pria itu pun tak apa dan malah berterima kasih sudah menemaninya dari Surabaya dan meloloskan diri dari para calo disana. Tak lama setelah itu bus menuju Besuki datang. Kami segera naik dan mengatur barang bawaan kami di belakang.
Sungguh hal yang merepotkan membawa tujuh tas carrier besar di dalam bus. Apalagi pada saat itu kondisi bus sangatlah ramai dan penuh sesak. Kami hanya bisa pasrah menerima keadaan ini. Hal yang maklum dimana didaerah ini minim transportasi. Dimana selang dari bus ini datang lebih dari 30 menit. Padahal lama perjalanan hanya memakan waktu 1,5 jam. Tapi yang kami rasakan pada waktu itu. Waktu berputar sangat lama ditengah penuh sesaknya di dalam bus tua. Ada seorang kakek yang duduk disebelah kami sedari tadi memperhatikan. Mungkin heran melihat muda-mudi membawa barang yang sangat banyak. Hingga kakek itupun bertanya kepada kami mengenai asal dan tujuan kami. Sehingga obrolan baru tercipta dan melupakan sejenak tentang perjalanan kami dan tak terasa kami melewati bangunan besar di tepi pantai. Bangunan itu tidak seperti bangunan biasa, bangunan itu adalah pembangkit listrik Paiton wow. Seluruh penumpang melirik keluar menyaksikan kemegahan bangunan itu dari sebelah kiri bus. Tapi tidak dengan diriku, aku melihat ciptaan tuhan yang lebih besar. Dari sebelah kanan aku menyadari bahwa itu adalah punggungan kaki gunung Argopuro yang begitu besarnya sampai di tepi pantai. Aku pun membayangkan bagaimana kalau ku mulai pendakian dari sini, melihat dari kontur peta yang mungkin bisa dilewati tapi mau sampai kapan kepuncak hehe.
Selepas dari Paiton tibalah di kota kecil yang menurutku sepi jika dibandingkan dengan kota Solo dan Surabaya. Besuki, begitulah nama tempat ini yang merupakan bagian dari kabupaten Situbondo. Kami turun tepat di alun-alun kota. Disitu kami melihat hanya ada beberapa orang disana. Mungkin karena siang hari dan matahari sangat terik pada saat itu jadi orang orang enggan keluar. Kami semua merebahkan diri di pelataran alun-alun meluruskan kaki yang sedari tadi ditekuk diperjalanan.
Ditengah istirahat kami datanglah seorang pria menawarkan transportasi kepada kami. Bapak itu menanyakan tujuan kami dan menawarkan jasa ojek kepada kami. Kamipun menolak karena rencana kami ingin menyewa angkot menuju Baderan. Bapak itu dengan senang hati memanggil kawannya yang merupakan supir angkot yang tak jauh dari pasar disamping alun-alun. Dan kami pun memulai tawar menawar harga dengan si supir. Hal yang menjadi patokan kami adalah refrensi harga yang kami temui di beberapa situs web pendakian Argopuro mengenai tarif sewa angkot ditempat ini. Setelah negosiasi, kami mendapatkan tarif dibawah harga yang kami ketahui dari situs web. Setelah itu kami mengatur rencana untuk membagi orang untuk membeli kebutuhan logistik di pasar dan berlanjut makan siang. Kami memutuskan untuk makan siang di warung yang berada di dekat pasar. Menu pada hari itu kami memesan makanan khas Jawa Timur, yaitu Rawon. Sekarang perut sudah kenyang, Cucut dan Kimpul kembali sibuk menghitung pengeluaran setelah berbelanja di pasar tadi. Aku pun juga sibuk mendokumentasikan meraka para sahabat yang selalu tak pernah membuatku bosan.
Tak lama setelah itu datanglah empat orang anak muda sembari menggendong tas carrier masuk ke dalam warung. Sebagai ciri khas sesama pendaki ialah saling bertegur sapa. Setelah sedikit berbincang ternyata mereka adalah Sispala dari Kota Semarang. Para Siswa Sma ini tengah melakukan Ekspedisi mendaki Argopuro sembari libur sekolah. Hal yang tak terduga adalah mereka juga menumpang angkot yang sudah kami sewa menuju Baderan dengan harga yang lebih murah dari tarif kami. Merasa jengkel kami menanyakan kepada supir untuk mengklarifikasi masalah itu. Dan ternyata masalahnya ada pada bapak-bapak yang kami temui sebelumnya. Bapak itu merupakan calo yang mempertemukan kami dengan si supir. Tentunya si calo akan meminta bagian kepada si supir karena telah membawakan customer kepadanya. Itulah mengapa si supir tidak bisa memasang tarif lebih rendah karena memperhitungkan bagian untuk si calo. Berbeda dengan para anak Sispala itu. Mereka beruntung dapat bertemu langsung dengan si supir dan mendapatkan tarif langsung tanpa ada calo. Pada saat itu kami benar-benar merasa kecolongan. Kami mendapat tips dari si supir jika ingin mencari kendaraan transportasi cukup satu orang saja tanpa membawa atribut yang menunjukan bawasanya dirimu seorang pejalan. Biarlah teman-temanmu menunggu dan kamu dapat dengan leluasa mencari informasi tanpa terdeteksi oleh para calo.
Perjalanan menuju Baderan kali ini di iringi dengan deras hujan. Perjalanan melewati desa-desa pun terasa asing dengan kesunyiannya. Kamipun heran berapa sih jumlah penduduk di daerah ini, rasanya seperti bukan di pulau Jawa. Akupun tertidur di perjalanan ini, sudah dari semalam aku tidak bisa tidur diperjalanan. Mungkin karena suasana dan aroma hujan menghantarkanku ke alam bawah sadar. Ketika ku bangun ternyata kami sudah sampai di desa Baderan.
Kupikir perjalanan ini masihlah jauh untuk menuju basecamp pendakian. Setahuku setiap basecamp pendakian merupakan pemukiman terakhir untuk memulai pendakian. Dimana pemukiman itu sudahlah pasti berada di ketinggian dari permukaan laut dan sudah pasti aroma suhu gunung yang dingin pasti akan langsung merasuk kedalam tulang. Tapi tidak disini, ini hanya pemukiman biasa yang menurutku belum diketinggian. Meskipun telah diguyur hujan tetap saja aku belum merasakan dingin seperti di Tawangmangu atau di Selo.Bederan merupakan desa di kabupaten Situbondo dan menjadikan basecamp pendakian gunung Argopuro. Meskipun begitu kami sangat menyukai suasana di desa itu. Terlebih lagi dengan masyarakatnya yang sangat ramah. Basecamp Baderan di jaga oleh salah satu petugas perhutani pegunungan hyang. Beliau bernama pak Samhaji, beliaulah yang membantu kami memperoleh informasi tentang Argopuro sebelum kami memutuskan untuk kesini. Pak Samhaji ini menurutku cukup lucu terlebih pada saat berbicara dengannya. Logat Madura yang jarang kami dengarkan di Solo, terdengar asing ditelinga kami. Oleh Pak Samhaji kami dipersilahkan menaruh barang bawaan kami di bangunan depan rumahnya yang juga kantor perhutani itu. Disini kami membagi orang lagi untuk menyiapkan makan malam, mengurus administrasi bersama pak Samhaji dan diriku memutuskan untuk membeli gorengan di warung yang kulihat sebelum rumah pak Samhaji. Setelah membeli gorengan dengan ukuran jumbo aku memutuskan untuk bergabung mengurus administrasi. Kami diberi penjelasan oleh pak Samhaji mengenai kondisi terkini Argopuro. Beliau pun sabar menanggapi beberapa pertanyaan kami yang sedikit nyeleneh. Kami juga bertanya pasal jalur baru yang memotong jalur lama dari puncak menuju cemara lima. Kami disarankan lebih berhati-hati saat melewati jalur itu terlebih jika kulihat dari peta jalur itu cukuplah terjal dilihat dari kerapatan garis konturnya. Semoga kami semua di berikan keselamatan sampai rumah nanti, Amin.
Keempat anak Sispala itu rupanya tengah menunggu kami mengurus administrasi didepan rumah. Kini kami bergantian dengan mereka dan menuju rumah kecil didepan tadi. Cucut yang tampak kebingungan bertanya “masak opo kie?”. Secara otomatis kami pun menjawab ”sak sak’e”. Terkadang aku juga berpesan menghemat logistik untuk berjaga-jaga. Cucut pun makin bingung dan akhirnya gadis berpipi tembam itu memasakan kami sayur sop beserta dengan kerupuknya. Sungguh kenikmatan yang hakiki bisa makan bersama kawan disini. Tak lupa kami saling menawarkan makanan kepada anak-anak Sispala tadi yang juga tengah makan malam. Obrolan demi obrolan tercipta pada malam itu hingga rasa kantuk mulai menyergap kami. Diaturlah posisi tidur yang terbaik agar semua merasa nyaman diruangan yang sempit itu. Hal yang wajar jika basecamp belum mempunyai ruangan besar bilamana gunung ini masih sepi dari pendaki. Nilai tambahnya adalah keasrian gunung Argopuro masih terjaga dari para pendaki dadakan yang tak beretika.
Jangan meninggalkan apapun kecuali jejak.
Jangan membunuh apapun kecuali waktu.
Jangan mengambil apapun kecuali gambar, pengalaman, ilmu, hikmah dan cinta.


0
2.9K
12


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan