Siapa yang bilang di dalam rumah tangga, perempuan tidak punya nilai?
TS
babygani86
Siapa yang bilang di dalam rumah tangga, perempuan tidak punya nilai?
Please remember, my life is in your hand (John Lenon, Woman, 1981). Kehidupan laki-laki ada di tangan perempuan. Perdebatan ini di Indonesia seharusnya sudah selesai sejak 105 tahun yang lalu. Peristiwa terbaik dari seorang wanita adalah saat dirinya mampu menjadi ibu yang menjadi panutan bagi anak-anaknya. Wanita juga merupakan permata paling indah, tersimpan rapi dalam sebuah kotak di mana tak ada tangan jahil yang akan menjamahnya. Hanya saja kadang mereka tidak menyadari hal itu.
Quote:
Ada seorang perempuan yang meninggal 6 November 1908 dan dimakamkan di Sumedang. Perempuan itu, Cut Nyak Dhien. Ketika Teuku Umar meninggal, anak perempuannya, Cut Gambang mau menangis. Sebagai ibu, dia cuma mengatakan satu, “Perempuan Aceh dilarang meneteskan air mata untuk seorang yang mati syahid.”
Sepeninggal suaminya yang kedua, Cut Nyak Dhien memimpin garda paling depan perlawanan rakyat Aceh. Dengan tekad dan kekuatan yang tersisa, ia terus merepotkan Belanda. Hingga akhirnya, Belanda menangkapnya pada 6 November 1905 atas laporan orang kepercayaannya sendiri, dan itulah yang memantik murka ketiga Cut Nyak Dhien. Cut Nyak Dhien menggelorakan semangat rakyat Aceh untuk terus mengangkat rencong melawan Belanda meskipun Teuku Umar telah tiada. Sepeninggal Umar, Cut Nyak Dhien jadi pemimpin dan dikelilingi oleh orang-orang tangguh yang sangat setia terhadapnya. Salah satu orang yang paling dipercaya Cut Nyak Dhien adalah Pang La’ot.
Namun, perjuangan melawan penjajah yang lebih unggul dari segi kekuatan ternyata semakin berat. Satu per satu panglima Aceh tewas dalam peperangan. Cut Nyak Dhien terpaksa menerapkan strategi gerilya, keluar masuk hutan, untuk merecoki Belanda, itu pun tidak jarang memakan korban nyawa di pihaknya. Jumlah pasukannya pun kian berkurang, dari yang semula lebih dari 300 prajurit lama-kelamaan semakin habis, bahkan tinggal menyisakan beberapa orang saja pada 1905. Pang La’ot dengan segenap totalitasnya senantiasa mendampingi perjuangan Cut Nyak Dhien dalam perjuangan yang disebutnya perang sabil itu. Namun, di sisi lain, ia mulai pesimis dengan kenyataan yang dilihatnya dari hari ke hari.
Kesehatan Cut Nyak Dhien memburuk, kondisinya semakin melemah, bahkan penglihatannya pun mulai rabun. Tidak banyak yang bisa dilakukan di pedalaman hutan Aceh untuk membantu Cut Nyak Dhien. Pang La’ot pun menawarkan supaya Cut Nyak Dhien mau bekerjasama dengan Belanda agar mendapatkan perawatan yang lebih baik. “Takluk kepada kaphe (kafir)? Cis, najis! Semoga Allah menjauhkan perbuatan yang sehina itu dari diriku,” begitu jawaban Cut Nyak Dhien, menolak mentah-mentah usulan Pang La’ot. Pang La’ot merenung, berpikir keras mencari jalan terbaik. Ia sangat hormat dan sayang kepada Cut Nyak Dhien, tidak tega melihat junjungannya itu semakin menderita karena sakit.
Akhirnya, dengan hati yang sangat berat, Pang La’ot secara diam-diam menemui komandan Belanda. Kepada Belanda, ia bersedia memberitahu di mana letak persembunyian pasukan Aceh yang tersisa. Namun, Pang La’ot memohon agar Cut Nyak Dhien diperlakukan dengan hormat, serta mendapatkan perawatan yang baik. Sebagai perempuan di ranah publik, di medan pertempuran, dia mengatakan, “kami memang hancur, tapi tidak pernah ada kata menyerah.”
Quote:
Perjuangan Cut Nyak Dhien kemudian digambarkan oleh penulis laki-laki dari Belanda yang menggambarkan kekuatan perempuan Indonesia. Wanita Aceh gagah dan berani merupakan perwujudan lahiriah yang tak kenal menyerah yang setinggi-tingginya. Dan apabila mereka ikut bertempur, maka akan dilakukannya dengan energi dan semangat berani mati yang kebanyakan justru lebih dari kaum lelaki. Bahwa tidak ada bangsa yang lebih pemberani dan fanatik seperti bangsa Aceh dan kaum wanita Aceh melebihi kaum wanita di bangsa manapun. Tidak ada sebuah roman pun yang bisa menggambarkan kekuatan dan keberanian kaum perempuan Indonesia.
Terakhir, siapa yang bilang di dalam rumah tangga, perempuan tidak punya nilai bahkan nilai ekonomis? Mengutip puisi Wiji Thukul yang sangat menarik:
Quote:
Ibu pernah mengusirku minggat dari rumah, tetapi menangis ketika aku susah
Ibu tak bisa memejamkan mata bila adikku tidak bisa tidur karena lapar
Ibu akan marah besar bila kami merebut jatah makan yang bukan hak kami
Ibuku memberi pelajaran keadilan dengan kasih sayang, ketabahan
Ibuku mengubah rasa sayur murah menjadi sedap
Ibu menangir ketika aku mendapat susah, ibu menangis ketika aku bahagia
Ibu menangis ketika adikku mencuri sepeda, Ibu menangis ketika adikku keluar penjara
Ibu adalah hati yang rela menerima, selalu disakiti oleh anak-anaknya, penuh maaf dan ampun
Kasih sayang ibu adalah kilau sinar kegaiban Tuhan, membangkitkan haru insan dengan kebajikan