riyan17011Avatar border
TS
riyan17011
SAKSI BISU WARUNG KELONTONG
“Muach”
“Nggg...” samar-samar kubuka katup mata yang masih kantuk. Kelambu putih terawang disingkap rapi. Jendela kayu di balik kawat berdenyit kepakkan sayapnya. Seberkah cahaya menyilaukan masuk bersama hembusan angin segar yang menggeletuk dingin. Sengaja kutarik selimut hingga menutup seluruh tubuhku. Beberapa saat kemudian, jemari lembut dan kuat itu menggelitik tubuhku dari balik selimut. Rasa geli membuatku terlompat dari pembaringan yang menyenyakkan.

Wanita separuh baya yang kupanggil Mama itu setiap hari tak letih membangunkanku dengan kecupan sayangnya. Terkadang aku risih karena merasa sudah dewasa, kadang juga aku sengaja tak membukakan mata dan mematung supaya ia terus menerus memnciumku bekali-kali. Lebih parah, biasanya begitu ia menciumku, secepat kilat aku mengelak dan balik mencubit pipinya hingga ia kesal sendiri. Kali ini aku sangat menikmati ciuman itu dengan penuh rindu. Mengeliat manja seperti anak kecil. Hingga sebesar ini, aku yang telah berstatus mahasiswa pun masih digendong Mama.

Jika aku tampak bermalas-malasan mengeliat di tempat tidur, Mama menarik lenganku dan merangkulkan aku di punggungnya. Bahkan ia juga siapkan handuk dan sikat gigi yang sudah berpasta. Sikapnya yang keibuan dan sedikit kekanak-kanakan menjadikan setiap pagi terasa renyah oleh canda tawa. Saat ia melihatku terkantuk-kantuk menggosok gigi, ia langsung mencipratkan air dingin ke wajahku. Aku yang terkaget-kaget menjadi bahan tawa kami sekeluarga. Apatah lagi Masku yang hampir sebaya malah membuat onar dengan perang air. Sedangkan Ayah yang pendiam hanya menggelengkan kepala.

“Anak gadis, mahasiswa pula. Tidur seperti kebok. Tidak sholat lagi. Memalukan.” ejek Mas Ozi sambil mencipratkan air dari kamar mandi. Aku yang menunggu di ambang pintu yang tertutup membalas mencipratkan air dari luar. Atap kamar mandi yang beruang menjadi medan perang. Mama tertawa. Sedangkan Ayah sedikit kesal, ia ternyata ikut antri karena sakit perut dan terkena cipratan air kami.

“Cepat!” teriak Ayah
“Mas mandi seperti pengantin kan, Yah?” balas ejekanku
“Dek, kenapa kamu tidak sholat Subuh?” Ayah bukannya menjawab pertanyaanku, justru balik bertanya.
“E....e...hehe. kan capek Yah, semalam kerja rodi. Jadi lembur.” Aku melirik Mama. Pasalnya semalam aku membantu Mama membuat lontong pesanan orang. Karena besok adalah bulan suci yang selalu ditunggu-tunggu umat muslim di seluruh dunia.
“Eh... masa Mama tidak dibantu sama anak gadis sendiri sih. Dak kasihan ya kamu?” Mama menyambung dari dapur.
“Mau, Ma. Tapi harusnya hari ini kita jangan jualan kan, jadi hanya buat sesuai pesan orang saja.”

“Kata orang-orang, mereka ingin makan lontong buatan Mama di hari terakhir ini. Besok udah puasa. Sekalian kan nambah rezeki.” terang Mama sembari mengangkut barang untuk jualan ke warung depan rumah. Sekarang, bisnis Mama berkembang. Dagangannya laris manis. Warung yang Ayah buat seperti garasi motor itu menjadi lahan rezeki keluarga kami. Ayah hanya pensiunan tentara dan sekarang berkebun adalah hobinya. Karena itu, Mama semakin giat bekerja. Selain berdagang, Mama menerima pesanan berbagai macam makanan restoran pada acara tertentu.

Hari ini cerah, secerah senyuman ramah Mama kepada pembeli. Besok ramadhan. Banyak pesanan lontong dari orang-orang. Tapi Mama tetap berjualan. Aku selalu membantu jika hari libur. Seperti hari ini, pelanggan ramai. Bahkan dari luar kota. Mama dengan semangat ’45, melayani seperti koki profesional.

“Bu, baksonya masih?”
“Mienya habis ni, Cuma pentolannya aja tersisa.”
“Oh... kalo gitu gado-gado aja deh, Bu. Padahal pengen makan bakso.”
“Oke.. tenang aja, saya kasi deh. Gado-gado campur pentolan bakso.”
“Terima kasih, Bu.”
“Iya, ini kan hari terakhir bisa makan enak. Hehe kapan lagi...”
canda Mama dengan senyuman tulus penuh ikhlas.
“Oh iya, Ibu-ibu... hendak Ramadhan nih.
Saya mohon maaf lahir batin jika selama ini banyak salah. Sengaja maupun tidak sengaja. Ini terakhir saya jualan. Jadi saya kasi bonus ya. He..” sambung Mama. Mama terkenal dengan keramahannya. Di tengah kesibukkan, ia tak lupa bersilahturahmi ke tetangga dekat maupun jauh. Orang menggelarnya sebagai Mak Ngah Supel. Jika suntuk, lelah bekerja, orang ramai mendatangi warung kami, hanya sekedar nongkrong sambil bercerita dengan Mama. Tak heran, kadang Mama jadi tempat curhat mereka, bahkan yang tidak Mama kenal sekalipun.
***

Pagi ini, pagi yang fitri. Indah di mana-mana. Orang-orang berbondong mendatangi rumah Allah. Seragam putih bersih. Ada juga yang bewarna-warni. Serba baru. Aroma baru. Seperti bayi-bayi yang baru lahir. Kumandang takbir membahana. Dunia merdeka. Semua hamba Allah larut dalam hati yang penuh simpuh. Semua makhluk-Nya bertasbih penuh serahkan diri. Semua berbahagia. Saling memaafkan. Mendatangi orang yang mereka sayang, bersama menjalankan sholat Idul Fitri.

Mama tak bisa pergi. Aku pergi dengan Ayah dan Mas Ozi. Berjalan kaki dalam diam. Sapaan saudara seiman, Ayah sahut penuh santun. Senyum Mas Ozi tegar menyejukkan. Aku hanya menunduk. Menatap kosong langkah demi langkah kaki ini hingga menjejaki selasar masjid megah di lingkungan kami. Pisah dari Ayah dan Mas menuju saff depan perempuan. Kanan kiri ibu-ibu. Memang terbiasa berada di saf ini karena Mama bersama rombongan temannya dulu seperti ini. Sekarang hanya sendiri dan aku hanyut dalam lantunan takbir. Allahuakbar... Allahuakbar... Allahuakbar... Laillahaillah...wallahuakbar...Allahuakbar...walillahilham.. Pejamkan mata dan mengalir begitu saja. Tak mampu menahannya dan tumpah air mata dalam tangkupan tangan ini.

Selesai shalat. Bertemu Ayah dan Mas yang sudah menunggu sedari tadi. Mereka tersenyum. Mata mereka merah. Aku tau mereka juga sama seperti yang kurasa. Aku berusaha senyum bahkan tertawa. Ingat pasal ketika ruku rakaat pertama tadi. Seorang nenek yang tak jauh dariku, buang angin bersuara nyaring. Anak kecil yang di sekelilingnya tertawa. Lalu nenek itu pergi. Mungkin jamaah yang lain tidak lagi khusyuk. Aku ceritakaan hal ini kepada Ayah dan Mas sembari berjalan kembali ke rumah. Mereka juga ikut tertawa.

“Haha... dasar. Ketahuan kamu tidak khusyuk juga.” ejek Mas.
“Gimana mau khusyuk, anak kecil aja tertawa bikin kaget orang.” Bela sendiri.
“Tapi kan kamu bukan anak kecil. Mahasiswa harusnya bisa khusyuk.” Jelas Mas sambil mengelus kepalaku.
“Udah...udah. Habis ini kita ke mana?” tanya Ayah. Kami semua tertunduk.
“Ya datangi Mama lah. Nanti Mama marah haa... kan serem... wuahahaha.” Canda Mas sambil praktikkan gaya hantu. Mencoba menghiburku.
“Di hari yang fitri gini mana ada orang seperti hantu, Mas.” Bela sendiri lagi.
“Oh iya ya... hahaha lihat wajah adek aja, orang udah pada takut... week emoticon-Stick Out Tongue” ejek mas lagi dan lagi.
“Maksudnya?....” geramku

Kutatap lekat warung itu. Hari pertama lebaran, tentu Mama belum jualan. Tapi terkadang ada juga orang yang mencari. Biasanya lebaran ke lima, Mama aktif kembali. Warung itu sekarang jadi garasi motor. Desain dalam masih seperti sebelumnya, berbentuk warung dengan meja dan kursi panjang serta lemari.

“Dek, yuk kita pergi! Mama pasti udah lama menunggu.” Ajak Mas dengan peci hitamnya serupa bersama Ayah. Kami pergi menuju bukit yang sering dikunjungi orang. Sekitar 30 anak tangga yang harus kami tempuh, mendaki bukit kecil di tengah kota kami. Padat. Berbondong-bondong sanak familli mendatangi tempat ini dengan membawa air bening dan bunga kamboja yang bercampur daun pandan. Kami juga membawanya saat ini. Juga beberapa minyak wangi kasturi putih yang biasa Mama pakai.

Sesampai di atas, mungkin ratusan orang. Mendatangi sanak yang ditinggalkannya. Kami juga mendatangi seseorang yang terhebat. Ia telah meninggalkan kami terlebih dahulu 10 hari yang lalu. Seseorang yang peduli, baik, ramah, tegar, kuat dan cantik. Kami datangi peristirahatannya. Masih gumbukkan tanah merah. Dan banyak kamboja dan daun pandan di sana. Agaknya sebelum kami tiba, sudah ada yang menjenguknya. Gemetaran tangan dan bibirku tak dapat ku sembunyikan. Air mata ini juga. Untuk kesekian kalinya tumpah tanpa aba-aba dariku. Kugenggam tanah merah itu. Kuusap kayu yang tertancap di sana. Tertoreh sebuah nama yang sangat lekat dalam hidupku. Telah wafat Suliani binti Pardi....... itu nama orang yang sangat aku cintai. Mama. Ia Mamaku.
***
10 hari yang lalu, ketika aku masih berada di kota besar untuk menuntut ilmu, pada bulan puasa. Aku mendapatkan telepon dari Ayah, bahwa Mama jatuh pingsan. Tak ada seorang pun yang tau apa yang terjadi pada Mama. Selama ini Mama sehat dan kuat. Bahkan sebelum pingsan, Mama silahturahmi ke tetangga dengan penuh canda tawa. Kata orang, Mama belakangan memang bersikap aneh. Memohon maaf kepada semua orang dan pamitan. Mama kemudian dirujuk ke rumah sakit besar yang ada di kota. Saat itu aku telah menunggunya di sana. Tapi mobil ambulan yang membawa Mama tak pernah sampai. Mas Ozi pun menelepon.

“Assalamualaikum, Dek. Kamu di mana?” tanya Mas dengan nada berat.
“Wa’alaikumsalam. Di masjid, Mas. Berdoa untuk Mama. Mana Mama? Sudah sampai ya?”
“Dek, Mas tunggu di Terminal bersama Ayah. Kamu nyusul ke sini ya. Kita pulang.”
“Lho kenapa? Mama sudah sembuh?”

“Mama udah tenang. Mama kita... me...meninggal, Dek.” Terang Mas Ozi dengan isak tangisnya. Ketika itu, dunia serasa runtuh bagiku. Gemetaran sekujur tubuh. Panik. Air mata ini menaglir deras. Dadaku sesak. Berat. Lemas. Mamaku pergi. Kini warung lontong Mama menjadi saksi bisu kisah yang ada di sana. Semua kisah. Hari itu, benar-benar menjadi hari terakhir mama jualan.

(mengenang setahun kepergian Mama. Aku mencintaimu.)

anasabila
sydney89
kulipriok
kulipriok dan 2 lainnya memberi reputasi
3
1.9K
7
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan