- Beranda
- Komunitas
- Entertainment
- The Lounge
Pembantaian Belanda Di Pedalaman Aceh Tahun 1904


TS
linoleum123
Pembantaian Belanda Di Pedalaman Aceh Tahun 1904

Tanggal 8 Februari 1904, Belanda memulai ekspedisi militernya ke Gayo dan Alas di Aceh. Lalu terjadilah genosida dan menjadi fase terakhir dari rangkaian panjang Perang Aceh pada Belanda.
Quote:

Istri Teuku Umar, Cut Nyak Dhien (duduk ditengah) berada di pengasingan setelah ditangkap oleh pejabat Hindia Belanda.
Kesultanan Aceh menyerah pada Januari 1904, tapi perlawanan rakyat Aceh dengan perang gerilya terus berlanjut dipimpin oleh Cut Nyak Dien yang sebelumnya dipimpin oleh Teuku Umar, suaminya.
Hari itu, 8 Februari 1904, Belanda memulai operasi militer ini untuk mengakhiri Perang Aceh-Belanda.
Misi ini sekaligus untuk menangkap Cut Nyak Dien yang masih melakukan perlawanan dengan cara bergerilya.
Yohannes Benedictus van Heutsz selaku Gubernur Jenderal Hindia Belanda kala itu memang sangat berambisi menguasai seluruh wilayah Aceh.
Quote:
Misi Penaklukan Total di Aceh Tahun 1904

Tampak sebuah patroli militer Belanda yang ditugaskan untuk Perang Aceh sedang istirahat ditengah hutan (pict: H.M. Neeb)
Dari Banda Aceh, rombongan pimpinan van Daalen bertolak ke Lhokseumawe yang merupakan tujuan akhir pelayaran mereka. Berikutnya, perjalanan dilanjutkan dengan menumpang trem menuju Bireuen yang ditempuh dalam tempo sekitar 4 jam.
Dari Bireuen, ratusan orang itu harus berjalan kaki. Jalur satu-satunya untuk mencapai Gayo memang hanya jalan darat dengan medan pegunungan yang sulit di pedalaman Aceh itu. Long march menuju Gayo pun dijalani dengan memakan waktu hingga 163 hari (Ibrahim Alfian, Wajah Aceh dalam Lintasan Sejarah, 1999:229).
Setelah melalui berbagai rintangan, mulai dari kondisi medan yang sulit, kian menipisnya cadangan logistik, hingga serangan-serangan mendadak yang dilancarkan oleh kaum gerilyawan, rombongan van Daalen akhirnya sampai juga di tanah Gayo. Misi penaklukan total pun dimulai.
Sesaat setelah tiba, van Daalen langsung mengirimkan surat kepada raja-raja Gayo agar mereka segera menghadap. Van Daalen menghendaki para pemimpin rakyat itu menandatangani “perjanjian takluk” seperti yang telah dilakukan oleh banyak pemimpin rakyat di wilayah Aceh lainnya (Dien Madjid, Catatan Pinggir Sejarah Aceh, 2014:280).

Van Heutsz sedang memperhatikan pasukannya dalam penyerangan ke Batee Iliek pada Perang Aceh. (pict: Troppen Museum)
Respons para pemimpin Gayo ternyata di luar dugaan. Tidak ada satu pun dari mereka yang memenuhi undangan itu. Van Daalen yang murka kemudian menggerakkan pasukan untuk menyisir satu demi satu perkampungan di wilayah tersebut.
Pasukan Belanda menyisir semua daerah itu agar raja-raja dan pemuka masyarakat dipaksa datang. Jika mereka tetap tetap enggan untuk datang, maka moncong senjata yang akan berbicara, alias diancam untk ditembak.

Tampak sebuah patroli militer Belanda yang ditugaskan untuk Perang Aceh sedang istirahat ditengah hutan (pict: H.M. Neeb)
Dari Banda Aceh, rombongan pimpinan van Daalen bertolak ke Lhokseumawe yang merupakan tujuan akhir pelayaran mereka. Berikutnya, perjalanan dilanjutkan dengan menumpang trem menuju Bireuen yang ditempuh dalam tempo sekitar 4 jam.
Dari Bireuen, ratusan orang itu harus berjalan kaki. Jalur satu-satunya untuk mencapai Gayo memang hanya jalan darat dengan medan pegunungan yang sulit di pedalaman Aceh itu. Long march menuju Gayo pun dijalani dengan memakan waktu hingga 163 hari (Ibrahim Alfian, Wajah Aceh dalam Lintasan Sejarah, 1999:229).
Setelah melalui berbagai rintangan, mulai dari kondisi medan yang sulit, kian menipisnya cadangan logistik, hingga serangan-serangan mendadak yang dilancarkan oleh kaum gerilyawan, rombongan van Daalen akhirnya sampai juga di tanah Gayo. Misi penaklukan total pun dimulai.
Sesaat setelah tiba, van Daalen langsung mengirimkan surat kepada raja-raja Gayo agar mereka segera menghadap. Van Daalen menghendaki para pemimpin rakyat itu menandatangani “perjanjian takluk” seperti yang telah dilakukan oleh banyak pemimpin rakyat di wilayah Aceh lainnya (Dien Madjid, Catatan Pinggir Sejarah Aceh, 2014:280).

Van Heutsz sedang memperhatikan pasukannya dalam penyerangan ke Batee Iliek pada Perang Aceh. (pict: Troppen Museum)
Respons para pemimpin Gayo ternyata di luar dugaan. Tidak ada satu pun dari mereka yang memenuhi undangan itu. Van Daalen yang murka kemudian menggerakkan pasukan untuk menyisir satu demi satu perkampungan di wilayah tersebut.
Pasukan Belanda menyisir semua daerah itu agar raja-raja dan pemuka masyarakat dipaksa datang. Jika mereka tetap tetap enggan untuk datang, maka moncong senjata yang akan berbicara, alias diancam untk ditembak.
Quote:
Aksi Pembantaian Massal

Pembantaian rakyat Aceh oleh Belanda di desa terpencil di Kuto Reh, Aceh, pada tahun 1904.
Orang-orang Gayo punya ciri khas dalam berperang atau mempertahankan diri. Rakyat Gayo bersikukuh, tidak sudi takluk dan memilih terus melawan. Semua penghuni desa tanpa kecuali berkumpul di benteng-benteng dari bambu dan semak berduri untuk menahan gempuran musuh.
Sebagian besar dari mereka memakai pakaian serba putih untuk menandakan bahwa inilah Perang Suci (The Holy War). Meskipun dengan senjata seadanya ditambah munajat kepada Sang Pencipta, rakyat Gayo melawan dengan sangat berani dan gagah perkasa sampai titik darah penghabisan.
Mereka berpikir, kapan lagi mendapat kesempatan terbaik ini, lebih baik mati di jalan Allah dan menjadi syuhada, ketimbang menjadi tawanan. Van Daalen sendiri tidak menerapkan taktik khusus, ia hanya memerintahkan agar seluruh musuh dibasmi tanpa ampun.
Dalam suatu penaklukan di salah satu desa di Gayo, ratusan warga dibantai, korban tewas terdiri dari 313 pria, 189 wanita, dan 59 anak-anak. Itu baru korban di satu desa, belum di desa-desa Gayo lainnya(Deli Courant -1940).

Pembantaian rakyat Aceh oleh Belanda di desa terpencil di Aceh pada tahun 1904.
Tak hanya di Gayo, aksi genosida ala Belanda terus berlanjut ke wilayah Suku Alas di Aceh Tenggara. Salah satu insiden paling keji terjadi pada 14 Juni 1904 di Kuto Reh. Menurut Asnawi Ali, mantan tokoh Gerakan Aceh Merdeka (GAM), ada 2.922 orang tewas dalam tragedi itu, yakni 1.773 laki-laki dan 1.149 perempuan, termasuk anak-anak dan orang tua.
Fakta yang lebih mengejutkan sebelumnya justru telah diungkap oleh ajudan van Daalen, J.C.J. Kempees. Dalam laporan berjudul “De tocht van Overste van Daalen door de Gajo, Alas-en Bataklanden” (1904), Kempees menyebut bahwa ekspedisi militer Belanda di pedalaman Aceh itu setidaknya memakan korban nyawa hingga 4.000 orang.
Masih dalam laporannya itu, Kempees juga menyertakan foto-foto yang menjadi bukti bahwa telah terjadi pembantaian besar-besaran terhadap orang-orang dari Suku Gayo maupun Alas.
Setiap kali usai penyerbuan, van Daalen memang memerintahkan ajudannya untuk memotret tumpukan-tumpukan mayat dengan para Marsose yang berpose di sekitarnya (Dien Madjid, 2014: 282).

Ekspedisi militer Belanda ke pedalaman Aceh tak berhenti hanya disitu, ekspedisi mereka berlanjut hingga ke Tanah Karo di Sumatera Utara. Hal itu boleh dibilang menjadi babak akhir dari Perang Aceh.
Dalam rangkaian aksi tersebut, Cut Nyak Dhien istri Teuku Cik Ditiro, yang melanjutkan perlawanan gerilya suaminya terhadap Belanda akhirnya tertangkap dan kemudian diasingkan ke Sumedang Jawa Barat, hingga wafat di Sumedang pada 6 November 1908.

Pembantaian rakyat Aceh oleh Belanda di desa terpencil di Kuto Reh, Aceh, pada tahun 1904.
Orang-orang Gayo punya ciri khas dalam berperang atau mempertahankan diri. Rakyat Gayo bersikukuh, tidak sudi takluk dan memilih terus melawan. Semua penghuni desa tanpa kecuali berkumpul di benteng-benteng dari bambu dan semak berduri untuk menahan gempuran musuh.
Sebagian besar dari mereka memakai pakaian serba putih untuk menandakan bahwa inilah Perang Suci (The Holy War). Meskipun dengan senjata seadanya ditambah munajat kepada Sang Pencipta, rakyat Gayo melawan dengan sangat berani dan gagah perkasa sampai titik darah penghabisan.
Mereka berpikir, kapan lagi mendapat kesempatan terbaik ini, lebih baik mati di jalan Allah dan menjadi syuhada, ketimbang menjadi tawanan. Van Daalen sendiri tidak menerapkan taktik khusus, ia hanya memerintahkan agar seluruh musuh dibasmi tanpa ampun.
Dalam suatu penaklukan di salah satu desa di Gayo, ratusan warga dibantai, korban tewas terdiri dari 313 pria, 189 wanita, dan 59 anak-anak. Itu baru korban di satu desa, belum di desa-desa Gayo lainnya(Deli Courant -1940).

Pembantaian rakyat Aceh oleh Belanda di desa terpencil di Aceh pada tahun 1904.
Tak hanya di Gayo, aksi genosida ala Belanda terus berlanjut ke wilayah Suku Alas di Aceh Tenggara. Salah satu insiden paling keji terjadi pada 14 Juni 1904 di Kuto Reh. Menurut Asnawi Ali, mantan tokoh Gerakan Aceh Merdeka (GAM), ada 2.922 orang tewas dalam tragedi itu, yakni 1.773 laki-laki dan 1.149 perempuan, termasuk anak-anak dan orang tua.
Fakta yang lebih mengejutkan sebelumnya justru telah diungkap oleh ajudan van Daalen, J.C.J. Kempees. Dalam laporan berjudul “De tocht van Overste van Daalen door de Gajo, Alas-en Bataklanden” (1904), Kempees menyebut bahwa ekspedisi militer Belanda di pedalaman Aceh itu setidaknya memakan korban nyawa hingga 4.000 orang.
Masih dalam laporannya itu, Kempees juga menyertakan foto-foto yang menjadi bukti bahwa telah terjadi pembantaian besar-besaran terhadap orang-orang dari Suku Gayo maupun Alas.
Setiap kali usai penyerbuan, van Daalen memang memerintahkan ajudannya untuk memotret tumpukan-tumpukan mayat dengan para Marsose yang berpose di sekitarnya (Dien Madjid, 2014: 282).

Ekspedisi militer Belanda ke pedalaman Aceh tak berhenti hanya disitu, ekspedisi mereka berlanjut hingga ke Tanah Karo di Sumatera Utara. Hal itu boleh dibilang menjadi babak akhir dari Perang Aceh.
Dalam rangkaian aksi tersebut, Cut Nyak Dhien istri Teuku Cik Ditiro, yang melanjutkan perlawanan gerilya suaminya terhadap Belanda akhirnya tertangkap dan kemudian diasingkan ke Sumedang Jawa Barat, hingga wafat di Sumedang pada 6 November 1908.
Quote:

Pejuang Aceh berfoto, diambil sekitar tahun 1910-an.

Meskipun wanita pejuang Cut Nyak Dien dari Tanah Rencong, sebagai pimpinan rakyat semesta Aceh terakhir telah ditangkap, tetapi para pejuang dan rakyat Aceh di kala itu tak tinggal diam.
Mereka terus melakukan perlawanan terhadap Belanda kendati dalam skala yang lebih kecil. Perlawanan seporadis rakyat Aceh itu berlangsung terus dan terus, bahkan hingga Belanda menyerah kepada Jepang pada tahun 1942.

Dihukum kerja paksa. Anak-anak dan orang dewasa dari Jawa dirantai dan dikerahkan oleh Belanda dalam Perang Aceh (1873 – 1904).
Berbeda dengan kasus Westerling dan sejumlah luka sejarah lainnya, hingga saat ini pihak Belanda belum pernah meminta maaf secara resmi terkait pembantaian yang terjadi di pedalaman Serambi Mekkah yang berlangsung selama 3 bulan di tahun 1904 tersebut.
Data-data korban diatas juga baru berasal dari laporan beberapa saksi mata, hanya perkiraan dan tanpa penghitungan yang sangat akurat. Itu pun laporan dan catatan dari beberapa desa saja. Jadi sangat mungkin, bahwa korban-korban pembantaian dalam peristiwa genosida ini jumlahnya jauh lebih besar dari perkiraan.


Spoiler for selengkapnya:
Diubah oleh linoleum123 17-01-2018 09:37
0
27.9K
Kutip
129
Balasan


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan