- Beranda
- Komunitas
- News
- Berita dan Politik
Tidak Gubris Surat Anies, Menteri Sofyan Berpolitik Pura-pura
TS
gw.mukidi
Tidak Gubris Surat Anies, Menteri Sofyan Berpolitik Pura-pura
Quote:
Menteri Agraria dan Tata Ruang/BPN Sofyan Jalil disebut kurang memahami persoalan atas penerbitan Hak Guna Bangunan (HGB) di atas tanah Hak Pengelolaan Lahan (HPL).
Terkait belum disikapinya surat Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan mengenai permohonan pembatalan sertifikat Pulau D hasil reklamasi Teluk Jakarta.
"Pak menteri kurang paham etika pemerintahan atau kalap dengan menjawab surat resmi dari sebuah instansi pemerintah dengan cara konferensi pers," ujar Ketua Umum Forum Anti Korupsi dan Advokasi Pertanahan (FAKTA) Anhar Nasution kepada wartawan di Jakarta, Minggu (14/1).
Menyimak pengakuan Anies saat pelantikan Dewan Mesjid Indonesia pada Jumat kemarin (12/1) bahwa Menteri Sofyan menyarankan kepadanya agar mengajukan surat permohonan pembatalan sertifikat Pulau D. Atas saran dan arahan itu kemudian Anies melayangkan surat permohonan pembatalan. Bahkan saat surat tersebut sampai ke meja Menteri Sofyan mereka pun masih sempat saling berkabar.
"Jika kita menyimak dengan cermat kasus ini maka akan terlihat jelas ada dugaan kuat jika beliau (Menteri Sofyan) paham etika tersebut namun sengaja melakukan konferensi pers. Hal ini akan berdampak politis dan kegaduhan yang sasarannya adalah presiden yang dikesankan tidak mampu mengatur manajemen pemerintahan. Jika alasan ini benar adanya maka perlu ditindaklanjuti," papar Anhar.
Menurut Anhar yang pernah memimpinan Panja Pertanahan Komisi II DPR periode 2004-2009, penerbitan sertifikat HGB di atas HPL tidak salah dan sah secara hukum. Bahkan, negara memberi kewenangan kepada instansi pemerintah yang memegang HPL untuk memanfaatkannya, termasuk melakukan kerja sama dengan pihak ke tiga.
"Tapi yang perlu diperhatikan untuk terbitnya HGB perlu ada perjanjian antara pemegang HPL, dalam hal ini Pemda DKI dengan penerima HGB. Dalam perjanjian tersebut diatur antara lain hak dan kewajiban pemegang HGB diantaranya RUTR yang mengatur fasos, fasum dan amdal tentunya," jelasnya.
Selanjutnya diterbitkan peraturan daerah sebagai payung hukum dalam pelaksanaan pembangunan di atas HGB tersebut.
"Kita sama-sama mengetahui bahwa untuk lahirnya perda yang mengatur pemanfaatan pulau reklamasi itu telah jatuh korban mantan anggota DPRD DKI dan pihak pengembang dan telah divonis penjara. Itu artinya perda atas pulau reklamasi tersebut belum terbit, kalaupun ada pastilah cacat hukum. Lebih anehnya, saat ini sudah terbit sertifikat HGB yang luasnya sama dengan luas HPL seluas 31,2 hektare, bagaimana bisa diterima akal sehat," beber Anhar.
Jika dicerna secara logika, maka penerbitan HGB di atas HPL tersebut salah dan melawan hukum yakni Peraturan Menteri Dalam Negeri 1/1977 junto Permen Agraria/Kepala BPN 9/1999 tentang Tata Cara Pemberian dan Pembatalan Hak atas Tanah Negara dan Hak Pengelolaan.
"Bisa dipastikan seorang pejabat pemerintah yang telah melakukan pelanggaran Hukum yang mengarah kepada penyalahgunaan jabatan berindikasi kuat memperkaya orang lain. Sanksi hukum pidananya sangat berat," tegas Anha
http://politik.rmol.co/read/2018/01/...tik-Pura-pura-
Terkait belum disikapinya surat Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan mengenai permohonan pembatalan sertifikat Pulau D hasil reklamasi Teluk Jakarta.
"Pak menteri kurang paham etika pemerintahan atau kalap dengan menjawab surat resmi dari sebuah instansi pemerintah dengan cara konferensi pers," ujar Ketua Umum Forum Anti Korupsi dan Advokasi Pertanahan (FAKTA) Anhar Nasution kepada wartawan di Jakarta, Minggu (14/1).
Menyimak pengakuan Anies saat pelantikan Dewan Mesjid Indonesia pada Jumat kemarin (12/1) bahwa Menteri Sofyan menyarankan kepadanya agar mengajukan surat permohonan pembatalan sertifikat Pulau D. Atas saran dan arahan itu kemudian Anies melayangkan surat permohonan pembatalan. Bahkan saat surat tersebut sampai ke meja Menteri Sofyan mereka pun masih sempat saling berkabar.
"Jika kita menyimak dengan cermat kasus ini maka akan terlihat jelas ada dugaan kuat jika beliau (Menteri Sofyan) paham etika tersebut namun sengaja melakukan konferensi pers. Hal ini akan berdampak politis dan kegaduhan yang sasarannya adalah presiden yang dikesankan tidak mampu mengatur manajemen pemerintahan. Jika alasan ini benar adanya maka perlu ditindaklanjuti," papar Anhar.
Menurut Anhar yang pernah memimpinan Panja Pertanahan Komisi II DPR periode 2004-2009, penerbitan sertifikat HGB di atas HPL tidak salah dan sah secara hukum. Bahkan, negara memberi kewenangan kepada instansi pemerintah yang memegang HPL untuk memanfaatkannya, termasuk melakukan kerja sama dengan pihak ke tiga.
"Tapi yang perlu diperhatikan untuk terbitnya HGB perlu ada perjanjian antara pemegang HPL, dalam hal ini Pemda DKI dengan penerima HGB. Dalam perjanjian tersebut diatur antara lain hak dan kewajiban pemegang HGB diantaranya RUTR yang mengatur fasos, fasum dan amdal tentunya," jelasnya.
Selanjutnya diterbitkan peraturan daerah sebagai payung hukum dalam pelaksanaan pembangunan di atas HGB tersebut.
"Kita sama-sama mengetahui bahwa untuk lahirnya perda yang mengatur pemanfaatan pulau reklamasi itu telah jatuh korban mantan anggota DPRD DKI dan pihak pengembang dan telah divonis penjara. Itu artinya perda atas pulau reklamasi tersebut belum terbit, kalaupun ada pastilah cacat hukum. Lebih anehnya, saat ini sudah terbit sertifikat HGB yang luasnya sama dengan luas HPL seluas 31,2 hektare, bagaimana bisa diterima akal sehat," beber Anhar.
Jika dicerna secara logika, maka penerbitan HGB di atas HPL tersebut salah dan melawan hukum yakni Peraturan Menteri Dalam Negeri 1/1977 junto Permen Agraria/Kepala BPN 9/1999 tentang Tata Cara Pemberian dan Pembatalan Hak atas Tanah Negara dan Hak Pengelolaan.
"Bisa dipastikan seorang pejabat pemerintah yang telah melakukan pelanggaran Hukum yang mengarah kepada penyalahgunaan jabatan berindikasi kuat memperkaya orang lain. Sanksi hukum pidananya sangat berat," tegas Anha
http://politik.rmol.co/read/2018/01/...tik-Pura-pura-
Quote:
Pakar: Pembatalan HGB Pulau Reklamasi Akan Beri Kepastian Hukum
Polemik mengenai bisa tidaknya Hak Guna Bangunan di pulau reklamasi belum menemui titik terang. Pakar hukum tata negara Irmanputra Sidin menilai pembatalan HGB akan memberikan kepastian hukum, bukan sebaliknya.
"BPN sesungguhnya berwenang untuk membatalkan HGB yang diterbitkannya. Apabila "ditelantarkan" seperti ini, justru akan menimbulkan ketidakpastian hukum bagi semua pihak, bukan hanya pengembang, tapi juga masyarakat. Seharusnya BPN menangkap "sinyal" itikad baik dari Pemprov DKI Jakarta untuk menjamin kepastian hukum," kata Irman dalam keterangan tertulisnya kepada wartawan, Minggu (14/1/2018).
Berikut penjelasan lengkap Irman:
HGB Reklamasi Bisa Dibatalkan"
Pemprov DKI Jakarta meminta Badan Pertanahan Nasional (BPN) untuk mencabut Hak Guna Bangunan di tiga pulau reklamasi (Pulau C,D, dan G). Alasan Pemprov DKI sehubungan dengan penarikan dua rancangan perda tentang reklamasi (Rancangan Perda Tentang Tata Ruang Kawasan Startegis Pantai Utara Jakarta Dan Rancangan Perda Tentang Rencana Zonasi Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil), namun BPN menolak dengan alasan yang pada pokoknya penerbitan HGB sudah sesuai prosedur dan apabila HGB ditarik maka akan menimbulkan ketidakpastian hukum bagi pengembang. BPN menyarankan untuk menggugat ke Peradilan Tata Usaha Negara apabila Pemprov DKI Jakarta keberatan atas penolakan tersebut.
Penerbitan HGB
Peraturan Menteri Negara Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 9 Tahun 1999 Tentang Tata Cara Pemberian Dan Pembatalan Hak Atas Tanah Negara Dan Hak Pengelolaan (Peraturan BPN No.9 Tahun 1999):
Syarat-Syarat Permohonan Hak Guna Bangunan:
Pasal 32
(1) ...
Pasal 33
(1) ...
(2) Permohonan Hak Guna Bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), memuat:
1. Keterangan mengenai pemohon:
a. ...
b. ...
c. ...
d. Rencana penggunaan tanah, dst...
Dalam konteks ini, HGB yang diterbitkan berada pada wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil c.q. pulau reklamasi, sehingga pemanfaatannya pun harus tunduk pada UU No.27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil sebagaimana telah di ubah dengan UU No.1 Tahun 2014. Arahan pemanfaatan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil tersebut dituangkan dalam bentuk peraturan daerah tentang Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP-3-K) (vide, Pasal 9 ayat (1) dan ayat (5) UU No.27 Tahun 2007). Jadi, peruntukkan HGB tersebut harus merujuk kepada RZWP-3-K. Persoalannya saat ini, RZWP-3-K belum disahkan dan masih dikaji oleh Pemprov, lalu bagaimana cara menentukan rencana penggunaan tanah dalam permohonan penerbitan HGB sementara RZWP-3-K belum disahkan? Artinya penerbitan HGB terdapat masalah administratif c.q. prosedur (vide, Pasal 107 Peraturan BPN No.9 Tahun 1999). Ini yang menjadi dasar yuridis HGB bisa dibatalkan dibatalkan.
Pasal 64 UU No.30 Tahun 2014 tentang Adminitrasi Pemerintahan:
(1) Keputusan hanya dapat dilakukan pencabutan apabila terdapat cacat:
a. wewenang;
b. prosedur; dan/atau
c. substansi.
(2) Dalam hal Keputusan dicabut, harus diterbitkan Keputusan baru dengan mencantumkan dasar hukum pencabutan dan memperhatikan AUPB.
(3) Keputusan pencabutan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dilakukan:
a. oleh Pejabat Pemerintahan yang menetapkan Keputusan;
b. oleh Atasan Pejabat yang menetapkan Keputusan; atau
c. atas perintah Pengadilan.
Peraturan BPN No.9 Tahun 1999:
Pasal 105 ayat (1): Pembatalan hak atas tanah dilakukan dengan keputusan Menteri.
Pasal 106:
(1) Keputusan pembatalan hak atas tanah karena cacad hukum administratif dalam penerbitannya, dapat dilakukan karena permohonan yang berkepentingan atau oleh Pejabat yang berwenang tanpa permohonan.
(2) Permohonan pembatalan hak dapat diajukan atau langsung kepada Menteri atau Pejabat yang ditunjuk atau melalui Kepala Kantor Pertanahan.
Berdasarkan ketentuan tersebut di atas, BPN sesungguhnya berwenang untuk membatalkan HGB yang diterbitkannya. Apabila "ditelantarkan" seperti ini, justru akan menimbulkan ketidakpastian hukum bagi semua pihak, bukan hanya pengembang, tapi juga masyarakat. Seharusnya BPN menangkap "sinyal" itikad baik dari Pemprov DKI Jakarta untuk menjamin kepastian hukum.
https://news.detik.com/berita/381425...epastian-hukum
Polemik mengenai bisa tidaknya Hak Guna Bangunan di pulau reklamasi belum menemui titik terang. Pakar hukum tata negara Irmanputra Sidin menilai pembatalan HGB akan memberikan kepastian hukum, bukan sebaliknya.
"BPN sesungguhnya berwenang untuk membatalkan HGB yang diterbitkannya. Apabila "ditelantarkan" seperti ini, justru akan menimbulkan ketidakpastian hukum bagi semua pihak, bukan hanya pengembang, tapi juga masyarakat. Seharusnya BPN menangkap "sinyal" itikad baik dari Pemprov DKI Jakarta untuk menjamin kepastian hukum," kata Irman dalam keterangan tertulisnya kepada wartawan, Minggu (14/1/2018).
Berikut penjelasan lengkap Irman:
HGB Reklamasi Bisa Dibatalkan"
Pemprov DKI Jakarta meminta Badan Pertanahan Nasional (BPN) untuk mencabut Hak Guna Bangunan di tiga pulau reklamasi (Pulau C,D, dan G). Alasan Pemprov DKI sehubungan dengan penarikan dua rancangan perda tentang reklamasi (Rancangan Perda Tentang Tata Ruang Kawasan Startegis Pantai Utara Jakarta Dan Rancangan Perda Tentang Rencana Zonasi Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil), namun BPN menolak dengan alasan yang pada pokoknya penerbitan HGB sudah sesuai prosedur dan apabila HGB ditarik maka akan menimbulkan ketidakpastian hukum bagi pengembang. BPN menyarankan untuk menggugat ke Peradilan Tata Usaha Negara apabila Pemprov DKI Jakarta keberatan atas penolakan tersebut.
Penerbitan HGB
Peraturan Menteri Negara Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 9 Tahun 1999 Tentang Tata Cara Pemberian Dan Pembatalan Hak Atas Tanah Negara Dan Hak Pengelolaan (Peraturan BPN No.9 Tahun 1999):
Syarat-Syarat Permohonan Hak Guna Bangunan:
Pasal 32
(1) ...
Pasal 33
(1) ...
(2) Permohonan Hak Guna Bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), memuat:
1. Keterangan mengenai pemohon:
a. ...
b. ...
c. ...
d. Rencana penggunaan tanah, dst...
Dalam konteks ini, HGB yang diterbitkan berada pada wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil c.q. pulau reklamasi, sehingga pemanfaatannya pun harus tunduk pada UU No.27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil sebagaimana telah di ubah dengan UU No.1 Tahun 2014. Arahan pemanfaatan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil tersebut dituangkan dalam bentuk peraturan daerah tentang Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP-3-K) (vide, Pasal 9 ayat (1) dan ayat (5) UU No.27 Tahun 2007). Jadi, peruntukkan HGB tersebut harus merujuk kepada RZWP-3-K. Persoalannya saat ini, RZWP-3-K belum disahkan dan masih dikaji oleh Pemprov, lalu bagaimana cara menentukan rencana penggunaan tanah dalam permohonan penerbitan HGB sementara RZWP-3-K belum disahkan? Artinya penerbitan HGB terdapat masalah administratif c.q. prosedur (vide, Pasal 107 Peraturan BPN No.9 Tahun 1999). Ini yang menjadi dasar yuridis HGB bisa dibatalkan dibatalkan.
Pasal 64 UU No.30 Tahun 2014 tentang Adminitrasi Pemerintahan:
(1) Keputusan hanya dapat dilakukan pencabutan apabila terdapat cacat:
a. wewenang;
b. prosedur; dan/atau
c. substansi.
(2) Dalam hal Keputusan dicabut, harus diterbitkan Keputusan baru dengan mencantumkan dasar hukum pencabutan dan memperhatikan AUPB.
(3) Keputusan pencabutan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dilakukan:
a. oleh Pejabat Pemerintahan yang menetapkan Keputusan;
b. oleh Atasan Pejabat yang menetapkan Keputusan; atau
c. atas perintah Pengadilan.
Peraturan BPN No.9 Tahun 1999:
Pasal 105 ayat (1): Pembatalan hak atas tanah dilakukan dengan keputusan Menteri.
Pasal 106:
(1) Keputusan pembatalan hak atas tanah karena cacad hukum administratif dalam penerbitannya, dapat dilakukan karena permohonan yang berkepentingan atau oleh Pejabat yang berwenang tanpa permohonan.
(2) Permohonan pembatalan hak dapat diajukan atau langsung kepada Menteri atau Pejabat yang ditunjuk atau melalui Kepala Kantor Pertanahan.
Berdasarkan ketentuan tersebut di atas, BPN sesungguhnya berwenang untuk membatalkan HGB yang diterbitkannya. Apabila "ditelantarkan" seperti ini, justru akan menimbulkan ketidakpastian hukum bagi semua pihak, bukan hanya pengembang, tapi juga masyarakat. Seharusnya BPN menangkap "sinyal" itikad baik dari Pemprov DKI Jakarta untuk menjamin kepastian hukum.
https://news.detik.com/berita/381425...epastian-hukum
melegalkan barang busuk
jadi dilematis bagi BPN, membatalkan berarti mengakui keteledoran dan perbedaan perlakuan, yg akan menurunkan marwah lembaganya dan presiden yg memberikan.
0
2.8K
Kutip
38
Balasan
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan