Kaskus

Entertainment

dewaagniAvatar border
TS
dewaagni
Hamid Fahmy Zarkasyi: “Tuntutan Aliran Kepercayaan Memicu Chaos”
Hamid Fahmy Zarkasyi: “Tuntutan Aliran Kepercayaan Memicu Chaos”

Cyber SabHamid Fahmy Zarkasyi: “Tuntutan Aliran Kepercayaan Memicu Chaos”

ili-Jakarta. “Dikasih Hati Minta Ampela.” Itulah sikap aliran kepercayaan di Indonesia yang jumlahnya lebih dari 150 paguyuban. Pasalnya, payung hukum berbentuk Peraturan Bersama Mendagri dan Menbudpar No 43–41 Tahun 2009 tentang Pedoman Pelayanan Kepada Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa, ditambah Peraturan Mendagri No 12 Tahun 2010 tentang Pedoman Pencatatan Perkimpoian Di Negara Lain, masih dianggap kurang.

Padahal, kedua peraturan yang menjabarkan UU No 23 Tahun 2007 tentang Administrasi Kepedudukan ini, sudah mengakomodasi penganut aliran kepercayaan. Mulai dari legalitas lembaga, dibolehkannya mencantumkan identitas sebagai penganut kepercayaan di KTP, disahkannya tata cara perkimpoian oleh Catatan Sipil, pelaksanaan ibadah, hingga penguburan yang mereka yakini. Tapi mereka tetap menuntut diakui sebagai agama tersendiri.

Kenapa mereka menuntut yang bukan haknya? Bukankah aliran kepercayaan hanyalah produk budaya bukan agama? Adakah komprador yang mengasong mereka? Jika ada, apa tujuan dan targetnya? Lantas, apa sikap umat Islam? Untuk menemukan jawabannya, Wartawan Sabili Dwi Hardianto mewawancarai Dr Hamid Fahmi Zarkasi, Direktur INSISTS yang juga Wakil Rektor Institut Studi Islam Darussalam (ISID) Gontor Ponorogo di Grand Alia Hotel, Jakarta, Kamis (27/1/2011). Berikut petikannya:

Apa yang melatari tuntutan bahwa aliran kepercayaan harus diakui sebagai agama?

Masalah ini harus dilihat dalam konteks isu kebebasan yang sedang dikembangkan Barat. Termasuk di dalam isu kebebasan adalah kebebasan memeluk agama apa pun, termasuk kebebasan untuk tidak beragama. Ide seperti ini ingin mereka terapkan di negara-negara Islam, termasuk Indonesia. Kita harus hati-hati, karena ide ini akan melemahkan agama-agama, bukan hanya Islam tapi juga agama lain. Jika diterapkan, setidaknya akan menimbulkan dua akibat.

Pertama, menyuburkan sikap apatis atau sikap fobia pada agama. Kedua, menyuburkan gerakan sempalan yaitu menyempal dari agama dan mendirikan agama baru. Efek selanjutnya, akan menyebabkan chaos dan kekacauan sosial di masyarakat. Sebab agama bukan lagi institusi yang berwibawa dan dihormati tapi sudah dipermainkan. Aliran sesat saja sudah membikin agama repot, apalagi ditambah aliran-aliran baru. Chaos inilah yang dikhawatirkan umat beragama. Ini bukan masalah kebebasan, tapi kebebasan yang menganggu ketentraman masyarakat. Ini yang menjadi masalah.

Kalangan liberal menyebutnya sebagai aliran (agama)lokal Indonesia?

Bahasa liberal memang itu atau disebut juga local wisdom (kebijakan lokal). Pertanyaannya, standar wisdom-nya dari mana, jika aliran kepercayaan itu meyempal dari suatu agama? Pertanyaan selanjutnya adalah: bagaimana hubungan antara aliran-aliran kepercayaan dengan agama tsb jika ia dianggap menyimpang dari ajaran sebuah agama? apakah mengakuinya menjadi sebuah agama akan menyelesaikan masalah.

Kalangan liberal mengatakan sebuah aliran termasuk local wisdom atau bukan, standarnya juga bukan agama induknya, tapi kebudayaan setempat. Persoalannya, kebudayaan lokal itu juga tidak wise (tidak bijak), karena aliran itu adalah hasil manipulasi ajaran agama yang dicampur dengan kultur setempat. Akibatnya, tentu merusak ajaran agama aslinya (induknya). Apakah ini tidak termasuk penistaan agama. Contohnya adalah aliran Wektu Telu di NTB. Mereka menyebut dirinya “Islam Wektu Telu”, padahal, ajarannya jelas menyimpang dari Islam.

Kementrian Kebudayaan dan Pariwisata mencatat, terdapat lebih dari 150 aliran kepercayaan di Indonesia. Bagaimana jika semuanya minta diakui sebagai agama?

Ini masalahnya. Secara teknis adiministrasi pemerintahan akan menimbulkan banyak masalah. Pasalnya, perlakuan negara terhadap agama-agama yang ada saja sangat terbatas, bagaimana mungkin pemerintah mengakui 150 lebih agama. Jika semuanya masuk di bawah Kementrian Agama, berapa banyak perangkat dan anggaran yang harus disiapkan untuk 200 an lebih agama. Apalgi jika masing-masing agama itu meminta rumah ibadah masing-masing dan meminta hari libur nasional pada setiap perayaan hari besar mereka.

Lebih serius lagi, ide ini akan menimbulkan chaos, kerusuhan sosial dan kultural di masyarakat. Jika misalnya agama yang diakui resmi itu mengajarkan tindakan a-moral seperti aliran Children of God tahun 80an, siapa yang akan menghakimi. Persoalan kerukunan antar umat beragama dan penistaan pada agama tertentu oleh sekelompok orang yang saat ini sedang terjadi, pemerintah tak sanggup menyelesaikannya. Contoh, persoalan Ahmadiyah dengan Islam, Kristen Katolik dan Protestan dengan Saksi Yehovah, sampai sekarang belum bisa dituntaskan. Padahal, persoalan keduanya hampir sama, Ahmadiyah dan Yehova sama-sama melakukan penistaan terhadap induk agama masing-masing. Ini saja sudah menjadi masalah, kenapa harus menambah masalah baru dengan mengakui ratusan aliran kepercayaan itu menjadi agama.

Apa inti ajaran aliran kepercayaan di Indonesia? Adakah kesamaan di antara mereka?

Tidak semuanya sama. Hanya saja intinya sama yaitu menyembah Tuhan. Tapi konsep Tuhan dalam aliran kepercayaan itu tidak jelas. Mulanya terpengaruh oleh ajaran para Sufi, tapi kemudian disalah fahami dan dicampur dengan kepercayaan lokal. Selain itu ada pula yang murni dari kepercayaan lokal pengaruh animisme dan dinamisme yang diangkat menjadi ritual-ritual khusus dan mendapatkan pengikut. Ini sebenarnya digolongkan sebagai religi yang merupakan cultural product dan bukan revealed religion (agama yang diwahyukan). Jadi aliran kepercayaan di Indonesia umumnya hanya campuran dari agama dan budaya. Jika aliran kepercayaan ini disejajarkan dengan agama-agama yang sudah umum dipeluk umat manusia di seluruh dunia, jelas tidak akan diterima. Aliran-aliran itu tidak layak disebut sebagai institusi agama. Sebab unsur-unsur dasar sebagai agama tidak selalu ada pada semua aliran itu.

Salah satu alasan mereka menuntut, karena Hindu, Budha, dan Konghucu tidak memiliki kriteria sebagai agama?

Pemerintah mengakui enam agama karena keenamnya diakui oleh dunia internasional. Paling tidak dalam studi agama-agama, Budhisme, Hinduisme, Konfucianisme, Kristen Katholik dan Protestan serta Islam diakui sebagai agama, sedangkan aliran-aliran kepercayaan sempalan dari berbagai agama tidak pernah dikaji sebagai agama. Maka aliran kepercayaan yang anggotanya hanya puluhan atau ratusan orang, berada di kota kecil di Pacitan atau di Banten misalnya, tidak dikenal secara nasional apalagi internasional, kemudian menuntut diakui sebagai agama, jelas tidak layak kriteria. Jadi, pengakuan negara terhadap enam agama yang ada dan hidup di Indonesia juga berdasar pada pengakuan masyarakat internasional. Maka dari itu pemerintah tidak perlu mengakomodasi aliran kepercayaan yang sangat lokal itu menjadi agama baru, hanya karena alasan kebebasan dan HAM. Yang lebih urgen untuk dipertimbangkan adalah konsekuensi sosial dan kultural yang bakal timbul jika aliran kepercayaan diakui sebagai agama.

Bukankah disebut agama jika memenuhi sejumlah kriteria?

Kriteria saja bisa dipenuhi. Tapi pengakuan masyarakat tidak memandang kriteria. Karena kriteria agama atau religion di dunia ini tidak pernah komprehensif. Jika definisi agama mengacu pada unsur-unsur yang sempurna seperti diciptakan oleh Tuhan (Allah), memiliki kitab suci, memiliki nabi, sistim teologi atau doktrin, syariah, dan seperangkat ritual lainnya, maka banyak agama yang tidak masuk. Sebaliknya, jika hanya mengacu pada definisi paling sederhana misalnya agama adalah kepecayaan pada yang kudus dan ghaib semua aliran bisa jadi agama. Tapi lagi-lagi pengakuan masyarakat tidak selalu dimiliki oleh semua aliran. Sementara, agama seperti Hindu, Budha, dan Konghucu (Tao) misalnya mungkin tidak memenuhi kriteria lengkap sebagai agama, tapi pengakuan masyarakat sangat besar. Jadi kriteria harus didukung oleh pengakuan masyarakat, bukan pemerintah. Tapi untuk menguji kelayakan aliran kepercayaan menjadi agama sangat sulit. Apa standar yang bisa diterima dan siapa yang menentukan itu tidak mudah.

Jadi, keputusan pemerintah menetapkan enam agama resmi, tepat?

Ini keputusan negara yang sangat bijak, sehingga tak perlu ditambah lagi. Sekali lagi saya katakan jika semua aliran kepercayaan diresmikan menjadi agama, secara teologis akan berhadapan dengan agama yang ada. Secara sosial-politik juga akan menganggu hubungan antar umat beragama, bahkan menimbulkan chaos di masyarakat.

Kementrian Budaya dan Pariwisata menyatakan, aliran kepercayaan adalah produk budaya bukan agama. Karena itu, pengelolaannya tidak di Kementrian Agama tapi di Kemenbudpar. Sudah tepat?

Sangat tepat.  Karena memang aliran-aliran itu adalah produk budaya dan tidak bisa disejajarkan dengan agama. Maka dari itu mereka itu harus diperlakukan sebagai budaya dan bukan agama. Tapi masalahnya, kalangan liberal dan kelompok anti-agama selalu berusaha untuk menyamakan aliran kepercayaan dengan agama dan duduk sederajat dengan agama-agama lain di Kementrian Agama. Bahkan, mereka juga menuntut adanya lembaga perkimpoian sendiri, penguburan sendiri, masuk dalam kurikulum pendidikan dari SD–SMA, tempat ibadah sendiri, dan fasilitas lain.

Sebenarnya, mereka tak memerlukan itu, karena tanpa disamakan dengan agama mereka telah dengan bebas menjalankan kepercayaan mereka selama ini. Diantara yang mereka jalankan selama ini adalah sama dengan ritual keagamaan. Jika mereka menuntut kuburan sendiri, lembaga perkimpoian sendiri, termasuk identitas di KTP dan tanda pengenal lain justru menimbulkan masalah baru bagi mereka. Dengan identitas baru itu mereka justru akan menjadi ekslusif.

Siapa kira-kira yang mengusung ide aliran kepercayaan sebagai agama?

Yang sangat antusias mengusung local wisdom adalah kelompok liberal. Ide ini sejalan dengan arus globalisasi dan postmodernism. Tujuannya adalah untuk memarginalkan agama. Strateginya adalah dengan membuat pluralitas agama-agama di seluruh dunia. Metodanya dengan menghidupkan berbagai aliran kepercayaan lokal di seluruh penjuru dunia, termasuk Indonesia dan mengakui semuanya benar. Jika agama menjadi banyak, maka semua agama adalah sumber kebenaran-kebenaran. Jika kebenaran jumlahnya banyak, maka tidak ada yang bisa mengklaim sebagai pemegang kebenaran. Itulah tujuan pluralisme agama, kebenaran ada di mana-mana. Caranya dengan menciptakan pluralitas terlebih dulu, baru kemudian dijustifikasi sebagai pluralisme. Jadi, tren post modernadalah relativism, equality (persamaan), nihilism, dan religious pluralism (pluralisme agama). Konsep-konsep ini, secara teoritis sudah mereka ciptakan dan secara Sosiologis juga sudah digembar-gemborkan di mana-mana.

Padahal konsep mereka sebenarnya tidak jelas?

Betul. Misalnya, apakah pluralism itu relativism atau toleransi? Terkadang seperti toleransi dan terkadang seperti relativisme. Mereka menuntut kita agar toleran pada keberadaan mereka, tapi disaat lain mereka agar kita juga toleran terhadap kebenaran yang dipercaya orang lain. Berarti kita diminta mengakui kebenaran versi mereka. Ini yang menjadi masalah, karena termasuk dalam relativism (tidak ada kebenaran). Jika hanya toleran tentang keberadaan mereka di lingkungan kita, bagi umat Islam tidak ada masalah. Tapi kalau harus mengakui kebenaran agama lain itu bukan Islam saja yang menolak, semua agama pasti menolak. Padahal Indonesia adalah negara paling toleran di banding Barat.

Saya sudah ke beberapa negara Eropah, mereka mengatakan toleransi agama di Indonesia tak didapatkan di negara Eropah manapun. Umat Islam Indonesia juga cukup pluralis dalam arti toleran. Sedangkan orang Barat umumnya tidak tahan hidup bersama orang Muslim. Bunyi azan saja di Barat diharamkan, apalagi tablig akbar di stadion. Di Indonesia, natal bersama secara nasional adalah anugerah toleransi umat Islam, yang di Barat hanya mimpi. Umat Islam bukan hanya biasa dan tahan hidup berdampingan dengan non Muslim, tapi juga memberi kebebasan kepada mereka untuk hidup menjalankan agama mereka. Jadi, toleransi seperti apa lagi yang diinginkan Barat di Indonesia?

Apa kepentingan kalangan liberal mengangkat isu ini?

Kepentingannya adalah untuk memarginalkan agama-agama. Mengangkat aliran kepercayaan menjadi agama adalah menciptakan pluralitas institusi agama. Targetnya, menciptakan sebanyak-banyaknya kebenaran agama, termasuk kebenaran lokal. Sehingga, yang benar tidak hanya agama resmi yang diakui pemerintah. Jika ini diakui negara, setiap orang bebas mempunyai kepercayaan sesuai keyakinannya di daerah masing-masing. Akhirnya, tidak ada lagi agama dan kepercayaan yang dominan, serta tidak ada mayoritas yang kata mereka menekan minoritas.

Target lanjutnya, semua orang sama. Inilah yang disebut nihilism. Nihil dari agama, kebenaran, dan nilai. Sehingga, tidak ada kebenaran di dunia ini, karena kebenaran versi Barat adalah tidak ada kebenaran. Inilah gagasan akhir dari post modernisme. Ide ini sangat efektif untuk menekan apa yang oleh mereka disebut sebagai fundamentalism. Mereka menganggap, fundamentalism itu ekslusif, tidak ada yang benar kecuali dirinya sendiri. Dengan adanya pluralisme mereka berharap tidak akan ada lagi orang yang bisa mengklaim bahwa dirinya yang paling benar, karena semuanya benar.

Apakah orientalis ikut bermain?

Ada temuan baru dari kajian di Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS). Ternyata, munculnya aliran kepercayaan di Indonesia, khususnya di Jawa tidak lepas dari pengaruh dari kolonial Belanda. Kajian ini menemukan fakta bahwa pengarang Kitab Dharma Gandul (salah satu kitab rujukan penganut aliran kepercayaan) itu tidak jelas. Ketika ditelusuri, ada fakta yang menunjukkan bahwa kitab ini dibuat oleh kalangan orientalis yang datang bersama Belanda. Tujuannya, agar orang Jawa memiliki rujukan kepercayaan yang menyimpang dari Islam. Kemudian, ajaran ini dihidupkan menjadi aliran kepercayaan yang berasal dari orang Jawa.

Bagi umat Islam, apakah ini menunjukkan kegagalan dakwah?

Bukan kegagalan, tapi ketidaksempurnaan dalam menjalankan dakwah. Sejarahnya, ketika Islam masuk ke Indonesia berawal dari fiqih. Yang penting orang memeluk Islam terlebih dulu, dengan hanya menjalankan shalat atau ritual lain di dalam Islam. Tapi, konsep ketuhanannya masih bercampur dengan pemahaman animisme dan dinamisme. Oleh dai-dai kita, kondisi ini dibiarkan, mungkin mereka sadar bahwa yang penting Islam dulu, baru kemudian iman.

Pada periode dakwah selanjutnya Islam disebarkan oleh para penganut sufi (tasawuf). Para penganut sufi ini mengajarkan konsep Tuhan pada orang-orang yang masuk Islam sebatas menjalankan ibadah. Konsep Tuhan kalangan Sufi ini seringkali difahami secara salah oleh mereka. Mungkin karena wacana kamu Sufi tentang Tuhan terlalu canggih bagi orang-orang Melayu yang awam, sementara kepercayaan mereka pada mitologi masih cukup kuat. Akibatnya pemahaman masyarakat menjadi salah. Jadi, kalangan sufi tidak salah dalam membawa konsep Tuhan ke Indonesia, tapi penerimaannya yang salah. Konsep wahdatul wujudmisalnya, difahami sebagai Manunggaling Kawula Gusti (Menyatunya Tuhan dan Hamba) atau disebut aliran ittihad. Padahal konsepnya tidak begitu. Jadi, ada dua sebab mengapa muncul banyak aliran kepercayaan di Indonesia. Pertama, ketidaksempurnaan dakwah Islam pada awal penyebaran di Indonesia, khususnya di Jawa. Kedua, kuatnya kultur Jawa yang tetap bertahan di dalam pikiran sebagian masyarakat Jawa.

Apa sikap umat Islam menyikapi tuntutan aliran kepercayaan ini?

Umat Islam tidak perlu menanggapi dengan gerakan massif, cukup persuasive saja. Dalam konteks dakwah, kita harus meningkatkannya di pedesaan dan daerah terpencil, karena aliran kepercayaan akan hilang sendiri  dengan pendidikan yang benar dan terstruktur. Katakanlah, orang tua mereka penganut aliran kepercayaan, ketika anaknya berpendidikan, apalagi masuk pesantren, insya Allah anak ini tidak mengikuti ajaran yang dianut orang tuanya.

Yang dikhawatirkan, legalisasi pemerintah seperti sekarang ini justru memberikan peluang aktivitas dan kebangkitan mereka. Padahal, selama ini aktivitas mereka nyaris tak terdengar lagi. Jumlah pengikutnya juga tinggal sedikit. Tapi ketika dilegalkan dan diberi tempat, akan muncul unsur-unsur luar yang bermain di wilayah ini. Kelompok ini akan terus membesar-besarkannya hingga terjadi terjadi konflik horisontal di masyarakat.

Bagaimana metoda dakwah yang tepat bagi penganut kepercayaan?

Metode dakwah untuk penganut aliran kepercayaan adalah pendekatan teologis (tauhid), bukan syariat. Pasalnya, penganut aliran kepercayaan sangat konsen pada masalah ketuhanan. Bagi mereka, syariat itu tidak ada artinya tanpa hakikat. Para dai harus masuk ke dalam konsep hakikat itu. Karenanya, dai kita harus cerdas dan menguasai materi-materi teologi. Kita kenalkan konsep Tuhan dalam Islam agar akidah mereka lurus. Jika sejak awal kita kedepankan syariah, fiqih, dan simbol Islam, seperti jilbab, pakaian Muslimah, dan lainnya itu bagus, tapi tidak semua orang siap dengan cara begitu. Akan lebih mendasar jika dakwah pada mereka itu mengedepankan konsep tauhid dalam bahasa yang sederhana hingga yang sangat filosofis. Sebab wacana kalangan aliran kepercayaan adalah ketuhanan. Oleh sebab itu para dai harus memiliki konsep yang mengungguli mereka. Insya Allah, lama-lama mereka luluh juga.

Data Pribadi:

Nama           : Hamid Fahmy Zarkasyi

Lahir             : Gontor Ponorogo, 13 September 1958

Jabatan        : Rektor Universitas Cordova Sumbawa Barat, Pembantu Rektor III ISID Gontor.

Pendidikan    :1) Kulliyat al-Mu’allimin Al-Islamiyah, Pondok Modern Gontor, 1977. 2) Bachelor of Art, Fakulti Tarbiyah Institut Pendidikan Darussalam, Pondok Modern Gontor, 1982. 3) Master of Art in Education, (MAEd) Institute of Education and Research, University of the Punjab Pakistan, 1986. 4) Master of Philosophy (M Phil), Faculty of Theology, The University of Birmingham, United Kingdom, 1998. 5) PhD Di ISTAC-IIUM, Kuala Lumpur, Malaysia, 2006.

Aktivitas: 1) Dosen pada Institut Pendidikan Darussalam, Pondok Modern Gontor, 1988-sekarang. 2) Pembantu Rektor III, Institut Studi Islam Darussalam, 1990-1996; 2006-sekarang. 3) Pengurus Pusat Jaringan Informasi Pengkajian Islam (JIPI). 4) Direktur Institute for the Study of Islamic Thought and Civilization(INSISTS), Jakarta Indonesia. 5)Pemimpin Redaksi Majalah ISLAMIA. 6) Direktur CIOS (Center for Islamic and Occidental Studies) ISID Gontor. 7) Ketua Program Kaderisasi Ulama (PKU) ISID-Pondok Modern Gontor-MUI. 8) Direktur Program Pascasarjana ISID Gontor.

https://fajrulislam.wordpress.com/20...-memicu-chaos/
0
1.3K
4
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan