Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

wismanganAvatar border
TS
wismangan
Tan Go Wat: Datang Dari Cina, Lalu "Mengislamkan" Jawa
Tan Go Wat berlayar meninggalkan Cina pada 1416 M bersama armada angkatan laut pimpinan Laksamana Cheng Ho menuju Kepulauan Nusantara. Selain bertujuan untuk merajut kerjasama perdagangan dengan kerajaan-kerajaan lokal di sana, rombongan utusan Dinasti Ming ini juga berniat menyebarkan ajaran Islam.

Memang itulah yang kemudian dilakukan Tan Go Wat di Jawa. Nantinya, ia menjadi sosok ulama sekaligus pendakwah Islam yang ternama dan amat dihormati, dikenal dengan nama Syekh Bantiong, Syekh Bentong, atau Kyai Bah Tong. Ia juga merupakan salah satu perintis terbentuknya majelis mulia di Kesultanan Demak, Walisongo.

Tan Go Wat adalah putra Syekh Quro, ulama besar dari Indo-Cina, antara Campa (Vietnam) atau Siam (Thailand). Syekh Quro diyakini masih keturunan Nabi Muhammad dari garis Siti Fatimah dan Ali bin Abi Thalib (Dadan Wildan, Sunan Gunung Jati antara Fiksi dan Fakta: Pembumian Islam dengan Pendekatan Struktural dan Kultural, 2003: 61).

Syekh Quro turut juga turut dalam rombongan armada Laksamana Cheng Ho ke Nusantara. Tan Go Wat sebenarnya berperan sebagai pengiring sang ayah dalam misi khusus ini, yakni menyebarkan ajaran Islam di tanah Jawa.

Saat kapal berlabuh di pesisir pantai utara Karawang, Syekh Quro dan para pengiringnya, termasuk Syekh Bentong, memutuskan turun dari kapal dan singgah untuk bersyiar Islam. Kala itu, sebagian besar wilayah Jawa bagian barat masih dikuasai Kerajaan Sunda Galuh, kerajaan Hindu yang merupakan pecahan dari Tarumanegara.

Dalam Penyebaran Islam di Daerah Galuh Sampai dengan Abad ke-17 (2010) yang diterbitkan Kementerian Agama RI disebutkan bahwa Syekh Quro dan Syekh Bentong merupakan pendakwah Islam pertama di tanah Sunda (hlm. 171).

Setelah beberapa waktu lamanya menemani sang ayah berdakwah di wilayah Sunda, termasuk ikut mendirikan pondok pesantren pertama di Jawa Barat, Syekh Bentong berkeinginan meluaskan syiar ke kawasan lain. Maka itu, ia bersama keluarganya berangkat ke timur dan kemudian menetap di Gresik.

Di Gresik inilah Syekh Bentong mulai menjalin relasi dengan tokoh-tokoh awal syiar Islam lainnya. Meskipun pada perjalanan abad ke-14 itu di Jawa bagian timur masih bercokol kerajaan Hindu yang pernah sangat digdaya di seantero Nusantara: Majapahit. 

Kerajaan Majapahit kala itu dipimpin Bhre Kertabumi atau Prabu Brawijaya V (1468-1478). Raja ini diyakini sebagai penguasa Majapahit terakhir sebelum berdirinya kerajaan Islam pertama di Jawa, Kesultanan Demak (Dhurorudin Mashad, Muslim Bali: Mencari Kembali Harmoni yang Hilang, 2014: 89).

Brawijaya V terpikat dengan anak perempuan Syekh Bentong yang bernama Siu Ban Ci. Agus Aris Munandar dan ‎Edi Suhardi Ekajati (1991) dalam Pustaka Pararatwan i Bhumi Jawadwipa menyebutkan, sang raja lantas menikahi putri Cina itu kendati hanya sebagai istri selir (hlm. 59). Terlepas dari sejumlah versi atas kontroversi yang terjadi kemudian, pernikahan itu dikaruniai seorang anak laki-laki. 

Tan Go Wat menyematkan nama Jin Bun untuk cucunya itu, nama khas Cina meskipun tanpa marga di depannya. Nama Jin Bun berarti “kuat” (Slamet Muljana, Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Negara-negara Islam di Nusantara, 2005: 89). Nantinya, Jin Bun dikenal dengan nama Raden Patah, merujuk istilah Arab yakni Fatah yang berarti “kemenangan”.

Jin Bun alias Raden Patah pada akhirnya nanti justru melawan ayahnya sendiri, meruntuhkan Majapahit sekaligus mengakhiri dominasi Hindu dan menggantinya dengan Islam. Pada 1475, Raden Patah mendirikan Kesultanan Demak, kerajaan Islam pertama di tanah Jawa. 

Perintis Islamisasi Jawa Berdirinya Kesultanan Demak tak pelak mengubah peta keagamaan di Jawa secara drastis. Jawa yang sudah sekian lama dikuasai kerajaan-kerajaan bercorak Hindu atau Buddha, beralih menjadi wilayah yang sebagian besar penduduknya menganut agama Islam. Walisongo sangat berperan dalam suksesnya misi Islamisasi di Jawa ini.

Setidaknya ada dua versi utama yang dirujuk untuk memaknai istilah Walisongo. Pertama, Wali Songo diartikan sebagai wali (orang suci yang dicintai Tuhan) berjumlah 9 orang. Songo/sanga dalam bahasa Jawa berarti angka sembilan.

Buku Politik Walisongo dan Visi Kebangkitan Bangsa yang ditulis Umaruddin Masdar, Eman Hermawan, dan ‎Ahmad Baso (2007), menyebutkan, dalam setiap kurun waktu, Walisongo diusahakan tetap berjumlah 9 orang sehingga jika ada seorang wali yang meninggal maka selalu diganti oleh wali lain yang disepakati (hlm. 29).

Jadi, Walisongo menurut versi ini dapat dimaknai sebagai “orang-orang suci yang mulia atau terpuji”, tanpa harus selalu berjumlah 9 orang. Walisongo tidak melulu diidentikkan kepada sosok tokoh atau personal, melainkan lebih mengarah ke suatu majelis atau dewan dakwah.

Walisongo hadir sebagai garda terdepan penyebaran Islam di Jawa, sekaligus berperan menopang sendi-sendi kehidupan, terutama agama (juga politik) Kesultanan Demak. Tan Go Wat alias Syekh Bentong lah yang menjadi salah satu perintis sekaligus anggota awal Majelis Walisongo tersebut.

Selain Syekh Bentong, formasi pertama Walisongo diisi oleh Sunan Ampel, Raden Ali Murtadho atau Raden Santri, Abu Hurairah atau Pangeran Majagung, Syekh Maulana Ishak atau Syekh Wali Lanang, Maulana Abdullah atau Syekh Sutamaharaja, Khalif Husain, dan Usman Haji atau Pangeran Ngudung (ayahanda Sunan Kudus).

https://tirto.id/tan-go-wat-datang-d...mkan-jawa-cCwQ

Bagian sejarah bangsa
0
7.2K
84
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan