Kaskus

News

itanovita6Avatar border
TS
itanovita6
Pemilu 2019: Akankah Agama Digunakan untuk Keuntungan Politik?
Mengendalikan kelompok agama garis keras di Indonesia mungkin tidak secara otomatis memberikan metode efektif untuk mengalahkan Jokowi dalam Pemilu Presiden 2019. Saat ini, satu pertanyaan yang masih tersisa adalah, apakah Presiden Jokowi akan mengumpulkan dukungan signifikan dari umat Muslim untuk mendapatkan peluang dalam pemilu pada bulan April 2019? Opini Leo Jegho dari Global Indonesian Voices.

Oleh: Leo Jegho (Global Indonesian Voices)

Ketika berita mencuat pada bulan lalu bahwa Presiden Joko ‘Jokowi’ Widodo disebut-sebut namanya dalam daftar 13 Muslim paling berpengaruh di dunia, hal ini disambut dengan tanggapan yang tidak antusias dari publik Indonesia. Alasannya masih tidak jelas.

Pusat Studi Strategis Islam Kerajaan di Yordania—melalui edisi “The Muslim 500” tahun 2017—menempatkan Presiden Jokowi dalam daftar para pemimpin tinggi di negara-negara Muslim. Mereka memasukkan Raja Abdullah II ibn Al-Hussein dari Yordania, Raja Salman bin Abdul-Aziz Al-Saud dari Arab Saudi, dan Recep Tayyip Erdogan dari Turki.

Selain itu, tiga warga negara Indonesia lainnya juga berada dalam daftar 50 teratas. Mereka adalah Said Aqil Siradj Ketua Umum Nahdlatul Ulama (NU) yang berada di peringkat ke-20; Ketua Muhammadiyah Din Syamduddin (urutan ke-41); dan Habib Lutfi bin Yahya (urutan ke-45).

Spoiler for Ratusan ribu anggota Front Pembela Islam (FPI) dan masyarakat Islam di Indonesia turut serta dalam sebuah demonstrasi di Jakarta, Indonesia, pada 14 Oktober 2016, untuk menunjukkan ketidaksetujuan mereka terhadap Gubernur Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok. (Foto: Anadolu Agency/Getty Images/Agoes Rudianto):


Saat ini, satu pertanyaan yang masih tersisa adalah, apakah Presiden Jokowi akan mengumpulkan dukungan signifikan dari umat Muslim untuk mendapatkan peluang dalam pemilu pada bulan April 2019. Presiden secara tipis menang dalam pemilihan presiden tahun 2014, meski pun dengan umat Muslim yang menjadi mayoritas pendukungnya. Ia mendapatkan 53,15 persen suara, dibandingkan dengan 46,85 persen suara untuk Ketua Partai Gerindra Prabowo Subianto, yang merupakan seorang mantan jenderal militer bintang tiga, dan mantan menantu dari pemimpin otoriter Suharto.

Jawaban untuk pertanyaan mengenai dukungan Muslim untuk Presiden Jokowi dalam pemilu tahun 2019 datang dari direktur eksekutif Voxpol Center, Pangi Syarwi Chaniago. Walau memperingatkan bahwa jumlah pendukung Muslim yang setia pada Jokowi akan menurun pada tahun 2019, namun Pangi mengatakan, “Walau pun Jokowi telah sering kali merangkul para ulama, ia juga mengunjungi pertemuan pembacaan al-Qur’an, namun anggapan masyarakat bahwa ia menjauhkan diri dari Islam tidak akan dapat dengan mudah menghilang.”

Pangi mengatakan pada Minggu (24/12), bahwa pada tahun 2019, masalah yang akan ditonjolkan oleh para lawannya adalah urusan agama Islam, dan bukannya urusan kenegaraan, seperti yang dilaporkan oleh Tempo.co.

Namun begitu, sejauh mana masalah agama akan efektif dalam menghalangi peluang terpilihnya kembali Presiden Jokowi belum terlihat.

Seperti yang diperkirakan, untuk menjadikan masalah agama menjadi sesuatu yang menjual, para calon lawan Presiden Jokowi harus mendapatkan dukungan dari kelompok-kelompok Islam garis keras. Prabowo dikatakan menjadi salah satu lawan tersebut, mengingat dukungan Islam garis keras yang kuat yang diberikan kepadanya pada tahun 2014, walau ia berulang kali menyatakan komitmennya terhadap pluralisme. Ketua Partai Gerindra tersebut telah menyatakan rencananya untuk mencalonkan diri kembali pada tahun 2019.

Sementara itu, lembaga survei Indo Barometer mengatakan pada awal bulan ini bahwa Prabowo kemungkinan akan berpasangan dengan Gubernur Jakarta Anies Baswedan dalam pemilu tersebut. Gerindra membantu memenangkan Anies dan wakilnya Sandiaga Uno dalam pemilihan Gubernur Jakarta 2017, yang diduga mendapatkan dukungan dari organisasi garis keras.

Terkait pemilu Jakarta, kelompok-kelompok Islam yang disebut garis keras melaksanakan demonstrasi besar-besaran pada akhir tahun lalu dan awal tahun 2017, yang memicu kekalahan dari Gubernur Jakarta saat itu, Basuki ‘Ahok’ Tjahaja Purnama, yang merupakan seorang etnis China dan umat Kristen, bersama dengan Wakil Gubernur saat itu Djarot Saiful Hidayat. Kelompok garis keras besar yang memberikan dukungan adalah Front Pembela Islam (FPI) dan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI).

Namun begitu, mengendalikan kelompok garis keras mungkin tidak secara otomatis memberikan jalan yang mulus. Pada bulan Juli tahun ini, di tengah panasnya debat publik, Presiden Jokowi menandatangani Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) untuk membubarkan kelompok radikal, dan masyarakat memperkirakan bahwa ia mungkin menggunakannya untuk membubarkan organisas-organisasi garis keras, termasuk Front Pembela Islam (FPI). Presiden Jokowi menggunakan Perppu tersebut untuk membubarkan HTI, dan selanjutnya menimbulkan dugaan bahwa ia ‘anti-Islam’, dan menambah klaim para garis keras bahwa kebijakan ekonominya didukung oleh kepentingan China.

Read More : Pemilu 2019: Akankah Agama Digunakan untuk Keuntungan Politik?
0
2.8K
41
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan