- Beranda
- Komunitas
- News
- Berita Luar Negeri
Tanpa Pendidikan dan Pekerjaan, Pengungsi di Asia Tenggara Sangat Rentan


TS
z0id17
Tanpa Pendidikan dan Pekerjaan, Pengungsi di Asia Tenggara Sangat Rentan
Pengungsi yang tiba dan dtinggal di Asia Tenggara sulit mengakses pendidikan formal. Malaysia, Thailand, dan Indonesia harus mencari cara-cara yang berbeda untuk mengakses pendidikan, berdasarkan lingkungan negara tujuan atau transit mereka.
Oleh: Lee Lian Kong (Asian Correspondent)
Lemahnya kerangka hukum untuk mengakui dan memberikan pendidikan bagi para pengungsi, membuat para pengungsi yang tiba dan dtinggal di Asia Tenggara sulit mengakses pendidikan formal, seperti yang ditemukan oleh sebuah wadah pemikir Indonesia.
Habibie Centre Indonesia mengatakan bahwa para pengungsi di tiga negara Asia Tenggara yang diteliti—Malaysia, Thailand, dan Indonesia—harus mencari cara-cara yang berbeda untuk mengakses pendidikan, berdasarkan lingkungan negara tujuan atau transit mereka.
“Masalahnya adalah, tidak ada kebijakan yang bekerja sebagai payung hukum, sehingga para pengungsi dapat mengakses pendidikan,” ujar Johari Effendi, salah satu peneliti di wadah pemikir tersebut, saat pemaparan penemuan penelitian mereka di Kuala Lumpur.
Walau terdapat organisasi antar-pemerintah yang secara langsung menyediakan atau memfasilitasi pendidikan, masalahnya adalah bahwa sebagian besar dari pendidikan yang diberikan bukanlah pendidikan formal. Wirya Adiwena, pengamat lainnya yang juga memaparkan hasil temuan itu, menggambarkan pendidikan formal sebagai pendidikan yang menggunakan standar kurikulum yang diterima negara, atau ijazah yang diberikan harus diakui oleh institusi negara lainnya.
Sehingga, karena mendapatkan pendidikan dari penyedia pendidikan informal, pendidikan para pengungsi ini sangat terbatas dalam hal, “jika mereka ingin melanjutkan ke universitas, mereka tidak bisa,” seperti yang disimpulkan Adiwena, yang sebelumnya bekerja di Kantor Staf Khusus Hubungan Internasional untuk mantan Presiden Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
Para pengungsi anak-anak Rohingya di Cox’s Bazar, Bangladesh. (Foto: UNRWA)Wadah pemikir tersebut juga mengkaji praktik-praktik terbaik yang dimulai oleh negara-negara Asia Tenggara ini. Dalam hal mengakses pendidikan, Johari berkomentar bahwa Thailand dapat disebut berada di peringkat pertama dalam hal akses mendapatkan pendidikan bagi para pengungsi, diikuti oleh Indonesia, dan kemudian Malaysia.
Hal ini karena perkembangan positif baru-baru ini oleh pemerintah Thailand dan Indonesia. Thailand telah menandatangani kebijakan “Pendidikan untuk Semua” (EFA), yang menetapkan:
“Semua anak-anak, terlepas dari kewarganegaraan atau status hukumnya, memiliki hak untuk mendapatkan pendidikan dasar gratis hingga 15 tahun.”
Kebijakan ini membuat para pengungsi di perkotaan—sebagian besar dari Pakistan dan Iran—dapat menghadiri sekolah-sekolah negeri dan swasta. Selain itu, bagi mereka yang berada di sembilan kamp pengungsian di sepanjang perbatasan Thailand-Malaysia, beberapa di antaranya bahkan bisa mencapai pendidikan dasar sampai tingkat tinggi, walau pun diberikan secara informal.
Indonesia disebut berada di peringkat kedua karena keputusan presiden yang ditandatangani pada tanggal 31 Desember 2016 lalu, yang mengkonfirmasi definisi dari pengungsi yang terkandung dalam Konvensi Pengungsi tahun 1951, dan akan berhenti menyebut para pencari suaka sebagai imigran ilegal. Keputusan presiden tersebut menunjukkan niat politik pemerintah, yang menurut Johari akan mendorong lebih banyak pendanaan negara untuk dialokasikan untuk meringankan masalah pengungsi di Indonesia.
Read More : Tanpa Pendidikan dan Pekerjaan, Pengungsi di Asia Tenggara Sangat Rentan
Oleh: Lee Lian Kong (Asian Correspondent)
Lemahnya kerangka hukum untuk mengakui dan memberikan pendidikan bagi para pengungsi, membuat para pengungsi yang tiba dan dtinggal di Asia Tenggara sulit mengakses pendidikan formal, seperti yang ditemukan oleh sebuah wadah pemikir Indonesia.
Habibie Centre Indonesia mengatakan bahwa para pengungsi di tiga negara Asia Tenggara yang diteliti—Malaysia, Thailand, dan Indonesia—harus mencari cara-cara yang berbeda untuk mengakses pendidikan, berdasarkan lingkungan negara tujuan atau transit mereka.
“Masalahnya adalah, tidak ada kebijakan yang bekerja sebagai payung hukum, sehingga para pengungsi dapat mengakses pendidikan,” ujar Johari Effendi, salah satu peneliti di wadah pemikir tersebut, saat pemaparan penemuan penelitian mereka di Kuala Lumpur.
Walau terdapat organisasi antar-pemerintah yang secara langsung menyediakan atau memfasilitasi pendidikan, masalahnya adalah bahwa sebagian besar dari pendidikan yang diberikan bukanlah pendidikan formal. Wirya Adiwena, pengamat lainnya yang juga memaparkan hasil temuan itu, menggambarkan pendidikan formal sebagai pendidikan yang menggunakan standar kurikulum yang diterima negara, atau ijazah yang diberikan harus diakui oleh institusi negara lainnya.
Spoiler for Pengungsi anak-anak Laila Rafiq (kiri), Junaidah Rifraq (kanan) di sekolah masyarakat Hilla untuk pengungsi di Malaysia. (Foto: Chris Lau):
Sehingga, karena mendapatkan pendidikan dari penyedia pendidikan informal, pendidikan para pengungsi ini sangat terbatas dalam hal, “jika mereka ingin melanjutkan ke universitas, mereka tidak bisa,” seperti yang disimpulkan Adiwena, yang sebelumnya bekerja di Kantor Staf Khusus Hubungan Internasional untuk mantan Presiden Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
Para pengungsi anak-anak Rohingya di Cox’s Bazar, Bangladesh. (Foto: UNRWA)Wadah pemikir tersebut juga mengkaji praktik-praktik terbaik yang dimulai oleh negara-negara Asia Tenggara ini. Dalam hal mengakses pendidikan, Johari berkomentar bahwa Thailand dapat disebut berada di peringkat pertama dalam hal akses mendapatkan pendidikan bagi para pengungsi, diikuti oleh Indonesia, dan kemudian Malaysia.
Hal ini karena perkembangan positif baru-baru ini oleh pemerintah Thailand dan Indonesia. Thailand telah menandatangani kebijakan “Pendidikan untuk Semua” (EFA), yang menetapkan:
“Semua anak-anak, terlepas dari kewarganegaraan atau status hukumnya, memiliki hak untuk mendapatkan pendidikan dasar gratis hingga 15 tahun.”
Kebijakan ini membuat para pengungsi di perkotaan—sebagian besar dari Pakistan dan Iran—dapat menghadiri sekolah-sekolah negeri dan swasta. Selain itu, bagi mereka yang berada di sembilan kamp pengungsian di sepanjang perbatasan Thailand-Malaysia, beberapa di antaranya bahkan bisa mencapai pendidikan dasar sampai tingkat tinggi, walau pun diberikan secara informal.
Indonesia disebut berada di peringkat kedua karena keputusan presiden yang ditandatangani pada tanggal 31 Desember 2016 lalu, yang mengkonfirmasi definisi dari pengungsi yang terkandung dalam Konvensi Pengungsi tahun 1951, dan akan berhenti menyebut para pencari suaka sebagai imigran ilegal. Keputusan presiden tersebut menunjukkan niat politik pemerintah, yang menurut Johari akan mendorong lebih banyak pendanaan negara untuk dialokasikan untuk meringankan masalah pengungsi di Indonesia.
Read More : Tanpa Pendidikan dan Pekerjaan, Pengungsi di Asia Tenggara Sangat Rentan




anasabila dan sebelahblog memberi reputasi
2
2.4K
20


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan