- Beranda
- Komunitas
- Story
- Stories from the Heart
Drama Pencurian Harta Warisan


TS
vanerio
Drama Pencurian Harta Warisan
Semua terjadi begitu saja, entah siapa yang salah atau siapa yang benar kita semua tidak ada yang tahu. Suasana masih terasa sangat panas diruangan ini. Walau hanya ada aku, Nur, dan Chandra. Sebenarnya, masih ada seorang pengacara keluarga dan Mas Jodi, tetapi mereka telah pergi meninggalkan kami. Raut wajah kami penuh dengan emosi, setelah pengacara keluarga membacakan isi surat wasiat pak Hamran yang meninggal beberapa hari yang lalu.
Kami semua tak ingin mendengarkan isi surat wasiat itu. Lagipula niatku yang ingin mencuri harta warisan Pak Hamran juga telah aku urungkan jauh sebelum Pak Hamran meninggal. Hanya saja, Mas Jodi tetap bersikeras untuk membacakan surat wasiatnya sekarang. Sementara, Nur dan Chandra selalu menolaknya. Apa mau dikata, Mas Jodi adalah yang tertua diantara mereka, mau tak mau surat itu pun dibacakan.
Sempat ada bersitegang antara Mas Jodi, Nur, dan Chandra mengenai isi dari surat wasiat itu. Tetapi, Mas Jodi tetaplah pemenang dari perdebatan mereka. Kembali lagi Mas Jodi adalah yang tertua diantara mereka mau berdebat bagaimana pun keputusan Mas Jodi adalah keputusan mutlak, keputusan final, saat ini Mas Jodi lah pengganti Pak Hamran.
Sekarang tinggal giliranku, kenapa? Karena ada namaku di surat wasiat tersebut. Awalnya, aku datang kesini karena memang undangan dari Mas Jodi, itu pun karena paksaan. Aku sadar, aku bukanlah bagian dari keluarga Pak Hamran, untuk apa aku datang, toh tidak akan ada nama ku disitu. Tetapi, setelah dibacakan, aku tak menduga, aku hanya bisa terdiam, tuturku seakan terkunci dan tak mampu bertutur kata apa pun.
Sungguh, aku tertunduk malu. Mas Jodi melirik ke arahku, ada tatapan mata yang berbeda, sorotan tajam yang tertuju untuk orang yang hendak mencuri harta warisannya itu. Aku tak berani memandang Mas Jodi, aku benar-benar malu. Ingin aku bertanya, tetapi aku tak kuasa. Hanya diam adalah jawaban dan sikap yang benar menurutku saat ini.
Tidak hanya pada sorotan matanya saja yang tajam, melainkan kepalan tangan saat bersalaman denganku juga sangat erat, berbeda dengan kepalan tangan Mas Jodi biasanya. Sempat terbesit bahwa itu adalah efek dari latihan gym yang selalu dijalani Mas Jodi. Tetapi, seketika pikiran itu terhapus oleh rasa yang aku tak tahu, karena Mas Jodi hanya menatapku tajam. Berbeda dengan Nur dan Chandra yang langsung bersuara lantang.
“Aku yakin surat wasiat itu pasti salah,” kata Chandra yang berdiri dari duduknya, dan dengan kesal melempar gelas yang berada didepannya.
“Aku juga yakin Chan, pasti ada kesalahan, nggak mungkin Ayah akan menulis surat wasiat dan membagi uangnya kepada orang lain yang tidak dikenal, apalagi dia baru saja datang dan mengijakkan kaki dirumah ini,” kata Nur yang melirik kearahku tajam.
“Lalu? Kalian menuduhku?” kataku yang masih duduk dan meminum segelas air putih sampai habis.
“Lalu, siapa lagi? Nggak mungkin kan Mas Joni? Kami lebih tahu siapa Papa dan Mas Joni, apalagi Mas Joni, dia lebih pelit daripada Papa,” kata Chandra yang mulai mendekatiku.
“Lebih baik kamu jujur kepada kami! Apa yang kamu lakukan sebelum kematian Papa?” Tanya Nur,
“Aku hanya sedikit meracuni pikirannya dengan menyertakan data dan fakta tentang siapa kalian sebenarnya,” kataku dalam hati yang ku sertai dengan sedikit senyuman kecil.
“Jawab!!!” kata Chandra yang sekarang menarik jaketku, matanya menyiratkan betapa bencinya ia kepadaku.
“Kamu pikir, semua itu kesalahanku? Kamu pikir aku yang membuat Pak Hamran membagi warisannya untukku? Sekarang, jawab
pertanyaanku, dimana kalian saat pak Hamran sakit?” Kataku dengan mendorong Chandra melepaskan tangannya dari jaketku, Chandra tersungkur, emosiku mulai meledak.
“Aku bertemu dengan Pak Hamran di persimpangan jalan, waktu itu ban mobil kalian bocor, Tidak ada seorang pun dari kalian yang mau membantu beliau, lalu kalian pergi karena kesibukan kalian masing-masing, aku datang membantu Pak Hamran, menolongnya mengganti ban, lalu aku datang ke rumah ini, dan saat itu beliau sudah menunjukkan bahwa keadaannya tidaklah sehat,” kataku.
“Dan, sejak saat itu pula aku berniat untuk mencuri uangnya, lalu uang itu akan kugunakan untuk membiayai pengobatan ibu dan menutup hutang-hutang yang masih menumpuk banyak, tetapi aku tak mau dengan cara yang keji, aku ingin seolah-olah Pak Hamran memberikan hartanya kepadaku,” kataku didalam hati.
“Kau bohong, Ayah tidak menunjukkan kalau dia sakit?” kata Nur yang mencoba membenarkan diri.
“Jangan kau menutup mata akan hal itu Nur, aku tahu sebenarnya kau sudah tahu sejak dulu jika Pak Hamran menderita penyakit jantung, kau lupa ketika kau menemukan sebuah obat di laci meja kerja beliau? Lalu, kau bertanya kepadaku, dan aku terpaksa berbohong, karena Pak Hamran tidak ingin kalian tahu, dan aku masih ingat betul kau tak percaya dengan itu, lalu kau mencoba menelpon dokter keluarga, hanya saja waktu itu kau terburu-buru, aku tak tahu apa maksudmu dengan terburu-buru. Kau tahu, Pak Hamran selalu mengeluh tentang dirimu yang tak pernah bisa menjadi perempuan dirumah ini.”
“Kau bohong, Ayah selalu bangga kepadaku,” kata Nur yang masih tak percaya dengan ceritaku.
“Itu hanya sebuah kamuflase agar kau tidak terlalu larut dalam kesedihan, setelah kepergian ibu kalian, Kau tampak sekali terpukul dan jalanmu menjadi berbelok arah, dan berubah,” kataku kepada Nur.
“Dan, semenjak itu, aku mencoba untuk mengarahkanmu ke jalan yang sangat buruk, aku memperkenalkanmu kepada Jodi, seorang playboy yang berhasil mengeruk hartamu, yang berhasil membuat Pak Hamran merasa kecewa kepadamu, hingga kau menjadi salah satu anak yang tak pernah diharapkan lagi oleh beliau, walaupun, dalam hatinya yang terdalam beliau begitu merindukan kehadiranmu, tetapi tidak apa memang itulah yang akan membuat penyakit jantung Pak Hamran semakin parah dan semakin lemah,” kata ku dalam hati.
“Apakah kau tahu? Sebenarnya Pak Hamran tidak setuju dengan pernikahanmu dengan Jodi,” kataku yang masih mencoba menyudutkan Nur.
“Bohong! Aku pernah bertanya kepada Papa soal itu,” kata Nur.
“Lalu, apa Pak Hamran menjawab ya? Beliau tidak menjawab apa pun Nur, beliau hanya terdiam dan batuk-batuk saja, apakah itu sebuah jawaban Nur?” kataku yang semakin menyudutkan Nur.
“Sejak saat itu, aku berpura-pura menjadi seorang yang menderita dan bahkan lebih menderita daripada engkau Nur, rasa kecewa Pak Hamran kepadamu membuatku dengan mudah membius Pak Hamran yang sombong dan pelit itu memberikanku uang ya, walaupun aku harus mendengar celotehannya, mendengar segala keluh kesahnya, menuruti segala keinginannya yang sedikit tak masuk akal dan bersifat pemaksaan, tetapi setiap hari aku selalu membawa uang lebih dari 500 ribu, uang yang seharusnya untukmu, tetapi diberikan untukku.” Kata ku dalam hati.
“Hentikan bualan mu itu, Syahid,” kata Chandra yang memukulku.
“Ingat kau hanya anak pungut, yang dipungut oleh Papa, kau tak seharusnya mendapatkan uang warisan Papa,” kata Chandra lagi.
“Aku memang anak pungut Chandra, tetapi aku adalah anak yang memang diharapkan oleh Pak Hamran, karena setelah aku menghacurkan nama Nur, aku pun berhasil menghancurkan namamu dengan membuatmu sibuk bekerja, aku tahu darah ayahmu mengalir ke tubuhmu, kau gila bekerja, dan kau juga gila harta, oleh karena itu aku menyuruh Jodi pula untuk mencari tahu apa kesukaanmu, untung saja Jodi mengenal seorang produser yang mampu membeli semua karya-karyamu, walau aku harus merogoh uang yang begitu dalam untuk melaksankan rencana ini, tetapi tidak masalah, karena uang yang ku pakai untuk membayar produser itu adalah uang Papamu, dengan beralasan, jika aku tak bisa datang karena tidak ada transportasi, padahal aku dirumah masih punya motor yang sangat layak,” kataku dalam hati, kemudian aku bangkit dan memukul Chandra.
“Tidak pantas kau bilang? Jika aku tidak pantas, mengapa Pak Hamran mau menurut semua perintahku, mengapa dia selalu mengharap kedatanganku dibanding kedatangan kalian? Kau masih ingat, saat karyamu dibeli oleh seorang produser dan kau mulai sibuk, Pak Hamran mulai sendiri, siapa yang dia telepon? Siapa yang dia harapakan datang untuk menemani kesepiannya? Dan, apakah kau masih ingat saat kau merayakan pesta ulang tahun, Pak Hamran lebih memilih menemaniku dirumah sakit, dan disana beliau bercerita tentang kecewanya beliau kepadamu,”
“Semenjak saat itu, aku mulai berpikir ulang untuk mencuri harta warisan Pak Hamran, aku tak pernah mengira beliau mau merawatku dari awal sampai akhir, beliau rela menemaniku dirumah sakit, tidur di sofa, membelikanku makanan dan minuman, bercerita tentang masa mudanya yang penuh kebahagiaan, dan tentang kisah asmaranya dengan istrinya yang begitu romantis, Sungguh baru kali ini aku merasakan kasih sayang Ayah, karena sejak dahulu aku hanya hidup berdua dengan ibu,” kata ku dalam hati
“Dan, apakah kalian tahu, jika anak yang paling dibenci oleh Pak Hamran adalah Mas Joni, karena dia adalah orang yang terang-terangan ingin mengusai semua harta warisan Pak Hamran,” kataku yang masih menahan sakit akibat pukulan Chandra tadi,
“Kau bohong! Aku tidak percaya Mas Joni akan seperti itu,” kata Nur.
“Kau memang pembohong, akan ku bunuh kau!” kata Chandra yang mulai mendekatiku, tetapi amarahnya ditahan oleh Nur.
“Tanya sendiri dengan Mas Joni jika kau tak percaya,”
“Mas Joni adalah anak pertama Pak Hamran dari istri pertamanya, sayangnya istri pertama Pak Hamran meninggal dua hari setelah Mas Joni lahir, Dia bunuh diri karena tak tahan dengan tingkah laku pak Hamran, beruntung Pak Hamran adalah orang pertama yang tahu jika istrinya bunuh diri, akhirnya Pak Hamran pun merangkai sebuah cerita agar istri pertamanya itu dibunuh oleh seseorang, agar harta warisan ayahnya jatuh ketangan Pak Hamran sesuai dengan kesepakatan yang sudah ditandatangani saat mereka menikah dahulu, Mas Joni tahu cerita ini, dia ingin sekali membalas dendam, hanya saja aku keburu datang dan menjadi penghalang semua keinginan Mas Joni,” kataku dalam hati
Mereka duduk dengan penyesalan yang sudah lagi tak berarti. Pertanyaan tentang Mas Joni masih menghantui mereka. Sayangnya, Mas Joni salah dalam mengambil keputusan dan tindakan. Aku pergi meninggalkan Chandra dan Nur. Tersenyum, karena setidaknya aku masih mendapatkan uang, walau ada rencana yang tidak aku lakukan, karena rasa sayangku kepada Pak Hamran.
Aku tak tahu, apa maksud sorotan tajam Mas Joni tadi. Aku pun juga tak tahu bagaimana sikapnya setelah ini, dia cukup menakutkan dan cukup misterius. Mungkin, aku harus lebih berhati-hati, agar kedokku tidak terbongkar, walau saat ini aku telah melepas topengku seutuhnya.
Kami semua tak ingin mendengarkan isi surat wasiat itu. Lagipula niatku yang ingin mencuri harta warisan Pak Hamran juga telah aku urungkan jauh sebelum Pak Hamran meninggal. Hanya saja, Mas Jodi tetap bersikeras untuk membacakan surat wasiatnya sekarang. Sementara, Nur dan Chandra selalu menolaknya. Apa mau dikata, Mas Jodi adalah yang tertua diantara mereka, mau tak mau surat itu pun dibacakan.
Sempat ada bersitegang antara Mas Jodi, Nur, dan Chandra mengenai isi dari surat wasiat itu. Tetapi, Mas Jodi tetaplah pemenang dari perdebatan mereka. Kembali lagi Mas Jodi adalah yang tertua diantara mereka mau berdebat bagaimana pun keputusan Mas Jodi adalah keputusan mutlak, keputusan final, saat ini Mas Jodi lah pengganti Pak Hamran.
Sekarang tinggal giliranku, kenapa? Karena ada namaku di surat wasiat tersebut. Awalnya, aku datang kesini karena memang undangan dari Mas Jodi, itu pun karena paksaan. Aku sadar, aku bukanlah bagian dari keluarga Pak Hamran, untuk apa aku datang, toh tidak akan ada nama ku disitu. Tetapi, setelah dibacakan, aku tak menduga, aku hanya bisa terdiam, tuturku seakan terkunci dan tak mampu bertutur kata apa pun.
Sungguh, aku tertunduk malu. Mas Jodi melirik ke arahku, ada tatapan mata yang berbeda, sorotan tajam yang tertuju untuk orang yang hendak mencuri harta warisannya itu. Aku tak berani memandang Mas Jodi, aku benar-benar malu. Ingin aku bertanya, tetapi aku tak kuasa. Hanya diam adalah jawaban dan sikap yang benar menurutku saat ini.
Tidak hanya pada sorotan matanya saja yang tajam, melainkan kepalan tangan saat bersalaman denganku juga sangat erat, berbeda dengan kepalan tangan Mas Jodi biasanya. Sempat terbesit bahwa itu adalah efek dari latihan gym yang selalu dijalani Mas Jodi. Tetapi, seketika pikiran itu terhapus oleh rasa yang aku tak tahu, karena Mas Jodi hanya menatapku tajam. Berbeda dengan Nur dan Chandra yang langsung bersuara lantang.
“Aku yakin surat wasiat itu pasti salah,” kata Chandra yang berdiri dari duduknya, dan dengan kesal melempar gelas yang berada didepannya.
“Aku juga yakin Chan, pasti ada kesalahan, nggak mungkin Ayah akan menulis surat wasiat dan membagi uangnya kepada orang lain yang tidak dikenal, apalagi dia baru saja datang dan mengijakkan kaki dirumah ini,” kata Nur yang melirik kearahku tajam.
“Lalu? Kalian menuduhku?” kataku yang masih duduk dan meminum segelas air putih sampai habis.
“Lalu, siapa lagi? Nggak mungkin kan Mas Joni? Kami lebih tahu siapa Papa dan Mas Joni, apalagi Mas Joni, dia lebih pelit daripada Papa,” kata Chandra yang mulai mendekatiku.
“Lebih baik kamu jujur kepada kami! Apa yang kamu lakukan sebelum kematian Papa?” Tanya Nur,
“Aku hanya sedikit meracuni pikirannya dengan menyertakan data dan fakta tentang siapa kalian sebenarnya,” kataku dalam hati yang ku sertai dengan sedikit senyuman kecil.
“Jawab!!!” kata Chandra yang sekarang menarik jaketku, matanya menyiratkan betapa bencinya ia kepadaku.
“Kamu pikir, semua itu kesalahanku? Kamu pikir aku yang membuat Pak Hamran membagi warisannya untukku? Sekarang, jawab
pertanyaanku, dimana kalian saat pak Hamran sakit?” Kataku dengan mendorong Chandra melepaskan tangannya dari jaketku, Chandra tersungkur, emosiku mulai meledak.
“Aku bertemu dengan Pak Hamran di persimpangan jalan, waktu itu ban mobil kalian bocor, Tidak ada seorang pun dari kalian yang mau membantu beliau, lalu kalian pergi karena kesibukan kalian masing-masing, aku datang membantu Pak Hamran, menolongnya mengganti ban, lalu aku datang ke rumah ini, dan saat itu beliau sudah menunjukkan bahwa keadaannya tidaklah sehat,” kataku.
“Dan, sejak saat itu pula aku berniat untuk mencuri uangnya, lalu uang itu akan kugunakan untuk membiayai pengobatan ibu dan menutup hutang-hutang yang masih menumpuk banyak, tetapi aku tak mau dengan cara yang keji, aku ingin seolah-olah Pak Hamran memberikan hartanya kepadaku,” kataku didalam hati.
“Kau bohong, Ayah tidak menunjukkan kalau dia sakit?” kata Nur yang mencoba membenarkan diri.
“Jangan kau menutup mata akan hal itu Nur, aku tahu sebenarnya kau sudah tahu sejak dulu jika Pak Hamran menderita penyakit jantung, kau lupa ketika kau menemukan sebuah obat di laci meja kerja beliau? Lalu, kau bertanya kepadaku, dan aku terpaksa berbohong, karena Pak Hamran tidak ingin kalian tahu, dan aku masih ingat betul kau tak percaya dengan itu, lalu kau mencoba menelpon dokter keluarga, hanya saja waktu itu kau terburu-buru, aku tak tahu apa maksudmu dengan terburu-buru. Kau tahu, Pak Hamran selalu mengeluh tentang dirimu yang tak pernah bisa menjadi perempuan dirumah ini.”
“Kau bohong, Ayah selalu bangga kepadaku,” kata Nur yang masih tak percaya dengan ceritaku.
“Itu hanya sebuah kamuflase agar kau tidak terlalu larut dalam kesedihan, setelah kepergian ibu kalian, Kau tampak sekali terpukul dan jalanmu menjadi berbelok arah, dan berubah,” kataku kepada Nur.
“Dan, semenjak itu, aku mencoba untuk mengarahkanmu ke jalan yang sangat buruk, aku memperkenalkanmu kepada Jodi, seorang playboy yang berhasil mengeruk hartamu, yang berhasil membuat Pak Hamran merasa kecewa kepadamu, hingga kau menjadi salah satu anak yang tak pernah diharapkan lagi oleh beliau, walaupun, dalam hatinya yang terdalam beliau begitu merindukan kehadiranmu, tetapi tidak apa memang itulah yang akan membuat penyakit jantung Pak Hamran semakin parah dan semakin lemah,” kata ku dalam hati.
“Apakah kau tahu? Sebenarnya Pak Hamran tidak setuju dengan pernikahanmu dengan Jodi,” kataku yang masih mencoba menyudutkan Nur.
“Bohong! Aku pernah bertanya kepada Papa soal itu,” kata Nur.
“Lalu, apa Pak Hamran menjawab ya? Beliau tidak menjawab apa pun Nur, beliau hanya terdiam dan batuk-batuk saja, apakah itu sebuah jawaban Nur?” kataku yang semakin menyudutkan Nur.
“Sejak saat itu, aku berpura-pura menjadi seorang yang menderita dan bahkan lebih menderita daripada engkau Nur, rasa kecewa Pak Hamran kepadamu membuatku dengan mudah membius Pak Hamran yang sombong dan pelit itu memberikanku uang ya, walaupun aku harus mendengar celotehannya, mendengar segala keluh kesahnya, menuruti segala keinginannya yang sedikit tak masuk akal dan bersifat pemaksaan, tetapi setiap hari aku selalu membawa uang lebih dari 500 ribu, uang yang seharusnya untukmu, tetapi diberikan untukku.” Kata ku dalam hati.
“Hentikan bualan mu itu, Syahid,” kata Chandra yang memukulku.
“Ingat kau hanya anak pungut, yang dipungut oleh Papa, kau tak seharusnya mendapatkan uang warisan Papa,” kata Chandra lagi.
“Aku memang anak pungut Chandra, tetapi aku adalah anak yang memang diharapkan oleh Pak Hamran, karena setelah aku menghacurkan nama Nur, aku pun berhasil menghancurkan namamu dengan membuatmu sibuk bekerja, aku tahu darah ayahmu mengalir ke tubuhmu, kau gila bekerja, dan kau juga gila harta, oleh karena itu aku menyuruh Jodi pula untuk mencari tahu apa kesukaanmu, untung saja Jodi mengenal seorang produser yang mampu membeli semua karya-karyamu, walau aku harus merogoh uang yang begitu dalam untuk melaksankan rencana ini, tetapi tidak masalah, karena uang yang ku pakai untuk membayar produser itu adalah uang Papamu, dengan beralasan, jika aku tak bisa datang karena tidak ada transportasi, padahal aku dirumah masih punya motor yang sangat layak,” kataku dalam hati, kemudian aku bangkit dan memukul Chandra.
“Tidak pantas kau bilang? Jika aku tidak pantas, mengapa Pak Hamran mau menurut semua perintahku, mengapa dia selalu mengharap kedatanganku dibanding kedatangan kalian? Kau masih ingat, saat karyamu dibeli oleh seorang produser dan kau mulai sibuk, Pak Hamran mulai sendiri, siapa yang dia telepon? Siapa yang dia harapakan datang untuk menemani kesepiannya? Dan, apakah kau masih ingat saat kau merayakan pesta ulang tahun, Pak Hamran lebih memilih menemaniku dirumah sakit, dan disana beliau bercerita tentang kecewanya beliau kepadamu,”
“Semenjak saat itu, aku mulai berpikir ulang untuk mencuri harta warisan Pak Hamran, aku tak pernah mengira beliau mau merawatku dari awal sampai akhir, beliau rela menemaniku dirumah sakit, tidur di sofa, membelikanku makanan dan minuman, bercerita tentang masa mudanya yang penuh kebahagiaan, dan tentang kisah asmaranya dengan istrinya yang begitu romantis, Sungguh baru kali ini aku merasakan kasih sayang Ayah, karena sejak dahulu aku hanya hidup berdua dengan ibu,” kata ku dalam hati
“Dan, apakah kalian tahu, jika anak yang paling dibenci oleh Pak Hamran adalah Mas Joni, karena dia adalah orang yang terang-terangan ingin mengusai semua harta warisan Pak Hamran,” kataku yang masih menahan sakit akibat pukulan Chandra tadi,
“Kau bohong! Aku tidak percaya Mas Joni akan seperti itu,” kata Nur.
“Kau memang pembohong, akan ku bunuh kau!” kata Chandra yang mulai mendekatiku, tetapi amarahnya ditahan oleh Nur.
“Tanya sendiri dengan Mas Joni jika kau tak percaya,”
“Mas Joni adalah anak pertama Pak Hamran dari istri pertamanya, sayangnya istri pertama Pak Hamran meninggal dua hari setelah Mas Joni lahir, Dia bunuh diri karena tak tahan dengan tingkah laku pak Hamran, beruntung Pak Hamran adalah orang pertama yang tahu jika istrinya bunuh diri, akhirnya Pak Hamran pun merangkai sebuah cerita agar istri pertamanya itu dibunuh oleh seseorang, agar harta warisan ayahnya jatuh ketangan Pak Hamran sesuai dengan kesepakatan yang sudah ditandatangani saat mereka menikah dahulu, Mas Joni tahu cerita ini, dia ingin sekali membalas dendam, hanya saja aku keburu datang dan menjadi penghalang semua keinginan Mas Joni,” kataku dalam hati
Mereka duduk dengan penyesalan yang sudah lagi tak berarti. Pertanyaan tentang Mas Joni masih menghantui mereka. Sayangnya, Mas Joni salah dalam mengambil keputusan dan tindakan. Aku pergi meninggalkan Chandra dan Nur. Tersenyum, karena setidaknya aku masih mendapatkan uang, walau ada rencana yang tidak aku lakukan, karena rasa sayangku kepada Pak Hamran.
Aku tak tahu, apa maksud sorotan tajam Mas Joni tadi. Aku pun juga tak tahu bagaimana sikapnya setelah ini, dia cukup menakutkan dan cukup misterius. Mungkin, aku harus lebih berhati-hati, agar kedokku tidak terbongkar, walau saat ini aku telah melepas topengku seutuhnya.
Diubah oleh vanerio 18-12-2017 10:53


anasabila memberi reputasi
1
2.5K
9


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan