- Beranda
- Komunitas
- Story
- Stories from the Heart
Untuk Merapi. Terimakasih.
TS
mangkok97
Untuk Merapi. Terimakasih.
Spoiler for Ilustrasi:
Quote:
Quote:
Wacana spontan di satu percakapan kosan sebelum dimulainya rangkaian acara ospek itu pun benar-benar terealisasi. Hari itu, Jumat, 26 Agustus 2017, kami yang merupakan kata ganti dari aku dan satu temanku berangkat dari pusat kota jam 10, saat tidak ada matahari terlihat di langit, dengan sebuah motor matic tua yang pemiliknya pun mungkin tidak tahu kapan terakhir kali olinya diganti. Aku dibelakang, dia didepan.
Yang menarik adalah, dengan memutuskan berangkat pada saat itu, tanpa disadari kami telah bersepakat dengan dingin dan sunyinya jalan menuju pos awal jalur pendakian New Selo Merapi. Tidak ada tujuan tertentu dengan Merapi, hanya ingin melihat dari sudut pandang berbeda.
Kurang lebih lama waktu perjalanan kami adalah 7200 detik dan setegahnya kami lalui di dingin dan sunyinya kaki gunung Merapi. Seolah dingin dan sunyi belum cukup, jalan aspal yang cukup terjal ikut menyambut kedatangan dua orang pemuda yang belum ada seujung kuku Daerah Istimewa. Aku sebagai orang belakang senantiasa mengucap kepada Allah di sepanjang sunyi. Aku ketakutan, tetapi temanku ketakutan dan kedinginan. Satu spanduk iklan berwarna putih yang telah putus tali dianggapnya setan yang sedang melambai menyambut kami. Lampu yang nyala mati begitu cepat seolah mendikte degup jantungku. Apakah kedinginan dapat menyebabkan halusinasi?
Sudah lelah dan kedinginan kami, nampaknya perjalanan masih jauh dari sampai. Di jalan yang cukup menanjak, motor matic satu ini rupanya ikut kelelahan. Tidak kuat dia menanjak, akupun mengalah untuk turun dan berendam sesaat di sunyi. Orang depan kemudian memacu motornya sembari mungkin dalam hatinya memberi semangat pada motor maticnya. Tidak lama mereka berhenti kulihat. Ternyata disitu pos awal pendakian berdiri.
Kami langsung mengistirahatkan motor matic yang tidak bisa disebutkan namanya itu. Kami juga istirahat. Tentu. Padahal dingin tidak lelah menyerang kami. Kami hanya berpura-pura tidak peduli. Harapan kami agar dingin tersebut bosan menggangu, tapi dia malah lebih bersemangat. “Baiklah” ujarku sambil memejamkan mata menunggu matahari menenangkan dingin.
Matahari terbit, setelah sarapan, kami naik. jantungku berdebar karena dipaksa memompa darah lebih banyak dari biasanya. Kami hanya membawa satu carrier pada saat itu. Bergantian. Dan satu lagi, kami mendaki untuk turun bukan untuk tinggal semalam.
Perjalanan dimulai dan mataku langsung tertuju pada terjalnya jalan. Kukira mendaki itu seperti berjalan panjang. Ahhhh Ternyata mendaki memang mendaki. Sepatu sewaan ini kurang keras cengkramannya di jalan berkerikil Merapi. Beberapa kali aku dan temanku terpleset, tangan tergores, berpangku pada vegetasi yang bersahabat karena tanpanya aku tidak punya genggaman. Lelah aku, banyak berhentinya, tetapi mengeluhpun aku enggan karena aku malu pada alam yang ku tantang sendiri. Hampir sampai di pos pertama, kukira akan ada jajanan disana dan ternyata sekedar pendopo saja. Ahhhh ! Akhirya hanya beberapa lapis biskuit yang ku nikmati, tak bisa aku menyeduh !
Lanjut perjalanan, Merapi memang menakjubkan. Temanku berkata, Merapi merupakan salah satu yang trek pendakiannya paling komplit dari semua gunung yang pernah ia daki. Dari trek hutan, batu, kerikil, Merapi menyediakannya. Pemandangannya mengambil nafasku. Indahnya Daerah Istimewa dari sudut pandang ini. Pendaki lain pun senantiasa menyapa, menambah hangat di dalam dingin.
Singkat cerita kami hampir mencapai pos ketiga. Sebelum melanjutkan ke pos tiga, temanku si orang depan sengaja mengelar kasur untuk beristirahat sejenak. Tetapi kasur itu dibuatnya menggantung di antara pohon. Aku disini saja, bersetubuh dengan tanah. agar lebih jauh jarakku dengan langit yang penuh misteri itu.
Setelah puas dan fikiran kami kembali jernih dari lelah. Kami memutuskan untuk mengurungkan niat menuju pasar bubrah (pos tiga). Kami hanya sedikit menyentuhnya untuk mengabadikan momen lalu turun.
Di perjalanan naik, kami sudah kelelahan, perjalanan turun membuat kami kesakitan. Dalam mendaki gunung, perjalanan turun akan lebih cepat karena para pendaki akan mengendalikan gravitasi untuk sampai dataran lebih cepat. Yang perlu dikorbankan hanyalah engkel, kaki, betis, dan kawan-kawannya.
Tak terasa sepatu gunung sewaanku robek alasnya. Sial ! Menganga dia. Yang ku takutkan adalah ganti rugi, tapi belum sampai kesana, sepatu itu sudah mengangguku di perjalanan turun yang seharusnya mengandalkan benda bernama sepatu itu. Temanku meluncur, dan aku meluncur tidak terkendali. Apapun aku raih untuk berhenti bahkan udara.
Kami sudah sampai di jalur beraspal. Nikmatnya berjalan mundur untuk menunda sakit kaki. Sebelum pulang, kami menyempatkan diri menikmati mie instan di kedai sederhana di pintu masuk jalur pendakian. Kufikir rasanya memang sama sekali berbeda dari mie instan di kota. Setelah itu, aku, dan hanya aku dan Tuhanku yang tahu berpamitan pada Merapi dalam hati. Siapatahu kita bertemu lagi. Tidak lupa aku membawa kenangan akan Merapi dan cerita. Karena ini pertama kalinya aku mendaki alam. Terimakasih untukmu, kawanku yang mendampingi dan juga engkau wahai Merapi. Terimakasih telah memberikan cerita.
Yang menarik adalah, dengan memutuskan berangkat pada saat itu, tanpa disadari kami telah bersepakat dengan dingin dan sunyinya jalan menuju pos awal jalur pendakian New Selo Merapi. Tidak ada tujuan tertentu dengan Merapi, hanya ingin melihat dari sudut pandang berbeda.
Kurang lebih lama waktu perjalanan kami adalah 7200 detik dan setegahnya kami lalui di dingin dan sunyinya kaki gunung Merapi. Seolah dingin dan sunyi belum cukup, jalan aspal yang cukup terjal ikut menyambut kedatangan dua orang pemuda yang belum ada seujung kuku Daerah Istimewa. Aku sebagai orang belakang senantiasa mengucap kepada Allah di sepanjang sunyi. Aku ketakutan, tetapi temanku ketakutan dan kedinginan. Satu spanduk iklan berwarna putih yang telah putus tali dianggapnya setan yang sedang melambai menyambut kami. Lampu yang nyala mati begitu cepat seolah mendikte degup jantungku. Apakah kedinginan dapat menyebabkan halusinasi?
Sudah lelah dan kedinginan kami, nampaknya perjalanan masih jauh dari sampai. Di jalan yang cukup menanjak, motor matic satu ini rupanya ikut kelelahan. Tidak kuat dia menanjak, akupun mengalah untuk turun dan berendam sesaat di sunyi. Orang depan kemudian memacu motornya sembari mungkin dalam hatinya memberi semangat pada motor maticnya. Tidak lama mereka berhenti kulihat. Ternyata disitu pos awal pendakian berdiri.
Kami langsung mengistirahatkan motor matic yang tidak bisa disebutkan namanya itu. Kami juga istirahat. Tentu. Padahal dingin tidak lelah menyerang kami. Kami hanya berpura-pura tidak peduli. Harapan kami agar dingin tersebut bosan menggangu, tapi dia malah lebih bersemangat. “Baiklah” ujarku sambil memejamkan mata menunggu matahari menenangkan dingin.
Matahari terbit, setelah sarapan, kami naik. jantungku berdebar karena dipaksa memompa darah lebih banyak dari biasanya. Kami hanya membawa satu carrier pada saat itu. Bergantian. Dan satu lagi, kami mendaki untuk turun bukan untuk tinggal semalam.
Perjalanan dimulai dan mataku langsung tertuju pada terjalnya jalan. Kukira mendaki itu seperti berjalan panjang. Ahhhh Ternyata mendaki memang mendaki. Sepatu sewaan ini kurang keras cengkramannya di jalan berkerikil Merapi. Beberapa kali aku dan temanku terpleset, tangan tergores, berpangku pada vegetasi yang bersahabat karena tanpanya aku tidak punya genggaman. Lelah aku, banyak berhentinya, tetapi mengeluhpun aku enggan karena aku malu pada alam yang ku tantang sendiri. Hampir sampai di pos pertama, kukira akan ada jajanan disana dan ternyata sekedar pendopo saja. Ahhhh ! Akhirya hanya beberapa lapis biskuit yang ku nikmati, tak bisa aku menyeduh !
Lanjut perjalanan, Merapi memang menakjubkan. Temanku berkata, Merapi merupakan salah satu yang trek pendakiannya paling komplit dari semua gunung yang pernah ia daki. Dari trek hutan, batu, kerikil, Merapi menyediakannya. Pemandangannya mengambil nafasku. Indahnya Daerah Istimewa dari sudut pandang ini. Pendaki lain pun senantiasa menyapa, menambah hangat di dalam dingin.
Singkat cerita kami hampir mencapai pos ketiga. Sebelum melanjutkan ke pos tiga, temanku si orang depan sengaja mengelar kasur untuk beristirahat sejenak. Tetapi kasur itu dibuatnya menggantung di antara pohon. Aku disini saja, bersetubuh dengan tanah. agar lebih jauh jarakku dengan langit yang penuh misteri itu.
Setelah puas dan fikiran kami kembali jernih dari lelah. Kami memutuskan untuk mengurungkan niat menuju pasar bubrah (pos tiga). Kami hanya sedikit menyentuhnya untuk mengabadikan momen lalu turun.
Di perjalanan naik, kami sudah kelelahan, perjalanan turun membuat kami kesakitan. Dalam mendaki gunung, perjalanan turun akan lebih cepat karena para pendaki akan mengendalikan gravitasi untuk sampai dataran lebih cepat. Yang perlu dikorbankan hanyalah engkel, kaki, betis, dan kawan-kawannya.
Tak terasa sepatu gunung sewaanku robek alasnya. Sial ! Menganga dia. Yang ku takutkan adalah ganti rugi, tapi belum sampai kesana, sepatu itu sudah mengangguku di perjalanan turun yang seharusnya mengandalkan benda bernama sepatu itu. Temanku meluncur, dan aku meluncur tidak terkendali. Apapun aku raih untuk berhenti bahkan udara.
Kami sudah sampai di jalur beraspal. Nikmatnya berjalan mundur untuk menunda sakit kaki. Sebelum pulang, kami menyempatkan diri menikmati mie instan di kedai sederhana di pintu masuk jalur pendakian. Kufikir rasanya memang sama sekali berbeda dari mie instan di kota. Setelah itu, aku, dan hanya aku dan Tuhanku yang tahu berpamitan pada Merapi dalam hati. Siapatahu kita bertemu lagi. Tidak lupa aku membawa kenangan akan Merapi dan cerita. Karena ini pertama kalinya aku mendaki alam. Terimakasih untukmu, kawanku yang mendampingi dan juga engkau wahai Merapi. Terimakasih telah memberikan cerita.
anasabila memberi reputasi
1
1.8K
Kutip
12
Balasan
Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan