- Beranda
- Komunitas
- Story
- Stories from the Heart
[ROmance] Dua Cinta, Satu Kamar [TAMAT]


TS
fadw.crtv
[ROmance] Dua Cinta, Satu Kamar [TAMAT]
Quote:
Quote:
Sinopsis
Quote:
Seorang pemuda bernama Ian merasa tidak betah berada di rumahnya akibat satu dan lain hal. Pekerjaannya sebagai pekerja lepas di salah satu perusahaan di kotanya terbebani oleh suasana rumah yang berisik dan tidak kondusif. Dia pun akhirnya mencari sebuah kamar kos untuk ditempatinya.
Sebenarnya dia bisa datang ke kantor setiap hari untuk mengerjakan pekerjaannya, tetapi suasana kantor yang sangat dia jauhi, terpaksa membuatnya mengambil jalan lain.
Kehidupannya saat tinggal di kamar kos ternyata di luar ekspetasinya. Kejadian-kejadian tidak terduga pun harus dia alami. Penghuni kos lain ternyata membawa kisah tersendiri bagi diri Ian. Apakah yang akan terjadi dengan kehidupannya ke depan?
Sebenarnya dia bisa datang ke kantor setiap hari untuk mengerjakan pekerjaannya, tetapi suasana kantor yang sangat dia jauhi, terpaksa membuatnya mengambil jalan lain.
Kehidupannya saat tinggal di kamar kos ternyata di luar ekspetasinya. Kejadian-kejadian tidak terduga pun harus dia alami. Penghuni kos lain ternyata membawa kisah tersendiri bagi diri Ian. Apakah yang akan terjadi dengan kehidupannya ke depan?
Quote:
Cerita ini hanyalah fiksi belaka.
Quote:
Quote:
Part 1
Quote:
Matahari masih saja terik sore ini. Panasnya tidak terlalu terasa karena kota ini masih menyimpan kesejukan walau tak seberapa. Mobil-mobil menyesaki jalanan kota, berhenti di perempatan menunggu lampu merah berganti hijau, dan ada pula yang memotong jalur mobil lain sembarangan.
Gue sedang duduk di dalam mobil kaum urban dengan ukuran kecil ini. Teman gue yang mengemudi dengan serius mengantri untuk menembus kemacetan. Jika dia sedang serius, gue tidak bisa mengajaknya mengobrol barang sekedar basa basi. Gue hanya melihat motor-motor yang lewat dari sebelah kiri mobil ini.
“Berhenti di sana aja, bro, itu depan apotek,” ucap gue pada teman gue sambil menunjuk ke apotek 50 meter di depan mobil ini.
“Duh, mau ke mana sih lu sebenernya?” tanya teman gue sambil meminggirkan mobilnya.
“Dibilangin mau minggat, makanya kalau gue lagi ngobrol ya dengerin, jangan serius nyetir.” Gue pun turun dari mobil.
Aroma nikmat masakan menyambut gue saat keluar dari mobil. Terasa lezat semua masakan-masakan yang sedang dibuat oleh restoran-restoran pinggir jalan yang mengapit apotek ini. Membuat lapar perut saja.
Pintu bagasi dibuka dengan tuas oleh teman gue dari kursi kemudi, dan gue pun mengambil sebuah tas ransel berukuran sedang dan sebuah koper yang akan gue bawa. Pintu bagasi gue tutup kembali setelah gue mengeluarkan tas dan koper gue.
Gue berjalan kembali ke depan untuk sekedar pamit. Kaca pintu mobil ini gue ketuk isyarat untuk teman gue menurunkan kaca mobilnya. Gue pun sedikit menunduk agar bisa melihat teman gue yang tengah duduk.
“BTW, makasih udah nganterin, ya, bro,” ucap gue sambil menjulurkan tangan tanda bersalaman.
“Iya, santai aja kali. Lu sebenernya mau kemana, sih?” tanyanya sambil menjabat tangan gue.
“Udah, lu enggak usah tahu, ya,” jawab gue sambil menarik tangan gue. “Oh, iya, kalau bokap nyokap gue tanya, lu bilang enggak tahu, ya,”
“Iya, emang gue enggak tahu lu kemana, kan?” ucapnya membuat gue tersenyum kecil.
“Yaudah, sana kalau mau balik, hati-hati.” Gue pun melangkah mundur sedikit menjauh dari mobil itu.
Mobil merah berplat D itu lalu menyalakan lampu sein ke kanan, tanda karena akan berbelok dan mengambil kembali jalur jalan raya. Mobil itu berjalan agak cepat dan berputar arah sekitar 20 meter dari tempat gue berdiri. Gue melihat dia melambaikan tangan saat mobilnya melewatiku setelah berputar balik. Gue pun membalasnya.
Kehidupan baru gue akan dimulai hari ini. Memang gue terpaksa harus seperti ini, karena keadaan di rumah yang sangat tidak kondusif bagi gue yang bekerja sebagai freelanceini. Bokap nyokap gue selalu membuat gue tidak bisa berkonsentrasi dan membuat kegaduhan dengan ocehan-ocehan mereka yang sangat mengganggu. Andai gue bisa mengecilkan volume suara ocehan-ocehan mereka, gue enggak perlu sampai sewa kamar begini.
Gue sedang duduk di dalam mobil kaum urban dengan ukuran kecil ini. Teman gue yang mengemudi dengan serius mengantri untuk menembus kemacetan. Jika dia sedang serius, gue tidak bisa mengajaknya mengobrol barang sekedar basa basi. Gue hanya melihat motor-motor yang lewat dari sebelah kiri mobil ini.
“Berhenti di sana aja, bro, itu depan apotek,” ucap gue pada teman gue sambil menunjuk ke apotek 50 meter di depan mobil ini.
“Duh, mau ke mana sih lu sebenernya?” tanya teman gue sambil meminggirkan mobilnya.
“Dibilangin mau minggat, makanya kalau gue lagi ngobrol ya dengerin, jangan serius nyetir.” Gue pun turun dari mobil.
Aroma nikmat masakan menyambut gue saat keluar dari mobil. Terasa lezat semua masakan-masakan yang sedang dibuat oleh restoran-restoran pinggir jalan yang mengapit apotek ini. Membuat lapar perut saja.
Pintu bagasi dibuka dengan tuas oleh teman gue dari kursi kemudi, dan gue pun mengambil sebuah tas ransel berukuran sedang dan sebuah koper yang akan gue bawa. Pintu bagasi gue tutup kembali setelah gue mengeluarkan tas dan koper gue.
Gue berjalan kembali ke depan untuk sekedar pamit. Kaca pintu mobil ini gue ketuk isyarat untuk teman gue menurunkan kaca mobilnya. Gue pun sedikit menunduk agar bisa melihat teman gue yang tengah duduk.
“BTW, makasih udah nganterin, ya, bro,” ucap gue sambil menjulurkan tangan tanda bersalaman.
“Iya, santai aja kali. Lu sebenernya mau kemana, sih?” tanyanya sambil menjabat tangan gue.
“Udah, lu enggak usah tahu, ya,” jawab gue sambil menarik tangan gue. “Oh, iya, kalau bokap nyokap gue tanya, lu bilang enggak tahu, ya,”
“Iya, emang gue enggak tahu lu kemana, kan?” ucapnya membuat gue tersenyum kecil.
“Yaudah, sana kalau mau balik, hati-hati.” Gue pun melangkah mundur sedikit menjauh dari mobil itu.
Mobil merah berplat D itu lalu menyalakan lampu sein ke kanan, tanda karena akan berbelok dan mengambil kembali jalur jalan raya. Mobil itu berjalan agak cepat dan berputar arah sekitar 20 meter dari tempat gue berdiri. Gue melihat dia melambaikan tangan saat mobilnya melewatiku setelah berputar balik. Gue pun membalasnya.
Kehidupan baru gue akan dimulai hari ini. Memang gue terpaksa harus seperti ini, karena keadaan di rumah yang sangat tidak kondusif bagi gue yang bekerja sebagai freelanceini. Bokap nyokap gue selalu membuat gue tidak bisa berkonsentrasi dan membuat kegaduhan dengan ocehan-ocehan mereka yang sangat mengganggu. Andai gue bisa mengecilkan volume suara ocehan-ocehan mereka, gue enggak perlu sampai sewa kamar begini.
Quote:
Setelah beberapa menit, gue berjalan menyebrang saat jalan sedikit sepi. Empat ruas jalan yang dibatasi separator ditengahnya, membuat gue kerepotan karena membawa koper dengan beban yang cukup berat. Akhirnya, sampai juga di seberang, ucap gue setelah berhasil menyebrangi jalan itu.
Gue melanjutkan jalan untuk bisa sampai menuju tempat kos yang gue sewa. Setelah memasuki jalan perumahan, gue bisa merasakan sedikit ketenangan di sini. Rumah-rumah sederhana berjajar rapi nan indah, satu dua rumah mewah pun berdiri angkuh diantara rumah-rumah sederhana itu.
Suara berisik kendaraan kini berganti dengan suara berisik dari roda koper yang gue tarik ini. Beberapa warga terlihat tengah santai di beranda rumahnya, anak-anak pun ada yang tengah berlari melewatiku. Entah dari mana datang mereka.
Sampai gue berhenti di depan gerbang berwarna biru langit. Tinggi gerbang ini gue rasa sekitar dua meter. Pagar geser ini terbuka setengah dan gue pun melangkah masuk. Suasana hening menyambut dari kosan ini, tempat yang cocok bagi seorang seperti gue ini.
Terdapat empat kamar di sebelah kiri dan tiga buah kamar mandi di ujungnya, serta lima kamar di sebelah kanan yang terpisah oleh jalan selebar empat meter. Mungkin jalan ini untuk parkir motor bagi para penghuni. Di depan kamar mandi terdapat bangunan menyerupai kamar juga. Mungkin itu dapur gue rasa karena pintunya terbuka dan terlihat kompor dari sini.
Suara musik dangdut koplo terdengar memecah lamunan gue. Dua orang wanita tengah duduk di depan kamar yang terbuka. Sedari tadi gue hanya melihat dua motor di depan kamar tersebut yang tengah terparkir, dan gue tidak melihat dua wanita itu.
“Mudah-mudahan gue enggak diganggu sama dua mahluk itu,” ucap gue pelan.
Gue pun berjalan agak ke kiri agar sedikit jauh saat melewati kedua wanita itu. Suara roda koper gue kian lama kian berisik seiring gue mendekati mereka. Dalam hati gue berharap agak gue tidak dilihat atau setidaknya gue tidak disapa oleh mereka berdua. Gue mencoba tetap tenang.
“Hai cowok!” teriak seorang dari wanita itu.
Sial! Gue hanya memberikan senyum datar sambil terus berjalan. Jangan sampai ngikutin gue, ucap gue dalam hati berulang-ulang.
“Hih, sombong banget, sih!” ucap wanita itu yang masih terdengar olehku.
“Ngapain sih lu, pake ngagetin gue aja,” ucap teman wanita itu sedikit memarahinya.
“Enggak liat lu ada orang baru, masa enggak mau kenalan?”
Gue melihat dari ekor mata, kedua wanita itu sekarang menatap ke arah gue. Sebuah kamar gue lewati dan akhirnya gue berhenti di depan pintu kamar ke lima yang merupakan kamar paling ujung di sebelah kanan. Syukurlah masih ada satu kamar yang memisahkan kamar gue dengan kamar kedua wanita itu, eh, bahkan gue tidak tahu apakah mereka berdua tinggal di kamar itu.
Gue pun mencari kunci kamar ini yang gue simpan di tas. Samar-samar gue mendengar kedua itu berbicara tentang gue yang merupakan penghuni baru di kosan ini.
“Oh, itu penghuni baru kamar itu, kan udah lama enggak ditempatin,” ucap wanita yang menyapa gue tadi.
“Itukan kamar VIP, mana ada karyawan kaya kita yang mau tinggal di situ, mahal,” sahut wanita yang lain.
“Tapi benerkan kamar itu udah lama enggak ada yang nempatin.”
“Terus kenapa? Lu mau nakut-nakutin dia?” tawa kedua wanita itu pecah, gue pun mendengarnya dengan jelas saat pintu kamar gue sudah gue buka.
“BRUK!” Gue menutup pintu sedikit kencang agar kedua wanita itu berhenti tertawa. Entah apakah itu berhasil, gue tidak mengetahuinya.
Ah, suasana kamar yang gue idam-idamkan terasa kini. Walau kamar ini sudah lama tidak ada yang menempati, tetapi gue meminta kepada pemilik kos untuk membersihkan dan membenahi kamar ini. Pemilik kos menyanggupi ini karena gue menyewa kamar ini untuk setahun dan dibayar di muka. Kalau dengan uang, yang enggak bisa malah jadi bisa.
Warna cat hija yang terlihat baru, tempat tidur dan karpet baru sesuai dengan pesanan gue. Walau lemari dan meja yang akan gue gunakan untuk kerja masih terlihat barang lama, yang hanya dibersihkan dan dicat ulang.
Gue menyimpan tas ransel dan koper di dekat pintu, lalu melepaskan sepatu yang sedari siang gue pakai. Kamar ini cukup luas, gue rasa ukurannya 3x4 meter yang termasuk dengan kamar mandi. Gue lalu mencuci muka dan kaki agar kembali segar.
Gue melanjutkan jalan untuk bisa sampai menuju tempat kos yang gue sewa. Setelah memasuki jalan perumahan, gue bisa merasakan sedikit ketenangan di sini. Rumah-rumah sederhana berjajar rapi nan indah, satu dua rumah mewah pun berdiri angkuh diantara rumah-rumah sederhana itu.
Suara berisik kendaraan kini berganti dengan suara berisik dari roda koper yang gue tarik ini. Beberapa warga terlihat tengah santai di beranda rumahnya, anak-anak pun ada yang tengah berlari melewatiku. Entah dari mana datang mereka.
Sampai gue berhenti di depan gerbang berwarna biru langit. Tinggi gerbang ini gue rasa sekitar dua meter. Pagar geser ini terbuka setengah dan gue pun melangkah masuk. Suasana hening menyambut dari kosan ini, tempat yang cocok bagi seorang seperti gue ini.
Terdapat empat kamar di sebelah kiri dan tiga buah kamar mandi di ujungnya, serta lima kamar di sebelah kanan yang terpisah oleh jalan selebar empat meter. Mungkin jalan ini untuk parkir motor bagi para penghuni. Di depan kamar mandi terdapat bangunan menyerupai kamar juga. Mungkin itu dapur gue rasa karena pintunya terbuka dan terlihat kompor dari sini.
Suara musik dangdut koplo terdengar memecah lamunan gue. Dua orang wanita tengah duduk di depan kamar yang terbuka. Sedari tadi gue hanya melihat dua motor di depan kamar tersebut yang tengah terparkir, dan gue tidak melihat dua wanita itu.
“Mudah-mudahan gue enggak diganggu sama dua mahluk itu,” ucap gue pelan.
Gue pun berjalan agak ke kiri agar sedikit jauh saat melewati kedua wanita itu. Suara roda koper gue kian lama kian berisik seiring gue mendekati mereka. Dalam hati gue berharap agak gue tidak dilihat atau setidaknya gue tidak disapa oleh mereka berdua. Gue mencoba tetap tenang.
“Hai cowok!” teriak seorang dari wanita itu.
Sial! Gue hanya memberikan senyum datar sambil terus berjalan. Jangan sampai ngikutin gue, ucap gue dalam hati berulang-ulang.
“Hih, sombong banget, sih!” ucap wanita itu yang masih terdengar olehku.
“Ngapain sih lu, pake ngagetin gue aja,” ucap teman wanita itu sedikit memarahinya.
“Enggak liat lu ada orang baru, masa enggak mau kenalan?”
Gue melihat dari ekor mata, kedua wanita itu sekarang menatap ke arah gue. Sebuah kamar gue lewati dan akhirnya gue berhenti di depan pintu kamar ke lima yang merupakan kamar paling ujung di sebelah kanan. Syukurlah masih ada satu kamar yang memisahkan kamar gue dengan kamar kedua wanita itu, eh, bahkan gue tidak tahu apakah mereka berdua tinggal di kamar itu.
Gue pun mencari kunci kamar ini yang gue simpan di tas. Samar-samar gue mendengar kedua itu berbicara tentang gue yang merupakan penghuni baru di kosan ini.
“Oh, itu penghuni baru kamar itu, kan udah lama enggak ditempatin,” ucap wanita yang menyapa gue tadi.
“Itukan kamar VIP, mana ada karyawan kaya kita yang mau tinggal di situ, mahal,” sahut wanita yang lain.
“Tapi benerkan kamar itu udah lama enggak ada yang nempatin.”
“Terus kenapa? Lu mau nakut-nakutin dia?” tawa kedua wanita itu pecah, gue pun mendengarnya dengan jelas saat pintu kamar gue sudah gue buka.
“BRUK!” Gue menutup pintu sedikit kencang agar kedua wanita itu berhenti tertawa. Entah apakah itu berhasil, gue tidak mengetahuinya.
Ah, suasana kamar yang gue idam-idamkan terasa kini. Walau kamar ini sudah lama tidak ada yang menempati, tetapi gue meminta kepada pemilik kos untuk membersihkan dan membenahi kamar ini. Pemilik kos menyanggupi ini karena gue menyewa kamar ini untuk setahun dan dibayar di muka. Kalau dengan uang, yang enggak bisa malah jadi bisa.
Warna cat hija yang terlihat baru, tempat tidur dan karpet baru sesuai dengan pesanan gue. Walau lemari dan meja yang akan gue gunakan untuk kerja masih terlihat barang lama, yang hanya dibersihkan dan dicat ulang.
Gue menyimpan tas ransel dan koper di dekat pintu, lalu melepaskan sepatu yang sedari siang gue pakai. Kamar ini cukup luas, gue rasa ukurannya 3x4 meter yang termasuk dengan kamar mandi. Gue lalu mencuci muka dan kaki agar kembali segar.
Quote:
Walau harga kamar ini diatas kamar lainnya dan tentu lebih mahal, tetapi tidak ada AC dan bahkan kipas angin sekali pun. Gue hanya bisa membuka jendela agar sirkulasi udara kamar selalu segar.
Laptop kerja gue keluarkan dari ransel, alat-alat pendukungnya seperti chargerdan tetikus gue keluarkan juga. Gue nyalakan laptop itu dan gue membuka file-file pekerjaanku yang belum rampung.
“Sekarang udah jam empat lebih, sedangkan ada tiga kerjaan yang udah kelewat deadline,” ucapku sambil melihat jam di bagian kanan bawah layar. “Terpaksa deh gue mesti beresin hari ini.”
Gue pun mulai mengerjakan pekerjaan-pekerjaan gue walau hingga pagi. Walau kerjaan ini sudah kelewat deadline, tetapi klien masih bisa memberikan tambahan waktu buat gue. Jarang-jarang juga punya klien seperti ini, atau mungkin bayaran gue bakal dipotong. Sial.
Gue serius mengerjakan pekerjaan satu demi satu. Langit berubah jingga hingga langit hitam pekat gue tidak beranjak dari depan laptop gue. Hanya sesekali gue merogoh bungkus makanan ringan sekedar mengganjal perut ini. Satu pekerjaan selesai pukul sepuluh malam, tersisa dua pekerjaan lagi yang membutuhkan waktu yang tidak bisa diprediksi.
Adzan subuh berkumandang saat gue selesai menyimpan file pekerjaan gue yang ketiga. Dengan kantuk yang semakin berat, gue memaksakan untuk mengirim file pekerjaan itu sekarang juga melalui e-mail. Dan saat gue selesai mengirim semuanya, adzan subuh pun selesai dikumandangkan.
“Akhirnya, beres juga.” Gue bangkit dan meregangkan otot-otot tubuh ini. Gue lalu pergi ke kamar mandi untuk mandi setelah mematikan laptop gue yang sudah panas itu. Mungkin kalau laptop gue bisa diajak mandi, gue mandikan sekalian laptop itu.
Air terasa sangat dingin di kota ini saat waktu pagi buta seperti ini. Mau tidak mau gue memaksakan mandi dengan air dingin itu. Setelah kegiatan mandi dan pendukungnya selesai, gue keluar dan berbaring di atas kasur gue. Tidak lupa gue mengabari klien bahwa pekerjaan gue sudah gue kirim dan tidak lupa mengingatkan mereka untuk mentransfer upah gue dengan segera. Kerjaan ngaret tapi bayaran mesti on-time, itulah prinsip gue.
“Gina!! Gue dulu yang mandi, lu kalau mandi suka lama, nanti gue telat!” suara wanita tengah berteriak di depan salah satu kamar mandi yang gue dengar.
Gue pun bangkit dan menengok dari jendela yang sedikit terbuka. Ternyata itu wanita yang kemarin. Dia berusaha menggedor-gedor kamar mandi itu dengan susah payah.
“Salah sendiri lu susah bangun, gue juga kerja kali, sabar aja udah tungguin gue kelar!” sahut suara dari dalam kamar mandi terdengar samar-samar.
Gue rasa tiga kamar mandi cukup untuk kebutuhan delapan kamar, namun tidak untuk satu kamar dua orang seperti itu. Gue pun menutup jendela kamar agar suara berisik itu tidak mengganggu tidur gue yang akan gue tunaikan sebentar lagi.
Nikmatnya selimut hangat di pagi hari seperti ini mengundang kantuk gue semakin menjadi. Gue merasa terlelap tanpa butuh waktu yang lama, tetapi ...
“Tok... tok... tok!!!” suara pintur kamar gue diketuk keras. Suara ketukan itu terus menerus dan sangat mengganggu gue yang sudah tertidur ini.
“Siapa sih?! Orang mau tidur juga, ganggu aja,” ucap gue sedikit keras sambil mencoba bangkit.
Dengan terpaksa gue bangkit dan dengan jalan yang sedikit juntai gue menuju pintu untuk membukanya. Gue pun terkaget karena gue meliat wanita yang tadi mengetuk kamar mandi di sana, kini berpindah mengetuk kamar gue. Dia mengenakan tank top dan celana pendek berwarna merah muda serasi. Handuknya diselendangkan di pundak dan di tangan kanannya membawa gayung yang berisi peralatan mandi. Bibirnya tersenyum tanggung.
“Maaf, Ka, boleh numpang mandi enggak?” ucapnya sambil tersenyum malu-malu.
Kalau bukan karena rasa ngantuk gue yang udah berat ini, gue mau ajak berdebat wanita yang satu ini. Sudah mengganggu gue, sekarang mau pake kamar mandi gue.
“Yaudah sana,” ucap gue sambil menunjuk letak kamar mandi. “Kalau udah beres, tutup aja pintu kamar gue, gue mau tidur jangan diganggu lagi.”
Wanita itu hanya mengangguk senang dan segera menuju ke kamar mandi gue. Kalau gue enggak ngantuk gini, gue intip juga tuh cewek lagi mandi, ucap gue dalam hati berkhayal.
Tanpa berlama-lama, gue menutup pintu kamar gue dan segera mengambil posisi yang nikmat untuk tidur. Sambil terpejam, terbersit pikiran bagaimana kalau gara-gara wanita itu barang di kamar gue ada yang hilang. Tetapi gue langsung terlelap sebelum menemukan jawaban pertanyaan itu.
Laptop kerja gue keluarkan dari ransel, alat-alat pendukungnya seperti chargerdan tetikus gue keluarkan juga. Gue nyalakan laptop itu dan gue membuka file-file pekerjaanku yang belum rampung.
“Sekarang udah jam empat lebih, sedangkan ada tiga kerjaan yang udah kelewat deadline,” ucapku sambil melihat jam di bagian kanan bawah layar. “Terpaksa deh gue mesti beresin hari ini.”
Gue pun mulai mengerjakan pekerjaan-pekerjaan gue walau hingga pagi. Walau kerjaan ini sudah kelewat deadline, tetapi klien masih bisa memberikan tambahan waktu buat gue. Jarang-jarang juga punya klien seperti ini, atau mungkin bayaran gue bakal dipotong. Sial.
Gue serius mengerjakan pekerjaan satu demi satu. Langit berubah jingga hingga langit hitam pekat gue tidak beranjak dari depan laptop gue. Hanya sesekali gue merogoh bungkus makanan ringan sekedar mengganjal perut ini. Satu pekerjaan selesai pukul sepuluh malam, tersisa dua pekerjaan lagi yang membutuhkan waktu yang tidak bisa diprediksi.
Adzan subuh berkumandang saat gue selesai menyimpan file pekerjaan gue yang ketiga. Dengan kantuk yang semakin berat, gue memaksakan untuk mengirim file pekerjaan itu sekarang juga melalui e-mail. Dan saat gue selesai mengirim semuanya, adzan subuh pun selesai dikumandangkan.
“Akhirnya, beres juga.” Gue bangkit dan meregangkan otot-otot tubuh ini. Gue lalu pergi ke kamar mandi untuk mandi setelah mematikan laptop gue yang sudah panas itu. Mungkin kalau laptop gue bisa diajak mandi, gue mandikan sekalian laptop itu.
Air terasa sangat dingin di kota ini saat waktu pagi buta seperti ini. Mau tidak mau gue memaksakan mandi dengan air dingin itu. Setelah kegiatan mandi dan pendukungnya selesai, gue keluar dan berbaring di atas kasur gue. Tidak lupa gue mengabari klien bahwa pekerjaan gue sudah gue kirim dan tidak lupa mengingatkan mereka untuk mentransfer upah gue dengan segera. Kerjaan ngaret tapi bayaran mesti on-time, itulah prinsip gue.
“Gina!! Gue dulu yang mandi, lu kalau mandi suka lama, nanti gue telat!” suara wanita tengah berteriak di depan salah satu kamar mandi yang gue dengar.
Gue pun bangkit dan menengok dari jendela yang sedikit terbuka. Ternyata itu wanita yang kemarin. Dia berusaha menggedor-gedor kamar mandi itu dengan susah payah.
“Salah sendiri lu susah bangun, gue juga kerja kali, sabar aja udah tungguin gue kelar!” sahut suara dari dalam kamar mandi terdengar samar-samar.
Gue rasa tiga kamar mandi cukup untuk kebutuhan delapan kamar, namun tidak untuk satu kamar dua orang seperti itu. Gue pun menutup jendela kamar agar suara berisik itu tidak mengganggu tidur gue yang akan gue tunaikan sebentar lagi.
Nikmatnya selimut hangat di pagi hari seperti ini mengundang kantuk gue semakin menjadi. Gue merasa terlelap tanpa butuh waktu yang lama, tetapi ...
“Tok... tok... tok!!!” suara pintur kamar gue diketuk keras. Suara ketukan itu terus menerus dan sangat mengganggu gue yang sudah tertidur ini.
“Siapa sih?! Orang mau tidur juga, ganggu aja,” ucap gue sedikit keras sambil mencoba bangkit.
Dengan terpaksa gue bangkit dan dengan jalan yang sedikit juntai gue menuju pintu untuk membukanya. Gue pun terkaget karena gue meliat wanita yang tadi mengetuk kamar mandi di sana, kini berpindah mengetuk kamar gue. Dia mengenakan tank top dan celana pendek berwarna merah muda serasi. Handuknya diselendangkan di pundak dan di tangan kanannya membawa gayung yang berisi peralatan mandi. Bibirnya tersenyum tanggung.
“Maaf, Ka, boleh numpang mandi enggak?” ucapnya sambil tersenyum malu-malu.
Kalau bukan karena rasa ngantuk gue yang udah berat ini, gue mau ajak berdebat wanita yang satu ini. Sudah mengganggu gue, sekarang mau pake kamar mandi gue.
“Yaudah sana,” ucap gue sambil menunjuk letak kamar mandi. “Kalau udah beres, tutup aja pintu kamar gue, gue mau tidur jangan diganggu lagi.”
Wanita itu hanya mengangguk senang dan segera menuju ke kamar mandi gue. Kalau gue enggak ngantuk gini, gue intip juga tuh cewek lagi mandi, ucap gue dalam hati berkhayal.
Tanpa berlama-lama, gue menutup pintu kamar gue dan segera mengambil posisi yang nikmat untuk tidur. Sambil terpejam, terbersit pikiran bagaimana kalau gara-gara wanita itu barang di kamar gue ada yang hilang. Tetapi gue langsung terlelap sebelum menemukan jawaban pertanyaan itu.
***
Diubah oleh fadw.crtv 06-01-2018 11:21






ugalugalih dan 22 lainnya memberi reputasi
21
276.9K
Kutip
587
Balasan


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan