Mendaki gunung lewati lembah, Sungai mengalir indah ke Samudera, bersama teman bertualang......
Siapa diantara agan yang baca kalimat diatas pakai dinyanyiin? Hayoo ngaku... Kalau agan termasuk yang baca kalimatnya sambil dinyanyiin, berarti kita hampir seumuran lah
Mendaki Gunung. Salah satu varian hobi yang cukup banyak digandrungi, khususnya para kaula muda. Lebih khusus lagi para ABeGe ABeGe yang masih berseragam putih abu-abu ataupun almamater kampus. Terlebih lagi, setelah booming film "5cm", banyak yang menahbiskan diri sebagai seorang pendaki.
Para kaula muda dan sebagian para kaula pernah muda, berbondong-bondong menjadikan Gunung sebagai tujuan utama saat ada waktu untuk liburan. Ada bermcam-macam alasan, kenapa mendaki gunung dipilih sebagai pilihan mereka. Ada yang awalnya hanya iseng atau ikut-ikutan teman, tapi lama kelamaan malah jadi ketagihan (ketagihan mendaki gunung ya, bukan ketagihan lainnya). Ada juga yang awalnya sedikit dipaksa, tapi lama kelamaan malah maksa temannya buat mendaki gunung lagi.
Tapi ada juga yang memang karena panggilan hati untuk melakukan pendakian ke gunung. Tipe orang-orang yang terakhir ini biasanya tidak terlalu memikirkan mau ke gunung mana, kapan, atau sama siapa dia berangkat. Sekalinya dia ngerasa pengen mendaki, meskipun cuma sendiri, dia tetap akan berangkat. Beda dengan tipe yang ikut-ikutan, alias ngekor. Kalau kepala sukunya batal berangkat, ya pasti doi juga nggak bakal berangkat.
Mendaki gunung, berarti kita mendatangi alam bebas. Dan pada hakikatnya, segala sesuatu yang terjadi di alam, tidak ada yang bisa di prediksi secara tepat. Setiap detik, setiap menit kondisi alam bisa saja berubah 180 derajat, dan mau tidak mau kita harus siap dengan segala kondisi yang mungkin terjadi. Sebagai kaula muda yang hobi mendaki gunung, ane juga sering mengalami kondisi yang nggak sesuai rencana. Kalau bahasa kerennya, realita tak seindah ekspektasi.
Spoiler for satu:
Ekspektasi : Dapat momen sunrise yang ciamik di Puncak
Realita : Apa daya, cuma bisa memandang kabut di Puncak
Ini adalah salah satu hal yang paling sering ane alami ketika mendaki gunung. Bukan rahasia lagi, salah satu motivasi para pendaki, yaitu bisa dapat momen sunrise yang ciamik ketika sampai di puncak. Jadi nggak heran, kebanyakan perjalanan ke puncak gunung dilakukan mulai dini hari. Disaat kebanyakan orang-orang tidur dengan nyenyak, di atas kasur empuk, dengan selimut hangat, ane dan para pendaki lainnya justru harus bangun dini hari, ngelawan rasa kantuk, dan dingin sambil menyiapkan perlengkapan yang akan dibawa ke puncak.
Di saat kebanyakan orang sedang mimpi indah, ane berjalan di lereng gunung, setapak demi setapak. Dan begitu sampai di puncak, Jreeng.... cuma kabut tebal yang kelihatan di puncak. Nggak kelihatan apa-apa lagi. Bayangan view indah dari puncak, ditambah bonus sunrise, langsung buyar seketika. Rencana untuk ambil foto dengan background ciamik, mendadak batal. Yah, mau gimana lagi. Karena kondisi alam memang nggak bisa diprediksi. Bisa menjejakkan kaki di puncak, harusnya sudah cukup buat kita bersyukur.
Spoiler for dua:
Ekspektasi : Bisa mendaki sampai puncak
Realita : Hanya sampai pos terakhir sebelum puncak
Bagi kebanyakan pendaki, puncak memang jadi tujuan utama. Bagi mereka, bagaimanapun caranya mereka harus bisa menjejakkan kaki di puncak. Tapi bagi sebagian pendaki lainnya, puncak bukanlah tujuan utama. Mereka menganut prinsip, "Puncak bukanlah segalanya, tapi hanyalah bonus. Yang paling penting dan utama, kembali pulang ke rumah dengan selamat".
Memang, seharusnya pendakian bukan hanya mengejar sampai di puncak. Tapi mungkin, buat orang-orang yang masih baru sekali dua kali mendaki gunung, biasanya terobsesi untuk bisa sampai di puncak. Ane juga pernah seperti itu. Sewaktu awal-awal mendaki, fokus utama ane, bisa sampai di puncak. Tapi, sekali lagi, kadang realita memang nggak seindah dengan ekspektasi. Sebelum pendakian, sudah sering olahraga, banyak latihan fisik, jogging, dll. Tapi begitu sampai di jalur pendakian, baru ngelewati beberapa tanjakan saja sudah ngos-ngosan. Belum lagi perut yang keroncongan karena tenaga terkuras. Dan ujung-ujungnya, saat teman yang lain bersiap perjalanan ke puncak, fisik kita drop, dan hanya bisa istirahat di tenda. Bye-bye puncak, kali ini kita belum jodoh buat bertemu. Cuma bisa memandang dari jauh.
Spoiler for tiga:
Ekspektasi : Dapat foto dengan view instagramable di gunung
Realita : Selama pendakian lebih sering hujan
Niatnya mendaki gunung biar bisa foto dengan view kece alias instagramable. Karena di socmed, foto-foto gunung yang kita daki, view-nya kece badai. Tapi ternyata, saat mendaki gunung, cuaca lagi nggak bersahabat banget. Lebih sering hujan, dan matahari cuma sesekali aja kelihatan wujudnya. Entah karena salah musim, atau memang cuaca di gunung lagi ekstrem. Kebayang kan, kalau pas lagi di gunung, cuaca lagi sering hujan, repotnya minta ampun. Jalur pendakian yang licin, belum lagi direpotin dengan jas hujan, ditambah dengan beban bawaan yang semakin berat karena basah. Terkadang cukup menyiksa.
Dengan kondisi seperti itu, biasanya sudah nggak terlalu mikirin buat foto-foto. Jangankan buat foto-foto, kadang malah kepikiran buat stop aja pendakiannya, karena kondisi cuaca nggak seperti yang dibayangkan, dan fisik lebih capek dibuat jalan.
Spoiler for empat:
Ekspektasi : Pasti perjalanan bakal seru, karena bareng-bareng teman dekat.
Realita : Ternyata, sifat teman kita di gunung beda dengan sehari-harinya
Momen liburan dengan teman, apalagi teman dekat, harusnya jadi momen seru yang kita tunggu-tunggu. Eits, tapi ternyata sewaktu lagi mendaki gunung, entah kenapa tiba-tiba sifat teman kita jadi berubah. Yang awalnya saling peduli, begitu udah di gunung, jadi apatis dan egois. Ada temannya yang lagi capek dan mau istirahat, malah ditinggal. Pokoknya jadi serba jengkelin dan ngeselin.
Memang, kalau sudah di alam bebas, termasuk di gunung, sifat asli orang akan kelihatan. Mana yang benar-benar peduli, mana yang pura-pura peduli, karena ada maunya. Jadi kalau mau tahu sifat asli teman kita, ajak saja dia mendaki gunung.
So, memang nggak semua yang kita harapkan, kita rencanakan, bakal jadi kenyataan.
Quote:
"Kalau semua yang kita inginkan, bisa kita dapatkan, bagaimana kita bisa belajar ikhlas untuk menerima keadaan"