- Beranda
- Komunitas
- News
- Berita dan Politik
Ciputra, Ali Sadikin, dan Liem Sioe Liong


TS
zhouxian
Ciputra, Ali Sadikin, dan Liem Sioe Liong
Gaya Ali Sadikin memimpin Jakarta memang tak ada duanya. Dia seorang letnan jenderal KKO Angkatan Laut dan tak punya pengalaman secuil pun memimpin suatu wilayah. Tapi justru dialah yang diminta oleh Presiden Sukarno memimpin Ibu Kota Jakarta pada 1966, melewati badai krisis ekonomi dan krisis politik sekaligus.
Kala itu, sudah lebih dari lima tahun Ciputra dan PT Pembangunan Jaya menggarap proyek peremajaan kawasan Senen. Proyek tersebut merayap pelan lantaran dibelit rupa-rupa masalah. Bukan cuma duit yang tipis, tapi yang utama urusan penggusuran dan relokasi warga yang terimbas proyek.
Masalah pertama adalah seorang mayor yang tinggal di Senen dan menolak pindah. Berkali-kali upaya membujuk dia agar pindah tak membawa hasil. Sang mayor malah datang langsung ke kantor Ciputra. Sembari marah-marah, dia masuk ke ruangan Ciputra, menggebrak meja dan meletakkan pistolnya.
“Pak, ini proyek pemerintah DKI Jakarta,” Ciputra mengisahkan, dikutip dalam buku Jaya: 50 Years and Beyond. Bukannya mundur, mayor itu malah makin marah. “Eh, kamu mau melawan saya,” kata mayor itu. Setelah kemarahan mayor itu agak reda, Ciputra memaparkan panjang-lebar soal manfaat proyek Senen. Sembari menggerutu, orang itu berlalu.
Pada kesempatan lain, Ciputra dan anak buahnya menghadapi masalah lumayan serius. Ada seorang makelar tanah menghalangi upaya pembebasan tanah. Makelar itu mengumpulkan semua pemborong dan berhasil membujuk mereka menghentikan proses pembebasan tanah. Walhasil, pengerjaan proyek terhenti. Ciputra pergi ke Balai Kota dan melaporkan masalah itu kepada Gubernur Ali Sadikin.
Gubernur Ali meminta Ciputra mengundang si makelar ke Balai Kota. Ciputra bergegas ke Senen. Makelar itu tak berkeberatan diajak Ciputra ke kantor Gubernur Ali. Saat mereka berdua menunggu di ruang sekretariat Balai Kota, Gubernur Ali lewat. Dia bertanya kepada Ciputra ada di mana si makelar. Ciputra menunjuk orang di sampingnya.
Tak disangka oleh makelar itu, juga oleh Ciputra, Gubernur Ali menarik kerah baju orang itu dan menyeretnya ke ruangan. Dan plak… plak… tangan Gubernur Ali melayang ke pipinya. Makelar itu tak berani melawan, hanya pasrah pipinya ditempeleng Ali Sadikin. Ciputra pun melongo. Bengong.
“Di mobil, dia duduk di sebelah saya. Gemetaran…. Saya nggak menyangka Bang Ali menempeleng orang itu,” kata Ciputra. Sore harinya, Gubernur Ali mendadak muncul di Proyek Senen dan mendatangi kantor makelar tanah itu. Dia menyuruh orang itu menutup kantornya. “Ya, Pak… iya,” orang itu menjawab dengan ketakutan. Sejak hari itu, tak ada lagi yang berani menghalangi proyek Senen.
Puas terhadap hasil kerja Ciputra dan anak buahnya di Proyek Senen, Gubernur Ali mempercayakan banyak proyek kepada Pembangunan Jaya. Bahkan tak sedikit proyek yang diberikan langsung kepada Pembangunan Jaya tanpa proses lelang lagi, misalnya pembangunan lima terminal, yakni Grogol, Cililitan, Kramat Jati, Blok M, dan Tanjung Priok.
Kebijakan Ali Sadikin itu diprotes Kementerian Dalam Negeri. Tapi bukan Ali Sadikin jika tak punya ‘jawaban’. “Kata Bang Ali, ‘Sudah saya putuskan! Sebab, kalau saya lelang, malah bisa amburadul.’ Bang Ali kan bisa nyap-nyap seperti itu. Dia pemberani. Orang Kementerian Dalam Negeri nggak ada yang bicara lagi setelah itu,” Soekrisman, Direktur Pembangunan Jaya kala itu, menuturkan. Pembangunan Jaya kembali ditunjuk Gubernur Ali menjadi pelaksana proyek pembangunan Gedung G setinggi 24 lantai di kompleks Balai Kota Jakarta.
Saat muncul suara lagi mengkritik penunjukan perusahaan yang didirikan Ciputra itu, Gubernur Ali menjawab, “Kita harus kayak Jepang. Jepang punya perusahaan seperti Mitsui dan Mitsubishi. Perusahaan-perusahaan itu besar karena didukung pemerintahnya,” Soekrisman menirukan Bang Ali. Ya, sedikit-banyak, Ali Sadikin punya andil atas perkembangan Pembangunan Jaya, dari sekadar perusahaan kecil yang didirikan Ciputra bersama Hasjim Ning dan sejumlah investor pada 1961 hingga berkembang jadi konglomerasi.
Tak cuma mempercayakan pembangunan infrastruktur Jakarta, Gubernur Ali Sadikin juga ‘menugasi’ Ciputra untuk sejumlah hal, misalnya membina pengembangan olahraga lewat klub Jaya Raya dan turut ‘membidani’ kelahiran majalah Tempo pada 1971.
Ciputra, kalau kata anak-anak zaman now, termasuk orang yang tajir melintir. Menurut penaksiran majalah Forbes beberapa pekan lalu, Ciputra dan keluarganya punya harta senilai US$ 1,45 miliar atau Rp 19,7 triliun. Ciputra, kini 86 tahun, ada di urutan ke-21 di antara orang-orang paling kaya di negeri ini.
Ciputra sangat jeli menangkap peluang, dia juga pekerja keras. “Hobi beliau bekerja…. Beliau tidak pernah berhenti bekerja dan berpikir. Bahkan, ketika tidur pun demikian,” Harun Hajadi, menantu Ciputra sekaligus Managing Director Grup Ciputra, menuturkan kepada detikX pekan lalu. Kerja keras dan kelihaian adalah kunci keberhasilan Ciputra, tapi ada pula andil sejumlah orang yang ‘membukakan pintu’ peluang usaha. Salah satunya adalah Liem Sioe Liong.
Suatu kali pada awal 1970-an, ada dua tamu tak disangka yang menemui Ciputra. Mereka adalah Liem Sioe Liong dan mitranya, Djuhar Sutanto. Liem, kita tahu di kemudian hari, adalah orang terkaya di Indonesia dan pengusaha yang sangat dekat dengan keluarga Presiden Soeharto. Tapi, pada awal 1970-an, meski sudah tajir, bisnis Liem belum menggurita.
Liem dan Djuhar datang untuk mengajak Ciputra bekerja sama mengembangkan lahan di kawasan Sunter, Jakarta Utara. Liem, Ciputra menuturkan dalam biografinya, The Passion of My Life, mengajak dia sebagai pribadi, bukan sebagai Presiden Direktur Pembangunan Jaya. Rupanya Liem terkesan oleh kinerja Ciputra di Jaya. Kebetulan saat itu Ciputra bersama dua sobat lamanya, Budi Brasali dan Ismail Sofyan, beserta sejumlah mitranya, tengah membangun perusahaan baru, PT Metropolitan Development. Lantaran modal yang sangat tipis, perusahaan ini hanya sanggup menggarap proyek-proyek kecil.
Tawaran Liem langsung ditangkap Ciputra. Tapi dia tak tertarik menggarap Sunter. Ciputra malah menyodorkan daerah lain di Jakarta Selatan kepada Liem, yakni kawasan Pondok Pinang. “Kawasan ini bisa digarap menjadi perumahan mewah,” Ciputra meyakinkan Liem dan Djuhar. Liem mengangguk setuju. Seluruh modal akan ditanggung oleh Liem dan Djuhar. Liem sangat bermurah hati. Meski dia yang menanggung seluruh modal, Liem memberikan 50 persen saham kepada Ciputra dan teman-temannya di Metropolitan Development.
“Yang penting semua berjalan lancar dan hasilnya sesuai yang kita harapkan,” kata Liem sembari tertawa saat bersalaman dengan Ciputra, menandai kesepakatan mereka. Maka jadilah PT Metropolitan Kentjana, perusahaan yang menjadi payung proyek perumahan mewah Pondok Indah. Di perusahaan patungan ini, Liem juga mengajak dua mitranya, Ibrahim Risjad dan Sudwikatmono.
Sukses besar di Pondok Indah, kerja sama Ciputra dan Liem terus berlanjut. Mereka bersama-sama mengembangkan kota mandiri Bumi Serpong Damai bermitra dengan kelompok Sinar Mas, juga proyek properti di sejumlah negara. Kerja sama Liem dan Ciputra tak selamanya sukses. Pabrik baja PT Cold Rolling Mill Indonesia yang mereka dirikan tak berjalan sesuai rencana di atas kertas. Seperti juga grup Pembangunan Jaya, grup Metropolitan beranak-pinak jadi konglomerasi.
Model usaha kerja sama seperti di Proyek Senen dan Pondok Indah ini terus dipakai oleh Ciputra dan kelompok usahanya sampai hari ini. “Sekarang grup Ciputra punya lebih dari 100 orang mitra,” kata Antonius Tanan, Direktur Senior Grup Ciputra, kepada detikX. Dengan punya banyak mitra, Ciputra tak hanya mengirit modal, tapi juga menekan risiko.
Bisa dipercaya oleh orang-orang sangat kaya seperti Liem Sioe Liong, Sukamdani Sahid Gitosardjono, keluarga Eka Tjipta Widjaja, dan sebagainya, tentu bukan hal gampang. Sebab, setiap proyek Ciputra biasanya melibatkan duit ratusan miliar, bahkan triliunan, rupiah. “Yang pertama dan utama adalah integritas, jujur, dan berusaha selalu tepat janji,” kata Antonius. Dia sangat kenal Ciputra karena sudah 30 tahun bergabung di kelompok usaha itu, sejak grup Ciputra masih kecil hingga sekarang menjadi salah satu raksasa properti di negeri ini.
https://x.detik.com/detail/intermeso...iong/index.php
sejarah gan
Kala itu, sudah lebih dari lima tahun Ciputra dan PT Pembangunan Jaya menggarap proyek peremajaan kawasan Senen. Proyek tersebut merayap pelan lantaran dibelit rupa-rupa masalah. Bukan cuma duit yang tipis, tapi yang utama urusan penggusuran dan relokasi warga yang terimbas proyek.
Masalah pertama adalah seorang mayor yang tinggal di Senen dan menolak pindah. Berkali-kali upaya membujuk dia agar pindah tak membawa hasil. Sang mayor malah datang langsung ke kantor Ciputra. Sembari marah-marah, dia masuk ke ruangan Ciputra, menggebrak meja dan meletakkan pistolnya.
“Pak, ini proyek pemerintah DKI Jakarta,” Ciputra mengisahkan, dikutip dalam buku Jaya: 50 Years and Beyond. Bukannya mundur, mayor itu malah makin marah. “Eh, kamu mau melawan saya,” kata mayor itu. Setelah kemarahan mayor itu agak reda, Ciputra memaparkan panjang-lebar soal manfaat proyek Senen. Sembari menggerutu, orang itu berlalu.
Pada kesempatan lain, Ciputra dan anak buahnya menghadapi masalah lumayan serius. Ada seorang makelar tanah menghalangi upaya pembebasan tanah. Makelar itu mengumpulkan semua pemborong dan berhasil membujuk mereka menghentikan proses pembebasan tanah. Walhasil, pengerjaan proyek terhenti. Ciputra pergi ke Balai Kota dan melaporkan masalah itu kepada Gubernur Ali Sadikin.
Gubernur Ali meminta Ciputra mengundang si makelar ke Balai Kota. Ciputra bergegas ke Senen. Makelar itu tak berkeberatan diajak Ciputra ke kantor Gubernur Ali. Saat mereka berdua menunggu di ruang sekretariat Balai Kota, Gubernur Ali lewat. Dia bertanya kepada Ciputra ada di mana si makelar. Ciputra menunjuk orang di sampingnya.
Tak disangka oleh makelar itu, juga oleh Ciputra, Gubernur Ali menarik kerah baju orang itu dan menyeretnya ke ruangan. Dan plak… plak… tangan Gubernur Ali melayang ke pipinya. Makelar itu tak berani melawan, hanya pasrah pipinya ditempeleng Ali Sadikin. Ciputra pun melongo. Bengong.
“Di mobil, dia duduk di sebelah saya. Gemetaran…. Saya nggak menyangka Bang Ali menempeleng orang itu,” kata Ciputra. Sore harinya, Gubernur Ali mendadak muncul di Proyek Senen dan mendatangi kantor makelar tanah itu. Dia menyuruh orang itu menutup kantornya. “Ya, Pak… iya,” orang itu menjawab dengan ketakutan. Sejak hari itu, tak ada lagi yang berani menghalangi proyek Senen.
Puas terhadap hasil kerja Ciputra dan anak buahnya di Proyek Senen, Gubernur Ali mempercayakan banyak proyek kepada Pembangunan Jaya. Bahkan tak sedikit proyek yang diberikan langsung kepada Pembangunan Jaya tanpa proses lelang lagi, misalnya pembangunan lima terminal, yakni Grogol, Cililitan, Kramat Jati, Blok M, dan Tanjung Priok.
Kebijakan Ali Sadikin itu diprotes Kementerian Dalam Negeri. Tapi bukan Ali Sadikin jika tak punya ‘jawaban’. “Kata Bang Ali, ‘Sudah saya putuskan! Sebab, kalau saya lelang, malah bisa amburadul.’ Bang Ali kan bisa nyap-nyap seperti itu. Dia pemberani. Orang Kementerian Dalam Negeri nggak ada yang bicara lagi setelah itu,” Soekrisman, Direktur Pembangunan Jaya kala itu, menuturkan. Pembangunan Jaya kembali ditunjuk Gubernur Ali menjadi pelaksana proyek pembangunan Gedung G setinggi 24 lantai di kompleks Balai Kota Jakarta.
Saat muncul suara lagi mengkritik penunjukan perusahaan yang didirikan Ciputra itu, Gubernur Ali menjawab, “Kita harus kayak Jepang. Jepang punya perusahaan seperti Mitsui dan Mitsubishi. Perusahaan-perusahaan itu besar karena didukung pemerintahnya,” Soekrisman menirukan Bang Ali. Ya, sedikit-banyak, Ali Sadikin punya andil atas perkembangan Pembangunan Jaya, dari sekadar perusahaan kecil yang didirikan Ciputra bersama Hasjim Ning dan sejumlah investor pada 1961 hingga berkembang jadi konglomerasi.
Tak cuma mempercayakan pembangunan infrastruktur Jakarta, Gubernur Ali Sadikin juga ‘menugasi’ Ciputra untuk sejumlah hal, misalnya membina pengembangan olahraga lewat klub Jaya Raya dan turut ‘membidani’ kelahiran majalah Tempo pada 1971.
Ciputra, kalau kata anak-anak zaman now, termasuk orang yang tajir melintir. Menurut penaksiran majalah Forbes beberapa pekan lalu, Ciputra dan keluarganya punya harta senilai US$ 1,45 miliar atau Rp 19,7 triliun. Ciputra, kini 86 tahun, ada di urutan ke-21 di antara orang-orang paling kaya di negeri ini.
Ciputra sangat jeli menangkap peluang, dia juga pekerja keras. “Hobi beliau bekerja…. Beliau tidak pernah berhenti bekerja dan berpikir. Bahkan, ketika tidur pun demikian,” Harun Hajadi, menantu Ciputra sekaligus Managing Director Grup Ciputra, menuturkan kepada detikX pekan lalu. Kerja keras dan kelihaian adalah kunci keberhasilan Ciputra, tapi ada pula andil sejumlah orang yang ‘membukakan pintu’ peluang usaha. Salah satunya adalah Liem Sioe Liong.
Suatu kali pada awal 1970-an, ada dua tamu tak disangka yang menemui Ciputra. Mereka adalah Liem Sioe Liong dan mitranya, Djuhar Sutanto. Liem, kita tahu di kemudian hari, adalah orang terkaya di Indonesia dan pengusaha yang sangat dekat dengan keluarga Presiden Soeharto. Tapi, pada awal 1970-an, meski sudah tajir, bisnis Liem belum menggurita.
Liem dan Djuhar datang untuk mengajak Ciputra bekerja sama mengembangkan lahan di kawasan Sunter, Jakarta Utara. Liem, Ciputra menuturkan dalam biografinya, The Passion of My Life, mengajak dia sebagai pribadi, bukan sebagai Presiden Direktur Pembangunan Jaya. Rupanya Liem terkesan oleh kinerja Ciputra di Jaya. Kebetulan saat itu Ciputra bersama dua sobat lamanya, Budi Brasali dan Ismail Sofyan, beserta sejumlah mitranya, tengah membangun perusahaan baru, PT Metropolitan Development. Lantaran modal yang sangat tipis, perusahaan ini hanya sanggup menggarap proyek-proyek kecil.
Tawaran Liem langsung ditangkap Ciputra. Tapi dia tak tertarik menggarap Sunter. Ciputra malah menyodorkan daerah lain di Jakarta Selatan kepada Liem, yakni kawasan Pondok Pinang. “Kawasan ini bisa digarap menjadi perumahan mewah,” Ciputra meyakinkan Liem dan Djuhar. Liem mengangguk setuju. Seluruh modal akan ditanggung oleh Liem dan Djuhar. Liem sangat bermurah hati. Meski dia yang menanggung seluruh modal, Liem memberikan 50 persen saham kepada Ciputra dan teman-temannya di Metropolitan Development.
“Yang penting semua berjalan lancar dan hasilnya sesuai yang kita harapkan,” kata Liem sembari tertawa saat bersalaman dengan Ciputra, menandai kesepakatan mereka. Maka jadilah PT Metropolitan Kentjana, perusahaan yang menjadi payung proyek perumahan mewah Pondok Indah. Di perusahaan patungan ini, Liem juga mengajak dua mitranya, Ibrahim Risjad dan Sudwikatmono.
Sukses besar di Pondok Indah, kerja sama Ciputra dan Liem terus berlanjut. Mereka bersama-sama mengembangkan kota mandiri Bumi Serpong Damai bermitra dengan kelompok Sinar Mas, juga proyek properti di sejumlah negara. Kerja sama Liem dan Ciputra tak selamanya sukses. Pabrik baja PT Cold Rolling Mill Indonesia yang mereka dirikan tak berjalan sesuai rencana di atas kertas. Seperti juga grup Pembangunan Jaya, grup Metropolitan beranak-pinak jadi konglomerasi.
Model usaha kerja sama seperti di Proyek Senen dan Pondok Indah ini terus dipakai oleh Ciputra dan kelompok usahanya sampai hari ini. “Sekarang grup Ciputra punya lebih dari 100 orang mitra,” kata Antonius Tanan, Direktur Senior Grup Ciputra, kepada detikX. Dengan punya banyak mitra, Ciputra tak hanya mengirit modal, tapi juga menekan risiko.
Bisa dipercaya oleh orang-orang sangat kaya seperti Liem Sioe Liong, Sukamdani Sahid Gitosardjono, keluarga Eka Tjipta Widjaja, dan sebagainya, tentu bukan hal gampang. Sebab, setiap proyek Ciputra biasanya melibatkan duit ratusan miliar, bahkan triliunan, rupiah. “Yang pertama dan utama adalah integritas, jujur, dan berusaha selalu tepat janji,” kata Antonius. Dia sangat kenal Ciputra karena sudah 30 tahun bergabung di kelompok usaha itu, sejak grup Ciputra masih kecil hingga sekarang menjadi salah satu raksasa properti di negeri ini.
https://x.detik.com/detail/intermeso...iong/index.php
sejarah gan


ekaputra19 memberi reputasi
1
3K
24


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan