Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

vanerioAvatar border
TS
vanerio
Izinkan Menikmati Rindu


Sepertinya memang sudah tak boleh untuk Zul, Ibunya, dan juga Aini menikmati rasa rindu yang sejak dahulu selalu menyelimuti nurani. Zul tertunduk lesu, Aini berdiam menatap langit sendu, Ibu Zul menitihkan air mata melihat kenangan masa lalunya, mereka mencoba untuk membangkitkan diri, bahwa tak selamanya rasa rindu itu mampu menghadirkan sebuah kebahagiaan. Ada banyak jalan, banyak cara untuk menghadirkannya, walau itu mustahil bagi mereka, yang terus berharap.

“Apakah kau belum siap Zul?” tanya Ibunya yang datang menghampiri Zul.
“Sudah Ibu, saya sudah siap,” Jawab Zul yang setengah hati.

Ibu Zul masih memperhatikan anaknya yang berbohong itu. Tetapi, mau bisa apa beliau, tak ada jalan lain yang bisa menjadi pilihan untuk masalah yang sedang mereka hadapi. Dalam nurani, Ibu Zul juga merasakan siksa yang cukup berat, membuat anaknya menjadi seorang yang munafik, seorang yang hanya akan memikirkan kebahagiaan bagi dirinya walau, hanya bersifat sementara.

“Berteriak lantanglah, Nak! Jika memang sesak itu selalu tersaji dalam detik-detik yang kau jalani,”
“Tidak, Aku sanggup menjalani ini tanpa sedikit pun mengeluh,”

Zul meninggalkan Ibunya saat adzan maghrib terdengar begitu indah di telinga Ibunya dan juga Zul. Langkahnya terasa berat menuju sebuah masjid yang tak jauh dari rumahnya. Bukan karena ibadahnya, melainkan masalah yang masih belum bisa diterimanya, bertolak belakang dengan dirinya.

Shalat yang Zul jalani pun seperti hambar tak berasa apa pun, tak merubah apa pun, seperti yang selalu orang katakan sehabis shalat, begitu damai. Pikirannya sangat kacau, dan berjalan kemana-mana. Zul paham benar bila dia sedang melakukan sebuah kesalahan besar. Tak seharusnya dirinya menduakan Tuhan dengan masalah-masalahnya. Andai saja Zul adalah seorang nabi mungkin, dia mampu membaginya dengan sangat adil sayang, Zul hanyalah manusia yang penuh dengan dosa.

Ibu Zul masih menghadap cermin, melihat betapa lemah dirinya saat ini. Waktu telah membawanya dalam keadaan yang selalu ditakutkannya. Tak mampu berbuat apa pun, dan hanya mengharapkan pertolongan dari orang lain. Ibu Zul sangat membenci dirinya sendiri, menyalahkan keadaannya dan kesalahannya waktu itu.

Air matanya terurai jelas, menghadirkan roman kesedihan yang tak bisa disembunyikan. Dia sempat berkata kepada dirinya sendiri. Tetapi, kata-kata itu gagal membangkitkan semangat hidunya yang sempat berkobar bagai api. Ibu Zul pun pasrah, dan sama halnya dengan Zul dia mengaharapkan harapan yang sama, menikmati rindu yang selalu terbawa dalam mimpi.

“Minum obat dulu, Bu!” kata Aini, istri Zul yang baru saja pulang dari bekerja di sebuah Mall di Jakarta.
“Untuk apa obat itu? Aku tak mau meminumnya,”
“Kalau Ibu ingin sembuh, Ibu harus meminumnya.”

Ibu Zul sebenarnya tak pernah suka dengan Aini, semua yang ada dalam diri Aini selalu membuatnya ingin marah dan ingin pergi. Beliau lebih suka dengan Yuna, teman kecil Zul yang lusa akan segera menikah dengan lelaki pilihan orang tuanya. Ibu Zul sempat membujuk Yuna menjadi istri kedua Zul, tetapi Yuna tak bisa berkata apa pun, dia adalah hak kedua orang tuanya.

Ibu Zul pun sempat baik dengan orang tua Yuna. Tetapi, kebaikan itu tak membuat orang tuanya berubah pikiran. Dalam hati Yuna, dia sebenarnya bersedia menjadi istri kedua Zul, apalagi Zul adalah lelaki yang dicintainya, yang akan bertanggung jawab dan berbuat adil.
Ibu Zul masih tak mau meminum obatnya. Aini pun meninggalkan segelas air putih dan obat di meja. Dia sedikit menghela nafas agar kesabarannya tak habis. Aini pun sebenarnya tahu apa yang sedang dialaminya saat ini, hanya saja Aini memilih untuk diam dan menjalani semuanya dengan penuh senyuman.

Andai saja Aini diizinkan menikmati rindu, dia ingin sekali merindukan sosok lelaki yang pernah mencintainya. Hanya saja, dia tak punya sesuatu yang mampu mengembalikan rindu itu. Hanya purnama yang mampu Aini renungkan hingga lantunan doa tanpa sadar terucap dari bibirnya.

Zul pulang dari masjid, Aini sudah menyiapkan makanan untuk makan malam dan segelas teh hangat kesukaan Zul. Setelah ini, mereka akan menjalani makan malam bersama. Makan malam yang sebenarnya dihindari oleh mereka bertiga. Tetapi, aturan sudah tertuliskan dan harus dijalankan, tak mungkin bisa dipertentangkan.

Tak ada kata-kata yang terdengar, hanya suara sendok yang kadang beradu dengan piring. Zul selalu makan dengan lahap, Ibu Zul selalu pelan layaknya seorang putri solo yang lemah gemulai. Tak bisa dipungkiri masakan Aini memang paling enak. Walau mereka tak pernah mau mengakui, namun begitulah adanya.

Jika Aini pulang malam, mereka tak akan duduk bersama di meja makan yang usianya hampir sama dengan Zul. Meja makan yang penuh kenangan Ibu dan Ayah Zul yang dulu ingin dijual tetapi tak jadi dijual karena Ibu Zul yang selalu terkenang mendiang suaminya. Lebih dari itu, Zul dan Ibunya sangat menyukai meja makan tua yang selalu membuka kehangatan tanpa mereka sadari.

Pukul sembian malam, mereka masuk ke kamar masing-masing. Merenungkan apa yang sedang mereka jalani selama ini. Hidup yang berjalan seperti air mengalir, tak ada gairah sedikit pun, dan serasa hambar. Tidak ada bumbu yang mampu melengkapi itu semua.

“Kita bisa ya, menjalani hidup seperti ini,” kata Aini.
“Aku juga tak tahu, kenapa kita bisa seperti ini?” Jawab Zul.
“Bisakah kita memperbaikinya?”
“Aku juga tak tahu,”

Rutinitas itu hampir berjalan lama. Tak ada kebosanan hanya logika kehidupan yang telah membius mereka menjadi seperti ini. Pagi pun tak jauh berbeda dengan Malam. Berjalan seperti air yang mengalir.

Ibu Zul pergi meninggalkan kursi rodanya, berjalan dengan baiknya keseluruh penjuru desa. Dia bosan dengan apa yang telah dijalaninya. Dia mencoba untuk mengungkapkan kerinduannya akan keadaan dirinya yang selalu sehat, selalu ceria dan tak pernah menangis.

Hingga dia pun merasa tak kuat untuk berjalan lagi, dan terjatuh. Tak ada seorang pun yang tahu, kecuali Aini yang bergegas menolongnya. Tampak sekali cinta kasih Aini kepada Ibu Zul dalam keadaan seperti ini. Aini memang pernah mengalami hal buruk dengan orang tuanya. Sehingga, rasa kasihnya kepada Ibu Zul begitu besar, sebagai balasan dari sebuah penyesalan masa lalu.

“Lepas! Aku tak butuh bantuanmu, aku bisa sendiri,” kata Ibu Zul.
“Ibu lemah, jangan dipaksa!”
“Sudahlah jangan sok baik di depan saya, saya tahu kamu itu terpaksa kan, kamu sudah merencanakan untuk membunuh saya kan, dasar tak tau diuntung, sudah baik kau diselamatkan anakku,”

Tanpa sadar Aini menampar keras Ibu Zul. Rasa amarahnya sudah memuncak, dia tak ingin lagi mengenang masa lalunya yang sangat kacau itu. Aini yang saat ini berada tepat di depan Ibu Zul bukanlah Aini yang penuh dengan kasih. Ada sedikit rasa takut dalam paras wajah Ibu Zul.

“Jangan ungkit masa lalu saya, setidaknya masa lalu saya lebih indah dari masa lalumu,” kata Aini yang kemudian pergi.

Ibu Zul tak terima dengan perkataan Aini. Dia terus saja mengumpat Aini dengan kata-kata yang sangat keras. Banyak orang yang melihatnya dan hanya sekedar melihat. Ibu Zul pun akhirnya meminta bantuan Yuna yang tanpa sengaja lewat.

Aini mengemasi semua barang-barangnya, dia ingin pergi dari rumah dan memenuhi hasrat rindunya. Aini lelah untuk berura-pura seperti yang diminta Zul. Dia pun juga mengumpat Ibu Zul, dengan berbagai macam kata yang memang menjadi masa lampau Ibu Zul. Seakan-akan penyesalannya telah lupa dengan sendirinya.

“Kau mau kemana?” Tanya Zul yang terkejut, ketika melihat Aini sudah siap dan tinggal pergi saja.
“Aku mau pergi,”
“Kenapa?”
“Tanya sajalah kau kepada Ibumu?”
“Sudah ku bilang, kau harus sabar.”
“Sabarku sudah habis, Mas! Lebih baik jadi seperti ini daripada menjadi orang munafik.”

Aini pergi, Zul hanya berdiam diri dan tak bisa melakukan apa pun. Zul meratapi kepergian Aini. Dia sudah mulai jatuh cinta dengan perempuan pilihan Ayahnya itu. Zul semakin tertekan dengan kisah hidupnya, dan tak tahu lagi dengan apa yang harus dilakukan.

Ibu Zul pun sampai dirumahnya, dia masih mengumpat Aini. Amarahnya kini dilimpahkan ke Zul yang masih terpaku tak berdaya. Diam dan entah apa yang harus dilakukan, hanya kematian yang selalu diharapkan. Zul pun pergi, tak menghiraukan semua perkataan orang tuanya yang terus saja mengumpat Aini tanpa henti.

Zul berjalan dengan langkah yang tak menentu. Dia rindu dirinya yang menjadi preman dengan sebuah kebebasan yang membuatnya bahagia. Dunia memang terbalik baginya, ketenangannya adalah kenalakannya, yang mempertemukannya dengan Aini.

Ibu Zul menderita kanker stadium akhir. Tak akan lama lagi waktunya di dunia akan segera berakhir. Dia ingin melihat Zul menjadi insan yang taat dan baik, kata-kata yang langsung disampaikan Ibunya kepada Zul.

“Aku tak mungkin menjadi seperti itu Ibu.”
“Tolonglah Zul! Jadilah kau orang yang baik yang taat beribadah seperti keinginanku.”

Tuntutan itu yang membuat Zul mecoba menjadi lebih baik walau sulit, yang membawanya menikahi Aini yang datang seperti malaikat. Awalnya Ibu Zul menyetujui apa pun riwayat Aini. Tetapi, dia berubah membencinya entah apa gerangan yang membuat Ibu Zul berubah drastis seperti itu.

Aini pun bosan dengan kehidupannya. Dia merasa bukan dirinya yang berbicara, yang melayani. Dia tertekan dengan semua keinginan Zul. Ingin memberontak, tetapi tak punya daya apa pun untuk itu.

Dikala badai itu menerpa mereka, ada kesadaran yang terlintas. Bahwa mereka saat ini bukanlah seperti yang dahulu, walau rindu itu melekat untuk mengatasi semua dengan cara mereka masing-masing.

“Aku akan mati, tak seharusnya aku bersikap seperti ini,” kata Ibu Zul.
“Semua orang menilai ku baik, rajin sholat dan akan diangkat menjadi takmir masjid, tak seharusnya aku seperti ini,” kata Zul.
“Sejujurnya, aku lebih menikmati dunia ku yang sekarang lebih indah dan bercahaya,” kata Aini yang sudah menggandeng tangan lelaki lain.

Mereka bergejolak, rindu akan hadirnya masa lalu selalu hadir dengan sendirinya. Rindu itu yang membuat mereka untuk tetap bertahan dalam berbagai jenis badai yang hanya mereka yang mampu menyeleseikannya sendiri. Andai saja mereka diizinkan menikmati rindu ini sebentar saja.

0
1.6K
9
Thread Digembok
Urutan
Terbaru
Terlama
Thread Digembok
Komunitas Pilihan