- Beranda
- Komunitas
- Story
- Stories from the Heart
Curhatan Ane Tentang Organisasi Kampus dan Omong Kosong


TS
alansetcetera
Curhatan Ane Tentang Organisasi Kampus dan Omong Kosong
Halo agan-agan semua. Kali ini ane sebagai anak organisasi kampus sekaligus sudah berkecimpung di dunia kerja, mau berbagi sedikit cerita dan pengalaman. Monggo bagi yang memiliki pengalaman serupa atau bahkan berbeda, kita bisa saling berbagi pengalaman gan:
Quote:
ORGANISASI KAMPUS DAN OMONG KOSONG
Saya pikir, semua orang percaya bahwa hidup ini adalah serangkaian fase. Fase bayi, anak-anak, remaja, dewasa, hingga tua. Fase-fase tersebut dilalui seorang manusia secara berurutan. Namun ada beberapa fase lain yang dilalui manusia secara berbeda-beda per individu. Hal ini bergantung pada pilihan hidupnya dan juga takdir Tuhan.
Menjadi mahasiswa baru berarti menjadi gelas kosong yang siap diisi apapun. Bak gayung bersambut, di sisi lain para mahasiswa lama saling berebut menuangkan doktrin-doktrin organisasi maupun ideologinya masing-masing pada ribuan gelas kosong tersebut.
Lantas, apakah hal tersebut salah? Tidak juga, saya pikir. Bukankah hal tersebut merupakan ‘fase’?
Saya sendiri pun mengalaminya.
Sejak dari SMA saya sudah percaya bahwa organisasi dan hal-hal yang berbau politik hanyalah dipenuhi oleh orang-orang munafik nan hipokrit. Namun saya juga berani mengatakan bahwa saya bukanlah orang yang apatis. Saya memilih jalan lain, bergerak bawah tanah bersama kawan-kawan se-tongkrongan, menjadi oposisi.
Akan tetapi, jalan saya tersebut rasa-rasanya begitu sulit untuk diteruskan. Pertama, saya merupakan mahasiswa jurusan ilmu komunikasi. Apabila melihat prospek kerja, saya kok pesimis ada perusahaan yang mau memperkerjakan seseorang tanpa pengalaman organisasi di CV-nya. Kedua, penerimaan para kakak tingkat (mahasiswa lama) kepada angkatan saya secara umum dan saya sendiri secara pribadi bisa dibilang sangat baik. Mungkin juga karena himpunan jurusan ini baru berdiri satu tahun dan kamilah adik tingkat pertamanya.
Bagi saya, kedua hal tersebutlah yang memantapkan saya untuk mendaftar sebagai calon pengurus himpunan jurusan ini.
Lalu, apakah semuanya lantas berjalan mudah? Tidak, tidak sama sekali.
Awalnya, saya hanya ingin mencoba belajar berorganisasi sebaik-baiknya dengan cara mengikuti alur organisasi ini dengan cara senurut-nurutnya pada alur. Dan hal inilah yang menjadi prinsip yang selalu saya pegang untuk megarungi satu periode organisasi ini.
Tapi ternyata saya tidak sekuat dan sehebat itu. Saya sempat merasa sangat capek dan kehilangan orientasi awal bergorganisasi. Bahkan saya sempat merasa dikelabui oleh omong kosong atau doktrin-doktrin kakak tingkat di awal.
Seharusnya saya tidak kehilangan waktu nongkrong saya bersama teman-teman, kalau tidak harus rapat atau diskusi atau apalah tentang kelangsungan organisasi sampai larut malam bahkan pagi buta.
Seharusnya saya bisa menikmati band indie favorit saya yang sedang konser di lapangan sepakbola UII dengan tidak terlalu capek dan repot, kalau tidak harus ikut pengabdian masyarakat di Bantul terlebih dahulu. Lalu ngelaju dari Bantul habis maghrib terus nonton konser di lapangan sepakbola UII kemudian harus sampai Bantul lagi sebelum subuh. Plus bersiap menerima cercaan miring bahwasanya saya kabur dari pengabdian masyarakat padahal sudah izin ke koor saya.
Seharusnya saya bisa menjalankan ibadah puasa saya tanpa rasa lelah yang tidak perlu, kalau tidak harus mengurus ospek jurusan. Saat itu saya sebagai ketua ospek jurusan yang rumahnya Jogja kota harus merelakan diri menghampiri rumah salah satu sekertaris saya di Muntilan hanya untuk membahas timeline ospek jurusan agar berjalan rapi dan indah, padahal waktu itu sedang Bulan Ramadhan, yang sebagai umat muslim tentu saja saya berpuasa.
Terlepas dari itu semua, ada satu kalimat dari kakak tingkat saya yang kurang lebih intinya adalah hal-hal yang saya lalui tersebut akan membentuk saya di kemudian hari. Efeknya bukan sekarang, pahamnya tidak sekarang. Tapi besok. Besok kapan? Entah, tapi pasti. Awal saya mendangar kalimat tersebut, saya berpikiran bahwa kalimat tersebut hanyalah omong kosong yang lain.
Lalu ketika satu periode telah berakhir, apakah saya memutuskan untuk berhenti? Tidak. Saya memutuskan untuk berjuang lagi. Dan di sinilah saya, di penghujung periode kedua di organisasi yang sama. Dan di sini pula saya sudah berani menyimpulkan bahwa kalimat dari salah satu kakak tingkat saya tersebut benar adanya, karena pada saat ini saya sudah bekerja pada salah satu agensi buku tahunan yang tidak bisa diremehkan dari Jogja.
Berada di dunia kerja membuat saya harus mengingat apa saja yang telah saya lakukan di organisasi. Dan saya rasa pernah berada di organisasi sangat membantu saya pribadi untuk beradaptasi, hingga survive di dunia kerja.
Nila-nilai pelajaran yang saya dapat di organisasi dan sangat berguna di kehidupan selanjutnya atau dunia kerja yaitu kurang lebih seperti bagaimana kita harus memahami dan mengahargai orang lain bahwa setiap orang itu unik, dan memiliki preferensinya masing-masing dalam menyikapi sesuatu. Dan juga bagaimana kita harus pintar-pintar menempatkan diri, misal dengan siapa kita sedang berkomunikasi, atau harus tau kapan waktunya bercanda dan kapan waktunya serius. Kemudian kita tidak seharusnya marah to be pushed to the extra miles, atau disuruh melakukan hal-hal yang sejatinya di luar jobdesk kita. Dan masih banyak yang lainnya.
Lantas saya percaya bahwa ruang kuliah akan mengantarkan kita ke dalam kantor, namun sekre organisasi lah yang mengajarkan kita tetap berada di dalamnya.
Dan di titik ini saya paham bahwa apabila ada yang bilang organisasi kampus itu omong kosong, saya tidak bisa sepenuhnya menyangkal. Kenapa? Lha namanya juga organisasi kampus, pengurusnya juga para mahasiswa. Punya hak apa kita untuk menuntut apapun? Sebagai mahasiswa bukankah memang waktunya sedang belajar? Sedangkan medan perang yang sesungguhnya adalah setelah ini?
Maka, organisasi kampus merupakan sebaik-baik fase omong kosong yang sangat perlu untuk dilalui setiap mahasiswa.
Saya pikir, semua orang percaya bahwa hidup ini adalah serangkaian fase. Fase bayi, anak-anak, remaja, dewasa, hingga tua. Fase-fase tersebut dilalui seorang manusia secara berurutan. Namun ada beberapa fase lain yang dilalui manusia secara berbeda-beda per individu. Hal ini bergantung pada pilihan hidupnya dan juga takdir Tuhan.
Menjadi mahasiswa baru berarti menjadi gelas kosong yang siap diisi apapun. Bak gayung bersambut, di sisi lain para mahasiswa lama saling berebut menuangkan doktrin-doktrin organisasi maupun ideologinya masing-masing pada ribuan gelas kosong tersebut.
Lantas, apakah hal tersebut salah? Tidak juga, saya pikir. Bukankah hal tersebut merupakan ‘fase’?
Saya sendiri pun mengalaminya.
Sejak dari SMA saya sudah percaya bahwa organisasi dan hal-hal yang berbau politik hanyalah dipenuhi oleh orang-orang munafik nan hipokrit. Namun saya juga berani mengatakan bahwa saya bukanlah orang yang apatis. Saya memilih jalan lain, bergerak bawah tanah bersama kawan-kawan se-tongkrongan, menjadi oposisi.
Akan tetapi, jalan saya tersebut rasa-rasanya begitu sulit untuk diteruskan. Pertama, saya merupakan mahasiswa jurusan ilmu komunikasi. Apabila melihat prospek kerja, saya kok pesimis ada perusahaan yang mau memperkerjakan seseorang tanpa pengalaman organisasi di CV-nya. Kedua, penerimaan para kakak tingkat (mahasiswa lama) kepada angkatan saya secara umum dan saya sendiri secara pribadi bisa dibilang sangat baik. Mungkin juga karena himpunan jurusan ini baru berdiri satu tahun dan kamilah adik tingkat pertamanya.
Bagi saya, kedua hal tersebutlah yang memantapkan saya untuk mendaftar sebagai calon pengurus himpunan jurusan ini.
Lalu, apakah semuanya lantas berjalan mudah? Tidak, tidak sama sekali.
Awalnya, saya hanya ingin mencoba belajar berorganisasi sebaik-baiknya dengan cara mengikuti alur organisasi ini dengan cara senurut-nurutnya pada alur. Dan hal inilah yang menjadi prinsip yang selalu saya pegang untuk megarungi satu periode organisasi ini.
Tapi ternyata saya tidak sekuat dan sehebat itu. Saya sempat merasa sangat capek dan kehilangan orientasi awal bergorganisasi. Bahkan saya sempat merasa dikelabui oleh omong kosong atau doktrin-doktrin kakak tingkat di awal.
Seharusnya saya tidak kehilangan waktu nongkrong saya bersama teman-teman, kalau tidak harus rapat atau diskusi atau apalah tentang kelangsungan organisasi sampai larut malam bahkan pagi buta.
Seharusnya saya bisa menikmati band indie favorit saya yang sedang konser di lapangan sepakbola UII dengan tidak terlalu capek dan repot, kalau tidak harus ikut pengabdian masyarakat di Bantul terlebih dahulu. Lalu ngelaju dari Bantul habis maghrib terus nonton konser di lapangan sepakbola UII kemudian harus sampai Bantul lagi sebelum subuh. Plus bersiap menerima cercaan miring bahwasanya saya kabur dari pengabdian masyarakat padahal sudah izin ke koor saya.
Seharusnya saya bisa menjalankan ibadah puasa saya tanpa rasa lelah yang tidak perlu, kalau tidak harus mengurus ospek jurusan. Saat itu saya sebagai ketua ospek jurusan yang rumahnya Jogja kota harus merelakan diri menghampiri rumah salah satu sekertaris saya di Muntilan hanya untuk membahas timeline ospek jurusan agar berjalan rapi dan indah, padahal waktu itu sedang Bulan Ramadhan, yang sebagai umat muslim tentu saja saya berpuasa.
Terlepas dari itu semua, ada satu kalimat dari kakak tingkat saya yang kurang lebih intinya adalah hal-hal yang saya lalui tersebut akan membentuk saya di kemudian hari. Efeknya bukan sekarang, pahamnya tidak sekarang. Tapi besok. Besok kapan? Entah, tapi pasti. Awal saya mendangar kalimat tersebut, saya berpikiran bahwa kalimat tersebut hanyalah omong kosong yang lain.
Lalu ketika satu periode telah berakhir, apakah saya memutuskan untuk berhenti? Tidak. Saya memutuskan untuk berjuang lagi. Dan di sinilah saya, di penghujung periode kedua di organisasi yang sama. Dan di sini pula saya sudah berani menyimpulkan bahwa kalimat dari salah satu kakak tingkat saya tersebut benar adanya, karena pada saat ini saya sudah bekerja pada salah satu agensi buku tahunan yang tidak bisa diremehkan dari Jogja.
Berada di dunia kerja membuat saya harus mengingat apa saja yang telah saya lakukan di organisasi. Dan saya rasa pernah berada di organisasi sangat membantu saya pribadi untuk beradaptasi, hingga survive di dunia kerja.
Nila-nilai pelajaran yang saya dapat di organisasi dan sangat berguna di kehidupan selanjutnya atau dunia kerja yaitu kurang lebih seperti bagaimana kita harus memahami dan mengahargai orang lain bahwa setiap orang itu unik, dan memiliki preferensinya masing-masing dalam menyikapi sesuatu. Dan juga bagaimana kita harus pintar-pintar menempatkan diri, misal dengan siapa kita sedang berkomunikasi, atau harus tau kapan waktunya bercanda dan kapan waktunya serius. Kemudian kita tidak seharusnya marah to be pushed to the extra miles, atau disuruh melakukan hal-hal yang sejatinya di luar jobdesk kita. Dan masih banyak yang lainnya.
Lantas saya percaya bahwa ruang kuliah akan mengantarkan kita ke dalam kantor, namun sekre organisasi lah yang mengajarkan kita tetap berada di dalamnya.
Dan di titik ini saya paham bahwa apabila ada yang bilang organisasi kampus itu omong kosong, saya tidak bisa sepenuhnya menyangkal. Kenapa? Lha namanya juga organisasi kampus, pengurusnya juga para mahasiswa. Punya hak apa kita untuk menuntut apapun? Sebagai mahasiswa bukankah memang waktunya sedang belajar? Sedangkan medan perang yang sesungguhnya adalah setelah ini?
Maka, organisasi kampus merupakan sebaik-baik fase omong kosong yang sangat perlu untuk dilalui setiap mahasiswa.
Diubah oleh alansetcetera 08-12-2017 04:14


anasabila memberi reputasi
1
35K
Kutip
220
Balasan


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan