- Beranda
- Komunitas
- News
- Citizen Journalism
Mewujudkan Televisi Ramah Anak dengan Mereduksi Tayangan Reality Show


TS
indiramf
Mewujudkan Televisi Ramah Anak dengan Mereduksi Tayangan Reality Show
Semakin menjamurnya stasiun televisi yang mewarnai dunia penyiaran Indonesia, membuat orang-orang berduit berlomba untuk mendominasi kepemilikan stasiun TV swasta tersebut. Para pemilik uang berlebih ini berusaha mencengkram konsep-konsep yang ada di televisi untuk dikomersialkan. Mereka yang memiliki kekuasaan atas media, menyetir gaya hidup, mode fashion serta pilihan masyarakat dalam pemenuhan kebutuhan akan hiburan. Menurut Richards & French (2000) dalam buku Television and The Crisis of Democracy Asia, sebagaimana dikutip oleh Setio Budi HH dalam artikelnya yang berjudul Televisi dan Ancaman Demokrasi yang dimuat di Jurnal Komunikator Volume 3 (2011) menyatakan bahwa fenomena tersebut masuk kedalam istilah yang disebut imperialisme budaya, yang mengatakan bahwa masyarakat yang lebih kuat akan mendorong nilai dan kepercayaan mereka kepada masyarakat yang lebih lemah didalam situasi yang ekspolitatif.
Dengan banyaknya saluran yang bisa ditonton di televisi, ternyata kurang beriringan dengan keberagaman program acara yang ditampilkan. Rata-rata hampir semua channel isinya sama yaitu berkutat seputaran sinetron, infotainment dan reality show. Acara televisi pada jaman ini pun tidak ramah anak, bertolak belakang dengan UU Penyiaran No.32 tahun 2002 tentang Penyiaran yang mengamanatkan agar isi siaran wajib memberikan perlindungan dan pemberdayaan kepada khalayak khusus, yaitu anak-anak dan remaja pada waktu yang tepat. Dilansir dari laman remotivi.or.id dalam artikel berjudul Publik Mengadu : KPI Tak Padu yang ditulis oleh Ghina Ghaliya Quddus, tercantum hasil kajian Yayasan Pengembangan Media Anak (YPMA) bahwa 59% dari 1.401 acara anak di televisi masuk dalam kategori “tidak aman”.
Salah satu hak warga negara yang dijamin di UU ialah mendapatkan informasi dalam bentuk siaran, dan hak itu pun tak hanya berlaku bagi orang dewasa saja, melainkan juga anak-anak. Anak-anak membutuhkan tayangan yang sesuai dengan umur mereka, dimana tayangan tersebut bisa mengedukasi, mengembangkan kreativitas dan menghibur. Sangat disayangkan ketika anak-anak dibawah umur yang belum bisa memilih tayangan mana yang baik atau tidak, ikut-ikutan menyaksikan program TV yang berkedok komedi namun ternyata dibalik itu semua, terdapat muatan yang menampilkan adegan kurang pantas, tidak senonoh dan terkadang menghina sesama artis di dalam acara itu semata hanya agar mendapat sorakan dari penonton.
Menurut Effendi (2004) sebagaimana dikutip Imelda Bacin dalam artikelnya yang berjudul Motivasi Konsumsi Terhadap Tayangan Reality Show Dan Pemenuhan Kebutuhan Informasi yang dimuat di Jurnal Komunikasi dan Media Massa Volume 3 (2012) menyatakan bahwa reality show adalah genre acara televisi yang menggambarkan adegan yang seakan-akan benar-benar berlangsung tanpa skenario, dengan pemain yang umumnya khayalak biasa, acara realitas umumnya menampilkan kenyataan yang dimodifikasi. Pada kenyataannya teori tingallah teori, reality show di Indonesia justru berskenario dan pemainnya pun sudah melewati proses casting.
Seperti Pesbukers, acara yang sudah beberapa kali ditegur oleh KPI karena menyalahi aturan penyiaran dimana acara tersebut sudah melemparkan candaan diluar batasan antar para pemainnya. Acara ini juga pernah tidak diberikan izin tayang selama beberapa minggu, namun pada akhirnya disuguhkan kembali oleh ANTV kepada penontonnya. Alih-alih muncul dengan nuansa berbeda, program TV yang satu ini masih saja menampilkan komedi yang leluconnya menghina fisik dan juga menggunakan kata-kata kasar.
Senada dengan Pesbukers, acara reality show berikutnya adalah Janji Suci yang ditayangkan setiap hari Sabtu. Isi acara ini menunjukkan kehidupan keseharian seorang artis bersama istri juga anaknya, bahkan ibu dan kedua saudara perempuannya, ditambah lagi asistennya. Crew dari Trans TV akan mengikuti semua kegiatan si artis yang sedang naik daun ini, dari yang umum hingga pribadi. Reality show sejenis ini berusaha untuk meliput celah-celah privasi artis tersebut ditunjukkan ketika kameramen dengan bebasnya masuk dan merekam kamar si artis. Tujuannya tentu saja komersial, dimana semakin dalam kehidupan artis tersebut diekspos, maka semakin banyak penonton terutama penggemar artis itu terpuaskan dan akan terus menonton acara itu.
Sesuai dengan teori kultivasi milik George Gerbner dalam bukunya The Effect of Mass Media yang dikutip oleh Yudi Pramadiansyah dalam artikelnya Pengaruh Televisi Terhadap Pembentukan Perilaku Kekerasan yang dimuat di Jurnal Komunikasi dan Media Massa Volume 3 tahun 2012, menyatakan bahwa televisi mempunyai efek jangka panjang yang walaupun kecil, perlahan dan tidak langsung, akan tetapi memiliki sifat kumulatif dan nyata, dimana tayangan yang disuguhkan televisi akan masuk ke dalam memori otak yang suatu saat nanti bisa teraplikasikan secara nyata dan mempengaruhi aspek sikap dan perilaku. Hal ini juga berlaku kepada anak-anak yang umumnya selalu meniru apa yang dilakukan tokoh yang dianggapnya keren, penting dan menarik.
Keseharian anak-anak yang menghabiskan waktunya selama lebih dari 4 jam untuk menonton televisi dengan acara-acara seperti reality show, dikhawatirkan akan mencontoh tindakan dan ucapan yang ada pada acara tersebut dimana reality show Indonesia notabene tidak pantas ditonton oleh anak-anak. Dari hasil survey yang dilakukan kepada 5 anak usia 6-10 tahun, terbukti bahwa 2 diantaranya masih diawasi orang tua saat menonton televisi dan sisanya dibebaskan menonton TV sendiri tanpa pengawasan. Survey ini membuktikan bahwa akses anak-anak untuk melihat dunia luar melalui layar kaca sangatlah mudah. Selain survey, terdapat pula beberapa video yang sering viral di media sosial, dimana anak-anak zaman sekarang sudah bisa mengekspresikan diri layaknya orang dewasa. Berkata kasar, menyatakan cinta kepada lawan jenis, menunjukkan jari tengah, dianggap sesuatu yang wajar oleh mereka dan tidak bisa dipungkiri bahwa pertelevisian Indonesia memiliki andil dalam mengajarkan itu semua kepada calon-calon penerus bangsa.
Televisi bukanlah hanya milik orang dewasa saja, anak juga punya hak untuk menikmati tayangan yang ada di layar kaca. Memang betul, orang tua harus mengawasi apa saja yang ditonton oleh anak-anak mereka, namun bukan berarti televisi dengan bebasnya menayangkan acara seperti reality show dengan drama yang berlebihan. Komisi Penyiaran Indonesia dan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) sendiri telah membantu mewujudkan televisi ramah anak dengan menandatangani MoU kerjasama antar dua belah pihak yang menyetujui bahwa akan ada penambahan program TV yang aman bagi anak, karena sudah seharusnya anak-anak mendapatkan tayangan yang edukatif dan produktif untuk tumbuh kembang mereka.
Dengan banyaknya saluran yang bisa ditonton di televisi, ternyata kurang beriringan dengan keberagaman program acara yang ditampilkan. Rata-rata hampir semua channel isinya sama yaitu berkutat seputaran sinetron, infotainment dan reality show. Acara televisi pada jaman ini pun tidak ramah anak, bertolak belakang dengan UU Penyiaran No.32 tahun 2002 tentang Penyiaran yang mengamanatkan agar isi siaran wajib memberikan perlindungan dan pemberdayaan kepada khalayak khusus, yaitu anak-anak dan remaja pada waktu yang tepat. Dilansir dari laman remotivi.or.id dalam artikel berjudul Publik Mengadu : KPI Tak Padu yang ditulis oleh Ghina Ghaliya Quddus, tercantum hasil kajian Yayasan Pengembangan Media Anak (YPMA) bahwa 59% dari 1.401 acara anak di televisi masuk dalam kategori “tidak aman”.
Salah satu hak warga negara yang dijamin di UU ialah mendapatkan informasi dalam bentuk siaran, dan hak itu pun tak hanya berlaku bagi orang dewasa saja, melainkan juga anak-anak. Anak-anak membutuhkan tayangan yang sesuai dengan umur mereka, dimana tayangan tersebut bisa mengedukasi, mengembangkan kreativitas dan menghibur. Sangat disayangkan ketika anak-anak dibawah umur yang belum bisa memilih tayangan mana yang baik atau tidak, ikut-ikutan menyaksikan program TV yang berkedok komedi namun ternyata dibalik itu semua, terdapat muatan yang menampilkan adegan kurang pantas, tidak senonoh dan terkadang menghina sesama artis di dalam acara itu semata hanya agar mendapat sorakan dari penonton.
Menurut Effendi (2004) sebagaimana dikutip Imelda Bacin dalam artikelnya yang berjudul Motivasi Konsumsi Terhadap Tayangan Reality Show Dan Pemenuhan Kebutuhan Informasi yang dimuat di Jurnal Komunikasi dan Media Massa Volume 3 (2012) menyatakan bahwa reality show adalah genre acara televisi yang menggambarkan adegan yang seakan-akan benar-benar berlangsung tanpa skenario, dengan pemain yang umumnya khayalak biasa, acara realitas umumnya menampilkan kenyataan yang dimodifikasi. Pada kenyataannya teori tingallah teori, reality show di Indonesia justru berskenario dan pemainnya pun sudah melewati proses casting.
Seperti Pesbukers, acara yang sudah beberapa kali ditegur oleh KPI karena menyalahi aturan penyiaran dimana acara tersebut sudah melemparkan candaan diluar batasan antar para pemainnya. Acara ini juga pernah tidak diberikan izin tayang selama beberapa minggu, namun pada akhirnya disuguhkan kembali oleh ANTV kepada penontonnya. Alih-alih muncul dengan nuansa berbeda, program TV yang satu ini masih saja menampilkan komedi yang leluconnya menghina fisik dan juga menggunakan kata-kata kasar.
Senada dengan Pesbukers, acara reality show berikutnya adalah Janji Suci yang ditayangkan setiap hari Sabtu. Isi acara ini menunjukkan kehidupan keseharian seorang artis bersama istri juga anaknya, bahkan ibu dan kedua saudara perempuannya, ditambah lagi asistennya. Crew dari Trans TV akan mengikuti semua kegiatan si artis yang sedang naik daun ini, dari yang umum hingga pribadi. Reality show sejenis ini berusaha untuk meliput celah-celah privasi artis tersebut ditunjukkan ketika kameramen dengan bebasnya masuk dan merekam kamar si artis. Tujuannya tentu saja komersial, dimana semakin dalam kehidupan artis tersebut diekspos, maka semakin banyak penonton terutama penggemar artis itu terpuaskan dan akan terus menonton acara itu.
Sesuai dengan teori kultivasi milik George Gerbner dalam bukunya The Effect of Mass Media yang dikutip oleh Yudi Pramadiansyah dalam artikelnya Pengaruh Televisi Terhadap Pembentukan Perilaku Kekerasan yang dimuat di Jurnal Komunikasi dan Media Massa Volume 3 tahun 2012, menyatakan bahwa televisi mempunyai efek jangka panjang yang walaupun kecil, perlahan dan tidak langsung, akan tetapi memiliki sifat kumulatif dan nyata, dimana tayangan yang disuguhkan televisi akan masuk ke dalam memori otak yang suatu saat nanti bisa teraplikasikan secara nyata dan mempengaruhi aspek sikap dan perilaku. Hal ini juga berlaku kepada anak-anak yang umumnya selalu meniru apa yang dilakukan tokoh yang dianggapnya keren, penting dan menarik.
Keseharian anak-anak yang menghabiskan waktunya selama lebih dari 4 jam untuk menonton televisi dengan acara-acara seperti reality show, dikhawatirkan akan mencontoh tindakan dan ucapan yang ada pada acara tersebut dimana reality show Indonesia notabene tidak pantas ditonton oleh anak-anak. Dari hasil survey yang dilakukan kepada 5 anak usia 6-10 tahun, terbukti bahwa 2 diantaranya masih diawasi orang tua saat menonton televisi dan sisanya dibebaskan menonton TV sendiri tanpa pengawasan. Survey ini membuktikan bahwa akses anak-anak untuk melihat dunia luar melalui layar kaca sangatlah mudah. Selain survey, terdapat pula beberapa video yang sering viral di media sosial, dimana anak-anak zaman sekarang sudah bisa mengekspresikan diri layaknya orang dewasa. Berkata kasar, menyatakan cinta kepada lawan jenis, menunjukkan jari tengah, dianggap sesuatu yang wajar oleh mereka dan tidak bisa dipungkiri bahwa pertelevisian Indonesia memiliki andil dalam mengajarkan itu semua kepada calon-calon penerus bangsa.
Televisi bukanlah hanya milik orang dewasa saja, anak juga punya hak untuk menikmati tayangan yang ada di layar kaca. Memang betul, orang tua harus mengawasi apa saja yang ditonton oleh anak-anak mereka, namun bukan berarti televisi dengan bebasnya menayangkan acara seperti reality show dengan drama yang berlebihan. Komisi Penyiaran Indonesia dan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) sendiri telah membantu mewujudkan televisi ramah anak dengan menandatangani MoU kerjasama antar dua belah pihak yang menyetujui bahwa akan ada penambahan program TV yang aman bagi anak, karena sudah seharusnya anak-anak mendapatkan tayangan yang edukatif dan produktif untuk tumbuh kembang mereka.


anasabila memberi reputasi
1
1.7K
4


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan