- Beranda
- Komunitas
- Entertainment
- The Lounge
Spontan Dari Diri Sendiri


TS
rimatrisna
Spontan Dari Diri Sendiri
Jaman sekarang siapa sih yang tidak pernah membuat story di instagram atau whastapp. Fitur itu dampaknya luar biasa. Story secara mengalir sudah menjadi kultur baru di masyarakat, terutama di dunia maya. Para pengguna media sosial sudah terbiasa. Jadi tidak ada rasa canggung ataupun khawatir lagi jika story yang dibuat akan dilihat banyak orang. Termasuk tidak ada firasat buruk jikalau story bisa membuat orang yang melihatnya “memendam umpatan”. Hehehe.
Saya sendiri pernah membuat story. Tapi tidak sering. Jarang malah. Entah kenapa saya masih belum bisa menjadikan story sebagai hal yang “biasa”. Tidak seperti teman-teman saya di instagram maupun whatsapp yang mudah sekali membuat story. Itu yang membuat saya penasaran. Kok bisa ya. Kok saya nggak gitu ya. Hingga iseng-iseng saya membuat daftar pertanyaan berkaitan dengan story untuk teman-teman saya. Kebanyakan mahasiswa UNY sih, ada beberapa anak UGM, dan UST.
Secara umum jawaban mereka hampir sama. Saya kira karena story sudah menjadi kultur, teman-teman merasa Biasa saja. Spontanitas dari diri sendiri. Ya. Spontanitas itu yang saya pikir menjadi dasar dari segala tujuan membuat story (Kecuali saya, karena saya tidak bisa spontan membuat story. Harus mikir panjang. Serius). Umumnya sih mereka membuat story karena ingin menyebarkan informasi, hal-hal unik, untuk promosi barang dagangan, promosi event (biasanya event-event mahasiswa), untuk lucu-lucuan, serta membagikan hal-hal yang bermanfaat. Seperti kutipan-kutipan inspiratif, motivatif, hadits-hadits, dan hal-hal positif lainnya.
Ada lagi, membuat story untuk mengusir rasa jenuh. Siapapun pernah merasakan jenuh atau bosan. Apalagi ketika sedang sendiri dan hanya gawai di tangan yang menjadi teman. Nah, secara spontan lagi, jemari tangan dan pikiran akan bekerja sama untuk membuat story secara random. Hasilnya…. Mungkin ya rasa jenuh itu akan hilang karena telah terlampiaskan.
Luapan emosi. Bentuknya bisa macam-macam. Segala bentuk emosi itu bisa diluapkan di story. Tapi yang menarik adalah ketika bentuk luapan emosi itu berupa sindiran. Wah. Bahkan orang yang di dunia nyata pendiam, bisa menyindir melalui story lho. Saking kesalnya. Tujuannnya agar setelah itu merasa lega dan akan lebih lega lagi kalau yang disindir sadar akan kesalahan. Kalau nggak sadar ya bisa tersinggung. Lalu akan menjadi konflik yang berkepanjangan sampai ke dunia nyata. Ini yang gawat. Ckckck.
Segala bentuk konten story dan tujuannya, sekali lagi saya simpulkan berasal dari diri sendiri secara spontan. Mengingat story sudah mendarah daging di dunia maya. Spontan. Kalau menemukan hal yang unik, sedang jenuh, sedang kesal, emosi, ya meluapkannya melelaui story. Spontan. Walaupun mungkin konten yang dibuat sebenarnya tidak berfeadah dan tidak penting. Receh, alay, lebay. Tapi ya itu tadi, spontan saja. Toh hal itu juga berkaitan dengan kebebasan. Setiap orang memiliki kebebasan berekspresi. Harapannya ya semoga dengan keberadaan story tidak akan membuat masyarakat lupa pada pentingnya untuk tidak mengunggah hal-hal yang tidak pantas menjadi konsumsi publik.
Saya sendiri pernah membuat story. Tapi tidak sering. Jarang malah. Entah kenapa saya masih belum bisa menjadikan story sebagai hal yang “biasa”. Tidak seperti teman-teman saya di instagram maupun whatsapp yang mudah sekali membuat story. Itu yang membuat saya penasaran. Kok bisa ya. Kok saya nggak gitu ya. Hingga iseng-iseng saya membuat daftar pertanyaan berkaitan dengan story untuk teman-teman saya. Kebanyakan mahasiswa UNY sih, ada beberapa anak UGM, dan UST.
Secara umum jawaban mereka hampir sama. Saya kira karena story sudah menjadi kultur, teman-teman merasa Biasa saja. Spontanitas dari diri sendiri. Ya. Spontanitas itu yang saya pikir menjadi dasar dari segala tujuan membuat story (Kecuali saya, karena saya tidak bisa spontan membuat story. Harus mikir panjang. Serius). Umumnya sih mereka membuat story karena ingin menyebarkan informasi, hal-hal unik, untuk promosi barang dagangan, promosi event (biasanya event-event mahasiswa), untuk lucu-lucuan, serta membagikan hal-hal yang bermanfaat. Seperti kutipan-kutipan inspiratif, motivatif, hadits-hadits, dan hal-hal positif lainnya.
Ada lagi, membuat story untuk mengusir rasa jenuh. Siapapun pernah merasakan jenuh atau bosan. Apalagi ketika sedang sendiri dan hanya gawai di tangan yang menjadi teman. Nah, secara spontan lagi, jemari tangan dan pikiran akan bekerja sama untuk membuat story secara random. Hasilnya…. Mungkin ya rasa jenuh itu akan hilang karena telah terlampiaskan.
Luapan emosi. Bentuknya bisa macam-macam. Segala bentuk emosi itu bisa diluapkan di story. Tapi yang menarik adalah ketika bentuk luapan emosi itu berupa sindiran. Wah. Bahkan orang yang di dunia nyata pendiam, bisa menyindir melalui story lho. Saking kesalnya. Tujuannnya agar setelah itu merasa lega dan akan lebih lega lagi kalau yang disindir sadar akan kesalahan. Kalau nggak sadar ya bisa tersinggung. Lalu akan menjadi konflik yang berkepanjangan sampai ke dunia nyata. Ini yang gawat. Ckckck.
Segala bentuk konten story dan tujuannya, sekali lagi saya simpulkan berasal dari diri sendiri secara spontan. Mengingat story sudah mendarah daging di dunia maya. Spontan. Kalau menemukan hal yang unik, sedang jenuh, sedang kesal, emosi, ya meluapkannya melelaui story. Spontan. Walaupun mungkin konten yang dibuat sebenarnya tidak berfeadah dan tidak penting. Receh, alay, lebay. Tapi ya itu tadi, spontan saja. Toh hal itu juga berkaitan dengan kebebasan. Setiap orang memiliki kebebasan berekspresi. Harapannya ya semoga dengan keberadaan story tidak akan membuat masyarakat lupa pada pentingnya untuk tidak mengunggah hal-hal yang tidak pantas menjadi konsumsi publik.
0
1.1K
15


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan