- Beranda
- Komunitas
- Entertainment
- The Lounge
Cerita Grandprix Bisa Raih Gelar Doktor Termuda Indonesia


TS
skylinked007
Cerita Grandprix Bisa Raih Gelar Doktor Termuda Indonesia
Quote:

Quote:
Bandung- Grandprix Thomryes Marth Kadja (24), menjadi doktor termuda di Indonesia. Prestasi membanggakan ini tentu tidak mudah diraih apalagi dengan waktu singkat. Namun berkat kerja keras dan kemauan tinggi hal itu bisa digapainya.
Ia menyelesaikan studi S2 dan S3 nya di ITB dengan mengikuti program beasiswa Pendidikan Magister menuju Doktor untuk Sarjana Unggul (PMDSU) yang digulirkan Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti) di tahun 2013.
Dalam penelitian disertasinya, ia konsen di bidang Katalis dengan topik zeolite sintesis, mekanisme, dan peningkatan hierarki zeolit ZSM-5. Katalis merupakan zat yang mempercepat reaksi kimia pada suhu tertentu, tanpa mengalami perubahan.
Pemuda kelahiran Kupang, NTT 31 Maret 1993 ini mengaku menjumpai beberapa kendala dalam menyelesaikan disertasinya. Di antaranya ketidaktersediaan peralatan penelitian di labolatorium. Sehingga ia harus mencarinya ke luar negeri.
"Kendalanya S2 dan S3 banyaknya penelitian ya, nah kesulitannya ada alat atau instrumen yang memang di ITB enggak punya, di Indonesia enggak punya, ya kalau kayak gitu kami cari ke luar (negeri)," kata Grandprix saat berbincang dengan detikcom di Jalan Riau, Kamis (21/9/2017).
Tidak hanya kesulitan soal fasilitas labolatorium, ia juga harus bekerja keras menulis dan mempublikasi jurnal ilmiah skala internasional sebagai syarat penyusunan disertasi. Hal itu juga tidak mudah dilakukan oleh Grandprix.
"Selama S3 itu harus publikasi ilmiah internasional, kadang-kadang enggak selalu kita diterima kadang direject oleh editor, itu salah satu yang bikin tidak semangat," ungkap pemuda kelahiran Kupang, NTT 24 tahun lalu ini.
Berkat bimbingan dari Dr. Rino Mukti, Dr. Veinardi Suendo, Prof. Ismunandar, dan Dr. I Nyoman Marsih, ia bisa menyelesaikan disertasinya dengan baik dan tepat waktu. Bahkan ia mampu mempublikasikan tujuh jurnal ilmiah skala internasional.
"Sejak awal memang targetnya selesai dengan baik ya, ontime juga (lulus S2 dan S3 empat tahun). Target publikasi lebih tinggi, sekarang sudah tujuh yang dipublikasi skala internasional," ungkap dia.
Anak pertama dari tiga bersaudara ini mengatakan orang tua menjadi spiritnya dalam menempuh pendidikan ini. Menurutnya kedua orang tuanya sejak awal sangat mendukungnya untuk bisa mengenyam pendidikan setinggi-tingginya.
"Orang tua (dukung) karena dari kecil sudah mendorong sekolah tinggi, ayah saya pernah jadi guru. Karena didorong dan saya menikmati sampai sekarang," jelas dia.
Sekses dalam pendidikan di usia muda tentunya bukan perkara mudah. Meski butuh proses dan kerja keras, Grandprix berharap banyak generasi muda yang bisa lebih berprestasi darinya. Dengan begitu bisa berkontribusi kemajuan bangsa.
"Kuncinya banyak membaca, karena mau menulis harus banyak referensi. Jadi harus baca, dari yang saya lihat banyak yang cuma didownload tapi tidak dibaca. Jangan pantang menyerah, kerja keras. Refreshing juga perlu," saran Grandprix.
(ern/ern)
Ia menyelesaikan studi S2 dan S3 nya di ITB dengan mengikuti program beasiswa Pendidikan Magister menuju Doktor untuk Sarjana Unggul (PMDSU) yang digulirkan Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti) di tahun 2013.
Dalam penelitian disertasinya, ia konsen di bidang Katalis dengan topik zeolite sintesis, mekanisme, dan peningkatan hierarki zeolit ZSM-5. Katalis merupakan zat yang mempercepat reaksi kimia pada suhu tertentu, tanpa mengalami perubahan.
Pemuda kelahiran Kupang, NTT 31 Maret 1993 ini mengaku menjumpai beberapa kendala dalam menyelesaikan disertasinya. Di antaranya ketidaktersediaan peralatan penelitian di labolatorium. Sehingga ia harus mencarinya ke luar negeri.
"Kendalanya S2 dan S3 banyaknya penelitian ya, nah kesulitannya ada alat atau instrumen yang memang di ITB enggak punya, di Indonesia enggak punya, ya kalau kayak gitu kami cari ke luar (negeri)," kata Grandprix saat berbincang dengan detikcom di Jalan Riau, Kamis (21/9/2017).
Tidak hanya kesulitan soal fasilitas labolatorium, ia juga harus bekerja keras menulis dan mempublikasi jurnal ilmiah skala internasional sebagai syarat penyusunan disertasi. Hal itu juga tidak mudah dilakukan oleh Grandprix.
"Selama S3 itu harus publikasi ilmiah internasional, kadang-kadang enggak selalu kita diterima kadang direject oleh editor, itu salah satu yang bikin tidak semangat," ungkap pemuda kelahiran Kupang, NTT 24 tahun lalu ini.
Berkat bimbingan dari Dr. Rino Mukti, Dr. Veinardi Suendo, Prof. Ismunandar, dan Dr. I Nyoman Marsih, ia bisa menyelesaikan disertasinya dengan baik dan tepat waktu. Bahkan ia mampu mempublikasikan tujuh jurnal ilmiah skala internasional.
"Sejak awal memang targetnya selesai dengan baik ya, ontime juga (lulus S2 dan S3 empat tahun). Target publikasi lebih tinggi, sekarang sudah tujuh yang dipublikasi skala internasional," ungkap dia.
Anak pertama dari tiga bersaudara ini mengatakan orang tua menjadi spiritnya dalam menempuh pendidikan ini. Menurutnya kedua orang tuanya sejak awal sangat mendukungnya untuk bisa mengenyam pendidikan setinggi-tingginya.
"Orang tua (dukung) karena dari kecil sudah mendorong sekolah tinggi, ayah saya pernah jadi guru. Karena didorong dan saya menikmati sampai sekarang," jelas dia.
Sekses dalam pendidikan di usia muda tentunya bukan perkara mudah. Meski butuh proses dan kerja keras, Grandprix berharap banyak generasi muda yang bisa lebih berprestasi darinya. Dengan begitu bisa berkontribusi kemajuan bangsa.
"Kuncinya banyak membaca, karena mau menulis harus banyak referensi. Jadi harus baca, dari yang saya lihat banyak yang cuma didownload tapi tidak dibaca. Jangan pantang menyerah, kerja keras. Refreshing juga perlu," saran Grandprix.
(ern/ern)
Quote:
Diubah oleh skylinked007 21-09-2017 17:02
0
2.2K
Kutip
18
Balasan


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan