- Beranda
- Komunitas
- Entertainment
- The Lounge
Agama Lokal Kurang Diakui


TS
dewaagni
Agama Lokal Kurang Diakui

Agama Lokal Kurang Diakui
Jakarta — Pemeluk agama-agama lokal mengeluhkan kurangnya akomodasi pemerintah terhadap kepercayaan yang kini menjadi minoritas di tanah sendiri ini. Mereka terpaksa mengikuti agama mayoritas untuk mendapatkan pelayanan publik setara dengan pemeluk enam agama lain yang diakui secara sah di Indonesia.
Endek, seorang pemeluk kepercayaan leluhur Kaharingan, sampai saat ini masih menggunakan identitas Kristen di Kartu Tanda Penduduknya. Dia mengaku ini dilakukan agar bisa memperoleh kemudahan dalam administrasi dan birokrasi yang selayaknya didapatkan oleh seluruh warga negara.
“Kami, kalau menjadi Pegawai Negeri Sipil, misalnya, terpaksa harus memilih agama lain untuk penyumpahan,” kata Endek saat ditemui di Jakarta, Senin (17/11). “Jadi kami seperti bersembunyi-sembunyi, tapi di dalam hati, kami tetap menganut Kaharingan.”
Berbeda dengannya, penganut Kaharingan lain terpaksa untuk mengakui Hindu sebagai agamanya. Ini karena pemerintah sempat mewajibkan warganya untuk memeluk salah satu agama yang diakui secara sah oleh negara. Karena terdapat beberapa kesamaan, Kaharingan kemudian dikelompokkan dengan agama Hindu sejak 1980.
Endek mengaku sangat tidak menyukai kebijakan ini. “Ini yang paling membuat kami sakit hati. Karena kami bukan Hindu, kami Kaharingan,” ujar ibu berusia 53 tahun ini.
“Tidak apa-apa jika pada akhirnya kami harus memilih agama yang lain, baik itu Islam, Kristen, Hindu atau Buddha. Tapi itu mestinya jadi hak pribadi, tidak bisa direkrut seperti ini,” katanya, menyesalkan.
Selain itu, ibu dari empat orang anak ini juga mengaku anaknya terpaksa mengikuti pelajaran agama kristen di sekolah. Pendidikan formal di Indonesia tidak mengajarkan agama di luar enam kepecayaan yang diakui dengan sah. Karena itu, pemeluk agama lain harus memilih salah satu di antaranya untuk melengkapi mata pelajaran yang wajib diambil.
“Tapi mereka semua memeluk Kaharingan. Itu hanya untuk mendapatkan nilai saja,” ujarnya.
Tidak hanya Kaharingan, penganut agama lokal lain juga mengeluhkan hal yang sama. Dewi Kanti, misalnya. Pemeluk Sunda Wiwitan yang aktif mengadvokasi kebebasan beragama ini juga mempunyai kisah yang hampir serupa.
“Saya semenjak berusia 17 tahun diislamkan di KTP dan mati-matian tidak bisa diubah sampai 2010. Selama sepuluh tahun saya dipaksa jadi bunglon oleh negara,” kata Dewi.
Dia bercerita, para penganut Sunda Wiwitan tidak bisa memperoleh layanan publik yang memadai karena tidak diakui oleh negara. Misalnya, penganut kepercayaan asal Jawa Barat ini tidak bisa mendapatkan akte nikah sehingga tidak bisa mendapatkan tunjangan keluarga ketika bekerja.
“Bahkan ayah saya dulu pernah dipenjara tanpa peradilan, pada sekitar 1964, karena pernikahannya tidak sesuai dengan kerangka agama yang diakui negara,” ujar Dewi.
Selain itu, Dewi mengaku mengalami intimidasi sejak kecil. “Di sekolah kami dicemooh oleh teman dan guru. Kami dipaksa solat.”
“Sampai sekarang pun adik kami ketika puasa dipaksai pakai jilbab. Tolong izinkan kami merdeka,” ujarnya.
Dia tidak mengerti mengapa saat ini agamanya tidak dilayani dengan baik oleh negara. Padahal, menurut Dewi, awal mula masuknya agama-agama dari luar nusantara adalah berkat leluhurnya yang menerima dengan baik. “Celakanya, leluhur kami menerima dengan baik tapi anak cucunya ditindas.”
Menanggapi ini pihak Kementerian Agama mengaku akan terus berusaha memberikan pelayanan terbaik bagi semua agama yang ada di Indonesia, baik enam agama mayoritas maupun agama-agama lokal.
“Memang usaha yang bisa kami lakukan masih terbatas. Tapi kami tidak pernah mengakui dan mendaftar agama, tidak seperti itu,” kata Abdul Rahman, Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Agama. “Kami semangat melayani semua agama yang ada.”
https://rinaldyfakhri.wordpress.com/...kurang-diakui/
0
2.7K
23


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan