- Beranda
- Komunitas
- News
- Berita dan Politik
Jokowi, JK, hingga Luhut Diprediksi Berperan Tentukan Pengganti Novanto di DPR


TS
annisaputrie
Jokowi, JK, hingga Luhut Diprediksi Berperan Tentukan Pengganti Novanto di DPR
Jokowi, JK, hingga Luhut Diprediksi Berperan Tentukan Pengganti Novanto di DPR
21/11/2017, 13:55 WIB
JAKARTA, KOMPAS.com - Pengamat politik Charta Politika Indonesia, Yunarto Wijaya memprediksi, pertarungan politik akan terjadi dalam proses pergantian Ketua DPR RI. Menurut dia, bukan tidak mungkin pertarungan secara politik itu melibatkan beberapa elit politik, termasuk eksekutif.
"Akan terjadi pertarungan politik antarkubu. Orang pasti bicara bagaimana sikap Jokowi, sikap LBP (Luhut Binsar Pandjaitan) dan sikap JK (Jusuf Kalla)," ujar Yunarto dalam diskusi di Kantor Indonesia Corruption Watch (ICW) Jakarta, Selasa (21/11/2017).
Menurut Yunarto, beberapa nama kader Golkar yang sudah muncul ke publik yakni, Zainuddin Amali, Agus Gumiwang, Aziz Syamsuddin dan Bambang Soesatyo.
Yunarto mengatakan, jika dipetakan secara dukungan, banyak orang sering mengatakan bahwa Aziz Syamsuddin adalah orang yang paling dekat dengan Setya Novanto. Kemungkinan juga didukung oleh Aburizal Bakrie.
Sementara itu, menurut Yunarto, Zainuddin Amali dianggap punya kedekatan dengan Wakil Presiden Jusuf Kalla.
"Pertanyaan menarikan kemudian, Presiden ke mana? Saya ragu dua nama yang saya sebutkan tadi, perwakilan dari Novanto dan perwakilan JK bisa memenangkan pertarungan," kata Yunarto.
Menurut Yunarto, bisa jadi orang-orang pilihan Jokowi adalah kuda hitam yang bisa memenangkan pertarungan kursi ketua DPR. Ada dua nama yang diprediksi, yakni Bambang Soesatyo dan Agus Gumiwang.
Meski demikian, menurut Yunarto, siapapun orangnya, ketua DPR pengganti Setya Novanto tidak boleh orang yang sedang atau berpotensi memiliki kasus hukum, kontroversial secara hukum, atau memiliki rekam jejak buruk terkait kasus korupsi.
http://nasional.kompas.com/read/2017...nti-novanto-di
Fahri Hamzah Tuding Kasus Setya Novanto Terkait Pemilu 2019
Sabtu, 11 November 2017 10:37 WIB
TEMPO.CO, Surabaya - Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Fahri Hamzah menuding langkah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan Ketua Umum Partai Golkar dan Ketua DPRD Setya Novanto menjadi tersangka kasus suap eKTP tidak murni bermotifkan hukum. Dia menilai ada indikasi kasus ini menjadi instrumen untuk menekan Ketua Umum Partai Golkar Setya Novanto agar melepaskan tiketnya pada pemilihan presiden 2019.
Fahri berujar, dengan perolehan suara 14,7 persen pada pemilu sebelumnya, suara Golkar menggiurkan untuk diambil alih pihak-pihak lain, di dalam dan di luar partai Beringin. “Ada kecurigaan KPK sedang mainkan skenario besar,” kata Fahri setelah menjadi pembicara diskusi bertema “Pawai Kebangsaan, Refleksi Hari Pahlawan: Resolusi Jihad dan Visi Kepahlawanan Bangsa” di Hotel Grand Inna, Surabaya, Jumat malam, 10 November 2017. Fahri tidak memberikan bukti apapun untuk memperkuat tudingannya ini.
Wakil Ketua KPK Saut Situmorang mengatakan bahwa KPK telah menerbitkan surat perintah dimulainya penyidikan (SPDP) untuk Setya, Jumat 10 November 2017 lalu. SPDP, kata Saut, telah dikirimkan ke rumah Setya sejak 3 November 2017.
Setya Novanto pertama kali ditetapkan sebagai tersangka pada 17 Juli 2017. Status tersangka itu gugur setelah praperadilan Setya diterima Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada 29 September 2017.
Ketika mengumumkan status tersangka Setya Novanto, Saut Situmorang menegaskan bahwa pada 5 Oktober 2017 KPK melakukan penyelidikan baru untuk pengembangan perkara kasus korupsi e-KTP. "Dalam proses penyelidikan ini KPK telah meminta keterangan sejumlah pihak dan mengumpulkan bukti relevan," katanya. Penjelasan Saut secara tak langsung sudah membantah tuduhan Fahri soal tak lengkapnya bukti penetapan tersangka untuk Setya.
Dalam proses penyelidikan tersebut, KPK telah mengirimkan surat ke Setya Novanto dua kali untuk meminta keterangan. Namun yang bersangkutan tidak bisa hadir dengan alasan ada tugas kedinasan.
Menurut Saut, Setya Novanto, selaku anggota DPR RI 2009-2014, bersama-sama dengan Anang Sugiana Sudiharjo, Andi Agustinus, Irman, Sugiharto, dan kawan-kawan diduga berupaya menguntungkan diri sendiri atau orang lain sehingga diduga merugikan kerugian negara Rp 2,3 triliun dari nilai paket pengadaan Rp 5,9 triliun.
Setya Novanto disangka melanggar Pasal 2 ayat 1 subsider Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
https://nasional.tempo.co/read/10327...it-pemilu-2019
Rasanya Tak Mungkin Golkar Usung Anies-Gatot di Pilpres 2019
Senin, 20 November 2017 – 21:57 WIB
jpnn.com, JAKARTA - Pengamat politik Ari Junaidi menilai, segala kemungkinan terbuka jika nantinya Golkar dipimpin ketua umum baru menggantikan Setya Novanto yang saat ini terbelenggu kasus dugaan korupsi pengadaan kartu tanda penduduk elektronik (e-KTP).
Misalnya terkait pasangan yang diusung pada Pemilihan Presiden 2019 mendatang, Golkar dapat saja memilih Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan sebagai calon presiden berpasangan dengan Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo sebagai calon wakil presiden.
"Tapi saya kira satu hal yang harus disadari, Golkar tentu bakal mengkaji terlebih dahulu segala sesuatunya. Paling tidak akan melihat pada animo pemilih. Karena intinya semua partai tentu ingin calon yang diusungnya memenangi pemilihan presiden," ujar Ari kepada JPNN, Senin (20/11).
Selain animo pemilih, pengajar di Universitas Indonesia ini menilai ada hal lain yang perlu diselesaikan terlebih dahulu jika Golkar ingin mengusung Anies-Gatot nantinya.
"Pertanyaannya, maukah Gatot hanya menjadi calon nomor 2. Lalu kemudian, bagaimana dengan para kader, apakah mau mendukung pasangan calon yang peluang menangnya sangat kecil," katanya.
Dari sejumlah poin-poin yang mengemuka, Ari menyimpulkan Golkar kemungkinan besar tetap akan mendukung Joko Widodo pada Pemilihan Presiden 2019 mendatang.
"Saya rasa ketua umum Golkar yang baru sepeninggal Setnov memakai rompi oranye, akan melabuhkan partainya ke arah kepastian politik kekuasaan. Yakni tetap terus mendukung Jokowi," pungkas Ari
https://www.jpnn.com/news/rasanya-ta...i-pilpres-2019
====================
Kalo dalam strategi militer modern, itu namanya ''pre-emptive strike

21/11/2017, 13:55 WIB
JAKARTA, KOMPAS.com - Pengamat politik Charta Politika Indonesia, Yunarto Wijaya memprediksi, pertarungan politik akan terjadi dalam proses pergantian Ketua DPR RI. Menurut dia, bukan tidak mungkin pertarungan secara politik itu melibatkan beberapa elit politik, termasuk eksekutif.
"Akan terjadi pertarungan politik antarkubu. Orang pasti bicara bagaimana sikap Jokowi, sikap LBP (Luhut Binsar Pandjaitan) dan sikap JK (Jusuf Kalla)," ujar Yunarto dalam diskusi di Kantor Indonesia Corruption Watch (ICW) Jakarta, Selasa (21/11/2017).
Menurut Yunarto, beberapa nama kader Golkar yang sudah muncul ke publik yakni, Zainuddin Amali, Agus Gumiwang, Aziz Syamsuddin dan Bambang Soesatyo.
Yunarto mengatakan, jika dipetakan secara dukungan, banyak orang sering mengatakan bahwa Aziz Syamsuddin adalah orang yang paling dekat dengan Setya Novanto. Kemungkinan juga didukung oleh Aburizal Bakrie.
Sementara itu, menurut Yunarto, Zainuddin Amali dianggap punya kedekatan dengan Wakil Presiden Jusuf Kalla.
"Pertanyaan menarikan kemudian, Presiden ke mana? Saya ragu dua nama yang saya sebutkan tadi, perwakilan dari Novanto dan perwakilan JK bisa memenangkan pertarungan," kata Yunarto.
Menurut Yunarto, bisa jadi orang-orang pilihan Jokowi adalah kuda hitam yang bisa memenangkan pertarungan kursi ketua DPR. Ada dua nama yang diprediksi, yakni Bambang Soesatyo dan Agus Gumiwang.
Meski demikian, menurut Yunarto, siapapun orangnya, ketua DPR pengganti Setya Novanto tidak boleh orang yang sedang atau berpotensi memiliki kasus hukum, kontroversial secara hukum, atau memiliki rekam jejak buruk terkait kasus korupsi.
http://nasional.kompas.com/read/2017...nti-novanto-di
Fahri Hamzah Tuding Kasus Setya Novanto Terkait Pemilu 2019
Sabtu, 11 November 2017 10:37 WIB
TEMPO.CO, Surabaya - Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Fahri Hamzah menuding langkah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan Ketua Umum Partai Golkar dan Ketua DPRD Setya Novanto menjadi tersangka kasus suap eKTP tidak murni bermotifkan hukum. Dia menilai ada indikasi kasus ini menjadi instrumen untuk menekan Ketua Umum Partai Golkar Setya Novanto agar melepaskan tiketnya pada pemilihan presiden 2019.
Fahri berujar, dengan perolehan suara 14,7 persen pada pemilu sebelumnya, suara Golkar menggiurkan untuk diambil alih pihak-pihak lain, di dalam dan di luar partai Beringin. “Ada kecurigaan KPK sedang mainkan skenario besar,” kata Fahri setelah menjadi pembicara diskusi bertema “Pawai Kebangsaan, Refleksi Hari Pahlawan: Resolusi Jihad dan Visi Kepahlawanan Bangsa” di Hotel Grand Inna, Surabaya, Jumat malam, 10 November 2017. Fahri tidak memberikan bukti apapun untuk memperkuat tudingannya ini.
Wakil Ketua KPK Saut Situmorang mengatakan bahwa KPK telah menerbitkan surat perintah dimulainya penyidikan (SPDP) untuk Setya, Jumat 10 November 2017 lalu. SPDP, kata Saut, telah dikirimkan ke rumah Setya sejak 3 November 2017.
Setya Novanto pertama kali ditetapkan sebagai tersangka pada 17 Juli 2017. Status tersangka itu gugur setelah praperadilan Setya diterima Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada 29 September 2017.
Ketika mengumumkan status tersangka Setya Novanto, Saut Situmorang menegaskan bahwa pada 5 Oktober 2017 KPK melakukan penyelidikan baru untuk pengembangan perkara kasus korupsi e-KTP. "Dalam proses penyelidikan ini KPK telah meminta keterangan sejumlah pihak dan mengumpulkan bukti relevan," katanya. Penjelasan Saut secara tak langsung sudah membantah tuduhan Fahri soal tak lengkapnya bukti penetapan tersangka untuk Setya.
Dalam proses penyelidikan tersebut, KPK telah mengirimkan surat ke Setya Novanto dua kali untuk meminta keterangan. Namun yang bersangkutan tidak bisa hadir dengan alasan ada tugas kedinasan.
Menurut Saut, Setya Novanto, selaku anggota DPR RI 2009-2014, bersama-sama dengan Anang Sugiana Sudiharjo, Andi Agustinus, Irman, Sugiharto, dan kawan-kawan diduga berupaya menguntungkan diri sendiri atau orang lain sehingga diduga merugikan kerugian negara Rp 2,3 triliun dari nilai paket pengadaan Rp 5,9 triliun.
Setya Novanto disangka melanggar Pasal 2 ayat 1 subsider Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
https://nasional.tempo.co/read/10327...it-pemilu-2019
Rasanya Tak Mungkin Golkar Usung Anies-Gatot di Pilpres 2019
Senin, 20 November 2017 – 21:57 WIB
jpnn.com, JAKARTA - Pengamat politik Ari Junaidi menilai, segala kemungkinan terbuka jika nantinya Golkar dipimpin ketua umum baru menggantikan Setya Novanto yang saat ini terbelenggu kasus dugaan korupsi pengadaan kartu tanda penduduk elektronik (e-KTP).
Misalnya terkait pasangan yang diusung pada Pemilihan Presiden 2019 mendatang, Golkar dapat saja memilih Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan sebagai calon presiden berpasangan dengan Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo sebagai calon wakil presiden.
"Tapi saya kira satu hal yang harus disadari, Golkar tentu bakal mengkaji terlebih dahulu segala sesuatunya. Paling tidak akan melihat pada animo pemilih. Karena intinya semua partai tentu ingin calon yang diusungnya memenangi pemilihan presiden," ujar Ari kepada JPNN, Senin (20/11).
Selain animo pemilih, pengajar di Universitas Indonesia ini menilai ada hal lain yang perlu diselesaikan terlebih dahulu jika Golkar ingin mengusung Anies-Gatot nantinya.
"Pertanyaannya, maukah Gatot hanya menjadi calon nomor 2. Lalu kemudian, bagaimana dengan para kader, apakah mau mendukung pasangan calon yang peluang menangnya sangat kecil," katanya.
Dari sejumlah poin-poin yang mengemuka, Ari menyimpulkan Golkar kemungkinan besar tetap akan mendukung Joko Widodo pada Pemilihan Presiden 2019 mendatang.
"Saya rasa ketua umum Golkar yang baru sepeninggal Setnov memakai rompi oranye, akan melabuhkan partainya ke arah kepastian politik kekuasaan. Yakni tetap terus mendukung Jokowi," pungkas Ari
https://www.jpnn.com/news/rasanya-ta...i-pilpres-2019
Quote:
====================
Kalo dalam strategi militer modern, itu namanya ''pre-emptive strike

0
1.2K
11


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan