Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

BeritagarIDAvatar border
TS
MOD
BeritagarID
Kesalehan tak menjamin bebas dari perilaku korupsi

Direktur Eksekutif LSI Kuskridho Ambardi (tengah) bersama Direktur Indikator Politik Indonesia Burhanuddin Muhtadi (kiri) dan Direktur Pendaftaran dan Pemeriksaan Laporan Hasil Kekayaan Pejabat Negara (PP LHKPN) Lembaga KPK Cahya Hardianto Harefa pemaparan survei tentang korelasi korupsi, religiositas dan intoleransi di Jakarta, Rabu (15/11).
Korupsi bisa dilakukan siapa saja tanpa mengenal batas usia, jenis kelamin, bahkan tingkat kesalehan. Tengok saja, tahanan korupsi sekarang yang telah dijerat KPK dari berbagai kalangan. Dalam menjalankan aksi korupsinya pun, tak sedikit yang menggunakan istilah keagaamaan seperti dalam kasus korupsi pengadaan Alquran.

Lembaga Survei Indonesia (LSI) merilis riset bertajuk korupsi, religiositas, dan intoleransi pada Rabu (15/11/2017). Lembaga ini melakukan survei pada 16-22 Agustus lalu kepada 1.540 responden di 34 provinsi.

Di bagian religiositas dan keagamaan, survei hanya dilakukan terhadap responden Muslim yang jumlahnya 89 persen dari total responden. Hasil survei memperlihatkan bahwa masyarakat Muslim Indonesia tergolong religius.

Sebanyak 74,9 persen dari seluruh umat Islam di negara ini mengaku sangat atau cukup saleh. Oleh karenanya, wajar jika 82,9 persen dari mereka sering mempertimbangkan agama ketika membuat keputusan penting. Kesalehan masyarakat tercermin dari praktik ibadah seperti salat wajib lima waktu, puasa ramadan, serta salat sunah.

Meskipun demikian, makna agama dan perilaku ritual yang dijalani hanya berhubungan signifikan dengan sikap mereka terhadap korupsi. Tidak ada hubungannya dengan perilaku korupsi.

"Semakin religius, hanya semakin bersikap antikorupsi. Perilaku korup tetap berjalan dan tidak ada hubungannya dengan masalah agama," kata Direktur Eksekutif LSI Kuskridho Ambardi.

Selain kesalehan, sebagian besar responden (55,6 persen) mengaku merasa menjadi bagian organisasi massa keislaman. Hal ini menunjukkan partisipasi umat dalam Ormas Islam cukup tinggi.

Namun survei ini menemukan bahwa menjadi bagian dari Ormas Islam tidak berhubungan secara signifikan dengan sikap dan perilaku korup. Artinya, menjadi bagian dari Ormas Islam merupakan urusan yang terpisah dari persoalan korupsi. Keduanya sama sekali tidak terkait.

Survei juga menyoroti tentang toleransi keagamaan. Hasilnya menunjukkan intoleransi keagamaan umat Islam di Indonesia masih cukup tinggi.

Sebanyak 35,6 persen muslim keberatan jika nonmuslim mengadakan acara keagamaan di wilayah tinggal mereka. Sebanyak 48,2 persen responden muslim juga keberatan jika orang nonmuslim membangun tempat peribadatan di wilayah mereka.

Meski intoleransi masih tinggi, hasil sigi LSi memperlihatkan kecenderungan intoleransi cenderung turun dalam setahun terakhir, dari 39,6 persen menjadi 35,6 persen (acara keagamaan) dan dari 52 persen menjadi 48,2 persen (rumah ibadah).

Dari sisi politik, intoleransi umat Islam juga terbilang tinggi. Cukup banyak Muslim yang keberatan jika nonmuslim menjadi bupati/wali kota (47,4 persen), gubernur (48,2 persen), wakil presiden (49,6 persen) dan presiden (53,2 persen). Berbeda dari intoleransi keagamaan, dalam setahun terakhir intoleransi Muslim dalam hal politik cenderung menguat.

Survei menemukan bahwa intoleransi memiliki hubungan signifikan dengan sikap terhadap korupsi, tetapi tidak signifikan dengan perilaku korupsi. Temuan ini menunjukkan bahwa semakin intoleran seseorang, maka semakin dia akan menganggap praktik korupsi sebagai hal yang wajar.

Guru Besar Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta Azyumardi Azra mengatakan banyak orang beriman dan beribadah tapi tak mengimplementasikan nilai-nilai agamanya dalam kehidupan sehari-hari. Banyak koruptor yang berpikir bisa 'membersihkan' dosanya dengan menggunakan uang korupsi untuk berbuat baik.

Hasil sigi Lembaga Survei Indonesia tentang korupsi, religiositas, dan intolerasi yang dirilis Rabu (15/11/2017)
Secara umum, mayoritas (54 persen) responden menilai bahwa dalam dua tahun terakhir tingkat korupsi di Indonesia mengalami peningkatan. Dibandingkan dengan survei 2016, terdapat kecenderungan penurunan persepsi korupsi dari 70 persen.

Persepsi warga tentang penanganan korupsi yang dilakukan pemerintah pusat memperlihatkan mayoritas warga (55,9 persen) menilai bahwa pemerintah pusat serius melawan korupsi.

Sebagian besar (50,3 persen) responden mengaku perilaku korup banyak ditemukan ketika mengurus kelengkapan administrasi publik seperti KTP, kartu keluarga dan akta kelahiran. Tempat lainnya adalah pelayanan kesehatan, berurusan dengan sekolah negeri, dan polisi.

Di sisi lain, pandangan masyarakat tentang praktik korupsi cukup memprihatinkan. Sebanyak 30,4 persen berpendapat bahwa pemberian uang/hadiah untuk memperlancar urusan ketika berhubungan dengan instansi pemerintah (gratifikasi) merupakan hal yang wajar.

Angka yang hampir sama (35,2 persen) juga ditemukan dalam sikap pemakluman masyarakat terhadap tindakan kolusi. Survei ini menemukan adanya hubungan antara perilaku dan sikap masyarakat terhadap korupsi.

Terdapat hubungan positif dan signifikan di antara keduanya. Semakin warga bersikap memaklumi praktik korupsi, semakin korup juga perilaku mereka.



Sumber : https://beritagar.id/artikel/berita/...rilaku-korupsi

---

Baca juga dari kategori BERITA :

- Jadi DPO, tak ada kekebalan buat Novanto

- Politisi PKB dihukum 9 tahun dan dicabut hak politik

- Traveloka tralala...

anasabila
anasabila memberi reputasi
1
25.9K
291
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan