- Beranda
- Komunitas
- News
- Berita dan Politik
nggota Sapta Darma Berharap Tak Ada Stigma Negatif Lagi


TS
dewaagni
nggota Sapta Darma Berharap Tak Ada Stigma Negatif Lagi
Anggota Sapta Darma Berharap Tak Ada Stigma Negatif Lagi

Foto : Koran Jakarta / Selocahyo
Memimpin Ibadah - Tokoh Sapta Darma Surabaya, Naen Soeryono (kedua dari kanan) memimpin ibadah sujudan penganut aliran kepercayaan Sapta Darma, di Sanggar Candi Busono Sapta Darma Klampis, Surabaya, Jawa Timur, Minggu (12/11).
A A A Pengaturan Font
Minggu (12/11) malam, sejumlah sepeda motor tampak berjajar rapi di halaman sebuah bangunan beralamat Jalan Klampis Semolo XII Nomor 7, Kota Surabaya, Jawa Timur (Jatim). Sekilas, meski ruangan depan rumah terlihat sepi, ternyata para pemilik kendaraan tersebut memenuhi lantai atas bangunan.
Belasan orang dari berbagai usia, mulai anak-anak, remaja, perempuan, dan laki-laki, tampak duduk melingkar di atas karpet biru. Mereka duduk sambil mendengarkan seorang pria berperawakan agak gemuk yang sedang berbicara.
Mereka dari kelompok penghayat kepercayaan di Indonesia, Sapta Darma. Aliran yang berarti “tujuh kewajiban suci” itu didirikan Hardjosapoero yang bergelar Bapa Panuntun Agung Sri Gutama, di Kecamatan Pare, Kabupaten Kediri, Jatim, pada 1952.
Sejak itu, Sapta Darma berkembang dan mulai membuka cabang di sejumlah daerah Jatim, Jawa Tengah, Jawa Barat, Kalimantan Timur, dan Sumatera Selatan. Kini, jumlah penganut aliran kepercayaan dengan tiga ajaran utama, yakni sujud, wewarah tujuh, dan sesanti ini diperkirakan telah mencapai sekitar dua juta orang yang tersebar di seluruh Indonesia.
Sujudan di atas merupakan kegiatan rutin penganut Sapta Darma yang tinggal di sekitar kawasan Semolowaru, Surabaya. Setiap Minggu malam, mereka berkumpul di lantai atas bangunan yang difungsikan sebagai Sanggar Candi Busono Sapta Darma Klampis Surabaya. Sanggar itu merupakan satu dari 45 sanggar Sapta Darma di Surabaya.
“Malam ini kami menggelar sujudan, semacam jumatannya umat Islam. Setiap sanggar memiliki jadwal hari yang berbeda-beda disesuaikan dengan kesepakatan jemaatnya,” kata tokoh Sapta Darma Surabaya yang sekaligus Ketua Presidium Majelis Luhur Kepercayaan Indonesia Pusat, Naen Soeryono.
Naen mengaku sejak Mahkamah Konstitusi (MK) menerima judicial review dengan mengeluarkan keputusan pembatalan Pasal 61 Ayat 1 dan Pasal 64 Ayat 1 UU Administrasi Kependudukan, masyarakat penganut aliran kepercayaan di Surabaya lebih merasa tenang dan percaya diri karena dihargai hak-haknya sebagai warga negara.
“Kami merasa lega dan menyambut baik keluarnya judicial review MK ini. Sudah banyak anggota Sapta Darma di Surabaya, Banyuwangi, dan Semarang yang berbondong-bondong mengurus KTP baru. Pihak kecamatan juga sudah siap, langsung melayani,” tutur Naen.
Timbukan Persoalan
Menurut Naen, meski melalui Pasal 61 Ayat 1 dan Pasal 64 Ayat 1 UU Administrasi Kependudukan negara mengakui keberadaan penganut kepercayaan, namun aturan yang mewajibkan kolom agama pada KTP mereka dikosongi sering menimbulkan persoalan dan ketidaknyamanan.
“Terutama berkaitan dengan hak-hak sipil kami, seperti perkimpoian, akte kelahiran, dan KTP. Karena kolom agama harus dikosongi, sering timbul stigma negatif di masyarakat, dianggap tidak beragama, tidak bertuhan atau ateis. Maka, penganut Sapta Darma berpencar identitas agama KTP-nya, yang di Jawa kebanyakan memilih Islam, di Bali Hindu,” papar dia.
Naen mencontohkan masalah sehari-hari kerap dialami para penganut kepercayaan seperti saat dia hendak menarik uang dalam jumlah besar di bank swasta. Naen sering berurusan dengan bank dan mengalami kendala. Waktu itu dua kali, di salah satu bank di Denpasar dan Jakarta. “Ditanya, Pak kolom agamanya kosong, bapak tidak beragama ya? Jadi, saya harus jelaskan dulu soal aturannya, ini sangat mengganggu,” ujarnya.
Lain lagi yang dialami oleh mahasiswa semester pertama Fakultas Hukum UPN Veteran Surabaya, Nendio Agung Legowo. Saat masih duduk di bangku kelas 4 SDN Klampis Ngasem I Surabaya, Dio mengaku kerap meninggalkan kelas saat pelajaran agama.
“Waktu pelajaran agama Kristen, saya sembunyi di kamar mandi. Lalu, saya dipanggil kepala sekolah mengapa berbuat itu. Saya sampaikan, saya bukan Kristen, tapi sujud Sapta Darma. Setelah orang tua saya dipanggil dan ikut menjelaskan, akhirnya diperbolehkan keluar saat pelajaran, tapi tetap ikut ujian sebagai syarat kelulusan,” terangnya.
Tak hanya itu, belum diakuinya aliran kepercayaan secara resmi oleh pemerintah juga menimbulkan masalah bagi Dio dalam pergaulan sehari-hari. Banyak tidak enaknya. Contohnya, pas ngobrol dengan teman sering disepelekan, dibuat guyon. Akhirnya, semenejak itu malas berterus terang ke teman soal agama, harus lihat orangnya dahulu apakah bisa menerima, fanatik atau tidak.
Meski kerap dipandang sebelah mata, namun dia optimistis bila saatnya tiba, tidak akan kesulitan dalam urusan jodoh. Pasti nanti kepikiran menjelang fase pernikahan, sekarang belum berpikir ke arah sana, tapi nanti Dio tetap ingin mencari yang seiman.
http://www.koran-jakarta.com/anggota...-negatif-lagi/
Dengan disetujuinya kolom agama di ktp boleh diisi Penghayat kepercayaan & agama di luar 6 agama resmi lainnya, tentu tak ada lagi yang bisa memaksakan agamanya menjadi mayoritas.

Foto : Koran Jakarta / Selocahyo
Memimpin Ibadah - Tokoh Sapta Darma Surabaya, Naen Soeryono (kedua dari kanan) memimpin ibadah sujudan penganut aliran kepercayaan Sapta Darma, di Sanggar Candi Busono Sapta Darma Klampis, Surabaya, Jawa Timur, Minggu (12/11).
A A A Pengaturan Font
Minggu (12/11) malam, sejumlah sepeda motor tampak berjajar rapi di halaman sebuah bangunan beralamat Jalan Klampis Semolo XII Nomor 7, Kota Surabaya, Jawa Timur (Jatim). Sekilas, meski ruangan depan rumah terlihat sepi, ternyata para pemilik kendaraan tersebut memenuhi lantai atas bangunan.
Belasan orang dari berbagai usia, mulai anak-anak, remaja, perempuan, dan laki-laki, tampak duduk melingkar di atas karpet biru. Mereka duduk sambil mendengarkan seorang pria berperawakan agak gemuk yang sedang berbicara.
Mereka dari kelompok penghayat kepercayaan di Indonesia, Sapta Darma. Aliran yang berarti “tujuh kewajiban suci” itu didirikan Hardjosapoero yang bergelar Bapa Panuntun Agung Sri Gutama, di Kecamatan Pare, Kabupaten Kediri, Jatim, pada 1952.
Sejak itu, Sapta Darma berkembang dan mulai membuka cabang di sejumlah daerah Jatim, Jawa Tengah, Jawa Barat, Kalimantan Timur, dan Sumatera Selatan. Kini, jumlah penganut aliran kepercayaan dengan tiga ajaran utama, yakni sujud, wewarah tujuh, dan sesanti ini diperkirakan telah mencapai sekitar dua juta orang yang tersebar di seluruh Indonesia.
Sujudan di atas merupakan kegiatan rutin penganut Sapta Darma yang tinggal di sekitar kawasan Semolowaru, Surabaya. Setiap Minggu malam, mereka berkumpul di lantai atas bangunan yang difungsikan sebagai Sanggar Candi Busono Sapta Darma Klampis Surabaya. Sanggar itu merupakan satu dari 45 sanggar Sapta Darma di Surabaya.
“Malam ini kami menggelar sujudan, semacam jumatannya umat Islam. Setiap sanggar memiliki jadwal hari yang berbeda-beda disesuaikan dengan kesepakatan jemaatnya,” kata tokoh Sapta Darma Surabaya yang sekaligus Ketua Presidium Majelis Luhur Kepercayaan Indonesia Pusat, Naen Soeryono.
Naen mengaku sejak Mahkamah Konstitusi (MK) menerima judicial review dengan mengeluarkan keputusan pembatalan Pasal 61 Ayat 1 dan Pasal 64 Ayat 1 UU Administrasi Kependudukan, masyarakat penganut aliran kepercayaan di Surabaya lebih merasa tenang dan percaya diri karena dihargai hak-haknya sebagai warga negara.
“Kami merasa lega dan menyambut baik keluarnya judicial review MK ini. Sudah banyak anggota Sapta Darma di Surabaya, Banyuwangi, dan Semarang yang berbondong-bondong mengurus KTP baru. Pihak kecamatan juga sudah siap, langsung melayani,” tutur Naen.
Timbukan Persoalan
Menurut Naen, meski melalui Pasal 61 Ayat 1 dan Pasal 64 Ayat 1 UU Administrasi Kependudukan negara mengakui keberadaan penganut kepercayaan, namun aturan yang mewajibkan kolom agama pada KTP mereka dikosongi sering menimbulkan persoalan dan ketidaknyamanan.
“Terutama berkaitan dengan hak-hak sipil kami, seperti perkimpoian, akte kelahiran, dan KTP. Karena kolom agama harus dikosongi, sering timbul stigma negatif di masyarakat, dianggap tidak beragama, tidak bertuhan atau ateis. Maka, penganut Sapta Darma berpencar identitas agama KTP-nya, yang di Jawa kebanyakan memilih Islam, di Bali Hindu,” papar dia.
Naen mencontohkan masalah sehari-hari kerap dialami para penganut kepercayaan seperti saat dia hendak menarik uang dalam jumlah besar di bank swasta. Naen sering berurusan dengan bank dan mengalami kendala. Waktu itu dua kali, di salah satu bank di Denpasar dan Jakarta. “Ditanya, Pak kolom agamanya kosong, bapak tidak beragama ya? Jadi, saya harus jelaskan dulu soal aturannya, ini sangat mengganggu,” ujarnya.
Lain lagi yang dialami oleh mahasiswa semester pertama Fakultas Hukum UPN Veteran Surabaya, Nendio Agung Legowo. Saat masih duduk di bangku kelas 4 SDN Klampis Ngasem I Surabaya, Dio mengaku kerap meninggalkan kelas saat pelajaran agama.
“Waktu pelajaran agama Kristen, saya sembunyi di kamar mandi. Lalu, saya dipanggil kepala sekolah mengapa berbuat itu. Saya sampaikan, saya bukan Kristen, tapi sujud Sapta Darma. Setelah orang tua saya dipanggil dan ikut menjelaskan, akhirnya diperbolehkan keluar saat pelajaran, tapi tetap ikut ujian sebagai syarat kelulusan,” terangnya.
Tak hanya itu, belum diakuinya aliran kepercayaan secara resmi oleh pemerintah juga menimbulkan masalah bagi Dio dalam pergaulan sehari-hari. Banyak tidak enaknya. Contohnya, pas ngobrol dengan teman sering disepelekan, dibuat guyon. Akhirnya, semenejak itu malas berterus terang ke teman soal agama, harus lihat orangnya dahulu apakah bisa menerima, fanatik atau tidak.
Meski kerap dipandang sebelah mata, namun dia optimistis bila saatnya tiba, tidak akan kesulitan dalam urusan jodoh. Pasti nanti kepikiran menjelang fase pernikahan, sekarang belum berpikir ke arah sana, tapi nanti Dio tetap ingin mencari yang seiman.
http://www.koran-jakarta.com/anggota...-negatif-lagi/
Dengan disetujuinya kolom agama di ktp boleh diisi Penghayat kepercayaan & agama di luar 6 agama resmi lainnya, tentu tak ada lagi yang bisa memaksakan agamanya menjadi mayoritas.
Diubah oleh dewaagni 16-11-2017 08:00
0
1.9K
7


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan