- Beranda
- Komunitas
- News
- Berita dan Politik
Generasi Milenial Melawan Paham Radikal


TS
sengkunibarbar
Generasi Milenial Melawan Paham Radikal
Quote:
GENDANG deklarasi melawan radikalisme bertalu-talu di Tanah Air. Perguruan tinggi sebagai pusat keilmuan berdiri paling depan dalam gerakan tersebut. Tokoh-tokoh politik menguatkan gemanya dengan seruan serupa; lawan radikalisme! Ketua Umum Partai NasDem Surya Paloh pada Apel Nasional Garda Pemuda NasDem, Selasa (14/11), menegaskan tidak ada tempat bagi kaum radikal yang mencoba-coba mengganggu dan mengganti ideologi Pancasila. Surya mengajak kaum milenial untuk siaga menjaga keberagaman dan menjawab tantangan di era kemajuan teknologi. Tidak bisa dimungkiri, paham-paham radikal mencoba mengoyak rajutan persatuan bangsa Indonesia yang multikultur. Para pengusungnya terus memupuk prasangka terhadap sesama warga negara yang berbeda latar belakang suku, agama, ras, dan antargolongan. Tujuan akhirnya perubahan drastis sampai pendirian negara baru. Sebuah tujuan yang kerap harus diwujudkan dengan aksi kekerasan, termasuk melalui terorisme. Banyak di antara kita yang lupa atau menolak memahami sejarah pembentukan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Para pendiri bangsa menyingkirkan politik identitas atau sektarianisme demi mewujudkan persatuan. Hasil usaha keras itu berulang kali mendapat gempuran dalam perjalanan bangsa ini. Lihat saja konflik di Poso, Ambon, Aceh, dan Sampit, yang sempat terjadi akibat pertarungan ego berlatar belakang suku dan agama. Peristiwa-peristiwa tersebut bukti nyata betapa merusaknya politik identitas. Kerap kali yang menjadi penyebabnya hanya kesalahpahaman dan berita bohong yang diembuskan di antara warga. Belakangan ini pun, paham-paham radikal merasuk dan memanfaatkan daya rusak politik identitas. Meluasnya penetrasi teknologi informasi melapangkan jalan radikalisme. Anak bangsa saling curiga, saling boikot, dan saling melontarkan ujaran kebencian. Warga yang berpikiran jernih tentu sepakat gejala yang memecah belah bangsa itu harus disetop sebelum bangsa ini benar-benar terpecah.
Kita bisa berkaca pada gejolak yang terjadi secara global. Politik identitas bukan hanya timbul di Indonesia. Di Timur Tengah bahkan sektarianisme telah membuat sejumlah negara porak-poranda oleh perang saudara. Agar nasib serupa tidak menimpa negeri ini, negara tidak boleh tunduk pada radikalisme. Perlu diingat, aksi terorisme yang menjadi manifestasi radikalisme tidak eksklusif berlatar belakang suku dan agama. Ketimpangan kesejahteraan yang dalam turut menjadi pemicu, atau setidaknya ditunggangi untuk memuaskan nafsu kekuasaan segelintir kelompok. Penyanderaan terhadap 1.300 warga di Papua disertai serangan terhadap aparat keamanan merupakan bentuk aksi terorisme.
Kelompok pelakunya mengusung paham radikal yang memiliki tujuan akhir memisahkan diri dari NKRI. Langkah persuasif boleh saja dikedepankan. Akan tetapi, kalau sampai menjadikan rakyat sipil sebagai tameng, semestinya tidak boleh ada kompromi. Selama ini pun, aparat keamanan dengan sigap tanpa ampun memburu teroris yang menyerang mereka. Tentu para teroris di Papua tidak ada bedanya. Politik identitas yang menjadi kendaraan paham radikal sulit terbendung tanpa ketegasan melawan radikalisme yang tercetus dari para elite politik. Pemuka agama, pemuka adat, dan para pemimpin pemerintahan, baik pusat maupun daerah, juga diharapkan terus menyerukan persatuan. Kaum muda diperlukan sebagai garda terdepan menghalau paham-paham yang menentang keberagaman. Tanggung jawab menjaga NKRI ada di pundak kita semua.
Para pendiri bangsa menyingkirkan politik identitas atau sektarianisme demi mewujudkan persatuan. Hasil usaha keras itu berulang kali mendapat gempuran dalam perjalanan bangsa ini. Lihat saja konflik di Poso, Ambon, Aceh, dan Sampit, yang sempat terjadi akibat pertarungan ego berlatar belakang suku dan agama. Peristiwa-peristiwa tersebut bukti nyata betapa merusaknya politik identitas. Kerap kali yang menjadi penyebabnya hanya kesalahpahaman dan berita bohong yang diembuskan di antara warga. Belakangan ini pun, paham-paham radikal merasuk dan memanfaatkan daya rusak politik identitas. Meluasnya penetrasi teknologi informasi melapangkan jalan radikalisme. Anak bangsa saling curiga, saling boikot, dan saling melontarkan ujaran kebencian. Warga yang berpikiran jernih tentu sepakat gejala yang memecah belah bangsa itu harus disetop sebelum bangsa ini benar-benar terpecah.
Kita bisa berkaca pada gejolak yang terjadi secara global. Politik identitas bukan hanya timbul di Indonesia. Di Timur Tengah bahkan sektarianisme telah membuat sejumlah negara porak-poranda oleh perang saudara. Agar nasib serupa tidak menimpa negeri ini, negara tidak boleh tunduk pada radikalisme. Perlu diingat, aksi terorisme yang menjadi manifestasi radikalisme tidak eksklusif berlatar belakang suku dan agama. Ketimpangan kesejahteraan yang dalam turut menjadi pemicu, atau setidaknya ditunggangi untuk memuaskan nafsu kekuasaan segelintir kelompok. Penyanderaan terhadap 1.300 warga di Papua disertai serangan terhadap aparat keamanan merupakan bentuk aksi terorisme.
Kelompok pelakunya mengusung paham radikal yang memiliki tujuan akhir memisahkan diri dari NKRI. Langkah persuasif boleh saja dikedepankan. Akan tetapi, kalau sampai menjadikan rakyat sipil sebagai tameng, semestinya tidak boleh ada kompromi. Selama ini pun, aparat keamanan dengan sigap tanpa ampun memburu teroris yang menyerang mereka. Tentu para teroris di Papua tidak ada bedanya. Politik identitas yang menjadi kendaraan paham radikal sulit terbendung tanpa ketegasan melawan radikalisme yang tercetus dari para elite politik. Pemuka agama, pemuka adat, dan para pemimpin pemerintahan, baik pusat maupun daerah, juga diharapkan terus menyerukan persatuan. Kaum muda diperlukan sebagai garda terdepan menghalau paham-paham yang menentang keberagaman. Tanggung jawab menjaga NKRI ada di pundak kita semua.
Ayo bergerak perangi radikalisme demi NKRI

Spoiler for :
0
1.3K
Kutip
11
Balasan


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan