Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

dodydrogbaAvatar border
TS
dodydrogba
Perjuangan Situs Kebencian Mengemas Omong Kosong
Perjuangan Situs Kebencian Mengemas Omong Kosong

Demi membuat percaya pembaca, situs-situs penyebar kebencian mengemas omong kosong seolah karya jurnalistik. Dengan cara apa mereka melakukannya?

Kalau ada yang paling dikhawatirkan Bill Kovach, penulis buku populer Sembilan Elemen Jurnalisme (2012), maka ia adalah tergantikannya jurnalisme oleh berita palsu dan hoax. Di Indonesia, mimpi buruk Kovach kiranya sudah hampir menjadi nyata. Setiap hari kita menyaksikan hoax dan berita palsu hilir mudik di lini masa dan memicu debat publik yang tak perlu. Contoh terbaik dari hal ini adalah twit Elly Risman berikut:

Perjuangan Situs Kebencian Mengemas Omong Kosong

Twit tersebut berasal dari akun Elly Risman, psikolog yang juga anggota panel blokir Kekominfo (Kementerian Komunikasi dan Informasi).Kita tahu bahwa berita tersebut adalah berita bohong yang diproduksi media abal-abal bernama Posmetro.com. Kasus Elly adalah tanda dari rendahnya literasi media publik Indonesia.

Sialnya, di era banjir informasi seperti saat ini, siapa saja bisa tertipu berita palsu. Elly Risman tidak sendiri, menteri pertahanan Pakistan, Khawaja Muhammad Asif, juga pernah kena provokasi berita palsu. Didasari informasi palsu tentang ancaman nuklir Israel pada Pakistan bila Pakistan mengirim tentara ke Suriah,Muhammad Asif mengancam balik Israel dengan mengatakan “Israel jangan lupa Pakistan juga negara nuklir”. Ngeri bukan?

Sebenarnya ada banyak cara mengenali berita palsu, salah satunya adalah dengan memahami bagaimana situs-situs berita palsu menyamarkan diri sebagai pers.

Bill Kovach, dalam bukunya Blur, mengatakan bahwa kehadiran internet memang meruntuhkan otoritas pers sebagai penentu berita yang layak dan tidak dipublikasikan. Namun klaim kebenaran objektif yang disandang jurnalisme tidak ikut runtuh. Klaim ini masih diterima luas oleh publik dan, karenanya, situs-situs penyebar kebencian sekalipun merasa perlu bersolek layaknya pers. Lihat saja situs-situs seperti Voa-Islam.com, postmetro.org, Arrahmah.com, atau pun Nahimungkar.com. Meski tidak menjalankan etika dan prosedur jurnalistik ketiganya kerap mendaku diri sebagai media atau pers Islam. Bagaimana mereka melakukannya? (Baca juga: “Pengadilan Media Atas Etnis Tionghoa” dan riset Pengurus Besar Nahdhatul Ulama (PBNU) mengenai daftar media-media radikal).

Spoiler for 1. Teknik Pertama: Agama adalah Kriteria Jurnalistik Utama:


Spoiler for 2. Teknik Kedua: Semakin Barat, Semakin Hebat:


Spoiler for 3. Teknik Ketiga: Meletakkan kebenaran (hanya) pada Tata Letak:


Spoiler for 4. Teknik Keempat: Kebenaran ada di Mulut Narasumber:


Spoiler for 5. Teknik Kelima: Manipulasi Angka:


Bagaimana pendapat agan - agan sekalian?

sumber: http://www.remotivi.or.id/amatan/430...s-Omong-Kosong

Polling
0 suara
Bermanfaakah artikel ini?
Diubah oleh dodydrogba 10-11-2017 02:44
0
1.4K
9
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan