- Beranda
- Komunitas
- Entertainment
- The Lounge
Unggah Ungguh Tanpa Esensi


TS
skydavee
Unggah Ungguh Tanpa Esensi

Spoiler for kalau secara langsung gak berani, kadang diluar pada "ngerasani":

Sebagai masyarakat yang hidup dinegara semenjana, apalagi masih memegang teguh kata "unggah ungguh", sebagai ciri ketimuran, maka fenomena kata ini mulai tergerus dengan semakin majunya peradaban manusia.
Unggah ungguh memiliki definisi sebagai sebuah sikap tata krama, adab sopan santun, hormat dan lain sebagainya.
Contoh sehari-hari perihal kata ini, bisa kita telaah dalam aktifitas komunikasi yang dilakukan di lingkungan suku Jawa.
Bahasa Jawa yang memiliki strata dan diksi kata bagi penggunanya, maka mewajibkan secara tersirat bagi pelakunya menggunakan bahasa Jawa Kromo Inggil, kalimat tertinggi dalam urutan bahasa, saat berbincang dengan orang yang lebih tua, orang yang terhormat maupun kepada pejabat.
Kata unggah ungguh, cakupannya tidak melulu pada cara berkomunikasi. Namun juga mengatur tata cara bersikap. Di tulisan ini, kita membahas perihal itu.
Dalam perspektif saya, sikap unggah ungguh akhir-akhir ini sering digunakan sebagai topeng demi menyembunyikan apa yang sebenarnya dirasakan oleh seseorang.
Alasannya beragam. Mungkin tidak ingin menyakiti orang lain, merasa tak enak hati, atau bisa jadi akan berdampak negatif bagi pelakunya.
Tentu saja, hal ini justru akan semakin memperburuk keadaan. Selain diri sendiri tersakiti, tanpa sengaja kita juga menciptakan kondisi palsu kepada orang lain.
Contoh kasus sederhana, ada edaran tentang kenaikan harga satuan makanan pada katering di sebuah yayasan sekolah di negeri pelangi. Suatu negeri yang maju kotanya, bahagia warganya.
Kalimat pembukaan pada topik katering ini di grup, adalah diskusi dan meminta saran dari para wali murid terkait kebijakan sekolah yang berniat menaikkan harga makanan.
Diskusi yang ideal, adalah kondisi dimana pembicaraan tidak satu arah. Tentu saja, anda bisa bayangkan para emak-emak millenial jika sudah berdiskusi di grup. Ramainya seperti acara diskon barang 50+20% menjelang akhir tahun.
Pro dan kontra terkait rencana tersebut pasti ada. Beberapa orangtua setuju, dengan alasan harga kebutuhan naik, sementara janji pemerintah bahwa perekonomian akan meroket masih belum konkret. Ada pula yang menolak namun dilakukan dalam hati, dengan pertimbangan gak enak diri, atau kalah suara dengan mereka yang memiliki kartu kredit berjumlah lusinan.
Padahal, kebijakan yang akan dilakukan bisa jadi membuat sebagian para orangtua terpaksa melakukan puasa Daud, sehari puasa, sehari tidak. Demi apa? Demi bisa membayar biaya sekolah anaknya.
Nah, disinilah unggah ungguh yang tidak pada tempatnya itu berlaku. Dalam pembahasan di grup tak bersuara, begitu japri (jalur pribadi), melakukan penolakan disertai sumpah serapah.
Kesel bukan? Begitu ditanya kenapa gak melakukan penolakan saat berdiskusi di grup? Alasannya gak enak hati. Nanti dikira memberontak dan gak kompak. Walah, syyemmmpakk!!!
Itu baru satu kejadian nyata. Seperti kejadian yang sering diangkat dalam serial religi tak bermutu. Banyak tipu-tipu. Kalau ente penggemar serial kek beginian, ente bakalan geleng-geleng kepala liat lebay-nya acara sinetron yang monoton tersebut.
Lalu, apakah unggah ungguh ini gak penting? Sama seperti kelakuan orang-orang diluar negeri sono? Dimana seorang adik gak panggil kakak, mas, atau abang untuk menghormati seperti dalam budaya ketimuran?
Penting dong. Karena ini ciri khas budaya dan tentu saja, menantu yang punya unggah ungguh kelas dewa, bakal disayang sama mertua.
Yang gak penting itu, ketika sikap unggah ungguh dijadikan topeng dan tidak memiliki esensi. Sama halnya dengan berjabat tangan, tapi masih menyimpan dendam. Ngakunya memaafkan, tapi masih mencari celah kesalahan. Buat apa?
Unggah ungguh atau kesopanan harusnya tetap dilakukan. Namun, seyogianya dijalankan dengan niat baik tanpa tendensi apapun. Karena bagaimanapun, masyarakat kita cenderung menyukai hal ini, dan jarang bisa menerima sikap ceplas ceplos dari orang lain, meski apa yang disampaikan adalah hal yang benar.
Silakan memilih untuk bersikap. Mau sopan santun tapi ngedumel dibelakang seperti orang kesetanan, atau bicara apa adanya, meski kadang dianggap gila!
Tetapi, ada kalanya sikap unggah ungguh atau kesopanan ini dikesampingkan, untuk sebuah alasan penegasan.
Atau, bisakah kita memiliki kemampuan berprilaku secara asertif?Tapi bermula dari mana? Diksi kalimatnya? Atau sikap yang bagaimana?
©Skydavee

Sumber gambar : google
Diubah oleh skydavee 06-11-2017 04:45
0
22.9K
Kutip
185
Balasan


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan