Kaskus

Story

QiaraaAvatar border
TS
Qiaraa
Langkah - Langkah Kecil | Kisah nyata perjalanan pahit seorang wanita
Halo Gan, salam mendung dari cuaca yang tidak menentu. Ini thread SFTH ane kesekian setelah bertahun-tahun vakum menulis di forum ini. Cerita ini adalah kisah nyata dari seorang sahabat yang saya kenal baik. Ceritanya penuh drama menurut Ane, tapi banyak yang bisa ane petik hikmahnya terutama tentang perjuangan dan cinta kasih yang tulus. Karena itu ane mau bagikan disini.

Cerita ini akan panjang, kalo berkenan baca, ane akan update secara berkala. Soalnya kalo langsung jebret tulis semua, keburu tua ane baru sempet nulis semua, hahaha.

Ceritanya banyak dramanya ya Gan, atau bisa dibilang emang cerita drama HAHAHA. Narsum ga menceritakan secara mendetil, jadi ane akan improvisasi sedikit di cerita ini. Beliau juga sudah mengijinkan ceritanya dipublish disini dengan catatan nama dia, nama orang yang terlibat, lokasi dan kejadian harus disamarkan agar privasi tetap terjaga.

Jangan tanya ane siapa narsumnya, jiwanya sudah terkubur cukup dalam. Sekarang beliau sudah menjadi pribadi yang baru, dan gak perlu kita ungkit atau cari tau lagi ya Gan!


Langkah - Langkah Kecil | Kisah nyata perjalanan pahit seorang wanita

LANGKAH - LANGKAH KECIL


INDEX
PART 1 (Perbandingan Menyakitkan)
PART 2 (Perbandingan Menyakitkan 2)
PART 3 (MASUK SMP)

Part 1
(Perbandingan Menyakitkan)
Perkenalkan, namaku Adhira Wimala Dipta. Hari ini adalah hari yang seharusnya menegangkan dan membahagiakan untuk anak seusiaku, karena hari ini adalah hari upacara kelulusan siswa Sekolah Dasar Negeri XX, desa Kalimas, Pontianak, Kalimantan Barat. Seharusnya aku berbahagia hari ini, karena sebelum hari ini tiba, jauh-jauh hari Kepala Sekolahku sudah mengumumkan siapa saja juara umum 1 hingga 10. Dan menurut sebagian orang tua, jika anak masuk jadi juara 9 dari seluruh murid kelas 6 sudah lumayan membanggakan.
Ya, menurut ‘sebagian’, dan orang tuaku tidak termasuk dalam bagian itu. Ibuk bilang, kalau aku tidak ranking 1, aku bukan anak pintar, aku tidak layak dibandingkan dengan Mas Abi (Saudara laki-laki dan satu-satunya saudaraku) yang selalu juara 1 dari kelas 1 SD sampai sekarang Mas Abi kelas 3 SMP. Karena itu, susah payahlah aku belajar mati-matian setiap hari demi mendapatkan senyum Ibuk dan pelukan bangganya saat aku jadi juara kelas. Beruntung selama 6 tahun sekolah, aku 4 kali juara 1 dan sisanya yah cuma bisa juara 3 dan kali ini cuma bisa masuk 10 besar.
Beberapa hari sebelumnya, saat Kepala Sekolahku mengumumkan bahwa aku menduduki peringkat 9 dari beberapa ratus siswa, rasanya seperti disambar petir. Bu Retno selaku Kepala Sekolahku mengerti ekspresiku saat itu langsung berusaha menenangkan.
“Ngopo nduk? Kok lesu dapat juara 9?”, tanya bu Retno
“Eeemh, endak Bu. Saya ingat pesan Ibuk kalau anak pintar pasti juara 1. Aku lulusnya ndak pintar Bu”, sahutku lemah.
“Mala anak Ibu, pintar itu ukurannya dari bakti kita ke orang tua. Niatmu mau bikin Ibu Bapak bahagia tho? Ya kamu berarti udah pinter berarti cah ayu”.

Pesan Ibu Retno sedikit membuatku lebih tenang dan yakin kalau Ibuk gak akan marah dengan rangking 9 yang aku pegang. Aku bergegas pamit ke Ibu Retno dan pulang.
Sesampainya di rumah, Ibuk sudah duduk di depan teras dan sibuk dengan kain rajutan merah maroon yang akan dijadikan topi pantai untukku berlibur minggu depan sekeluarga. Di sebelah Ibuk, ada Mas Abi sedang asyik dengan buku pelajaran Bahasa Inggrisnya (Mas Abi juga saat itu selesai ujian kelulusan, tapi belum ada pengumuman hasilnya seingatku).

Aku: “Assalamualaikum Buk, Mas”
Ibuk & Mas Abi: “Waalaikumsalam”
Ibuk: “Gimana dik? Sudah ada hasil nilaimu?”
Nyaliku ciut lagi mendengar pertanyaan Ibuk. Fikiranku mulai kemana-mana.
Aku: “Udah Buk, tadi Bu Retno panggil satu-satu”
Ibuk: “Mana sini Ibuk liat hasilnya”

Aku menyodorkan selembar kertas pernyataan hasil belajarku 6 tahun terakhir ini ke Ibuk dengan tangan yang bergetar. Ibuk membaca pernyataan itu dengan teliti, sesekali dahinya mengerenyit tanda beliau tidak puas dengan isi kertas itu.

Ibuk: “Mas, Dik. Makan siang dulu ya. Ibuk bikinkan susu sekalian.”

Tak ada respon, TAK.ADA.RESPON yang di kamus Ibuk berarti dia MARAH. Marah yang sebenar-benarnya marah (FYI, Ibuk dan Bapak itu tipe orang tua militer yang kadang keras banget dan kadang cuma kaku saja. Bercanda di kamus keluargaku cuma terjadi kalau ada tetamu atau saat mood mereka sedang berbahagia). Aku bergegas masuk ke rumah, membersihkan diri dan langsung ke meja makan. Menyiapkan makan untuk Mas Abi dan juga untukku. Ibuk di dapur sedang membuatkan kami susu sebelum jam tidur siang.
Suasana selama di meja makan hening, Mas Abi bukan tipe yang suka mengajakku berbincang atau bergurau. Di rumah kami berdua lebih sering saling diam seolah-olah kami tak kenal dekat. Ibuk menaruh gelas berisi susu hangat di samping piring makan kami berdua, duduk di tengah-tengah tanpa banyak bicara. Beliau sesekali hanya menanyakan perihal Mas Abi yang akhir-akhir ini senang mengoleksi Tamiya.
……
Aku bergegas kembali ke kamar setelah menenggak habis susu yang Ibuk buatkan. Pelan-pelan aku merebahkan diri di kasur kapuk buatan Ibuk dan menerawang ke langit-langit kamar yang belum ditutupi plafon karena dulu memang kami keterbatasan biaya. Kadang untuk sekedar lauk makan, aku harus masuk ke hutan untuk mengumpulkan pakis atau kangkung liar, sesekali juga aku memancing ikan gabus di parit kecil untuk jadi santap makan malam keluarga.

KRIEEEETTT

Pintu kamarku terbuka saat aku memejamkan mata, kulihat Ibuk masuk ke kamar dengan wajah yang aku berharap tidak usah lagi melihatnya. Tampak di tangannya sebilah rotan panjang yang ujungnya sudah mulai lapuk.

“Mala, kamu mau bicara sama Ibuk?”, tanya beliau.

Aku hanya bisa menggelengkan kepala. Tubuhku gemetar, jantungku berdegub terlalu cepat hingga sesak rasanya, wajahku memanas. Rasanya ingin sekali aku lari dari ruangan ini dan menghindari apa yang akan terjadi selanjutnya.

Ibuk: “Nilaimu, kenapa?”
Aku: “Mala sudah maksimal Buk, Ibu Retno bilang itu juara umum 10 besar dari seluruh kelas.”
Ibuk: “Mas Abi, dulu dari kelas 1 SD, dia selalu juara 1 sampai dia SMP. Kamu dan Mas Abi itu sama-sama anak Ibuk. Kenapa kamu gak mencontoh Mas Abi?”

“Maaf Bu, Mala bersalah sama Ibuk”, isakku

0.00001 detik kemudian rotan di tangan Ibuk melesat ke lengan kananku. Perih. Kulirik lenganku, ada guratan luka dan darah mulai keluar dari sela-sela kulit.
Aku tak sempat mengerang saat sabetan rotan itu kembali mencium pipiku. Ya, pipiku. Dan dilanjutkan ke pinggang, paha, betis dan berakhir di jari jemariku. Tak ada sedih tersirat di tatapan Ibu, yang kuharap beliau melakukannya untuk mendidikku lebih keras lagi. Saat tiap pukulan rotan itu melukai tubuhku, yang kulihat hanya amarah terpendam di dalam mata Ibuk. Aku mencoba sekuat tenaga menahan air mata dan teriakan sakit ini agar Ibuk tidak semakin gelap mata padaku, sampai akhirnya aku hilang kesadaran entah setelah pukulan yang keberapa.

[Bersambung ke Part 2]
Polling
Poll ini sudah ditutup. - 9 suara
Lanjut gak ceritanya?
Lanjut
89%
Jangan, basi banget!
11%
Diubah oleh Qiaraa 31-10-2017 13:54
anasabilaAvatar border
anasabila memberi reputasi
1
4.9K
23
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan