- Beranda
- Komunitas
- Entertainment
- The Lounge
Siapa Itu Manusia? (Mencoba Memanusiakan Manusia)


TS
hebatpart12
Siapa Itu Manusia? (Mencoba Memanusiakan Manusia)
Quote:
Berbicara tentang manusia maka yang tergambar dalam fikiran adalah berbagai macam persfektif dan/atau interpretasi. Manusia atau orang dapat diartikan berbeda-beda dari segi biologis, rohani, dan istilah kebudayaan, atau secara campuran. Secara biologis, manusia diklasifikasikan sebagai Homo sapiens (Bahasa Latin yang berarti "manusia yang tahu"), sebuah spesies primata dari golongan mamalia yang dilengkapi otak berkemampuan tinggi.
Dalam hal kerohanian, mereka dijelaskan menggunakan konsep jiwa yang bervariasi yang, dalam agama, dimengerti dalam hubungannya dengan kekuatan ketuhanan atau makhluk hidup; dalam mitos, mereka juga seringkali dibandingkan dengan ras lain.
Dalam antropologi kebudayaan, mereka dijelaskan berdasarkan penggunaan bahasanya, organisasi mereka dalam masyarakat majemuk serta perkembangan teknologinya, dan terutama berdasarkan kemampuannya untuk membentuk kelompok, dan lembaga untuk dukungan satu sama lain serta pertolongan.
Penggolongan lainnya berdasarkan jenis kelamin. berdasarkan usia, mulai dari janin, bayi, balita, anak-anak, remaja, akil balik, pemuda/i, dewasa, dan (orang) tua.
Selain itu masih banyak penggolongan-penggolongan yang lainnya, berdasarkan ciri-ciri fisik (warna kulit, rambut, mata; bentuk hidung; tinggi badan), afiliasi sosio-politik, hubungan kekerabatan (keluarga: keluarga dekat, keluarga jauh, keluarga tiri, keluarga angkat, keluarga asuh; teman; musuh) dan lain sebagainya.
Memahami siapa sebenarnya manusia itu bukan persoalan yang mudah. Ini terbukti dari pembahasan manusia tentang dirinya sendiri yang telah berlangsung demikian lama. Barangkali sejak manusia diberi kemampuan berpikir secara sistematik, pertanyaan tentang siapakah dirinya itu mulai timbul. Dalam pandangan filsafat metafisika manusia dipandang dari dua hal yakni:
- Fisik, yang terdiri dari zat. Artinya bahwa manusia tercipta terdiri dari beberapa sel, yang dapat di indera dengan panca indera.
- Ruh, manusia identik dengan jiwa yang mencakup imajinasi, gagasan, perasaan dan penghayatan semua itu tidak dapat diindera dengan panca indera.

Beberapa ahlipun berbeda pemikiran dalam mendefinisikan manusia. Aristoteles (384-322 SM), seorang filosof besar Yunani mengemukakan bahwa manusia adalah hewan yang berakal sehat, yang mengeluarkan pendapatnya, yang berbicara berdasarkan akal-pikirannya. Juga manusia adalah hewan yang berpolitik (zoonpoliticon, political animal), hewan yang membangun masyarakat di atas famili-famili menjadi pengelompokkan yang impersonal dari pada kampung dan negara. Manusia berpolitik karena ia mempunyai bahasa yang memungkinkan ia berkomunikasi dengan yang lain. Dan didalam masyarakat manusia mengenal adanya keadilan dan tata tertib yang harus dipatuhi. Ini berbeda dengan binatang yang tidak pernah berusaha memikirkan suatu cita keadilan.
Berdasarkan Thomas Hobbes, Homo homini lupus artinya manusia yang satu serigala manusia yang lainnya (berdasarkan sifat dan tabiat) Nafsu yang paling kuat dari manusia adalah nafsu untuk mempertahankan diri, atau dengan kata lain, ketakutan akan kehilangan nyawa.
Menurut Nietsche, bahwa manusia sebagai binatang kekurangan (a shortage animal). Selain itu juga menyatakan bahwa manusia sebagai binatang yang tidak pernah selesai atau tak pernah puas ( das rucht festgestelte tier ). Artinya manusia tidak pernah merasa puas dalam memenuhi kebutuhan hidupnya.

Kalau direnungi secara dalam, seorang manusia hadir di dunia benar-benar hanya sesaat saja, seperti sekejab mata jika di bandingkan dengan usia bumi yang sudah sangat tua. Ibarat matahari yang nampak terlihat, terbit dan tenggelam begitu lah perjalanan hidup manusia di dunia ini. Yang membedakannya, matahari terbit dan tenggelam kemudian terbit lagi dan tenggelam lagi dan seterusnya, sementara seorang manusia terbit dan tenggelam, kemudian tidak akan pernah terbit lagi untuk selamanya.
Memahami tujuan dan hakikat manusia tidak dapat dilepaskan dengan dunianya. Hubungan manusia harus dan selaku dikaitkan dengan dunia dimana ia berada. Mencintai dunia, menghormati dunia, merawat dunia secara normatif itulah hakikat manusia ada. dengan kata lain manusia itulah dunia itu sendiri. Berdasarkan hal-hal tersebut dapat disimpulkan bahwa kehidupan yang dirindukan oleh manusia adalah kehidupan bahagia yang paripurna. Kehidupan bahagia yang paripurna tersebut diawali di dunia ini dengan cara mencintai kebijaksanaan/keutamaan/kebaikan.
Sesuai dengan ajaran Plato, seorang filsuf yang jiwanya didorong oleh rasa rindu akan yang baik. Salah satu contoh konkret dalam mencintai kebijaksanaan adalah dengan berusaha secara konsisten menjalani kehidupan berdasarkan pada proses kerelaan untuk melepaskan, memberi dan menerima. Menghidupi kehidupan dengan memberi berarti
hidup dengan kesadaran untuk rela berbagi dengan yang lain. Setiap orang dapat (1) Memberi cinta kasihnya kepada orang lain. (2) Memberi perhatiannya. (3) Memberi kepada orang lain hak-hak mereka. (4) Memberi maaf dan pengampunan. (5) Memberi kegembiraan dan harapan. (6) Membei damai. Memberi merupakan hakikat cinta.
Sementara menjalani kehidupan dengan menerima berarti hidup dengan kesadaran untuk mau memikul tanggung jawab. Setiap orang bertanggung jawab terhadap: (1) diri dan hidupnya; (2) sesamanya, (3) semua makhluk hidup, (4) alam sekitarnya:seperti udara, air dan tanah, (5) kelangsungan hidup di planet bumi ini.
Menurut Aristoteles tujuan hidup manusia adalah apapun yang bergerak dan apapun yang dilakukan manusia demi sesuatu yang baik dan nilai tertentu. Nilai ini menjadi tujuannya. Nilai yang harus dicari adalah nilai demi dirinya sendiri, bukan nilai untuk orang lain atau yang lain. Sesuatu yang bernilai pada dirinya sendiri ini disebut Aristoteles sebagai eudaimonia, atau “Kebahagiaan”.
Kebahagiaan inilah yang menjadi tujuan akhir manusia. Bagi Aristoteles inilah puncak dari pencarian dan tujuan terakhir manusia. Ketika manusia sudah menemukan tujuan akhirnya yaitu kebahagiaan, diandaikan manusaia tidak akan mencari sesuatu yang lain lagi. Kebahagiaan itulah yang memiliki nilai baik pada dirinya sendiri. Kebahagiaan bernilai bukan demi suatu nilai lebih lainya melainkan demi dirinya sendiri.

"Ketika saya berjalan di lorong jalan, seorang kakek yang hampir mati terbaring di sisi jalan. Terlihat kelaparan dan haus.
Ketika saya berjalan melewati terowongan jalan lainnya, saya dapati seorang pemuda tertidur lemas, pucat dan tidak dapat berbuat apa-apa.
Di malam hari, sebuah keluarga lengkap, ayah dan ibunya tidur di sisi jalan, anak-anaknya berbaring di dalam gerobak.Seorang laki-laki kurang beruntung, yang kedua kakinya diamputasi, mengayuh kursi roda di tepi lampu merah, menjajakan koran.
Anak-anak kecil menggenggam ukulele, tidak tahu keberadaan bapak dan ibunya.
Seorang waria yang menangis.
Tukang sol sepatu yang diangkut ke mobil.
Penjual sayur kaki lima teriak histeris.
Anak yang bapaknya mati di medan perang.
Nenek yang kehilangan suami di '65.
Kaum yang rumah ibadahnya dibakar.
Seorang syiah yang dibunuh dan dilempari.
Anak-anak yg memapah karung berisi barang bekas.
Seorang pengidap AIDS yang dijustifikasi dan dijauhi.
Beberapa golongan yang dihakimi sebagai abnormal atas orietasi seksual.
Yang berjas elit, sibuk membicarakan politik.
Yang berkantong tebal mempelihara jiwa hedonisnya.
Yang sejahtera menjaga asupan gizi anaknya.
Pemuka Agama bersyiar kemana-mana, ortodoks satu-satunya jalan, sunni yang diterima di surga, protestan adalah awal kebenaran, budha adalah kebenaran akan pemahaman, hindu adalah sejatinya akan kenikmatan, katolik adalah cahaya yang bersinar.
Engkau berbicara di media bahwa solusi kesejahteraan bertumpu pada konservatif, komunism, kapitalis, fasis, nazism, syari'ah.
Engkau berbicara bahwa hidup hanya sekali, perbanyak emasmu, perbanyak berlianmu, perbanyak tanah dan tambakmu.
Engkau berbicara bahwa hanya kitalah yang menginjakkan kaki di surga, atas nama Tuhan dan agama yang kita anut, mereka berbeda keyakinan dengan kita. Bahwa atas nama kebenaran hanya ada pada keyakinan golongan kita.
Engkau berseru bahwa demi mengejar imperialis marilah kita menciptakan nuklir untuk keamanan, kita mencetak tentara sebanyak mungkin, kita ciptakan selongsong peluru, perbanyak produksi mesiu.
Rasa kemanusiaan kami akhirnya buram, keserakahan sudah meracuni pikiran kami, kami berpikir terlalu banyak dan merasa terlalu sedikit, pengetahuan kami membuat kami sinis, surga memburamkan dunia kami, perbedaan paham membangun sekat kami, jalan hidup kami sebenarnya indah tapi kami telah kehilangan jalan."
Penggalan cerita diatas adalah repleksi keadaan manusia saat ini, dalam beberapa kasus, gambaran banyak negara dunia saat ini. Keadaan dimana manusia jauh dari inkrah manusia. Menjadi seorang pendeta berbeda makna dengan menjadi seorang manusia, tapi bukan berarti seorang manusia tidak boleh menjadi seorang pendeta. Menjadi seorang ilmuan berbeda makna dengan menjadi seorang manusia, tapi bukan berarti seorang manusia tidak boleh jadi ilmuan. Ketika seseorang menempatkan posisinya sebagai pendeta atau ilmuan maka dia terikat atau terpenjara pada lingkup "makna pendeta atau ilmuan itu sendiri", ketika seorang pendeta atau ilmuan tersebut menempatkan posisinya sebagai manusia maka tidak boleh terikat atau terpenjara oleh lingkupnya sendiri.
Menjadi manusia berarti menjadi bebas. Kebebasan mempunyai karakter relatif atau dibatasi oleh situasi dan kondisi manusia, dimana kebebasan itu sendiri selalu bercampur dengan ketidak-bebasan. Maka manusia sebenarnya tidak pernah bebas secara penuh. Meskipun kebebasan mutlak itu tidak pernah ada, tapi tidak menjadi faktor yang membatasi dan menghalangi kebebasan manusia dalam pemahaman masing-masing individu. Oleh karena itu dalam kebebasan insani selalu terkandung berbagai aspek atau komponen yang saling mempengaruhi dan yang saling terjalin satu sama lain.
Kata kebebasan sering diartikan sebagai suatu keadaan tiadanya penghalang, paksaan, beban atau kewajiban. Seorang manusia disebut bebas kalau perbuatannya tidak mungkin dapat dipaksakan atau ditentukan dari luar. Manusia yang bebas adalah manusia yang memiliki secara sendiri perbuatan-perbuatannya.
Kebebasan adalah suatu kondisi tiadanya paksaan pada aktivitas. Manusia disebut bebas kalau dia sungguh-sungguh mengambil inisiatif dan bertanggung jawab atas perbuatannya. Dengan demikian kata bebas menunjuk kepada manusia sendiri yang mempunyai kemungkinan untuk memberi arah dan isi kepada perbuatannya. Hal itu juga berarti bahwa kebebasan mempunyai kaitan yang erat dengan kemampuan internal definitif penentuan diri, pengendalian diri, pengaturan diri dan pengarahan diri. “Freedom is self-determination”.
Berangkat dari berbagai persfektif arti manusia atau mereka yang menganggap dirinya theis, atheis, kristen, islam, kejawen, kahirangan, ustad, pendeta, lgbt, feminis, liberal, komunis, arab, china, papua, batak, jawa, nelayan, pns, pribumi, non pribumi, hitam, putih, keriting, kurus, gendut, cantik, semok dan sebagainya. diatas semua perfektif tersebut pada hakekatnya kita berpijak diatas tanah yang sama, kita menghirup udara yang sama, kita menyelam dilaut yang sama, kita memandang matahari yang sama. kenyataan inilah yang sering kali tidak kita sadari. Mereka yang terbentuk dari berbagi persfektif tersebut pada dasar adalah sama yaitu manusia. Jadilah manusia yang bebas, manusia yang adalah tuan atas perbuatannya sendiri, manusia yang sebenar-benarnya manusia.
Pustaka: Rangkuman utama Skripsi TS sewaktu kuliah Filsafat dulu dan ditambah opini dari beberapa artikel internet
Dalam hal kerohanian, mereka dijelaskan menggunakan konsep jiwa yang bervariasi yang, dalam agama, dimengerti dalam hubungannya dengan kekuatan ketuhanan atau makhluk hidup; dalam mitos, mereka juga seringkali dibandingkan dengan ras lain.
Dalam antropologi kebudayaan, mereka dijelaskan berdasarkan penggunaan bahasanya, organisasi mereka dalam masyarakat majemuk serta perkembangan teknologinya, dan terutama berdasarkan kemampuannya untuk membentuk kelompok, dan lembaga untuk dukungan satu sama lain serta pertolongan.
Penggolongan lainnya berdasarkan jenis kelamin. berdasarkan usia, mulai dari janin, bayi, balita, anak-anak, remaja, akil balik, pemuda/i, dewasa, dan (orang) tua.
Selain itu masih banyak penggolongan-penggolongan yang lainnya, berdasarkan ciri-ciri fisik (warna kulit, rambut, mata; bentuk hidung; tinggi badan), afiliasi sosio-politik, hubungan kekerabatan (keluarga: keluarga dekat, keluarga jauh, keluarga tiri, keluarga angkat, keluarga asuh; teman; musuh) dan lain sebagainya.
Memahami siapa sebenarnya manusia itu bukan persoalan yang mudah. Ini terbukti dari pembahasan manusia tentang dirinya sendiri yang telah berlangsung demikian lama. Barangkali sejak manusia diberi kemampuan berpikir secara sistematik, pertanyaan tentang siapakah dirinya itu mulai timbul. Dalam pandangan filsafat metafisika manusia dipandang dari dua hal yakni:
- Fisik, yang terdiri dari zat. Artinya bahwa manusia tercipta terdiri dari beberapa sel, yang dapat di indera dengan panca indera.
- Ruh, manusia identik dengan jiwa yang mencakup imajinasi, gagasan, perasaan dan penghayatan semua itu tidak dapat diindera dengan panca indera.

Beberapa ahlipun berbeda pemikiran dalam mendefinisikan manusia. Aristoteles (384-322 SM), seorang filosof besar Yunani mengemukakan bahwa manusia adalah hewan yang berakal sehat, yang mengeluarkan pendapatnya, yang berbicara berdasarkan akal-pikirannya. Juga manusia adalah hewan yang berpolitik (zoonpoliticon, political animal), hewan yang membangun masyarakat di atas famili-famili menjadi pengelompokkan yang impersonal dari pada kampung dan negara. Manusia berpolitik karena ia mempunyai bahasa yang memungkinkan ia berkomunikasi dengan yang lain. Dan didalam masyarakat manusia mengenal adanya keadilan dan tata tertib yang harus dipatuhi. Ini berbeda dengan binatang yang tidak pernah berusaha memikirkan suatu cita keadilan.
Berdasarkan Thomas Hobbes, Homo homini lupus artinya manusia yang satu serigala manusia yang lainnya (berdasarkan sifat dan tabiat) Nafsu yang paling kuat dari manusia adalah nafsu untuk mempertahankan diri, atau dengan kata lain, ketakutan akan kehilangan nyawa.
Menurut Nietsche, bahwa manusia sebagai binatang kekurangan (a shortage animal). Selain itu juga menyatakan bahwa manusia sebagai binatang yang tidak pernah selesai atau tak pernah puas ( das rucht festgestelte tier ). Artinya manusia tidak pernah merasa puas dalam memenuhi kebutuhan hidupnya.

Untuk Apa Manusia Ada?
Kalau direnungi secara dalam, seorang manusia hadir di dunia benar-benar hanya sesaat saja, seperti sekejab mata jika di bandingkan dengan usia bumi yang sudah sangat tua. Ibarat matahari yang nampak terlihat, terbit dan tenggelam begitu lah perjalanan hidup manusia di dunia ini. Yang membedakannya, matahari terbit dan tenggelam kemudian terbit lagi dan tenggelam lagi dan seterusnya, sementara seorang manusia terbit dan tenggelam, kemudian tidak akan pernah terbit lagi untuk selamanya.
Memahami tujuan dan hakikat manusia tidak dapat dilepaskan dengan dunianya. Hubungan manusia harus dan selaku dikaitkan dengan dunia dimana ia berada. Mencintai dunia, menghormati dunia, merawat dunia secara normatif itulah hakikat manusia ada. dengan kata lain manusia itulah dunia itu sendiri. Berdasarkan hal-hal tersebut dapat disimpulkan bahwa kehidupan yang dirindukan oleh manusia adalah kehidupan bahagia yang paripurna. Kehidupan bahagia yang paripurna tersebut diawali di dunia ini dengan cara mencintai kebijaksanaan/keutamaan/kebaikan.
Sesuai dengan ajaran Plato, seorang filsuf yang jiwanya didorong oleh rasa rindu akan yang baik. Salah satu contoh konkret dalam mencintai kebijaksanaan adalah dengan berusaha secara konsisten menjalani kehidupan berdasarkan pada proses kerelaan untuk melepaskan, memberi dan menerima. Menghidupi kehidupan dengan memberi berarti
hidup dengan kesadaran untuk rela berbagi dengan yang lain. Setiap orang dapat (1) Memberi cinta kasihnya kepada orang lain. (2) Memberi perhatiannya. (3) Memberi kepada orang lain hak-hak mereka. (4) Memberi maaf dan pengampunan. (5) Memberi kegembiraan dan harapan. (6) Membei damai. Memberi merupakan hakikat cinta.
Sementara menjalani kehidupan dengan menerima berarti hidup dengan kesadaran untuk mau memikul tanggung jawab. Setiap orang bertanggung jawab terhadap: (1) diri dan hidupnya; (2) sesamanya, (3) semua makhluk hidup, (4) alam sekitarnya:seperti udara, air dan tanah, (5) kelangsungan hidup di planet bumi ini.
Menurut Aristoteles tujuan hidup manusia adalah apapun yang bergerak dan apapun yang dilakukan manusia demi sesuatu yang baik dan nilai tertentu. Nilai ini menjadi tujuannya. Nilai yang harus dicari adalah nilai demi dirinya sendiri, bukan nilai untuk orang lain atau yang lain. Sesuatu yang bernilai pada dirinya sendiri ini disebut Aristoteles sebagai eudaimonia, atau “Kebahagiaan”.
Kebahagiaan inilah yang menjadi tujuan akhir manusia. Bagi Aristoteles inilah puncak dari pencarian dan tujuan terakhir manusia. Ketika manusia sudah menemukan tujuan akhirnya yaitu kebahagiaan, diandaikan manusaia tidak akan mencari sesuatu yang lain lagi. Kebahagiaan itulah yang memiliki nilai baik pada dirinya sendiri. Kebahagiaan bernilai bukan demi suatu nilai lebih lainya melainkan demi dirinya sendiri.

Menjadi Manusia Seutuhnya
"Ketika saya berjalan di lorong jalan, seorang kakek yang hampir mati terbaring di sisi jalan. Terlihat kelaparan dan haus.
Ketika saya berjalan melewati terowongan jalan lainnya, saya dapati seorang pemuda tertidur lemas, pucat dan tidak dapat berbuat apa-apa.
Di malam hari, sebuah keluarga lengkap, ayah dan ibunya tidur di sisi jalan, anak-anaknya berbaring di dalam gerobak.Seorang laki-laki kurang beruntung, yang kedua kakinya diamputasi, mengayuh kursi roda di tepi lampu merah, menjajakan koran.
Anak-anak kecil menggenggam ukulele, tidak tahu keberadaan bapak dan ibunya.
Seorang waria yang menangis.
Tukang sol sepatu yang diangkut ke mobil.
Penjual sayur kaki lima teriak histeris.
Anak yang bapaknya mati di medan perang.
Nenek yang kehilangan suami di '65.
Kaum yang rumah ibadahnya dibakar.
Seorang syiah yang dibunuh dan dilempari.
Anak-anak yg memapah karung berisi barang bekas.
Seorang pengidap AIDS yang dijustifikasi dan dijauhi.
Beberapa golongan yang dihakimi sebagai abnormal atas orietasi seksual.
Yang berjas elit, sibuk membicarakan politik.
Yang berkantong tebal mempelihara jiwa hedonisnya.
Yang sejahtera menjaga asupan gizi anaknya.
Pemuka Agama bersyiar kemana-mana, ortodoks satu-satunya jalan, sunni yang diterima di surga, protestan adalah awal kebenaran, budha adalah kebenaran akan pemahaman, hindu adalah sejatinya akan kenikmatan, katolik adalah cahaya yang bersinar.
Engkau berbicara di media bahwa solusi kesejahteraan bertumpu pada konservatif, komunism, kapitalis, fasis, nazism, syari'ah.
Engkau berbicara bahwa hidup hanya sekali, perbanyak emasmu, perbanyak berlianmu, perbanyak tanah dan tambakmu.
Engkau berbicara bahwa hanya kitalah yang menginjakkan kaki di surga, atas nama Tuhan dan agama yang kita anut, mereka berbeda keyakinan dengan kita. Bahwa atas nama kebenaran hanya ada pada keyakinan golongan kita.
Engkau berseru bahwa demi mengejar imperialis marilah kita menciptakan nuklir untuk keamanan, kita mencetak tentara sebanyak mungkin, kita ciptakan selongsong peluru, perbanyak produksi mesiu.
Rasa kemanusiaan kami akhirnya buram, keserakahan sudah meracuni pikiran kami, kami berpikir terlalu banyak dan merasa terlalu sedikit, pengetahuan kami membuat kami sinis, surga memburamkan dunia kami, perbedaan paham membangun sekat kami, jalan hidup kami sebenarnya indah tapi kami telah kehilangan jalan."
Penggalan cerita diatas adalah repleksi keadaan manusia saat ini, dalam beberapa kasus, gambaran banyak negara dunia saat ini. Keadaan dimana manusia jauh dari inkrah manusia. Menjadi seorang pendeta berbeda makna dengan menjadi seorang manusia, tapi bukan berarti seorang manusia tidak boleh menjadi seorang pendeta. Menjadi seorang ilmuan berbeda makna dengan menjadi seorang manusia, tapi bukan berarti seorang manusia tidak boleh jadi ilmuan. Ketika seseorang menempatkan posisinya sebagai pendeta atau ilmuan maka dia terikat atau terpenjara pada lingkup "makna pendeta atau ilmuan itu sendiri", ketika seorang pendeta atau ilmuan tersebut menempatkan posisinya sebagai manusia maka tidak boleh terikat atau terpenjara oleh lingkupnya sendiri.
Menjadi manusia berarti menjadi bebas. Kebebasan mempunyai karakter relatif atau dibatasi oleh situasi dan kondisi manusia, dimana kebebasan itu sendiri selalu bercampur dengan ketidak-bebasan. Maka manusia sebenarnya tidak pernah bebas secara penuh. Meskipun kebebasan mutlak itu tidak pernah ada, tapi tidak menjadi faktor yang membatasi dan menghalangi kebebasan manusia dalam pemahaman masing-masing individu. Oleh karena itu dalam kebebasan insani selalu terkandung berbagai aspek atau komponen yang saling mempengaruhi dan yang saling terjalin satu sama lain.
Kata kebebasan sering diartikan sebagai suatu keadaan tiadanya penghalang, paksaan, beban atau kewajiban. Seorang manusia disebut bebas kalau perbuatannya tidak mungkin dapat dipaksakan atau ditentukan dari luar. Manusia yang bebas adalah manusia yang memiliki secara sendiri perbuatan-perbuatannya.
Kebebasan adalah suatu kondisi tiadanya paksaan pada aktivitas. Manusia disebut bebas kalau dia sungguh-sungguh mengambil inisiatif dan bertanggung jawab atas perbuatannya. Dengan demikian kata bebas menunjuk kepada manusia sendiri yang mempunyai kemungkinan untuk memberi arah dan isi kepada perbuatannya. Hal itu juga berarti bahwa kebebasan mempunyai kaitan yang erat dengan kemampuan internal definitif penentuan diri, pengendalian diri, pengaturan diri dan pengarahan diri. “Freedom is self-determination”.
Berangkat dari berbagai persfektif arti manusia atau mereka yang menganggap dirinya theis, atheis, kristen, islam, kejawen, kahirangan, ustad, pendeta, lgbt, feminis, liberal, komunis, arab, china, papua, batak, jawa, nelayan, pns, pribumi, non pribumi, hitam, putih, keriting, kurus, gendut, cantik, semok dan sebagainya. diatas semua perfektif tersebut pada hakekatnya kita berpijak diatas tanah yang sama, kita menghirup udara yang sama, kita menyelam dilaut yang sama, kita memandang matahari yang sama. kenyataan inilah yang sering kali tidak kita sadari. Mereka yang terbentuk dari berbagi persfektif tersebut pada dasar adalah sama yaitu manusia. Jadilah manusia yang bebas, manusia yang adalah tuan atas perbuatannya sendiri, manusia yang sebenar-benarnya manusia.
Pustaka: Rangkuman utama Skripsi TS sewaktu kuliah Filsafat dulu dan ditambah opini dari beberapa artikel internet


Diubah oleh hebatpart12 21-10-2017 07:01
0
4.3K
Kutip
31
Balasan


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan