- Beranda
- Komunitas
- News
- Berita dan Politik
Pemerintah Hanya Diam Saat Harga Panen Jatuh


TS
hattori hanzo
Pemerintah Hanya Diam Saat Harga Panen Jatuh
CIREBON, KOMPAS — Kalangan petani pangan dan komoditas agrobisnis berharap pemerintah responsif terhadap nasib petani saat harga panen jatuh. Pemerintah diminta tidak hanya bereaksi ketika terjadi lonjakan harga pangan, tetapi juga berempati saat petani terancam bangkrut akibat harga panen jatuh.
Komitmen pemerintah pusat dan daerah ditagih untuk membeli hasil panen mereka sesuai dengan harga acuan yang ditetapkan. Harga bawang merah di Cirebon, Jawa Barat, kini anjlok hingga Rp 6.000 per kilogram (kg) di tingkat petani. Harga ini jauh di bawah harga acuan pemerintah yang ditetapkan, yakni Rp 15.000 per kg.
Kondisi itu memicu petani bawang berunjuk rasa di kantor Bupati Cirebon, Rabu (11/10). Massa menuntut pemerintah daerah menjamin harga bawang merah di tingkat petani tidak lagi anjlok.
”Saat harga naik, Kementerian Pertanian langsung turun ke lapangan dan meminta kami menurunkan harga bahkan mengimpor bawang. Namun, saat harga anjlok di petani, ke mana mereka?” ujar H Darmu (68), petani bawang merah di Pabuaran, kepada perwakilan Pemkab Cirebon yang menemui mereka.
Menurut Darmu, dengan produksi sekitar 24 ton dari 2 hektar lahannya, ia hanya mendapatkan Rp 144 juta selama tiga bulan. Jumlah ini belum menutupi modal tanam yang mencapai Rp 240 juta.
Dana itu digunakan untuk membeli benih dan biaya tenaga kerja. Modal itu belum termasuk biaya pembelian obat-obatan pemberantas hama.
Darmu mempertanyakan Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 27 Tahun 2017 terkait harga acuan sejumlah komoditas di tingkat petani dan konsumen. Permendag yang dikeluarkan pada Mei lalu itu mengatur harga acuan pembelian di tingkat petani Rp 15.000 per kg untuk bawang merah basah. Namun, di lapangan, petani mendapatkan harga pembelian Rp 6.000 per kg.
Saat yang sama, petani tidak memiliki gudang yang memadai untuk menyimpan bawang merah. Apalagi, komoditas ini mudah rusak. ”Mau tidak mau, kami terpaksa menerima harga rendah,” ujar Rahmat Gumilar (28), petani asal Gebang.
Penderitaan yang sama juga dialami petani bawang merah di Jawa Timur. Sejak panen Agustus lalu hingga sekarang, harga cenderung turun dari awal Rp 15.000 per kg, kini paling mahal Rp 10.000 per kg.
Dalam kondisi harga jatuh seperti itu, kata Ketua Asosiasi Petani Bawang Merah Jawa Timur Akad, seharusnya pemerintah segera membuat regulasi pengendalian harga.
”Ketika harga bawang merah melambung, pemerintah langsung menunjuk Perum Bulog agar membeli bawang petani dengan harga Rp 15.000 per kg. Lha sekarang paling mahal Rp 10.000 per kg di tingkat petani, pemerintah tidak bersikap apa-apa,” ujar Akad.
Hal yang sama dikeluhkan Ahmad Jamali, petani cabai rawit di Kecamatan Wongsorejo, Banyuwangi, yang menyayangkan sikap abai pemerintah ketika harga cabai anjlok. Sikap pemerintah ini berbeda ketika harga cabai melambung tinggi.
”Februari lalu, Dirjen Hortikultura dan Kepala Dinas Pertanian datang ke kebun saya mengajak diskusi agar petani tidak menjual cabai terlalu tinggi. Namun, saat harga anjlok mereka ke mana, kok, diam saja seperti tidak terjadi apa-apa,” tuturnya.
Ahmad mengatakan, pada Februari lalu harga cabai di tingkat petani menyentuh Rp 80.000 per kg. Saat itu pemerintah membuat kesepakatan dengan petani di Wongsorejo.
Saat harga cabai tinggi hingga di atas Rp 40.000, petani harus bersedia menjual cabai kepada pemerintah melalui Bulog dengan harga maksimal Rp 40.000 per kg. Petani lalu dijanjikan mendapat bantuan alat industri pertanian dan bibit. Saat ini harga cabai ditingkat petani anjlok menjadi Rp 5.500 per kg dan ini sudah terjadi sebulan terakhir.

Juga jatuh
Nasib petani pala juga tak kalah pedih dibandingkan dengan nasib petani cabai. Ahmad Sameth (70), petani pala dari Desa Larike, Kecamatan Leihitu Barat, Kabupaten Maluku Tengah, Maluku, mengatakan, harga pala anjlok hingga Rp 57.000 per kg. Harga tersebut merupakan yang terendah setelah krisis ekonomi melanda Indonesia tahun 1998.
”Dulu waktu Presiden Abdurrahman Wahid, harga pala paling tinggi, hampir Rp 100.000 per kg,” katanya.
Pemerintah diharapkan membantu petani dalam hal pemasaran. Harga pala masih dalam kendali tengkulak. Ahmad kecewa terhadap pemerintah yang tidak mendampingi petani.
Harga lada juga terpuruk. Petani lada merintih untuk bisa bertahan menanam lada. Dalam setahun terakhir, harga lada di Kepulauan Bangka Belitung dan Kepulauan Riau anjlok. Petani hanya pasrah menerima harga dari pedagang pengumpul.
Di Kepulauan Bangka Belitung, harga lada turun dari rata-rata Rp 160.000 per kg menjadi Rp 70.000 per kg. Sementara di Kepulauan Riau, harga lada anjlok dari rata-rata Rp 190.000 per kg menjadi Rp 75.000 per kg.
Pedagang beralasan tidak bisa memberi harga tinggi. ”Kami tak punya tempat lain untuk menjual hasil panen,” kata Hasan, petani di Lingga, Kepulauan Riau.
Petani lada di Bangka Tengah, Feni, mengatakan, penurunan harga lada terjadi sejak awal 2016. Padahal, harga lada pernah lebih dari Rp 200.000 per kg pada 2015. ”Kami tidak bisa apa-apa, bukan kami yang menentukan harga,” katanya.
Petani lada di Lampung juga merasakan rusaknya harga jual lada. Sejak musim panen pada Juli 2017, harga lada di tingkat petani bertahan Rp 45.000-Rp 50.000 per kg. Harga itu lebih rendah daripada tahun lalu yang mencapai Rp 100.000 per kg.
”Saya hanya dapat uang Rp 7.350.000 dari penjualan sekitar 150 kg lada,” ujar Supangat (50), petani lada asal Desa Sukadana Baru, Kecamatan Margatiga, Kabupaten Lampung Timur. (IKI/ETA/GER/FRN/RAZ/VIO)
sumur
Komitmen pemerintah pusat dan daerah ditagih untuk membeli hasil panen mereka sesuai dengan harga acuan yang ditetapkan. Harga bawang merah di Cirebon, Jawa Barat, kini anjlok hingga Rp 6.000 per kilogram (kg) di tingkat petani. Harga ini jauh di bawah harga acuan pemerintah yang ditetapkan, yakni Rp 15.000 per kg.
Kondisi itu memicu petani bawang berunjuk rasa di kantor Bupati Cirebon, Rabu (11/10). Massa menuntut pemerintah daerah menjamin harga bawang merah di tingkat petani tidak lagi anjlok.
”Saat harga naik, Kementerian Pertanian langsung turun ke lapangan dan meminta kami menurunkan harga bahkan mengimpor bawang. Namun, saat harga anjlok di petani, ke mana mereka?” ujar H Darmu (68), petani bawang merah di Pabuaran, kepada perwakilan Pemkab Cirebon yang menemui mereka.
Menurut Darmu, dengan produksi sekitar 24 ton dari 2 hektar lahannya, ia hanya mendapatkan Rp 144 juta selama tiga bulan. Jumlah ini belum menutupi modal tanam yang mencapai Rp 240 juta.
Dana itu digunakan untuk membeli benih dan biaya tenaga kerja. Modal itu belum termasuk biaya pembelian obat-obatan pemberantas hama.
Darmu mempertanyakan Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 27 Tahun 2017 terkait harga acuan sejumlah komoditas di tingkat petani dan konsumen. Permendag yang dikeluarkan pada Mei lalu itu mengatur harga acuan pembelian di tingkat petani Rp 15.000 per kg untuk bawang merah basah. Namun, di lapangan, petani mendapatkan harga pembelian Rp 6.000 per kg.
Saat yang sama, petani tidak memiliki gudang yang memadai untuk menyimpan bawang merah. Apalagi, komoditas ini mudah rusak. ”Mau tidak mau, kami terpaksa menerima harga rendah,” ujar Rahmat Gumilar (28), petani asal Gebang.
Penderitaan yang sama juga dialami petani bawang merah di Jawa Timur. Sejak panen Agustus lalu hingga sekarang, harga cenderung turun dari awal Rp 15.000 per kg, kini paling mahal Rp 10.000 per kg.
Dalam kondisi harga jatuh seperti itu, kata Ketua Asosiasi Petani Bawang Merah Jawa Timur Akad, seharusnya pemerintah segera membuat regulasi pengendalian harga.
”Ketika harga bawang merah melambung, pemerintah langsung menunjuk Perum Bulog agar membeli bawang petani dengan harga Rp 15.000 per kg. Lha sekarang paling mahal Rp 10.000 per kg di tingkat petani, pemerintah tidak bersikap apa-apa,” ujar Akad.
Hal yang sama dikeluhkan Ahmad Jamali, petani cabai rawit di Kecamatan Wongsorejo, Banyuwangi, yang menyayangkan sikap abai pemerintah ketika harga cabai anjlok. Sikap pemerintah ini berbeda ketika harga cabai melambung tinggi.
”Februari lalu, Dirjen Hortikultura dan Kepala Dinas Pertanian datang ke kebun saya mengajak diskusi agar petani tidak menjual cabai terlalu tinggi. Namun, saat harga anjlok mereka ke mana, kok, diam saja seperti tidak terjadi apa-apa,” tuturnya.
Ahmad mengatakan, pada Februari lalu harga cabai di tingkat petani menyentuh Rp 80.000 per kg. Saat itu pemerintah membuat kesepakatan dengan petani di Wongsorejo.
Saat harga cabai tinggi hingga di atas Rp 40.000, petani harus bersedia menjual cabai kepada pemerintah melalui Bulog dengan harga maksimal Rp 40.000 per kg. Petani lalu dijanjikan mendapat bantuan alat industri pertanian dan bibit. Saat ini harga cabai ditingkat petani anjlok menjadi Rp 5.500 per kg dan ini sudah terjadi sebulan terakhir.

Juga jatuh
Nasib petani pala juga tak kalah pedih dibandingkan dengan nasib petani cabai. Ahmad Sameth (70), petani pala dari Desa Larike, Kecamatan Leihitu Barat, Kabupaten Maluku Tengah, Maluku, mengatakan, harga pala anjlok hingga Rp 57.000 per kg. Harga tersebut merupakan yang terendah setelah krisis ekonomi melanda Indonesia tahun 1998.
”Dulu waktu Presiden Abdurrahman Wahid, harga pala paling tinggi, hampir Rp 100.000 per kg,” katanya.
Pemerintah diharapkan membantu petani dalam hal pemasaran. Harga pala masih dalam kendali tengkulak. Ahmad kecewa terhadap pemerintah yang tidak mendampingi petani.
Harga lada juga terpuruk. Petani lada merintih untuk bisa bertahan menanam lada. Dalam setahun terakhir, harga lada di Kepulauan Bangka Belitung dan Kepulauan Riau anjlok. Petani hanya pasrah menerima harga dari pedagang pengumpul.
Di Kepulauan Bangka Belitung, harga lada turun dari rata-rata Rp 160.000 per kg menjadi Rp 70.000 per kg. Sementara di Kepulauan Riau, harga lada anjlok dari rata-rata Rp 190.000 per kg menjadi Rp 75.000 per kg.
Pedagang beralasan tidak bisa memberi harga tinggi. ”Kami tak punya tempat lain untuk menjual hasil panen,” kata Hasan, petani di Lingga, Kepulauan Riau.
Petani lada di Bangka Tengah, Feni, mengatakan, penurunan harga lada terjadi sejak awal 2016. Padahal, harga lada pernah lebih dari Rp 200.000 per kg pada 2015. ”Kami tidak bisa apa-apa, bukan kami yang menentukan harga,” katanya.
Petani lada di Lampung juga merasakan rusaknya harga jual lada. Sejak musim panen pada Juli 2017, harga lada di tingkat petani bertahan Rp 45.000-Rp 50.000 per kg. Harga itu lebih rendah daripada tahun lalu yang mencapai Rp 100.000 per kg.
”Saya hanya dapat uang Rp 7.350.000 dari penjualan sekitar 150 kg lada,” ujar Supangat (50), petani lada asal Desa Sukadana Baru, Kecamatan Margatiga, Kabupaten Lampung Timur. (IKI/ETA/GER/FRN/RAZ/VIO)
sumur
Quote:
Diubah oleh hattori hanzo 12-10-2017 12:45


nona212 memberi reputasi
1
3.7K
35


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan