Jakarta, CNN Indonesia -- Deretan kebohongan yang dilakukan oleh Dwi Hartanto, mahasiswa doktoral di Technische Universiteit Delft, Belanda menuai kekecewaan banyak orang, terutama dari kalangan akademisi dan ilmuwan.

Thomas Djamaluddin selaku Ketua Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) juga sangat menyayangkan kebohongan yang dilakukan Dwi. Kebohongannya telah mencederai kode etik sebagai seorang ilmuwan.

"Tentunya sangat disayangkan kejadian seperti itu dilakukan karena sudah melanggar kode etik dalam penelitian dan karya ilmiah," kata Djamal usai ditemui di acara Multi GNSS Asia (MGA) Conference di Hotel Ayana MidPlaza Jakarta, Senin (9/10).


Lebih lanjut Djamal bercerita bahwa LAPAN sebenarnya tidak pernah membaca jurnal atau pun hasil ilmiah yang dikerjakan Dwi meski media massa banyak memberitakannya. LAPAN juga pernah tertarik untuk mengundangnya ke acara yang akan digelarnya untuk dijadikan pembicara konferensi kedirgantaraan, namun tidak pernah mendapatkan respons.

"Kami ya diam saja. Sempat ingin mengundang karena tertarik dengan pemberitaan di media masa agar yang bersangkutan bisa menjadi salah satu pembicara di acara kami September lalu, tetapi dihubungi sejak Mei tidak pernah memberikan respons," ceritanya.

Singkap bungkam Dwi akhirnya membuat LAPAN menggunakan jaringannya di Tu Delft untuk mengetahui lebih dalam mengenai Dwi. Dari sanalah, akhirnya diketahui bahwa Dwi tak sehebat pemberitaan di media.

"Kami banyak teman di Delft kemudian mulai bertanya-tanya kenapa Dwi tidak pernah merespons. Ya, mungkin karena tidak sesuai dengan bidangnya," tutur Djamal.

Senada dengan Djamal, Deden Rukmana, Professor and Coordinator of Urban Studies and Planning, Savannah State University menyayangkan insiden tersebut.

Ia menerangkan terbongkarnya kebohongan Dwi lantaran ada seorang pengurus Ikatan Ilmuwan Indonesia Internasional (I-4) yang secara pribadi mengenai Dwi dan mengetahui kebohongannya.

"Kebohongan publik telah terjadi sejak 2 tahun terakhir. Awalnya ada seorang yang mengenal Dwi secara pribadi mengetahui kebohongan itu dan mengontak saya serta membagikan hasil investigasi bersama alumni TU Deft," jelas Deden melalui surel kepada CNNIndonesia.com, Senin (9/10).

Lebih lanjut, ia menekankan perlunya kode etik dan integritas dalam penelitian. "Agar kedepannya tidak ada kejadian serupa, penting adanya kode etik dan integritas dalam penelitian. Media juga berperan sangat penting untuk melakukan cross check terhadap sumber terkait," tulisnya.

Paulina Pannen, Staf Ahli Bidang Akademik Kemenristekdikti juga menyatakan kekecewaan yang sama. Padahal menurutnya, Dwi tidak harus menjadi seseorang yang bukan dirinya hanya untuk mendapatkan perhatian media.

"Sayang sekali, seorang pemuda tidak mau mengakui kekurangan dirinya bahwa dia bukan itu (ilmuwan dirgantara) tetapi yang ini. Padahal dengan yang ini pun dia bisa lebih baik dari yang lain," ujarnya

Paulina juga menyangkan sikap media yang melakukan pemberitaan tanpa melakukan pengecekan ke lembaga terkait.

"Padahal wartawan kan bisa ngecek ya, zaman sekarang mudah saja ngecek seperti ini. Jadi jangan berbohong, sama sekali jangan berbohong termasuk seperti yang dilakukan Dwi Hartanto atau plagiarisme itu sama persis," ucapnya menambahkan. (evn)

Sumur: https://m.cnnindonesia.com/teknologi/20171009133751-199-247135/kebohongan-dwi-hartanto-mencederai-kode-etik-ilmuwan?utm_source=notifikasi&utm_campaign=browser&utm_medium=mobile

==================
Pesan TS: ingat pepatah lama

"Sekali lancung ke ujian, selamanya tidak akan dipercaya"
Meskipun Dwi sudah meminta maaf, tetapi namanya sudah tercoreng di mata masyarakat. Dan untuk membersihkan namanya dari dosa masa lalu, itu butuh waktu