Minggu 08 Oct 2017, 15:00 WIB
Jakarta - Beberapa Pusat Perbelanjaan alias mal di Jakarta satu per satu mulai ditinggalkan oleh masyarakat. Ada yang bilang karena daya beli masyarakat lesu namun ada pula karena pengelola lamban dalam menyesuaikan perkembangan zaman.
Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia (APPBI) menilai, daya beli masyarakat Indonesia masih dalam keadaan yang baik.
Baiknya daya beli masyarakat dapat dilihat dari pusat-pusat belanja yang dan beberapa daerah kawasan pariwisata juga masih banyak dikunjungi oleh masyarakat yang tentu akan berbelanja.
"Enggak kelihatan kalau daya beli turun itu enggak ada. Yang ada adalah disruption (perubahan bisnis cara lama dengan cara baru). Orang pergi ke tempat yang bukan hanya komplit tapi juga nyaman dan bisa selfie," kata Ketua Umum APPBI Stefanus Ridwan saat dihubungi detikFinance, Jakarta, Minggu (8/10/2017).
Ia juga melihat fenomena masih baiknya daya beli masyarakat dari ramainya tempat-tempat kuliner yang mampu mengubah konsepnya ke cara yang lebih modern.
"Restoran yang lama yang kuno-kuno di tempat mal yang sama juga tetap enggak laku, ketika diganti sama makanan yang lebih menarik, orang bisa selfie ternyata laku banget sampai antre, artinya bukan soal daya beli kalau menurut saya," sambung dia.
Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia (APPBI) punya penilaian sendiri soal fenomena sepinya sejumlah pusat perbelanjaan. Salah satunya adalah kemampuan pengelola pusat perbelanjaan beradaptasi dengan keinginan masyarakat.
"Jadi bukan soal lama atau baru, tapi dia (pusat perbelanjaan) ngadain renovasi tidak, berubah enggak, bisa sesuaikan zaman tidak, sementara jumlah mall bertambah semakin banyak," kata Ketua Umum APPBI Stefanus Ridwan saat dihubungi detikFinance, Jakarta, Minggu (8/10/2017).
Dia menyebutkan, saat ini masyarakat semakin selektif membelanjakan uangnya. Masyarakat Indonesia saat ini saat berkunjung ke pusat belanja bukan hanya untuk berbelanja, melainkan sekaligus untuk cuci mata atau melepas penat.
Jika pusat belanja tidak menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman, maka pusat belanja seperti trade center makin lama makin kalah bersaing dengan keberadaan mal-mal yang baru yang lebih komplit.
Oleh karenanya, selaku pengurus perkumpulan pelaku pusat belanja mengimbau kepada seluruh pemilik mal untuk terus menyesuaikan perkembangan zaman jika ingin kinerja penjualannya tetap berada di jalur yang positif. (dna/dna)
https://finance.detik.com/berita-eko...aya-beli-turun
AH GW LEBIH PERCOYO CONGOR ZONKEY SI KELEDAI, COBA CEK BERITA LAIN
Quote:
BPS: Daya Beli Masyarakat Masih Tinggi
Sabtu, 12 Agustus 2017 - 16:50 WIB
JAKARTA - Badan Pusat Statistik (BPS) membantah pernyataan sejumlah pihak yang menyatakan daya beli masyarakat merosot. Pasalnya, data BPS justru menunjukkan daya beli masyarakat justru masih kuat.
Kepala BPS Suhariyanto mengungkapkan daya beli masyarakat yang masih kuat dibuktikan dari tingkat kontribusi konsumsi rumah tengga terhadap produk domestik bruto (PDB) yang masih dominan. Menurutnya, konsumsi masyarakat masih tumbuh kuat.
"Pengeluaran rumah tangga pada kuartal II itu 4,95%. Itu tumbuh kuat. Jadi kalau ada yang bilang (konsumsi rumah tangga) turun, sangat tidak mungkin. Kalau dibanding triwulan I itu 4,94%. Meskipun tipis tapi naik," katanya dalam acara Forum Merdeka Barat (FMB) 9 di Gedung Kemenkominfo, Jakarta, Sabtu (12/8/2017).
Dia menyebutkan, konsumsi rumah tangga menyumbang 2,65% terhadap pertumbuhan ekonomi di kuartal II 2017. Pertumbuhan ekonomi sendiri pada kuartal II 2017 tumbuh sekitar 5,01%.
Tak hanya itu, sektor food and beverages (F&B) juga mengalami pertumbuhan, dimana restoran dan hotel tumbuh 5,87%, sedangkan makanan dan minuman 5,24%.
"Restoran dan hotel ada indikasi bahwa gaya atau perilaku konsumsinya agak berubah. Orang lebih senang makan di luar di restoran dan hotel," imbuh dia.
Selanjutnya, pembentukan modal tetap ruto (PMTB) juga tercatat menguat yaitu 5,36% (year on year/yoy) pada triwulan II 2017. Suhariyanto mengatakan, pertumbuhan ini didorong oleh investasi bangunan, kendaraan dan peralatan lain.
"Realisasi belanja pemerintah untuk belanja modal juga tercatat meningkat dibanding triwulan kedua tahun lalu. Belanja modal pemerintah yang cukup bagus ini akan memberikan sinyal positif kepada swasta," tandasnya.
https://ekbis.sindonews.com/read/122...ggi-1502531453
AH BPS ANTEK JOKUWI, CEK APA KATA BANK DUNIA DULU
Quote:
Bedah Laporan Bank Dunia Soal Daya Beli Masyarakat RI
Kamis 05 Oct 2017, 16:48 WIB
Jakarta - Bank Dunia (World Bank) turut menyoroti kondisi daya beli masyarakat Indonesia. Daya beli jadi polemik dalam beberapa waktu terakhir karena perbedaan pandangan banyak pihak saat memahami data-data realisasi perekonomian.
Dalam laporan yang baru saja dirilis, Bank Dunia menampilkan grafik sebagai gambaran dari kondisi daya beli. Grafik ini berdasarkan data Bank Indonesia (BI) dan kalkulasi Bank Dunia.
Beberapa komponen yang dicantumkan adalah penjualan ritel, mobil penumpang, sepeda motor dan indeks kepercayaan konsumen. Rentang waktu yang dipasang sebagai analisa adalah Agustus 2016 hingga Agustus 2017.
Indeks Keyakinan Konsumen
Laporan Bank Dunia menunjukkan keyakinan konsumen di Indonesia meningkat, meskipun tidak signifikan. Indeks keyakinan konsumen tercatat 123,4. Sementara periode yang sama di tahun lalu, indeksnya di bawah 120.
Keyakinan konsumen naik tinggi saat April 2017 atau menjelang bulan Ramadan dan Lebaran. Keyakinan tersebut dilandasi oleh peningkatan pendapatan dan kestabilan harga barang dan jasa serta optimisme ketersediaan lapangan kerja.
Baca juga: Jokowi Sebut Isu Daya Beli Turun Dibikin Orang Politik untuk 2019
Penjualan Mobil dan Motor
Per Juni 2017, penjualan kendaraan bermotor ada di angka 535.000, yang didominasi oleh kendaraan Multi Purpose Vehicle (MPV) sebesar 55%. Sedangkan sisanya didukung oleh penjualan mobil low cost green car (LCGC) 22%, dan sisanya jenis mobil lain.
Laporan Bank Dunia menunjukkan penjualan mobil turun drastis sejak periode yang sama tahun sebelumnya. Terutama ketika memasuki periode jelang Lebaran 2017.
Josua menyatakan, bila dibandingkan dengan posisi tahun sebelumnya memang kurang tepat. Sebab Lebaran sekarang jatuh lebih cepat dibandingkan tahun lalu. "Timing Lebaran mempengaruhi penjualan," ujarnya.
Untuk sepeda motor cenderung kontraksi sejak Agustus 2016. Menurut Josua hal tersebut sudah terjadi sejak tiga tahun terakhir akibat penurunan permintaan dari masyarakat.
"Demand buat motor menurun, karena sejak ada LCGC dengan harga yang lebih murah," tegas Josua.
Baca juga: Jokowi Sebut Daya Beli Turun Hanya Isu Politik, Benarkah?
Penjualan Ritel
Dari grafik yang disajikan, penjualan ritel terlihat sedikit menurun pada Agustus 2016 sampai Agustus 2017. Namun bila dilihat dari awal tahun, penjualan ritel dapat dikatakan datar.
Bila sedikit melihat data yang lebih panjang, yaitu Juni 2016 saat penjualan ritel mencapai 16%. Hingga akhir tahun terlihat ada penurunan. Selanjutnya awal 2017, pertumbuhan penjualan ritel di bawah 10% alias single digit.
Posisi terburuk memang pada Juli 2017, saat penjualan terkontraksi sampai 3%. Meskipun Agustus berbalik tumbuh.
Penjualan kebutuhan dasar seperti makanan, minuman dan tembakau masih stabil. Penurunan terlihat pada komponen lain, seperti pakaian, suku cadang, aksesoris hingga perlengkapan rumah tangga.
"Saya enggak melihat penurunan daya beli di sini," kata Ekonom PT Bank Permata Tbk Josua Pardedekepada detikFinance, Kamis (5/10/2017).
Josua coba kimpoikan data Bank Dunia dan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) terkait peningkatan simpanan masyarakat.
Simpanan di atas Rp 2 miliar yang merupakan kelas menengah meningkat sejak akhir tahun. Ini menandakan masyarakat masih memiliki kekuatan untuk belanja, tapi keinginannya tidak besar.
Kelompok menengah ke bawah alami peningkatan rill per kapita, seiring dengan penyaluran bantuan sosial, transfer ke daerah hingga dana desa.
"Semestinya secara teori daya beli masih kuat. Kalau misalkan beli makan cukup, tabungan masih ada, semestinya beli yang lain juga bisa," pungkasnya. (mkj/dna)
https://finance.detik.com/berita-eko...-masyarakat-ri
DASAR ZONKEY
BIARPUN EKONOMI STAGNAN, MOHON BUAT YG DIJAWA YG NGELUH TLG BERSABAR... SEBAGIAN BESAR DARI 800-AN T (2015-2017) ANGGARAN INFRASTRUKTUR LARI KE SUMATRA, KALIMANTAN,SULAWESI,PAPUA
JAWA NTAR LAGI JUGA ADA KERETA CEPAT, MRT/LRT PROYEK RATUSAN TRILIUN.
MINTAK SUBSIDI BIAR DAYA BELI KUAT BELI ROKOK/PULSA/HP/KREDIT MOTOR? BOLEH.. TAPI KJP/KJS/KIP/BPJS DITARIK MAU?
JANGAN EGOIS KAMU!
INI JUGAK BIKIN EKONOMI RI STAGNAN 5,2%, BELOM LAGI DEMO BERJILID2 DITAMBAH TEROR BOM DIMANA2 MERUSAK IKLIM INVESTASI
Quote:
Original Posted By dishwala►
RENDAHNYA HARGA KOMODITAS TAMBANG DAN MIGAS DIPASARAN INTERNASIONAL
Tren Negatif Kinerja Ekspor dan Titik Balik 2017
Awal pekan ini, Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan nilai ekspor Indonesia sepanjang 2016 sebesar 144,43 miliar dollar AS atau setara Rp 1.920 triliun (asumsi kurs Rp 13.300 per dollar AS). Nilai tersebut turun 3,95 persen dibandingkan tahun 2015 yang sebesar 150,37 miliar dollar AS.
Tahun 2016 pun makin memperpanjang tren penurunan ekspor Indonesia yang terjadi sejak 2012. Artinya, sudah lima tahun berturut-turut, ekspor Indonesia terus menurun atau tumbuh negatif.
Dilihat dari laju pertumbuhan ekspor, Indonesia lebih buruk dibandingkan negara-negara tetangga seperti Thailand, Filipina, dan Malaysia.
Mengapa kinerja ekspor Indonesia begitu terpuruk dalam lima tahun terakhir? Banyak faktor penyebabnya, baik berasal dari eksternal maupun internal.
Faktor eksternal antara lain lesunya perekonomian global dan jatuhnya harga komoditas. Lesunya perekonomian global menyebabkan transaksi perdagangan dunia menurun. Akibatnya, permintaan barang dari Indonesia juga menyusut.
Negara-negara utama pengimpor barang dari Indonesia seperti China dan Amerika Serikat, kondisi ekonominya agak memburuk dalam beberapa tahun terakhir sehingga berimbas pada daya beli masyarakatnya.
Pertumbuhan ekonomi China terus menurun dari 10,6 persen pada 2010 menjadi 6,9 persen pada 2015 dan diperkirakan hanya mencapai 6,7 persen pada 2016.
Seiring lemahnya permintaan global dan persaingan produsen minyak, harga komoditas pun anjlok. Harga minyak dunia yang jatuh drastis dari kisaran 100 dollar AS per barrel menjadi hanya sekitar 25 dollar AS per barrel telah menyeret turun harga sejumlah komoditas baik secara langsung maupun tidak langsung.
Harga komoditas seperti gas, crude palm oil (CPO), batu bara, mineral, baja, karet pun anjlok. Padahal hampir 70 persen ekspor Indonesia merupakan komoditas, baik mentah maupun yang telah diolah menjadi bahan baku. Hanya sekitar 30 persen saja, ekspor Indonesia yang berupa barang jadi hasil pabrikan.
Nilai ekspor Indonesia(M Fajar Marta/Kompas.com)
Adapun faktor internal antara lain kurangnya daya saing produk ekspor dan penurunan produksi sejumlah komoditas. Lemahnya daya saing terutama produk olahan nonmigas membuat banyak pasar ekspor Indonesia direbut negara lain seperti Filipina dan Vietnam.
Jatuhnya kinerja ekspor tentu berimbas pada perekonomian Indonesia. Kontribusi ekspor barang dan jasa terhadap produk domestik bruto (PDB) turun dari 26,36 persen pada 2011 menjadi 21 persen pada 2015 dan diperkirakan hanya 19 persen pada 2016.
Pertumbuhan ekonomi Indonesia yang terus menurun dari 6,44 persen pada 2011 menjadi 4,79 persen pada 2015, salah satunya juga dipicu oleh memburuknya kinerja ekspor.
Titik balik
Bagaimana peluang ekspor Indonesia 2017? Apakah tetap akan melanjutkan tren penurunan atau menjadi titik balik bagi pertumbuhan yang positif?
Peluang tahun 2017 akan menjadi titik balik kinerja ekspor cukup besar. Ada sejumlah indikator yang bisa dilihat.
Sepanjang 2016, ekspor bulanan sebenarnya sudah menunjukkan tren meningkat. Artinya, secara bulanan, titik balik sudah terjadi pada 2016.
Hanya, secara kumulatif, nilai ekspor sepanjang 2016 masih minim sehingga secara tahunan masih lebih rendah dibandingkan tahun 2015.
Pada Januari 2016, nilai ekspor Indonesia sebesar 10,48 miliar dollar AS dan perlahan-lahan naik hingga menjadi 13,77 miliar dollar AS pada Desember 2016.
Jika tren naik ekspor bulanan terus berlanjut pada tahun ini, maka secara kumulatif, ekspor tahun 2017 bisa lebih besar dari tahun 2016 yang berarti ekspor secara tahunan mulai tumbuh positif.
Nilai ekspor bulanan(M Fajar Marta/Kompas.com)
Kecenderungan meningkatnya ekspor bulanan pada tahun 2016 terutama dipicu oleh terus naiknya harga komoditas di pasar global.
Harga batu bara misalnya naik drastis dari rata-rata 61,84 dollar AS per ton pada januari 2016 menjadi 101,69 dollar AS per ton pada Desember 2016.
Begitu pula dengan harga CPO, yang naik dari 566 dollar AS per ton menjadi 706 dollar AS per ton selama periode Januari – Mei 2016.
Membaiknya harga komoditas diperkirakan akan terus berlanjut pada 2017 seiring naiknya harga minyak dunia pasca adanya kesepakatan produsen minyak untuk menurunkan produksi.
Berdasarkan data Bloomberg, harga minyak dunia jenis Brent pada Kamis (19/1/2017) sudah berada di level 54,5 dollar AS per barrel.
Potensi membaiknya ekspor Indonesia pada 2017 semakin besar seiring makin pulihnya perekonomian global.
International Monetery Fund (IMF) atau Dana Moneter Internasional memproyeksikan pertumbuhan ekonomi dunia pada 2017 sebesar 3,4 persen, naik dibandingkan pertumbuhan 2016 yang diperkirakan 3,1 persen. Membaiknya perekonomian global tentu akan mendorong transaksi perdagangan dunia.
Pertumbuhan ekonomi AS pada 2017 diperkirakan mencapai 2,3 persen, meningkat dibandingkan tahun 2016 yang sebesar 1,6 persen. AS merupakan salah satu negara yang banyak mengimpor barang dari Indonesia.
Ekonomi Indonesia sendiri diperkirakan akan tumbuh 5,3 persen pada 2017, lebih tinggi dibandingkan tahun 2016 yang sebesar 5 persen. Membaiknya prospek ekonomi Indonesia pada 2017 tak terlepas dari besarnya potensi ekspor pada tahun ini.
Bagaimana dengan efek Trump terhadap prospek ekspor Indonesia? Kebijakan proteksionisme yang akan dijalankan Donald Trump sebagai Presiden AS yang baru kemungkinan tidak akan berpengaruh signifikan terhadap Indonesia.
Bahkan, bisa jadi, peluang ekspor ke AS akan semakin besar. Pasalnya, Trump akan memperketat impor dari sejumlah negara seperti China, Vietnam, dan Meksiko.
Untuk mengisi kekosongan barang yang dipasok dari negara-negara itu, Trump akan mendorong produksi dalam negeri dan selebihnya akan diimpor dari negara lain. Nah, Indonesia bisa memanfaatkan kondisi ini untuk meningkatkan ekspornya ke AS
Jadi, dilihat dari sejumlah indikator, titik balik kinerja ekspor Indonesia berpotensi besar terjadi pada 2017.
Namun, tanpa adanya perbaikan daya saing yang signifikan, peningkatan produksi yang berkualitas, perbaikan iklim usaha di dalam negeri, dan regulasi yang memadai, bisa jadi tren negatif akan terus berlanjut.
http://ekonomi.kompas.com/read/2017/01/20/064122026/tren.negatif.kinerja.ekspor.dan.titik.balik.2017