Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

dewaagniAvatar border
TS
dewaagni
Sulitnya Menjaga Tanah Adat
Sulitnya Menjaga Tanah Adat

   

Rabu, 6 September 2017 07:11 WIBPenulis:

Sulitnya Menjaga Tanah Adat

ANTARA/DEDHEZ ANGGARA

“KAMI hanya berupaya mempertahankan ruang hidup kami, karenanya para wanita berdiri di barisan depan,” kata Dewi Kanti, warga Masyarakat Adat Karuhun Urang (AKUR), Kabupaten Kuningan, Jawa Barat.

Pekan lalu, bersama puluhan perempuan lain, Kanti berhadapan dengan polisi dan Satuan Polisi Pamong Praja, yang akan mengeksekusi lahan milik masyarakat penganut kepercayaan Sunda Wiwitan, di Blok Mayasih, RT 29 RW 10 Desa/Kecamatan Cigugur. Karena kuatnya perlawanan, panitera Pengadilan Negeri Kuningan yang memimpin eksekusi memutuskan untuk menunda. Ini kegagalan eksekusi untuk ketiga kalinya.

Warga mempertahankan lahan seluas 224 meter persegi milik bersama yang sudah mereka huni sejak puluhan tahun lalu. Masalah timbul ketika Djaka Rumantaka menggugat lahan itu sebagai miliknya dan memenanginya hingga peninjauan kembali di Mahkamah Agung.

Upaya mempertahankan tanah adat tidak hanya dilakukan dengan menghadang eksekusi. Sebelumnya, mereka sudah berjuang di pengadilan.

Sayang, pembelaan yang diajukan Pangeran Djatikusuma diabaikan pengadilan karena ia tidak bisa diambil sumpah gegara kepercayaan Sunda Wiwitan yang dianutnya.

“Tanah ini telah menjadi ruang hidup kami. Kami menjalin hubungan sosial, mempertahankan kebudayaan dan adat istiadat yang sudah berlangsung selama ratusan tahun,” tegas Kanti.

Warga AKUR hidup komunal dalam satu lingkungan di Cigugur. Mereka menganut kepercayaan Sunda Wiwitan dan mempertahankan adat istiadat. Sejumlah kegiatan adat yang mereka gelar secara rutin setiap tahun sudah menjadi salah satu agenda yang menyedot perhatian warga dan wisatawan.

“Kami tidak boleh memiliki tanah. Karena tanah kami itu milik komunal yang tidak boleh diwariskan,” lanjut Kanti.

Keberadaan warga AKUR, menurut Girang Pangaping Masyarakat AKUR Oki Satria, dari tahun ke tahun terkikis aturan. UU Pokok Agraria Tahun 1960 yang mengatur kepemilikan lahan berdasarkan hak pribadi atau warisan dan bukan komunal membuat lahan masyarakat AKUR terus berkurang.

“Saat ini paling hanya tersisa 15% saja. Lahan komunal kami yang sudah hilang di antaranya yang berada di Curug Goang, Leweung Leutik, serta Sagara Hyang Gunung Purnajiwa. Saat ini, lahan-lahan itu sudah banyak yang dimiliki secara pribadi, termasuk warga dari luar Kabupaten Kuningan,” ungkap Oki.

Dengan uang bersama, warga AKUR berusaha membeli kembali lahan itu. Hasilnya, di Curug Goang, dari 3 hektare lahan, 1 hektare di antaranya bisa dibeli lagi. “Kami membeli sedikit demi sedikit selama 17 tahun,” tambah Oki.

Kini, beban berat yang disandang warga ialah upaya mengembalikan Leuweung Leutik, yang menjadi hutan larangan. Lahan tersisa 1 hektare itu sudah digadaikan Djaka Rumantaka. (Nurul Hidayah/N-2)

http://mediaindonesia.com/news/read/...dat/2017-09-06
0
2.9K
36
GuestAvatar border
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan