- Beranda
- Komunitas
- News
- Sejarah & Xenology
Kesaksian Soebandrio Tentang G30S


TS
fadw.crtv
Kesaksian Soebandrio Tentang G30S
Setiap tanggal 30 September, masyarakat Indonesia selalu mengingat tragedi berdarah yang merenggut nyawa 6 orang pejabat tinggi tentara dan seorang ajudan dari salah seorang pejabat yang selamat, namun anaknya tidak selamat dan terbunuh.
Ijinkan saya, sebagai seorang kaskuser yang tidak memihak kiri atau pun kanan untuk merangkum sedikit kisah yang disampaikan Dr. H. Soebandrio dalam bukunya ‘Pengakuanku Terhadap G30S’ ini. Thread ini bukan untuk membuat pecah belah kubu kiri atau kanan mau pun kubu orde lama atau orde baru. Namun thread ini saya buat agar kita tidak melupakan sejarah yang dibengkokan?.

Sumber gambar: Wikipedia
Silahkan untuk membeli bukunya jika agan/sista ingin membaca lebih lengkap.
Konflik Awal
Angkatan Kelima dan Embrio Dewan Jenderal
Gerakan Yang Dipelintir
Dewan Jenderal dan Dokumen Gilchrist
Bersambung ...
Ijinkan saya, sebagai seorang kaskuser yang tidak memihak kiri atau pun kanan untuk merangkum sedikit kisah yang disampaikan Dr. H. Soebandrio dalam bukunya ‘Pengakuanku Terhadap G30S’ ini. Thread ini bukan untuk membuat pecah belah kubu kiri atau kanan mau pun kubu orde lama atau orde baru. Namun thread ini saya buat agar kita tidak melupakan sejarah yang dibengkokan?.

Sumber gambar: Wikipedia
Silahkan untuk membeli bukunya jika agan/sista ingin membaca lebih lengkap.
Konflik Awal
Spoiler for :
Indonesia tahun 1960-an merupakan negara yang tidak disukai oleh blok Barat yang dipimpin oleh Amerika Serikat (AS). Di era Perang Dingin, konflik utama dunia terjadi antara Kapitalis (AS) melawan Komunis (RRT dan Uni Soviet). Saat AS bersiap-siap mengirim ratusan ribu pasukan untuk menghabisi komunis di Korea Utara. Sementara itu di Indonesia, Partai Komunis (PKI) merupakan partai yang legal.
Saat kebencian AS terhadap Indonesia memuncak dengan menghentikan bantuan, Presiden Soekarno menyambutnya dengan pernyataan keras, “Go to hell with your aid.” Sebagai pemimpin negara yang relatif baru lahir, Presiden Soekarno menerapkan kebijakan ‘Berdiri pada kaki sendiri’.
Dasar Sikap Soekarno itu jelas: Alam Indonesia kaya raya. Minyak di Sumatra dan Sulawesi, hutan lebat di Kalimantan, emas di Irian, serta ribuan pulau yang belum terdeteksi kandungannya. Semua itu belum dieksplorasi oleh bangsa kita. Kekayaan ini dilengkapi dengan jumlah penduduk lebih dari 100 juta jiwa, sehingga ada harapan suatu saat Indonesia makmur tanpa bantuan Barat.
Bung Karno menyatakan bahwa Indonesia hanya butuh pemuda bersemangat untuk menjadi bangsa yang besar.
Akibatnya, sikap AS menjadi jelas: Gulingkan Presiden Soekarno. Sikap AS didukung oleh komplotannya, Inggris dan Australia. Sejak menghentikan bantuannya, AS membangun hubungan dengan faksi-faksi militer Indonesia. Mereka melengkapi dan melatih para perwira dan pasukan Indonesia. Dan melalui operasi intelijen yang dimotori CIA, mereka menggelitik militer untuk merongrong Bung Karno.
Saat kebencian AS terhadap Indonesia memuncak dengan menghentikan bantuan, Presiden Soekarno menyambutnya dengan pernyataan keras, “Go to hell with your aid.” Sebagai pemimpin negara yang relatif baru lahir, Presiden Soekarno menerapkan kebijakan ‘Berdiri pada kaki sendiri’.
Dasar Sikap Soekarno itu jelas: Alam Indonesia kaya raya. Minyak di Sumatra dan Sulawesi, hutan lebat di Kalimantan, emas di Irian, serta ribuan pulau yang belum terdeteksi kandungannya. Semua itu belum dieksplorasi oleh bangsa kita. Kekayaan ini dilengkapi dengan jumlah penduduk lebih dari 100 juta jiwa, sehingga ada harapan suatu saat Indonesia makmur tanpa bantuan Barat.
Bung Karno menyatakan bahwa Indonesia hanya butuh pemuda bersemangat untuk menjadi bangsa yang besar.
Akibatnya, sikap AS menjadi jelas: Gulingkan Presiden Soekarno. Sikap AS didukung oleh komplotannya, Inggris dan Australia. Sejak menghentikan bantuannya, AS membangun hubungan dengan faksi-faksi militer Indonesia. Mereka melengkapi dan melatih para perwira dan pasukan Indonesia. Dan melalui operasi intelijen yang dimotori CIA, mereka menggelitik militer untuk merongrong Bung Karno.
Angkatan Kelima dan Embrio Dewan Jenderal
Spoiler for :
Pada akhir tahu 1963, Soebandrio yang selaku Waperdam (Wakil Perdana Menteri) dan Menlu berkunjung ke RRT. Dalam kunjungan kenegaraan ini, beliau mewakili Presiden Soekarno. Beliau diterima oleh tiga pemimpin puncak sekaligus, Perdana Menteri Chou En-Lai, Presiden Mao Tse-Tung (Liu Shao-Chi?) dan Menlu Chen Yi.
Inti kunjungan dan pembicaraan ini adalah pimpinan RRT menawarkan kepada Indonesia bantuan peralatan militer untuk 40 batalyon tentara. Peralatan lengkap ini terdiri dari senjata manual, otomatis, tank dan kendaraan lapis baja. Semua itu gratis dan tanpa syarat.
Mendapat tawaran itu, beliau atas nama Presiden mengucapkan terima kasih. Tetapi beliau belum bisa menjawab, sebab bukan kapasistas beliau untuk menerima dan menolak. Sesampainya di tanah air, tawaran itu langsung dilaporkan kepada Bung Karno. Tanpa banyak pikir, Bung Karno menyatakan, “Ya, diterima saja.” Terlepas apa kepentingan RRT memberikan persenjataan gratis, asal bantuan itu tidak mengikat, mengapa tidak diterima?
Setelah pernyataan Presiden disampaikan. RRT gembira mendengarnya. Mereka menyatakan bahwa akan segera menyiapkan barang tersebut dan mereka meminta konfirmasi kapan barang bisa dikirim. Namun, Bung Karno tidak segera menjawab kapan barang itu bisa dikirim dan Pihak RRT juga tidak mengirimkan barang tersebut.
Baru sekitar awal tahun 1965, Bung Karno mempunyai ide untuk membentuk Angkatan Kelima. Tujuannya untuk menampung bantuan senjata dari RRT. Saat itu, persenjataan untuk empat angkatan (Angkatan Darat, Angkatan Laut, Angkatan Udara dan Angkatan Kepolisian) dianggap sudah cukup. Karena itu, agar bantuan senjata bisa dimanfaatkan maksimal, Bung Karno mempunyai ide membentuk Angkatan Kelima.
Namun –ini hal yang sangat penting– Bung Karno belum merinci bentuk angkatan kelima. Beliau hanya mengatakan ‘Angkatan Kelima tidak sama dengan angkatan yang sudah ada. Ini adalah pasukan istimewa yang berdiri sendiri dan tidak terkait dengan angkatan lain.’ Hal ini perlu ditegaskan bahwa kemudian beredar isu bahwa Angkatan Kelima adalah para buruh dan petani yang dipersenjatai. PKI memang pernah mengatakan hal ini, tetapi Bung Karno belum pernah merinci, bagaimana bentuk Angkatan Kelima itu.
Setelah Bung Karno jatuh dari kekuasaannya, isu ini dijadikan bahan sejarah. Tentu Bung Karno tidak dapat membantah isu tersebut sebab sejak beberapa waktu kemudian praktis Bung Karno menjadi tawanan Soeharto sampai beliau meninggal dunia.
Bung Karno sudah menjadi pihak yang terkalahkan, sehingga masyarakat tidak lagi berpikir jernih melihat Bung Karno. Kalau masyarakat berpikir jernih, pasti muncul analisis, hanya pimpinan bodoh yang mempersenjatai buruh dan petani di negara yang relatif baru lahir, karena jelas hal itu akan membuat negara dalam kondisi sangat berbahaya. Semua tahu bahwa Bung Karno tidak bodoh. Atau, bisa jadi masyarakat saat itu ada yang berpikiran jernih, tetapi mereka tidak berani mengungkapkan. Bukankah pada zaman Orde Baru bicara politik –apalagi membahas sejarah versi Orba– bisa membuat yang bersangkutan tidak lagi bisa pulang ke rumahnya?
Meskipun saat ide tersebut dilontarkan belum ada embel-embel buruh dan petani dipersenjatai, tetapi kalangan militer tidak setuju. Menpangad (Menteri/Panglima Angkatan Darat) Letjen A Yani sudah menyampaikan langsung kepada Presiden bahwa ia tidak setuju dibentuknya Angkatan Kelima. Para jenderal lainnya mendukung sikap Yani. Empat angkatan dianggap sudah cukup.
Sampai akhirnya Bung Karno memanggil Yani. Dijadwalkan, Yani akan diterima oleh Presiden di Istana Negara pada tanggal 1 Oktober 1965 pukul 08.00 WIB. Agendanya, Yani akan ditanya kembali tentang Angkatan Kelima. Seorang sumber mengatakan, beberapa hari sebelum 1 Oktober 1965, Yani sempat mengatakan: Saya mungkin akan dicopot dari Menpangad, sebab saya tidak setuju Angkatan Kelima. Ucapan Yani ini juga cepat menyebar. Bahkan beredar isu di kalangan petinggi AD bahwa pengganti Yani adalah orang kedua di AD.
Inti kunjungan dan pembicaraan ini adalah pimpinan RRT menawarkan kepada Indonesia bantuan peralatan militer untuk 40 batalyon tentara. Peralatan lengkap ini terdiri dari senjata manual, otomatis, tank dan kendaraan lapis baja. Semua itu gratis dan tanpa syarat.
Mendapat tawaran itu, beliau atas nama Presiden mengucapkan terima kasih. Tetapi beliau belum bisa menjawab, sebab bukan kapasistas beliau untuk menerima dan menolak. Sesampainya di tanah air, tawaran itu langsung dilaporkan kepada Bung Karno. Tanpa banyak pikir, Bung Karno menyatakan, “Ya, diterima saja.” Terlepas apa kepentingan RRT memberikan persenjataan gratis, asal bantuan itu tidak mengikat, mengapa tidak diterima?
Setelah pernyataan Presiden disampaikan. RRT gembira mendengarnya. Mereka menyatakan bahwa akan segera menyiapkan barang tersebut dan mereka meminta konfirmasi kapan barang bisa dikirim. Namun, Bung Karno tidak segera menjawab kapan barang itu bisa dikirim dan Pihak RRT juga tidak mengirimkan barang tersebut.
Baru sekitar awal tahun 1965, Bung Karno mempunyai ide untuk membentuk Angkatan Kelima. Tujuannya untuk menampung bantuan senjata dari RRT. Saat itu, persenjataan untuk empat angkatan (Angkatan Darat, Angkatan Laut, Angkatan Udara dan Angkatan Kepolisian) dianggap sudah cukup. Karena itu, agar bantuan senjata bisa dimanfaatkan maksimal, Bung Karno mempunyai ide membentuk Angkatan Kelima.
Namun –ini hal yang sangat penting– Bung Karno belum merinci bentuk angkatan kelima. Beliau hanya mengatakan ‘Angkatan Kelima tidak sama dengan angkatan yang sudah ada. Ini adalah pasukan istimewa yang berdiri sendiri dan tidak terkait dengan angkatan lain.’ Hal ini perlu ditegaskan bahwa kemudian beredar isu bahwa Angkatan Kelima adalah para buruh dan petani yang dipersenjatai. PKI memang pernah mengatakan hal ini, tetapi Bung Karno belum pernah merinci, bagaimana bentuk Angkatan Kelima itu.
Setelah Bung Karno jatuh dari kekuasaannya, isu ini dijadikan bahan sejarah. Tentu Bung Karno tidak dapat membantah isu tersebut sebab sejak beberapa waktu kemudian praktis Bung Karno menjadi tawanan Soeharto sampai beliau meninggal dunia.
Bung Karno sudah menjadi pihak yang terkalahkan, sehingga masyarakat tidak lagi berpikir jernih melihat Bung Karno. Kalau masyarakat berpikir jernih, pasti muncul analisis, hanya pimpinan bodoh yang mempersenjatai buruh dan petani di negara yang relatif baru lahir, karena jelas hal itu akan membuat negara dalam kondisi sangat berbahaya. Semua tahu bahwa Bung Karno tidak bodoh. Atau, bisa jadi masyarakat saat itu ada yang berpikiran jernih, tetapi mereka tidak berani mengungkapkan. Bukankah pada zaman Orde Baru bicara politik –apalagi membahas sejarah versi Orba– bisa membuat yang bersangkutan tidak lagi bisa pulang ke rumahnya?
Meskipun saat ide tersebut dilontarkan belum ada embel-embel buruh dan petani dipersenjatai, tetapi kalangan militer tidak setuju. Menpangad (Menteri/Panglima Angkatan Darat) Letjen A Yani sudah menyampaikan langsung kepada Presiden bahwa ia tidak setuju dibentuknya Angkatan Kelima. Para jenderal lainnya mendukung sikap Yani. Empat angkatan dianggap sudah cukup.
Sampai akhirnya Bung Karno memanggil Yani. Dijadwalkan, Yani akan diterima oleh Presiden di Istana Negara pada tanggal 1 Oktober 1965 pukul 08.00 WIB. Agendanya, Yani akan ditanya kembali tentang Angkatan Kelima. Seorang sumber mengatakan, beberapa hari sebelum 1 Oktober 1965, Yani sempat mengatakan: Saya mungkin akan dicopot dari Menpangad, sebab saya tidak setuju Angkatan Kelima. Ucapan Yani ini juga cepat menyebar. Bahkan beredar isu di kalangan petinggi AD bahwa pengganti Yani adalah orang kedua di AD.
Gerakan Yang Dipelintir
Spoiler for :
Ada peristiwa kecil namun dibesar-besarkan oleh Kelompok Bayangan Soeharto, sehingga kemudian menjadi sangat penting dalam sejarah Indonesia. Peristiwa itu adalah sakitnya Bung Karno pada awal Agustus 1965.
Dalam buku-buku sejarah banyak ditulis bahwa sakitnya Bung Karno pada saat itu adalah sangat berat. Dikabarkan, pimpinan PKI DN Aidit sampai mendatangkan dokter dari RRT. Dokter RRT yang memeriksa Bung Karno menyatakan bahwa Bung Karno sedang kritis. Intinya, jika tidak meninggal dunia, Bung Karno dipastikan bakal lumpuh. Ini menggambarkan bahwa Bung Karno saat itu benar-benar sakit parah.
Dari peristiwa itu (seperti ditulis di berbagai buku) lantas dianalisis bahwa PKI - yang saat itu berhubungan mesra dengan Bung Karno - merasa khawatir pimpinan nasional bakal beralih ke tangan orang AD. PKI tentu tidak menghendaki hal itu, mengingat PKI sudah bermusuhan dengan AD sejak pemberontakan PKI di Madiun, 1948. Menurut analisis tersebut, begitu PKI mengetahui bahwa Bung Karno sakit keras, mereka menyusun kekuatan untuk merebut kekuasaan. Akhirnya meletus G30S.
Ini alibi rekayasa Soeharto yang mendasari tuduhan bahwa PKI adalah dalang G30S. Ini juga ditulis di banyak buku, sebab memang hanya itu informasi yang ada dan tidak dapat dikonfirmasi, karena pelakunya - Bung Karno, DN Aidit dan dokter RRT - ketiga-tiganya tidak dapat memberikan keterangan sebagai bahan perbandingan. Bung Karno ditahan sampai meninggal. Aidit ditembak mati tanpa proses pengadilan; sedangkan dokter RRT itu tidak jelas keberadaannya. Itulah sejarah versi plintiran.
Tetapi ada saksi lain selain tiga orang itu, yakni Soebandrio sendiri dan Waperdam II, dr. Leimena. Soebandrio sendiri adalah dokter yang sekaligus dekat dengan Bung Karno dan beliau mengetahui secara persis peristiwa kecil itu.
Kejadian sebenarnya, Bung Karno memang diperiksa oleh seorang dokter Cina yang dibawa oleh Aidit, tetapi dokternya bukan didatangkan dari RRT, melainkan dokter Cina dari Kebayoran Baru, Jakarta. Fakta lainnya adalah sebelum dan sesudah diperiksa dokter itu, Soebandrio yang didampingi oleh dr. Leimena turut memeriksa Bung Karno. Jadi ada tiga dokter yang memeriksa Bung Karno.
Penyakit Bung Karno saat itu adalah masuk angin. Ini Jelas dan dokter Cina itu juga mengatakan kepada Bung Karno di hadapan Soebandrio dan Leimena bahwa Bung Karno hanya masuk angin. DN Aidit juga mengetahui penyakit Bung Karno ini. Mengenai penyebabnya, hanya Soebandrio yang tahu.
Beberapa malam sebelumnya, Bung Karno jalan-jalan meninjau beberapa pasar di Jakarta. Tujuannya adalah melihat langsung harga bahan kebutuhan pokok. Jalan keluar-masuk pasar di malam hari tanpa pengawalan yang memadai sering dilakukan Bung Karno. Nah, itulah penyebab masuk angin.
Tetapi kabar yang beredar adalah bahwa Bung Karno sakit parah. Lantas disimpulkan bahwa karena itu PKI kemudian menyusun kekuatan untuk mengambil-alih kepemimpinan nasional. Akhirnya meletus G30S yang didalangi oleh PKI. Kabar itu sama sekali tidak benar. DN Aidit tahu kondisi sebenarnya. Ini berarti bahwa kelompok Soeharto sengaja menciptakan isu yang secara logika membenarkan PKI berontak atau menyebarkan kesan (image) bahwa dengan cerita itu PKI memiliki alasan untuk melakukan kudeta.
Ketika Kamaruzaman alias Sjam diadili, ia memperkuat dongeng kelompok Soeharto. Sjam adalah kepala Biro Khusus PKI sekaligus perwira intelijen AD. Sjam mengaku bahwa ketika Bung Karno jatuh sakit, ia dipanggil oleh Aidit ke rumahnya pada tanggal 12 Agustus 1965. Ia mengaku bahwa dirinya diberitahu oleh Aidit mengenai seriusnya sakit Presiden dan adanya kemungkinan Dewan Jenderal mengambil tindakan segera apabila Bung Karno meninggal. Masih menurut Sjam, Aidit memerintahkan dia untuk meninjau kekuatan kita dan mempersiapkan suatu gerakan. Pengakuan Sjam ini menjadi rujukan di banyak buku.
Tidak ada balance, tidak ada pembanding. Yang bisa memberikan balance sebenarnya ada lima orang yaitu Bung Karno, Aidit, dokter Cina, Leimena dan Soebandrio sendiri. Tetapi setelah meletus G30S semuanya dalam posisi lemah. Ketika diadili, Soebandrio tidak diadili dengan tuduhan terlibat G30S, sehingga tidak relevan beliau ungkapkan.
Soebandrio mengatakan di bukunya, semua buku yang menyajikan cerita sakitnya Bung Karno itu tidak benar. Aidit tahu persis bahwa Bung Karno hanya masuk angin, sehingga tidak masuk akal jika ia memerintahkan anak buahnya, Sjam, untuk menyiapkan suatu gerakan. Ini jika ditinjau dari logika: PKI ingin mendahului merebut kekuasaan sebelum sakitnya Bung Karno semakin parah dan kekuasaan akan direbut oleh AD. Logikanya, Aidit akan tenang-tenang saja, sebab bukankah Bung Karno sudah akrab dengan PKI? Mengapa PKI perlu menyiapkan gerakan di saat mereka disayangi oleh Presiden Soekarno yang segar bugar?
Intinya, pada bulan Agustus 1965 kelompok bayangan Soeharto jelas kelihatan ingin secepatnya memukul PKI. Caranya, mereka melontarkan provokasi-provokasi seperti itu. Provokasi adalah cara perjuangan yang digunakan oleh para jenderal AD kanan untuk mendorong PKI mendahului memukul AD. Ini taktik untuk merebut legitimasi rakyat. Jika PKI memukul AD, maka PKI ibarat dijebak masuk ladang pembantaian (killing field). Sebab, AD akan - dengan seolah-olah terpaksa - membalas serangan PKI. Dan, serangan AD terhadap PKI ini malah didukung rakyat, sebab seolah-olah hanya membalas. Ini taktik AD Kubu Soeharto untuk menggulung PKI. Jangan lupa, PKI saat itu memiliki massa yang sangat besar, sehingga tidak dapat ditumpas begitu saja tanpa taktik yang canggih.
Tetapi PKI tidak juga terpancing. Pelatuk tidak juga ditarik meskipun PKI sudah diprovokasi sedemikian rupa. Mungkin PKI sadar bahwa mereka sedang dijebak. Peran Aidit sangat besar, dengan tidak memberikan instruksi kepada anggotanya. Tetapi toh akhirnya PKI dituduh mendalangi G30S, walaupun keterlibatan langsung PKI dalam peristiwa itu belum pernah diungkap secara jelas.
Pelaku G30S adalah tentara dan gerakan itu didukung oleh Soeharto yang juga tentara. Sedangkan Aidit langsung ditembak mati tanpa proses pengadilan.
Dalam buku-buku sejarah banyak ditulis bahwa sakitnya Bung Karno pada saat itu adalah sangat berat. Dikabarkan, pimpinan PKI DN Aidit sampai mendatangkan dokter dari RRT. Dokter RRT yang memeriksa Bung Karno menyatakan bahwa Bung Karno sedang kritis. Intinya, jika tidak meninggal dunia, Bung Karno dipastikan bakal lumpuh. Ini menggambarkan bahwa Bung Karno saat itu benar-benar sakit parah.
Dari peristiwa itu (seperti ditulis di berbagai buku) lantas dianalisis bahwa PKI - yang saat itu berhubungan mesra dengan Bung Karno - merasa khawatir pimpinan nasional bakal beralih ke tangan orang AD. PKI tentu tidak menghendaki hal itu, mengingat PKI sudah bermusuhan dengan AD sejak pemberontakan PKI di Madiun, 1948. Menurut analisis tersebut, begitu PKI mengetahui bahwa Bung Karno sakit keras, mereka menyusun kekuatan untuk merebut kekuasaan. Akhirnya meletus G30S.
Ini alibi rekayasa Soeharto yang mendasari tuduhan bahwa PKI adalah dalang G30S. Ini juga ditulis di banyak buku, sebab memang hanya itu informasi yang ada dan tidak dapat dikonfirmasi, karena pelakunya - Bung Karno, DN Aidit dan dokter RRT - ketiga-tiganya tidak dapat memberikan keterangan sebagai bahan perbandingan. Bung Karno ditahan sampai meninggal. Aidit ditembak mati tanpa proses pengadilan; sedangkan dokter RRT itu tidak jelas keberadaannya. Itulah sejarah versi plintiran.
Tetapi ada saksi lain selain tiga orang itu, yakni Soebandrio sendiri dan Waperdam II, dr. Leimena. Soebandrio sendiri adalah dokter yang sekaligus dekat dengan Bung Karno dan beliau mengetahui secara persis peristiwa kecil itu.
Kejadian sebenarnya, Bung Karno memang diperiksa oleh seorang dokter Cina yang dibawa oleh Aidit, tetapi dokternya bukan didatangkan dari RRT, melainkan dokter Cina dari Kebayoran Baru, Jakarta. Fakta lainnya adalah sebelum dan sesudah diperiksa dokter itu, Soebandrio yang didampingi oleh dr. Leimena turut memeriksa Bung Karno. Jadi ada tiga dokter yang memeriksa Bung Karno.
Penyakit Bung Karno saat itu adalah masuk angin. Ini Jelas dan dokter Cina itu juga mengatakan kepada Bung Karno di hadapan Soebandrio dan Leimena bahwa Bung Karno hanya masuk angin. DN Aidit juga mengetahui penyakit Bung Karno ini. Mengenai penyebabnya, hanya Soebandrio yang tahu.
Beberapa malam sebelumnya, Bung Karno jalan-jalan meninjau beberapa pasar di Jakarta. Tujuannya adalah melihat langsung harga bahan kebutuhan pokok. Jalan keluar-masuk pasar di malam hari tanpa pengawalan yang memadai sering dilakukan Bung Karno. Nah, itulah penyebab masuk angin.
Tetapi kabar yang beredar adalah bahwa Bung Karno sakit parah. Lantas disimpulkan bahwa karena itu PKI kemudian menyusun kekuatan untuk mengambil-alih kepemimpinan nasional. Akhirnya meletus G30S yang didalangi oleh PKI. Kabar itu sama sekali tidak benar. DN Aidit tahu kondisi sebenarnya. Ini berarti bahwa kelompok Soeharto sengaja menciptakan isu yang secara logika membenarkan PKI berontak atau menyebarkan kesan (image) bahwa dengan cerita itu PKI memiliki alasan untuk melakukan kudeta.
Ketika Kamaruzaman alias Sjam diadili, ia memperkuat dongeng kelompok Soeharto. Sjam adalah kepala Biro Khusus PKI sekaligus perwira intelijen AD. Sjam mengaku bahwa ketika Bung Karno jatuh sakit, ia dipanggil oleh Aidit ke rumahnya pada tanggal 12 Agustus 1965. Ia mengaku bahwa dirinya diberitahu oleh Aidit mengenai seriusnya sakit Presiden dan adanya kemungkinan Dewan Jenderal mengambil tindakan segera apabila Bung Karno meninggal. Masih menurut Sjam, Aidit memerintahkan dia untuk meninjau kekuatan kita dan mempersiapkan suatu gerakan. Pengakuan Sjam ini menjadi rujukan di banyak buku.
Tidak ada balance, tidak ada pembanding. Yang bisa memberikan balance sebenarnya ada lima orang yaitu Bung Karno, Aidit, dokter Cina, Leimena dan Soebandrio sendiri. Tetapi setelah meletus G30S semuanya dalam posisi lemah. Ketika diadili, Soebandrio tidak diadili dengan tuduhan terlibat G30S, sehingga tidak relevan beliau ungkapkan.
Soebandrio mengatakan di bukunya, semua buku yang menyajikan cerita sakitnya Bung Karno itu tidak benar. Aidit tahu persis bahwa Bung Karno hanya masuk angin, sehingga tidak masuk akal jika ia memerintahkan anak buahnya, Sjam, untuk menyiapkan suatu gerakan. Ini jika ditinjau dari logika: PKI ingin mendahului merebut kekuasaan sebelum sakitnya Bung Karno semakin parah dan kekuasaan akan direbut oleh AD. Logikanya, Aidit akan tenang-tenang saja, sebab bukankah Bung Karno sudah akrab dengan PKI? Mengapa PKI perlu menyiapkan gerakan di saat mereka disayangi oleh Presiden Soekarno yang segar bugar?
Intinya, pada bulan Agustus 1965 kelompok bayangan Soeharto jelas kelihatan ingin secepatnya memukul PKI. Caranya, mereka melontarkan provokasi-provokasi seperti itu. Provokasi adalah cara perjuangan yang digunakan oleh para jenderal AD kanan untuk mendorong PKI mendahului memukul AD. Ini taktik untuk merebut legitimasi rakyat. Jika PKI memukul AD, maka PKI ibarat dijebak masuk ladang pembantaian (killing field). Sebab, AD akan - dengan seolah-olah terpaksa - membalas serangan PKI. Dan, serangan AD terhadap PKI ini malah didukung rakyat, sebab seolah-olah hanya membalas. Ini taktik AD Kubu Soeharto untuk menggulung PKI. Jangan lupa, PKI saat itu memiliki massa yang sangat besar, sehingga tidak dapat ditumpas begitu saja tanpa taktik yang canggih.
Tetapi PKI tidak juga terpancing. Pelatuk tidak juga ditarik meskipun PKI sudah diprovokasi sedemikian rupa. Mungkin PKI sadar bahwa mereka sedang dijebak. Peran Aidit sangat besar, dengan tidak memberikan instruksi kepada anggotanya. Tetapi toh akhirnya PKI dituduh mendalangi G30S, walaupun keterlibatan langsung PKI dalam peristiwa itu belum pernah diungkap secara jelas.
Pelaku G30S adalah tentara dan gerakan itu didukung oleh Soeharto yang juga tentara. Sedangkan Aidit langsung ditembak mati tanpa proses pengadilan.
Dewan Jenderal dan Dokumen Gilchrist
Spoiler for :
Yang paling serius menanggapi isu Dewan Jenderal itu adalah Letkol Untung Samsuri. Sebagai salah satu komandan Pasukan Kawal Istana - Cakra Birawa - ia memang harus tanggap terhadap segala kemungkinan yang membahayakan keselamatan Presiden. Untung gelisah. Lantas Untung punya rencana mendahului gerakan Dewan Jenderal dengan cara menangkap mereka. Rencana ini disampaikan Untung kepada Soeharto. Menanggapi itu Soeharto mendukung. Malah Untung dijanjikan akan diberi bantuan pasukan. Ini diceritakan oleh Untung kepada Soebandrio saat mereka sama-sama ditahan di LP Cimahi, Bandung.
Soebandrio menerima laporan mengenai isu Dewan Jenderal itu pertama kali dari wakilnya di BPI (Badan Pusat Intelijen), tetapi sama sekali tidak lengkap. Hanya dikatakan bahwa ada sekelompok jenderal AD yang disebut Dewan Jenderal yang akan melakukan kup terhadap Presiden. Segera setelah menerima laporan, beliau langsung laporkan kepada Presiden. Soebandrio lantas berusaha mencari tahu lebih dalam. Beliau bertanya langsung kepada Letjen Ahmad Yani tentang hal itu. Jawab Yani ternyata enteng saja, memang ada, tetapi itu Dewan yang bertugas merancang kepangkatan di Angkatan Bersenjata dan bukan Dewan yang akan melakukan kudeta.
Masih tidak puas, Soebandrio bertanya kepada Brigjen Soepardjo (Pangkopur II). Dari Soepardjo, beliau mendapat jawaban yang berbeda. Kata Soepardjo: Memang benar. Sekarang Dewan Jenderal sudah siap membentuk menteri baru.
Pada 26 September 1965 muncul informasi yang lebih jelas lagi. Informasi itu datang dari empat orang sipil. Mereka adalah Muchlis Bratanata dan Nawawi Nasution dari NU, serta Sumantri dan Agus Herman Simatupang dari IPKI. Mereka menceritakan bahwa pada tanggal 21 September 1965 diadakan rapat Dewan Jenderal di Gedung Akademi Hukum Militer di Jakarta. Rapat itu membicarakan antara lain: Mengesahkan kabinet versi Dewan Jenderal.
Muchlis tidak hanya bercerita, ia bahkan menunjukkan pita rekaman pembicaran dalam rapat. Dalam rekaman tersebut ada suara Letjen S. Parman (salah satu korban G30S) yang membacakan susunan kabinet.
Susunan kabinet versi Dewan Jenderal -menurut rekaman itu- adalah sebagai berikut: Letjen AH Nasution sebagai Perdana Menteri Letjen A Yani sebagai Waperdam-I (berarti menggantikan Soebandrio) merangkap Menteri Hankam, Mayjen MT Haryono menjadi Menteri Luar Negeri, Mayjen Suprapto menjadi Menteri Dalam Negeri, Letjen S Parman sendiri menjadi Menteri Kehakiman, Ibnu Sutowo (kelak dijadikan Dirut Pertamina oleh Soeharto) menjadi menteri Pertambangan.
Rekaman ini lantas diserahkan kepada Bung Karno. Jelas rencana Dewan Jenderal ini sangat peka dan sifatnya gawat bagi kelangsungan pemerintahan Bung Karno. Seharusnya rencana ini masuk klasifikasi sangat rahasia. Tetapi mengapa bisa dibocorkan oleh empat orang sipil? Soebandrio menarik kesimpulan: tiada lain kecuali sebagai alat provokasi. Jika alat provokasi, maka rekaman itu palsu. Tujuannya untuk mematangkan suatu rencana besar yang semakin jelas gambarannya. Bisa untuk mempengaruhi Untung akan semakin yakin bahwa Dewan Jenderal -yang semula kabar angin- benar-benar ada.
Hampir bersamaan waktunya dengan isu Dewan Jenderal, muncul Dokumen Gilchrist. Dokumen ini sebenarnya adalah telegram (klasifikasi sangat rahasia) dari Duta Besar Inggris untuk Indonesia di Jakarta Sir Andrew Gilchrist kepada Kementrian Luar Negeri Inggris. Dokumen itu bocor ketika hubungan Indonesia-Inggris sangat tegang akibat konfrontasi Indonesia-Malaysia soal Borneo (sebagian wilayah Kalimantan).
Soebandrio adalah orang yang pertama kali menerima Dokumen Gilchrist. Beliau mendapati dokumen itu sudah tergeletak di meja kerjanya. Dokumen sudah terbuka. Menurut laporan staf, surat dikirim oleh seorang kurir yang bernama Kahar Muzakar, tanpa identitas dan alamat. Namun berdasarkan informasi, surat tersebut mulanya tersimpan di rumah Bill Palmer. Seorang Amerika yang tinggal di Jakarta dan menjadi distributor film-film Amerika. Rumah Bill Palmer sering dijadikan bulan-bulanan demonstrasi pemuda dari berbagai golongan. Para pemuda itu menentang peredaran film porno yang diduga diedarkan dari rumah Palmer.
Isi dokumen itu dinilai Soebandrio sangat gawat. Intinya: Andrew Gilchrist melaporkan kepada atasannya di Kemlu Inggris yang mengarah pada dukungan Inggris untuk menggulingkan Presiden Soekarno. Di sana ada pembicaraan Gilchrist dengan seorang kolega Amerikanya tentang persiapan suatu operasi militer di Indonesia. Dikutip salah satu paragraf yang berbunyi demikian: rencana ini cukup dilakukan bersama ‘our local army friends.’
Akhirnya dokumen tersebut Soebandrio laporkan secara lengkap kepada Presiden Soekarno. Reaksinya, beliau terkejut. Berkali-kali beliau bertanya keyakinan Soebandrio terhadap keaslian dokumen itu. Dan berkali-kali pula Soebandrio jawab yakin asli. Lantas beliau memanggil para panglima untuk membahasnya. Dari reaksi Bung Karno, Soebandrio menyimpulkan bahwa Dokumen Gilchrist tidak saja mencemaskan, tetapi juga membakar. Bung Karno sebagai target operasi seperti merasa terbakar. Namun sebagai negarawan ulung, beliau sama sekali tidak menunjukkan tanda-tanda kecemasan. Menurut penglihatan Soebandrio, tentu Bung Karno cemas dan Bung Karno sedang terbakar oleh provokasi itu.
Terlepas dari asli-tidaknya dokumen itu, Soebandrio menilai bahwa ini adalah alat provokasi untuk memainkan TNI AD dalam situasi politik Indonesia yang memang tidak stabil. Soebandrio mengatakan provokasi jika ditinjau dari dua hal. Pertama: isinya cukup membuat orang yang menjadi sasaran merasa ngeri. Kedua, dokumen sengaja dibocorkan agar jatuh ke tangan pendukung-pendukung Bung Karno dan PKI. Bagaimana mungkin dokumen rahasia seperti itu berada di rumah Palmer yang menjadi bulan-bulanan demo pemuda. Apakah itu bukan suatu cara provokasi?
Soebandrio katakan jika Dokumen Gilchrist sebagai upaya provokasi, maka itu adalah provokasi pertama. Sedangkan provokasi kedua adalah isu Dewan Jenderal. Jika diukur dari kebiasaan aktivitas terbuka, maka sumber utama dua alat provokasi itu memang cukup rumit untuk dipastikan.
Soebandrio menerima laporan mengenai isu Dewan Jenderal itu pertama kali dari wakilnya di BPI (Badan Pusat Intelijen), tetapi sama sekali tidak lengkap. Hanya dikatakan bahwa ada sekelompok jenderal AD yang disebut Dewan Jenderal yang akan melakukan kup terhadap Presiden. Segera setelah menerima laporan, beliau langsung laporkan kepada Presiden. Soebandrio lantas berusaha mencari tahu lebih dalam. Beliau bertanya langsung kepada Letjen Ahmad Yani tentang hal itu. Jawab Yani ternyata enteng saja, memang ada, tetapi itu Dewan yang bertugas merancang kepangkatan di Angkatan Bersenjata dan bukan Dewan yang akan melakukan kudeta.
Masih tidak puas, Soebandrio bertanya kepada Brigjen Soepardjo (Pangkopur II). Dari Soepardjo, beliau mendapat jawaban yang berbeda. Kata Soepardjo: Memang benar. Sekarang Dewan Jenderal sudah siap membentuk menteri baru.
Pada 26 September 1965 muncul informasi yang lebih jelas lagi. Informasi itu datang dari empat orang sipil. Mereka adalah Muchlis Bratanata dan Nawawi Nasution dari NU, serta Sumantri dan Agus Herman Simatupang dari IPKI. Mereka menceritakan bahwa pada tanggal 21 September 1965 diadakan rapat Dewan Jenderal di Gedung Akademi Hukum Militer di Jakarta. Rapat itu membicarakan antara lain: Mengesahkan kabinet versi Dewan Jenderal.
Muchlis tidak hanya bercerita, ia bahkan menunjukkan pita rekaman pembicaran dalam rapat. Dalam rekaman tersebut ada suara Letjen S. Parman (salah satu korban G30S) yang membacakan susunan kabinet.
Susunan kabinet versi Dewan Jenderal -menurut rekaman itu- adalah sebagai berikut: Letjen AH Nasution sebagai Perdana Menteri Letjen A Yani sebagai Waperdam-I (berarti menggantikan Soebandrio) merangkap Menteri Hankam, Mayjen MT Haryono menjadi Menteri Luar Negeri, Mayjen Suprapto menjadi Menteri Dalam Negeri, Letjen S Parman sendiri menjadi Menteri Kehakiman, Ibnu Sutowo (kelak dijadikan Dirut Pertamina oleh Soeharto) menjadi menteri Pertambangan.
Rekaman ini lantas diserahkan kepada Bung Karno. Jelas rencana Dewan Jenderal ini sangat peka dan sifatnya gawat bagi kelangsungan pemerintahan Bung Karno. Seharusnya rencana ini masuk klasifikasi sangat rahasia. Tetapi mengapa bisa dibocorkan oleh empat orang sipil? Soebandrio menarik kesimpulan: tiada lain kecuali sebagai alat provokasi. Jika alat provokasi, maka rekaman itu palsu. Tujuannya untuk mematangkan suatu rencana besar yang semakin jelas gambarannya. Bisa untuk mempengaruhi Untung akan semakin yakin bahwa Dewan Jenderal -yang semula kabar angin- benar-benar ada.
Hampir bersamaan waktunya dengan isu Dewan Jenderal, muncul Dokumen Gilchrist. Dokumen ini sebenarnya adalah telegram (klasifikasi sangat rahasia) dari Duta Besar Inggris untuk Indonesia di Jakarta Sir Andrew Gilchrist kepada Kementrian Luar Negeri Inggris. Dokumen itu bocor ketika hubungan Indonesia-Inggris sangat tegang akibat konfrontasi Indonesia-Malaysia soal Borneo (sebagian wilayah Kalimantan).
Soebandrio adalah orang yang pertama kali menerima Dokumen Gilchrist. Beliau mendapati dokumen itu sudah tergeletak di meja kerjanya. Dokumen sudah terbuka. Menurut laporan staf, surat dikirim oleh seorang kurir yang bernama Kahar Muzakar, tanpa identitas dan alamat. Namun berdasarkan informasi, surat tersebut mulanya tersimpan di rumah Bill Palmer. Seorang Amerika yang tinggal di Jakarta dan menjadi distributor film-film Amerika. Rumah Bill Palmer sering dijadikan bulan-bulanan demonstrasi pemuda dari berbagai golongan. Para pemuda itu menentang peredaran film porno yang diduga diedarkan dari rumah Palmer.
Isi dokumen itu dinilai Soebandrio sangat gawat. Intinya: Andrew Gilchrist melaporkan kepada atasannya di Kemlu Inggris yang mengarah pada dukungan Inggris untuk menggulingkan Presiden Soekarno. Di sana ada pembicaraan Gilchrist dengan seorang kolega Amerikanya tentang persiapan suatu operasi militer di Indonesia. Dikutip salah satu paragraf yang berbunyi demikian: rencana ini cukup dilakukan bersama ‘our local army friends.’
Akhirnya dokumen tersebut Soebandrio laporkan secara lengkap kepada Presiden Soekarno. Reaksinya, beliau terkejut. Berkali-kali beliau bertanya keyakinan Soebandrio terhadap keaslian dokumen itu. Dan berkali-kali pula Soebandrio jawab yakin asli. Lantas beliau memanggil para panglima untuk membahasnya. Dari reaksi Bung Karno, Soebandrio menyimpulkan bahwa Dokumen Gilchrist tidak saja mencemaskan, tetapi juga membakar. Bung Karno sebagai target operasi seperti merasa terbakar. Namun sebagai negarawan ulung, beliau sama sekali tidak menunjukkan tanda-tanda kecemasan. Menurut penglihatan Soebandrio, tentu Bung Karno cemas dan Bung Karno sedang terbakar oleh provokasi itu.
Terlepas dari asli-tidaknya dokumen itu, Soebandrio menilai bahwa ini adalah alat provokasi untuk memainkan TNI AD dalam situasi politik Indonesia yang memang tidak stabil. Soebandrio mengatakan provokasi jika ditinjau dari dua hal. Pertama: isinya cukup membuat orang yang menjadi sasaran merasa ngeri. Kedua, dokumen sengaja dibocorkan agar jatuh ke tangan pendukung-pendukung Bung Karno dan PKI. Bagaimana mungkin dokumen rahasia seperti itu berada di rumah Palmer yang menjadi bulan-bulanan demo pemuda. Apakah itu bukan suatu cara provokasi?
Soebandrio katakan jika Dokumen Gilchrist sebagai upaya provokasi, maka itu adalah provokasi pertama. Sedangkan provokasi kedua adalah isu Dewan Jenderal. Jika diukur dari kebiasaan aktivitas terbuka, maka sumber utama dua alat provokasi itu memang cukup rumit untuk dipastikan.
Bersambung ...
Spoiler for "HT":

Diubah oleh fadw.crtv 04-11-2017 12:59
0
76.5K
Kutip
295
Balasan


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan