Sadar atau tidak saat menghadapi suatu keputusan dimana melibatkan orang luar dan anggota keluarga, kita akan mempertimbangkan aspek sentimentil atas kedekatan tertentu. Entah perasaan 'tidak enak', takut dikira tidak menghargai atau lupa dengan keluarga sering kali membuat keputusan yang kita ambil tidak objektif. Kita berpotensi mengindahkan pilihan-pilihan yang lebih tepat dan terjerumus dalam kesalahan. Atau lebih parahnya lagi secara sengaja dan sistematis membudayakan prioritas bagi keluarga dibanding pada potensi-potensi yang sesungguhnya.
Kasus semacam ini erat kaitannya dengan budaya nepotisme dan sudah menjadi rahasia umum di Indonesia bahwa ada saja instansi pemerintah, perusahanaan pemerintah yang memprioritaskan keturunannya untuk masuk, dan akan lebih buruk bila para calon tidak berbekal pengetahuan dan kemampuan yang dibutuhkan.

Mungkin saat kita kecil beberapa kali kita pernah mendengar orang tua kita mengatakan "bela saudaramu" atau "kamu harus membela keluarga". Entah sejak itu kita sudah ditanamkan untuk membela keluarga secara membabi buta tidak peduli salah atau benar, atau kemudian kita yang mendefinisikan dan mengembangkan ulang kalimat-kalimat semacam itu.
Tetapi bagaimana kita menilai sebuah persoalan tampaknya sudah kabur dengan cara pandang seperti itu, kita tidak akan mau melihat kebenaran perkara dari situasi sebenarnya, dan malah begitu saja membela seseorang hanya karena dia anggota keluarga atau mempunyai ikatan darah dengan kita.
Perlu kita pahami juga bahwa yang harus kita lakukan bukanlah melakukan pembelaan, tetapi pendampingan. Kita tidak perlu melakukan semua upaya untuk membuat anggota keluarga kita 'menang' atas konfliknya. Jangan pernah lindungi mereka dari kesalahan yang mereka perbuat, biarkan mereka bertanggung jawab. Tetapi jangan biarkan mereka mempertanggung jawabkan apa yang tidak mereka perbuat, yaitu dengan pendampingan.
Di Indonesia mungkin hal semacam ini adalah lumrah, bagaimana seorang ayah atau ibu membela anaknya yang sebenarnya salah secara membabi buta, tetapi tanpa sadar justru anak itu akan terdidik untuk menyepelekan tanggung jawab atas perbuatannya sendiri.

Sering kali ego orang tua untuk mengajarkan anak tentang nilai-nilai dijadikan alat untuk 'memproduksi manusia'. Pada konteks orang tua atau anggota keluarga yang lebih tua sering mereka membangun tembok imajiner tentang apa yang semestinya dan apa yang tidak semestinya. Memang dalam taraf tertentu ini merupakan persoalan yang perlu, tetapi bila ego telah mengambil alih peran lebih besar dari kebutuhan itu sendiri maka yang akan tercipta hanyalah sebuah pemaksaan.
Kasus paling umum yang kita temui adalah anak wajib menjadi seperti yang orang tua mau, sekolah/kuliah sesuai jurusan yang diinginkan orang tua, mewariskan agama atau keyakinan seperti yang diyakini orang tua, memiliki pandangan politik yang sama seperti orang tua mereka dll. Anak akan kehilangan kebebasan untuk menentukan pilihan.
Seharusnya yang terjadi adalah pembekalan, bukan pemaksaan. Orang tua semestinya tidak memaksakan pilihan apa pun kepada anak, tetapi menjadi partner diskusi bagi keputusan-keputusan yang hendak diambil seorang anak. Orang tua semestinya menempatkan diri sebagai pembekal wawasan dan pengetahuan supaya kelak anak mampu menciptakan pertimbangan-pertimbangannya sendiri, dibanding mendesain seorang manusia sesuai keinginannya.

Ane jadi teringat satu dialog yang diceritakan si gubernur kontroversial Ahok soal memperlakukan anggota keluarga.

Kerabat ayahnya bertanya, "Kalau anda seorang pejabat publik yang mengharuskan menghukum mati ayah anda karena kejahatannya, apa yang anda perbuat?"

Ahok menjawab "Saya akan hukum mati ayah saya."

"Anda kejam!" Tuding kerabat ayahnya.

Ahok menjawab, "Saya tidak kejam, saya hanya menjalankan tugas. Yang kejam adalah ayah saya. Dia mengetahui anaknya seorang pejabat publik dan malah nekat melakukan kejahatan. Dia kejam membiarkan anaknya menghukum mati ayahnya sendiri."

Tambahan contoh dari agan sasrabirawa

1. Analisa pribadi.
2. Pengalaman pribadi.
3. Sumber media layar kaca yang ngga bisa dicopas linknya dari TV ke Kaskus.