- Beranda
- Komunitas
- News
- Berita dan Politik
Soepardjo Jenderal Angkatan Darat dalam G30S


TS
jojojeje3434
Soepardjo Jenderal Angkatan Darat dalam G30S

Quote:
tirto.id -Tak banyak yang dikerjakan Brigadir Jenderal Mustafa Sjarif Soepardjo di perbatasan Kalimantan Barat-Malaysia. Sebagai Panglima Komando Tempur II dalam Komando Mandala Siaga (Kolaga), ia tidak bisa banyak berbuat karena memang belum ada pasukan untuk disusupkan ke Malaysia dalam kampanye "Ganyang Malaysia itu.
Sebelum mengisi jabatan itu, Soepardjo pernah belajar setahun di Sekolah Staf Tentara Pakistan di Quetta. Menurut Victor M. Fic dalam buku Kudeta 1 Oktober 1965: Sebuah Studi tentang Konspirasi (2005), ia adalah “mantan Komandan Resimen Divisi Siliwangi, yang ditempatkan di Jawa Barat […] Pada awal 1965 Soepardjo telah digeser dari pos ini karena aktivitasnya dianggap memberontak dan pro komunis.”
Hari itu, Soepardjo begitu ngebet ingin kembali ke Jakarta. Menurut catatan John Roosa dalam Dalih Pembunuhan Massal (2008), Soepardjo pulang mendadak setelah mendapat pesan radiogram dari istrinya bahwa anak bungsunya sakit keras dan kritis.
Baca juga: Persinggungan Soeharto dengan Para Pahlawan Revolusi
Menurut catatan Hendro Subroto dalam Dewan Revolusi PKI (1997), di bandar udara Pontianak, bertemulah Soepardjo dengan Chalimi Imam Santoso, komandan Batalyon I Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD), yang juga akan ke Jakarta.
Santoso bertanya: “Loh katanya Pak Pardjo akan kembali ke Bengkayang, mengapa malah di sini?”
Soepardjo hanya menjawab ada panggilan mendadak di Jakarta. Setiba di Jakarta, Soepardjo ikut serta kendaraan yang juga menjemput Mayor CI Santoso. Saat itu sudah memasuki akhir September, tepatnya 28 September 1965.
Setelah berada di Jakarta, Soepardjo langsung melaporkan diri kepada atasannya di Kolaga, Marsekal Omar Dhani. Menurut John Roosa, Soepardjo melapor bahwa dia akan kembali ke Kalimantan sebelum 1 Oktober 1965. Namun Omar Dhani minta Soepardjo bertahan di Jakarta hingga 3 Oktober 1965. Selain bertemu Omar Dani, Soepardjo juga langsung menuju rumah Sjam Kamaruzaman hanya beberapa jam setelah mendarat. Sjam dianggap sebagai orang PKI dan intel tentara.
Soepardjo pun jadi satu-satunya jenderal dari Angkatan Darat yang duduk dalam pimpinan Gerakan 30 September 1965 (G30S) itu. Walau jenderal, bukan dia yang menjadi pemimpin G30S, melainkan seorang Letnan Kolonel yang hanya dipandang sebagai jago tempur tapi secara ilmu kemiliteran di bawah Soepardjo. Letnan Kolonel Untung, si penerima Bintang Sakti atas aksinya di Irian Barat, yang menjadi pemimpin gerakan itu. Begitu pun dalam Dewan Revolusi yang diumumkan pada 1 Oktober 1965, Untung menjadi Ketua Dewan, sementara Soepardjo hanya jadi Wakil Ketua Dewan.
Baca Juga: Di mana Mereka Di Malam Jahanam Itu
Di dalam gerakan itu, Soepardjo menjadi perwira yang banyak mengamati bagaimana pergerakan pasukan penculik. Karena itulah Soepardjo dapat melihat sejumlah kekurangan dalam gerakan itu. Mulai dari terlihat lelahnya tokoh-tokoh penting gerakan seperti Untung.
“Kawan Untung tiga hari berturut-turut mengikuti rapat-rapat Bung Karno di Senayan dalam tugas pengamanan,” tulis Soepardjo dalam dokumen yang dijuduli Beberapa Pendapat Jang Mempengaruhi Gagalnya G30S Dipandang Dari Sudut Militernya (1966) (baca juga: Bintang Sakti untuk Letkol Untung).
Selain itu, beberapa pasukan mengaku siap bergerak tapi nyatanya tidak. Terkait Hari-H pelaksanaan aksi, Soepardjo menemukan masalah yang tidak diatasi oleh pemimpin gerakan dan jajarannya. Efeknya sangat fatal berupa kemacetan dalam gerakan.
“Semua kemacetan gerakan pasukan disebabkan di antaranya tidak makan. Mereka tidak makan semenjak pagi, siang dan malam,” tulis Soepardjo. Sudah pasti hal itu disebabkan, menurut Soepardjo, “tiada pembagian kerja.”
Baca juga: Mayjen Magenda dan Penculik Para Jenderal
Soepardjo dikenal sebagai ahli teori militer. Dia bahkan punya firasat G30S bakal gagal, namun dia tetap ikut serta dengan segala risikonya. Laki-laki kelahiran Gombong 23 Maret 1923 ini, menurut catatan Julius Pour dalam Konspirasi di Balik Tenggelamnya Matjan Tutul (2011), termasuk calon bintara Angkatan Laut Jepang (Kaigun) dalam sekolah pelayaran di Cilacap bersama Pahlawan Nasional Slamet Rijadi dan Menteri Orde Baru Sudomo.
Setelah Indonesia merdeka, Soepardjo ikut Republik dengan jadi tentara yang ikut melawan tentara Belanda. “Ia mencegat kereta api, diam-diam menaikkan tiga ratus prajurit ke gerbong-gerbongnya, dan selanjutnya mengejutkan pasukan Belanda yang jauh lebih besar ketika kereta api itu lewat dekat kubu pertahanan mereka,” tulis John Roosa.
Setelah tentara Belanda angkat kaki, dia terus berkarier di militer. “Sebagai komandan distrik militer di Jawa Barat pada akhir 1950-an dan awal 1960-an, ia memainkan peranan sangat penting dalam perang pengikisan,” tulis John Roosa.
Disimpulkan sebagai serdadu yang doyan teori, Soepardjo adalah perwira militer berpengalaman. Dan G30S pun jadi pengalaman militer terburuk dalam hidupnya. Gagalnya G30S membuatnya jadi incaran Operasi Kalong.
Baca juga: Genjer-Genjer yang Terus Ditakuti

Soepardjo, Jenderal Angkatan Darat dalam G30S
Meski dalam kejaran aparat, dia masih sempat menulis sebab-sebab kegagalan G30S. Menurut John Roosa, “Dokumen itu dimaksudkan untuk dibaca orang-orang yang mempunyai hubungan dengan G30S agar mereka dapat belajar dari kesalahan yang mereka lakukan.”
Harapan itu mustahil terealisasi. Pertama, karena Letnan Kolonel Untung sudah keburu dieksekusi. Kedua, tokoh-tokoh gerakan lain banyak yang sudah ditahan di tempat berbeda-beda (baca juga: Tentang Pasokan Ribuan Senjata dari Cina Pada Tragedi 1965).
Soepardjo baru ditangkap pada 12 Januari 1967 oleh operasi Kalong di sekitar Jakarta Timur. Buku Soepardjo Direnggut Kalong (1967) yang disusun M. Nurdin A.S. menyebut: "Brigadir Jenderal Soepardjo setelah 15 bulan jadi buronan, akhirnya petualang itu ada awal dan akhirnya, yaitu dengan tertangkapnya dia pada satu Hari Raya Idul Fitri 1386 Hijriah, hari kamis tanggal 12 Januari 1967 jam 05.03 pagi, dekat sumur maut Lubang Buaya."
Lebaran 1967 adalah lebaran terakhir Soepardjo. Dari sisi waktu, penangkapan Soepardjo mirip dengan penangkapan Pangeran Diponegoro: di hari lebaran.
Baca Juga: Lebaran Terakhir Diponegoro di Tanah Jawa
Anggota TNI dengan NRP 11867 ini diadili dua bulan setelah ditangkap. Vonis untuknya adalah: mati. Akhir hidup Soepardjo terekam dalam Memoar Oei Tjoe Tat: Pembantu Presiden Soekarno (1995).
Beberapa orang mengenangnya dengan baik. Oei, misalnya, mengenang Soepardjo sebagai sosok yang ”sangat mengesankan, jantan, benar-benar bermutu jenderal, namun tetap sopan, ramah kepada siapa pun”.
Soepardjo tak mau diperlakukan berbeda dengan tahanan lain meski dia jenderal. Selain itu, Soepardjo suka berbagi makanan dengan tahanan lain. Kenang-kenangan kepada keluarganya hanyalah sepasang sepatu. Begitu pun makanan terakhirnya.
Dalam acara makan malam bersama, dia berkata: ”Kalau saya malam nanti menemui ajal saya, ajal Saudara-Saudara tak diketahui kapan. Itu perbedaan saya dengan kalian.”
Tak lupa dia menyanyikan Indonesia raya, seperti halnya Amir Sjarifuddin menjelang dieksekusi pada 1948. Bedanya dengan Amir: beberapa jam menjelang eksekusi mati, dari dalam selnya, Soepardjo sempat mengumandangkan azan.
(tirto.id - pet/zen)
Sebelum mengisi jabatan itu, Soepardjo pernah belajar setahun di Sekolah Staf Tentara Pakistan di Quetta. Menurut Victor M. Fic dalam buku Kudeta 1 Oktober 1965: Sebuah Studi tentang Konspirasi (2005), ia adalah “mantan Komandan Resimen Divisi Siliwangi, yang ditempatkan di Jawa Barat […] Pada awal 1965 Soepardjo telah digeser dari pos ini karena aktivitasnya dianggap memberontak dan pro komunis.”
Hari itu, Soepardjo begitu ngebet ingin kembali ke Jakarta. Menurut catatan John Roosa dalam Dalih Pembunuhan Massal (2008), Soepardjo pulang mendadak setelah mendapat pesan radiogram dari istrinya bahwa anak bungsunya sakit keras dan kritis.
Baca juga: Persinggungan Soeharto dengan Para Pahlawan Revolusi
Menurut catatan Hendro Subroto dalam Dewan Revolusi PKI (1997), di bandar udara Pontianak, bertemulah Soepardjo dengan Chalimi Imam Santoso, komandan Batalyon I Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD), yang juga akan ke Jakarta.
Santoso bertanya: “Loh katanya Pak Pardjo akan kembali ke Bengkayang, mengapa malah di sini?”
Soepardjo hanya menjawab ada panggilan mendadak di Jakarta. Setiba di Jakarta, Soepardjo ikut serta kendaraan yang juga menjemput Mayor CI Santoso. Saat itu sudah memasuki akhir September, tepatnya 28 September 1965.
Setelah berada di Jakarta, Soepardjo langsung melaporkan diri kepada atasannya di Kolaga, Marsekal Omar Dhani. Menurut John Roosa, Soepardjo melapor bahwa dia akan kembali ke Kalimantan sebelum 1 Oktober 1965. Namun Omar Dhani minta Soepardjo bertahan di Jakarta hingga 3 Oktober 1965. Selain bertemu Omar Dani, Soepardjo juga langsung menuju rumah Sjam Kamaruzaman hanya beberapa jam setelah mendarat. Sjam dianggap sebagai orang PKI dan intel tentara.
Soepardjo pun jadi satu-satunya jenderal dari Angkatan Darat yang duduk dalam pimpinan Gerakan 30 September 1965 (G30S) itu. Walau jenderal, bukan dia yang menjadi pemimpin G30S, melainkan seorang Letnan Kolonel yang hanya dipandang sebagai jago tempur tapi secara ilmu kemiliteran di bawah Soepardjo. Letnan Kolonel Untung, si penerima Bintang Sakti atas aksinya di Irian Barat, yang menjadi pemimpin gerakan itu. Begitu pun dalam Dewan Revolusi yang diumumkan pada 1 Oktober 1965, Untung menjadi Ketua Dewan, sementara Soepardjo hanya jadi Wakil Ketua Dewan.
Baca Juga: Di mana Mereka Di Malam Jahanam Itu
Di dalam gerakan itu, Soepardjo menjadi perwira yang banyak mengamati bagaimana pergerakan pasukan penculik. Karena itulah Soepardjo dapat melihat sejumlah kekurangan dalam gerakan itu. Mulai dari terlihat lelahnya tokoh-tokoh penting gerakan seperti Untung.
“Kawan Untung tiga hari berturut-turut mengikuti rapat-rapat Bung Karno di Senayan dalam tugas pengamanan,” tulis Soepardjo dalam dokumen yang dijuduli Beberapa Pendapat Jang Mempengaruhi Gagalnya G30S Dipandang Dari Sudut Militernya (1966) (baca juga: Bintang Sakti untuk Letkol Untung).
Selain itu, beberapa pasukan mengaku siap bergerak tapi nyatanya tidak. Terkait Hari-H pelaksanaan aksi, Soepardjo menemukan masalah yang tidak diatasi oleh pemimpin gerakan dan jajarannya. Efeknya sangat fatal berupa kemacetan dalam gerakan.
“Semua kemacetan gerakan pasukan disebabkan di antaranya tidak makan. Mereka tidak makan semenjak pagi, siang dan malam,” tulis Soepardjo. Sudah pasti hal itu disebabkan, menurut Soepardjo, “tiada pembagian kerja.”
Baca juga: Mayjen Magenda dan Penculik Para Jenderal
Soepardjo dikenal sebagai ahli teori militer. Dia bahkan punya firasat G30S bakal gagal, namun dia tetap ikut serta dengan segala risikonya. Laki-laki kelahiran Gombong 23 Maret 1923 ini, menurut catatan Julius Pour dalam Konspirasi di Balik Tenggelamnya Matjan Tutul (2011), termasuk calon bintara Angkatan Laut Jepang (Kaigun) dalam sekolah pelayaran di Cilacap bersama Pahlawan Nasional Slamet Rijadi dan Menteri Orde Baru Sudomo.
Setelah Indonesia merdeka, Soepardjo ikut Republik dengan jadi tentara yang ikut melawan tentara Belanda. “Ia mencegat kereta api, diam-diam menaikkan tiga ratus prajurit ke gerbong-gerbongnya, dan selanjutnya mengejutkan pasukan Belanda yang jauh lebih besar ketika kereta api itu lewat dekat kubu pertahanan mereka,” tulis John Roosa.
Setelah tentara Belanda angkat kaki, dia terus berkarier di militer. “Sebagai komandan distrik militer di Jawa Barat pada akhir 1950-an dan awal 1960-an, ia memainkan peranan sangat penting dalam perang pengikisan,” tulis John Roosa.
Disimpulkan sebagai serdadu yang doyan teori, Soepardjo adalah perwira militer berpengalaman. Dan G30S pun jadi pengalaman militer terburuk dalam hidupnya. Gagalnya G30S membuatnya jadi incaran Operasi Kalong.
Baca juga: Genjer-Genjer yang Terus Ditakuti

Soepardjo, Jenderal Angkatan Darat dalam G30S
Meski dalam kejaran aparat, dia masih sempat menulis sebab-sebab kegagalan G30S. Menurut John Roosa, “Dokumen itu dimaksudkan untuk dibaca orang-orang yang mempunyai hubungan dengan G30S agar mereka dapat belajar dari kesalahan yang mereka lakukan.”
Harapan itu mustahil terealisasi. Pertama, karena Letnan Kolonel Untung sudah keburu dieksekusi. Kedua, tokoh-tokoh gerakan lain banyak yang sudah ditahan di tempat berbeda-beda (baca juga: Tentang Pasokan Ribuan Senjata dari Cina Pada Tragedi 1965).
Soepardjo baru ditangkap pada 12 Januari 1967 oleh operasi Kalong di sekitar Jakarta Timur. Buku Soepardjo Direnggut Kalong (1967) yang disusun M. Nurdin A.S. menyebut: "Brigadir Jenderal Soepardjo setelah 15 bulan jadi buronan, akhirnya petualang itu ada awal dan akhirnya, yaitu dengan tertangkapnya dia pada satu Hari Raya Idul Fitri 1386 Hijriah, hari kamis tanggal 12 Januari 1967 jam 05.03 pagi, dekat sumur maut Lubang Buaya."
Lebaran 1967 adalah lebaran terakhir Soepardjo. Dari sisi waktu, penangkapan Soepardjo mirip dengan penangkapan Pangeran Diponegoro: di hari lebaran.
Baca Juga: Lebaran Terakhir Diponegoro di Tanah Jawa
Anggota TNI dengan NRP 11867 ini diadili dua bulan setelah ditangkap. Vonis untuknya adalah: mati. Akhir hidup Soepardjo terekam dalam Memoar Oei Tjoe Tat: Pembantu Presiden Soekarno (1995).
Beberapa orang mengenangnya dengan baik. Oei, misalnya, mengenang Soepardjo sebagai sosok yang ”sangat mengesankan, jantan, benar-benar bermutu jenderal, namun tetap sopan, ramah kepada siapa pun”.
Soepardjo tak mau diperlakukan berbeda dengan tahanan lain meski dia jenderal. Selain itu, Soepardjo suka berbagi makanan dengan tahanan lain. Kenang-kenangan kepada keluarganya hanyalah sepasang sepatu. Begitu pun makanan terakhirnya.
Dalam acara makan malam bersama, dia berkata: ”Kalau saya malam nanti menemui ajal saya, ajal Saudara-Saudara tak diketahui kapan. Itu perbedaan saya dengan kalian.”
Tak lupa dia menyanyikan Indonesia raya, seperti halnya Amir Sjarifuddin menjelang dieksekusi pada 1948. Bedanya dengan Amir: beberapa jam menjelang eksekusi mati, dari dalam selnya, Soepardjo sempat mengumandangkan azan.
(tirto.id - pet/zen)
Fakta sejarah memang menarik
__________________________________
__________________________________
Quote:
KENAPA A.YANI JADI INCARAN UTAMA PADA G30S?
KARENA:
Cita-cita Bung Karno Ingin Jadikan Jenderal Ini Presiden
VIVA.co.id - Bung Karno pernah menyebutkan bahwa kelak pengganti dirinya adalah Jenderal (AD) Achmad Yani yang saat itu menjabat sebagai Kepala Satuan Angkatan Darat TNI (Kasad).
Menurut mantan Wakil Komandan Tjakrabirawa, Kolonel Purn Maulwi Saelan dalam buku Penjaga Terakhir Soekarno dikatakan, Ahmad Yani adalah yang paling dekat dengan Bung Karno. Saelan juga menuturkan, Soekarno pernah menitipkan Ahmad Yani sebagai penggantinya.
Ia menjelaskan, jauh-jauh sebelumnya, Soekarno juga sudah mendengar persetujuan pihak keluarga Ahmad Yani. Hingga dijadwalkan akan ada pertemuan untuk membahas hal itu lebih lanjut. Dalam penjelasan Saelan, Ahmad Yani dijadwalkan akan menemui Bung Karno di Istana Jakarta pada 1 Oktober 1965.
"Banyak yang bilang bapak jadi anak emas Presiden Soekarno," kata putri Yani, Amelia A Yani dalam buku Achmad Yani Tumbal Revolusi terbitan Galang Press.
"Bapak sudah cerita kepada keluarga bahwa dia bakal menjadi presiden. Waktu itu Bapak berpesan, jangan dulu bilang sama orang lain," ujar putra-putri Achmad Yani, Rully Yani, Elina Yani, Yuni Yani dan Edi Yani acara diskusi "Jakarta - Forum Live, Peristiwa G-30S/PKI, Upaya Mencari Kebenaran", beberapa waktu lalu.
Informasi itu sudah diketahui pihak keluarga dua bulan sebelum meletusnya peristiwa berdarah G-30S/PKI. "Waktu itu ketika pulang dari rapat dengan Bung Karno beserta para petinggi negara, Bapak cerita sama ibu bahwa kelak bakal jadi presiden," kenang Yuni Yani, putri keenam Achmad Yani.
"Setelah cerita sama ibu, esok harinya sepulang main golf, Bapak juga menceritakan itu kepada kami putra-putrinya. Sambil tertawa, kami bertanya, benar nih Pak. Jawab Bapak ketika itu, ya," ucapnya.
Menurut Elina Yani (putri keempat), saat kakaknya Amelia Yani menyusun buku tentang Bapak, mereka menemui Letjen Sarwo Edhie Wibowo sebagai salah satu nara sumber.
"Waktu itu, Pak Sarwo cerita bahwa Bapak dulu diminta Bung Karno menjadi presiden bila kesehatan Proklamator itu tidak juga membaik. Permintaan itu disampaikan Bung Karno dalam rapat petinggi negara. Di situ antara lain, ada Soebandrio, Chaerul Saleh dan AH Nasution," katanya.
"Bung Karno bilang, Yani kalau kesehatan saya belum membaik kamu yang jadi presiden," kata Sarwo Edhie seperti ditirukan Elina.
Pada prinsipnya, tambah Yuni pihak keluarga senang mendengar berita Bapak bakal jadi presiden. Namun ibunya (Alm. Nyonya Yayuk Ruliah A.Yani) usai makan malam membuat ramalan bahwa kalau Bapak tidak jadi presiden, bisa dibunuh.
"Ternyata ramalan ibu benar. Belum sempat menjadi presiden menggantikan Bung Karno, Bapak dibunuh secara kejam dengan disaksikan adik-adik kami - Untung dan Eddy, kalau Bapakmu tidak jadi presiden, ya nangdi (ke mana bisa dibunuh, kata Nyonya Yani seperti ditirukan Yuni.
Amelia Yani mengingat hubungan ayahnya dan Presiden Soekarno sangat dekat. Amelia mengingat, Soekarno ikut peduli dengan renovasi rumah Yani di Menteng. Soekarno juga sering mengajak Yani ikut dalam kunjungan ke daerah. Bahkan menyempatkan hadir saat syukuran rumah Yani.
"Hari Minggu pun Bapak dan Ibu sering menemani Bung Karno dan ibu Hartini ngobrol-ngobrol di Istana Bogor," kenang Amelia.
Jenderal Achmad Yani dikenal sebagai tentara cerdas dan lugas, perancang strategi perang, pemberani dan konsisten dengan profesinya. Sejarah mencatatnya sebagai De Reder van Magelang, karena keberhasilannya merebut kembali kota Magelang dari cengkeraman Belanda.
Ia berhasil menumpas pemberontakan PRRI dengan "Operasi 17 Agustus pada 1958", juga berhasil menumpas pemberontakan DI/TII di Jawa Tengah dengan pasukan Banteng Raiders yang dia bentuk.
Sikap tegas dan karir militernya yang cemerlang telah mengantarkan dirinya pada posisi puncak sebagai militer dan menjadikan dirinya dekat dengan Bung Karno.
Oleh Bung Karno, ia dipercaya untuk melakukan misi pembelian senjata ke luar negeri dalam rangka memperkuat Angkatan Darat dan dipercaya sebagai Kepala Staf Komando Tertinggi.
Hubungan Yani dan Soekarno mulai dekat ketika Yani menjabat Kepala Staf Gabungan Komando Tertinggi (KOTI) pembebasan Irian Barat sekitar tahun 1963.
Yani juga menjadi juru bicara tunggal Panglima Tertinggi soal Irian Barat. Hampir setiap hari dia rapat dengan Soekarno di Istana. Hubungan mereka kemudian memang erat.
Setelah menjabat Kasad, hubungan Yani dan Soekarno makin akrab. Namun kemesraan itu tak berlangsung lama. Isu Dewan Jenderal dan rumor kudeta Angkatan Darat membuat jarak di antara Soekarno dan Yani.
KARENA:
Cita-cita Bung Karno Ingin Jadikan Jenderal Ini Presiden
VIVA.co.id - Bung Karno pernah menyebutkan bahwa kelak pengganti dirinya adalah Jenderal (AD) Achmad Yani yang saat itu menjabat sebagai Kepala Satuan Angkatan Darat TNI (Kasad).
Menurut mantan Wakil Komandan Tjakrabirawa, Kolonel Purn Maulwi Saelan dalam buku Penjaga Terakhir Soekarno dikatakan, Ahmad Yani adalah yang paling dekat dengan Bung Karno. Saelan juga menuturkan, Soekarno pernah menitipkan Ahmad Yani sebagai penggantinya.
Ia menjelaskan, jauh-jauh sebelumnya, Soekarno juga sudah mendengar persetujuan pihak keluarga Ahmad Yani. Hingga dijadwalkan akan ada pertemuan untuk membahas hal itu lebih lanjut. Dalam penjelasan Saelan, Ahmad Yani dijadwalkan akan menemui Bung Karno di Istana Jakarta pada 1 Oktober 1965.
"Banyak yang bilang bapak jadi anak emas Presiden Soekarno," kata putri Yani, Amelia A Yani dalam buku Achmad Yani Tumbal Revolusi terbitan Galang Press.
"Bapak sudah cerita kepada keluarga bahwa dia bakal menjadi presiden. Waktu itu Bapak berpesan, jangan dulu bilang sama orang lain," ujar putra-putri Achmad Yani, Rully Yani, Elina Yani, Yuni Yani dan Edi Yani acara diskusi "Jakarta - Forum Live, Peristiwa G-30S/PKI, Upaya Mencari Kebenaran", beberapa waktu lalu.
Informasi itu sudah diketahui pihak keluarga dua bulan sebelum meletusnya peristiwa berdarah G-30S/PKI. "Waktu itu ketika pulang dari rapat dengan Bung Karno beserta para petinggi negara, Bapak cerita sama ibu bahwa kelak bakal jadi presiden," kenang Yuni Yani, putri keenam Achmad Yani.
"Setelah cerita sama ibu, esok harinya sepulang main golf, Bapak juga menceritakan itu kepada kami putra-putrinya. Sambil tertawa, kami bertanya, benar nih Pak. Jawab Bapak ketika itu, ya," ucapnya.
Menurut Elina Yani (putri keempat), saat kakaknya Amelia Yani menyusun buku tentang Bapak, mereka menemui Letjen Sarwo Edhie Wibowo sebagai salah satu nara sumber.
"Waktu itu, Pak Sarwo cerita bahwa Bapak dulu diminta Bung Karno menjadi presiden bila kesehatan Proklamator itu tidak juga membaik. Permintaan itu disampaikan Bung Karno dalam rapat petinggi negara. Di situ antara lain, ada Soebandrio, Chaerul Saleh dan AH Nasution," katanya.
"Bung Karno bilang, Yani kalau kesehatan saya belum membaik kamu yang jadi presiden," kata Sarwo Edhie seperti ditirukan Elina.
Pada prinsipnya, tambah Yuni pihak keluarga senang mendengar berita Bapak bakal jadi presiden. Namun ibunya (Alm. Nyonya Yayuk Ruliah A.Yani) usai makan malam membuat ramalan bahwa kalau Bapak tidak jadi presiden, bisa dibunuh.
"Ternyata ramalan ibu benar. Belum sempat menjadi presiden menggantikan Bung Karno, Bapak dibunuh secara kejam dengan disaksikan adik-adik kami - Untung dan Eddy, kalau Bapakmu tidak jadi presiden, ya nangdi (ke mana bisa dibunuh, kata Nyonya Yani seperti ditirukan Yuni.
Amelia Yani mengingat hubungan ayahnya dan Presiden Soekarno sangat dekat. Amelia mengingat, Soekarno ikut peduli dengan renovasi rumah Yani di Menteng. Soekarno juga sering mengajak Yani ikut dalam kunjungan ke daerah. Bahkan menyempatkan hadir saat syukuran rumah Yani.
"Hari Minggu pun Bapak dan Ibu sering menemani Bung Karno dan ibu Hartini ngobrol-ngobrol di Istana Bogor," kenang Amelia.
Jenderal Achmad Yani dikenal sebagai tentara cerdas dan lugas, perancang strategi perang, pemberani dan konsisten dengan profesinya. Sejarah mencatatnya sebagai De Reder van Magelang, karena keberhasilannya merebut kembali kota Magelang dari cengkeraman Belanda.
Ia berhasil menumpas pemberontakan PRRI dengan "Operasi 17 Agustus pada 1958", juga berhasil menumpas pemberontakan DI/TII di Jawa Tengah dengan pasukan Banteng Raiders yang dia bentuk.
Sikap tegas dan karir militernya yang cemerlang telah mengantarkan dirinya pada posisi puncak sebagai militer dan menjadikan dirinya dekat dengan Bung Karno.
Oleh Bung Karno, ia dipercaya untuk melakukan misi pembelian senjata ke luar negeri dalam rangka memperkuat Angkatan Darat dan dipercaya sebagai Kepala Staf Komando Tertinggi.
Hubungan Yani dan Soekarno mulai dekat ketika Yani menjabat Kepala Staf Gabungan Komando Tertinggi (KOTI) pembebasan Irian Barat sekitar tahun 1963.
Yani juga menjadi juru bicara tunggal Panglima Tertinggi soal Irian Barat. Hampir setiap hari dia rapat dengan Soekarno di Istana. Hubungan mereka kemudian memang erat.
Setelah menjabat Kasad, hubungan Yani dan Soekarno makin akrab. Namun kemesraan itu tak berlangsung lama. Isu Dewan Jenderal dan rumor kudeta Angkatan Darat membuat jarak di antara Soekarno dan Yani.
Diubah oleh jojojeje3434 10-10-2017 09:11
0
29.5K
Kutip
165
Balasan


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan