- Beranda
- Komunitas
- News
- Berita Luar Negeri
Penjelasan ilmiah mengapa Meksiko diguncang gempa dahsyat


TS
User telah dihapus
Penjelasan ilmiah mengapa Meksiko diguncang gempa dahsyat
Quote:

Operasi pencarian dan penyelamatan berlangsung di lokasi gedung roboh akibat gempa di Condesa, Kota Meksiko, Meksiko, pada gambar dari media sosial, Selasa (19/9/2017). (Rafael Arias/Social Media/via REUTERS)
Jakarta (ANTARA News) - Dua gempa bumi dahsyat dalam jangka 12 hari telah mengguncang Meksiko untuk meruntuhkan bangunan-bangunan, membuat orang-orang panik berlarian ke jalan, dan menewaskan ratusan orang yang tidak bisa menyelamatkan diri dari timbunan gedung-gedung ambruk.
Pada 7 September gempa dahsyat 8,1 magnitudo yang merupakan gempa terdahsyat yang menghajar Meksiko dalam seratus tahun terakhir itu mengguncang negeri itu untuk meluluhlantakkan bagian selatannya yang berdekatan dengan pusat gempa yang terletak di Samudera Pasifik.
Lalu Selasa 19 September gempa bumi 7,1 magnitudo yang berpusat di 100 mil dari tenggara Mexico City menciptakan kerusakan hebat di ibu kota Meksiko itu. Gempa itu terjadi bertepatan dengan peringatan gempa bumi 1985 yang menewaskan 10.000 orang di Meksiko.
Mengapa Meksiko terus diguncang gempa dahsyat?
Lokasi Meksiko membuatnya rentan diguncang gempa bumi dahsyat karena nagara ini berada di zona subduksi.
Zona subduksi adalah bagian Bumi di mana satu lempeng kerak bergeser pelan satu sama lain di bawahnya. Pada kasus Meksiko, sebuah lempeng Pasifik, yakni Cocos, perlahan-lahan bergerak ddi bawah lempeng benua Amerika Utara.
Dari waktu ke waktu, tekanan tercipta karena friksi antara lempeng satu dengan lempeng lainnya, dan pada satu tahap tertentu tegangan itu menjadi demikian besar sehingga melepaskan energi besar dalam bentuk gempa bumi.
Zona subduksi bertanggung jawab atas dua gempa bumi yang belakangan terjadi di sepanjang pantai barat Amerika Tengah, dari Meksiko Tengah sampai Panama, kata Gavin Hayes, pakar geofisika dari Survei Geologi AS (USGS).
Subduksi-subduksi lain ditemukan di seluruh dunia dan dipercaya sebagai pemicu gempa-gempa bumi paling dahsyat di dunia.
Kenyataannya, gempa bumi berkekuatan 9,0 magnitudo atau lebih tinggi lagi, hanya terjadi di zona subduksi itu, kata Hayes. Contoh-contohnya adalah gempa 9,1 magnitudo di Jepang pada 2011, gempa 9,1 magnitudo di Aceh pada 2004, gempa 9,2 magnitudo di Alaska pada 1964 dan gempa 9,5 magnitudo di Chile pada 1960.
Mengapa gempa di Meksiko tidak lebih kuat tapi dampaknya luar biasa merusakkan?
Kedua gempa bumi yang mengguncang Meksiko bulan ini terjadi di dalam Lempeng Cocos yang tenggelam, ketimbang di antara Lempeng Cocos dan Lempeng Amerika Utara.
Seandainya dua gempa bumi itu terjadi di antara kedua lempeng tersebut, maka itu akan menghasilkan energi superdahsyat. Gempa bumi yang terjadi di perbatasan lempeng biasanya melibatkan patahan-patahan yang lebih besar dan untuk itu akan melepaskan energi yang lebih besar yang menciptakan guncangan pada wilayah yang lebih luas. Namun gempa-gempa itu biasanya terjadi sangat jauh dari permukaan, kata Hayes.
Gempa bumi yang terjadi di dalam lempeng cenderung lemah, tetapi kejadiannya tercipta di daerah yang lebih dekat ke permukaan Bumi. Akibatnya gempa-gempa seperti ini menyebabkan kerusakan mahahebat terhadap apa pun yang berada di atasnya.
Gempa bumi 7 September di Meksiko lalu lebih kuat dari gempa yang terjadi Selasa malam lalu itu, tetapi gempa yang pertama itu tidak terlalu merusakkan karena episentrumnya jauh dari wilayah padat penduduk.
Sebaliknya gempa yang terjadi sehari lalu itu, episentrumnya jauh lebih dekat ke Mexico City yang disebut Hayes dibangun di atas cekung sedimen. Posisi geologis semacam itu membuat guncangan gempa terasa lebih dahsyat ketimbang gempa yang terjadi di wilayah bukan cekung sedimen.
Seberapa sering gempa bumi dahsyat terjadi?
Biasanya, satu kali gempa bumi berkekuatan 8 magnitudo atau di atasnya terjadi di dunia setiap tahun. Menurut Dr. Hayes, lusinan gempa berkekuatan 7 magnitudo ke atas terjadi setiap tahun di dunia.
Dr. Hayes mengatakan 2017 adalah relatif lebih jarang terjadi gempa. Mengapa? Karena, berdasarkan catatan USGS, "baru terjadi" 4.200 gempa bumi berkekuatan 4,5 magnitudo ke atas di seluruh dunia sepanjang tahun ini. Bandingkan dengan dua tahun sebelumnya, 2016 dan 2015, di mana masing-masing terjadi 5.100 gempa bumi dengan kekuatan relatif sama. Bahkan pada 2014, terjadi sekitar 6,000 gempa bumi.
sumber: New York Times
Editor: Jafar M Sidik
COPYRIGHT © ANTARA 2017
Antara
Quote:

VIVAnews – Indonesia baru merevisi peta gempa. Namun menurut Ketua Tim Revisi Peta Gempa atau Tim 9, Profesor Mansyur Irsyam, masih banyak sesar yang belum diklasifikasikan. Peta yang ada masih bersifat makrozonasi. Kita masih yang butuh mikrozonasi
Dengan peta mikrozonasi level kota, maka akan bisa diperkirakan kerusakan dan korban jiwa yang mungkin jatuh saat gempa mengguncang.
Indonesia, tambah dia, harus belajar dari perbandingan antara gempa Haiti dan gempa Chile – yang sama-sama terjadi pada tahun 2010.
“Gempa Chile besarnya 8,8 skala Richter dan energinya 500 kali dari Gempa Haiti yang besarnya 7,0 SR. Namun korban jiwa di Chile ratusan, Haiti ratusan ribu jiwa, kata dia dalam acara ‘Paparan Peta Bahaya Gempa Indonesia dan Pentingnya bagi Pemerintah dan Dunia Usaha’ di Hotel Borobudur, Jakarta, Senin 16 Agustus 2010.
Sebab, “Chile mempersiapkan bangunan tahan gempa, UU mengharuskan bangunan tahan gempa,” tambah Mansyur.
Perlunya peta mikrozonasi belajar dari gempa Meksiko tahun 1985. Pelajaran yang didapat, jangan remehkan risiko gempa yang terjadi jauh dari kota.
Saat itu gempa 8,1 SR terjadi jauh di tengah laut. Namun, itu bisa meluluhlantakkan kota itu.
“Kerusakan luar biasa karena percepatan, dengan kondisi tanah lunak, misalnya gempa berkekuatan ‘x’, menjadi 4,5 x di Mexico City. Sampai di bangunan menjadi 21x. Ini sangat dipengaruhi kondisi tanah,” tambah Mansyur.
Itu artinya, meski belum terdeteksi adanya patahan aktif, Jakarta tak boleh meremehkan potensi gempa.
“Untuk rekomendasi jangka panjang, pemasangan GPS dan melakukan riset di patahan diduga aktif,” tambah dia.
Hal senada disampaikan Dr Danny Hilman Natawidjaja. Meski patahan aktif belum dideteksi di Jakarta, sejarah mencatat gempa besar pernah meluluhlantakkan Jakarta. Misalnya, gempa yang terjadi pada 1699, dan 1852.
“Walaupun pusat gempa jauh, cukup bahaya. Seperti Meksiko, meski gempa jauh di laut, luluh lantak,” kata Danny.
Saat gempa 7,4 SR mengguncang Tasikmalaya pada 2 September 2009. “Itu cukup mengguncang Jakarta, bayangkan sampai 8,5 SR misalnya,” tambah dia.
Sementara Dr Irwan Meliano, ahli geologi ITB mengungkapkan, pentingnya riset gempa.
Contoh kasusnya, gempa Niigata, 16 Juli 2007, dengan kekuatan 6,8 SR menewaskan ‘hanya’ 19 orang, dan korban luka 1000 orang.
Padahal, gempa ini berada di dekat reaktor nuklir.
Sementara, dana penelitian gempa di Indonesia relatif kecil. “ Dana penelitian 5-100 juta per tahun per topik, habisnya buat survei. Ini tak sampai angka miliaran. Sehingga hanya seidikit sekali,” kata dia. (sj)
Viva
Remember, God is in control




anasabila dan sebelahblog memberi reputasi
2
30.1K
Kutip
165
Balasan


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan