- Beranda
- Komunitas
- Story
- Stories from the Heart
Just me and my Guitar
TS
darkbluewind
Just me and my Guitar
Brakk..
Suara gitar yang beradu dengan lantai cukup membuat kamar ini menjadi ramai sejenak. Gitar berwarna coklat yang biasa menemaniku, kini terbengkalai di atas lantai kamarku.
“Hey, cepat ambil!”
Ucap laki-laki yang sedari tadi berbaring di atas tempat tidurku. Ia melepas headset biru yang ia kenakan dan segera meletakkannya.
“Aku tahu kau marah, tapi ingat satu hal. JANGAN PERNAH LUKAI ALAT MUSIKMU.”
Ia membentakku, meraih gitar itu dan mengembalikannya padaku. Mulanya aku menolak, tetapi saat ia tersenyum dan mengelus kepalaku layaknya seorang anak kecil, aku luluh, ku raih gitar itu dari tangannya.
“Aku membencinya.”
“Kenapa?”
“...”
“Alunan musikmu mengatakan bahwa kau sedang kesepian dan seolah berteriak meminta bantuan pada seseorang.”
“Hanya berada di dekatmu saja sudah cukup bagiku.”
“Aku tak bisa selamanya bersamamu. Mainkan, bayangkan bahwa aku tak ada di sampingmu saat ini.”
Aku bingung, apa yang harus aku mainkan untuknya? Musik apa yang pantas kupersembahkan padanya? Dan bagaimana perasaanku akan tersampaikan hanya dengan melalui gitar ini? Ia kembali tersenyum, mestinya dia tahu kalau aku tak bisa memainkan apapun untuknya, atau lebih tepatnya aku tidak tahu apa yang harus kumainkan dan apa yang mewakili perasaanku padanya.
Biola klasik berwarna hitam itu ia keluarkan dari tempatnya. Tampak anggun, biola hitam itu ia letakkan diantara dagu dan pundaknya, jari-jari tangan kanannya yang lentik itu memegang bow yang siap adu dengan senar biola, sedangkan jari tangan kananya bersiap menari diatas fingerboard. Laki-laki yang usianya terpaut 5 tahun lebih tua dariku itu kembali tersenyum ke arahku.
Perlahan lahan ia memulai permainannya, aku mengingatnya dengan pasti. Ia memainkan When The Love Falls. Aneh, aku tak pernah melihat laki-laki itu memainkan salah satu lagu dari Yiruma, seingatku ia selalu memainkan lagu klasik dari musisi ternama Beethoven, apa yang membuatnya memainkan lagu itu? Ditengah kebingunganku ia memberiku isyarat untuk mengikutinya. Ku petik senar gitarku satu persatu mengikuti alunannya. Ada 2 pilihan untuk mengikuti permainannya, memainkan versi Yiruma atau versi Sung Ha Jung. Dan aku memutuskan mengikuti permainannya dengan versi Yiruma. Lebih pelan daripada aransmen Sung Ha Jung, aku menikmatinya hingga tanpa sadar aku meneteskan air mata.
Kuletakkan gitarku karena tangisku semakin menjadi, aku tertunduk di hadapannya, ia masih memainkan biolanya hingga selesai.
“Nah, bagaimana perasaanmu sekarang?” Tanya laki-laki itu sembari memasukkan biolanya ke dalam tempatnya. Aku hanya diam, laki-laki itu duduk di sampingku dan ia mengelus kepalaku sekali lagi, “Alat musik itu akan menjadi sahabatmu yang paling setia, walau ia tak hidup. Ia akan selalu ada untukmu kapanpun itu. Jadi rawat ia sebaik mungkin.”
“Baiklah, aku mengerti. Aku akan merawat Acel dengan baik.” Acel, nama dari gitar berwarna coklat yang telah bersamaku sejak usiaku masih 13 tahun. Sedangkan gitar pertamaku adalah gitar akustik berwarna hitam pekat yang kudapat saat usiaku masih 10 tahun.
“Oh ya. Kakak harus kembali ke Jepang minggu depan, liburanku hampir habis.” Ya, laki-laki yang kumaksud adalah kakak ku sendiri, namun dia bukanlah kakak kandungku. Melainkan anak dari suami kakak ibuku dengan istri lain. Sangat berbeda dengan saudaranya yang lain, ibunya dulu berkebangsaan German, sedangkan ayahnya orang Indonesia. Lalu ayahnya menikah dengan bibiku karena istri pertamanya meninggal setelah satu tahun ia melahirkan putranya. Dan karena anak bibiku sudah 2, maka saat usia kakak 5 tahun, ia menitipkan kakak pada ibuku hingga sekarang. Dia, matanya sebiru lautan tanpa dasar, rambutnya yang sedikit coklat tua, kulitnya yang bersih, bibir yang tipis itu membuatnya terlihat bukan seperti keluarga kami.
“Kak..” Panggilku saat ia mencoba menangkap ular phyton peliharannya yang panjangnya hampir 2 meter itu.
“Ya, kenapa?”
“Bagaimana jika aku menyukaimu?” Ucapku tiba-tiba.
“He? Sungguh? Hahaha...” Ia tertawa cukup keras hingga terdengar dari lantai satu dan membuat ibu berteriak memintanya untuk mengecilkan suaranya, ia diam sejenak, “Kupikir itu ide yang bagus.” Lanjutnya disertai senyum.
Jika aku mengatakan bahwa aku tak menyukainya maka aku berbohong, sebagai adiknya, tentu aku sangat menyayanginya, dan di sisi lain, aku berharap bahwa aku bisa memilikinya, mustahil. Tapi ia baru saja mengatakan itu ide yang bagus, jadi, apa ini artinya... tidak, masih terlalu cepat menyimpulkan, usiaku pun masih belum genap 20, hah.
“Mau menunggu?”
“Berapa tahun?”
“4 dari sekarang.”
“Tentu.”
Suara gitar yang beradu dengan lantai cukup membuat kamar ini menjadi ramai sejenak. Gitar berwarna coklat yang biasa menemaniku, kini terbengkalai di atas lantai kamarku.
“Hey, cepat ambil!”
Ucap laki-laki yang sedari tadi berbaring di atas tempat tidurku. Ia melepas headset biru yang ia kenakan dan segera meletakkannya.
“Aku tahu kau marah, tapi ingat satu hal. JANGAN PERNAH LUKAI ALAT MUSIKMU.”
Ia membentakku, meraih gitar itu dan mengembalikannya padaku. Mulanya aku menolak, tetapi saat ia tersenyum dan mengelus kepalaku layaknya seorang anak kecil, aku luluh, ku raih gitar itu dari tangannya.
“Aku membencinya.”
“Kenapa?”
“...”
“Alunan musikmu mengatakan bahwa kau sedang kesepian dan seolah berteriak meminta bantuan pada seseorang.”
“Hanya berada di dekatmu saja sudah cukup bagiku.”
“Aku tak bisa selamanya bersamamu. Mainkan, bayangkan bahwa aku tak ada di sampingmu saat ini.”
Aku bingung, apa yang harus aku mainkan untuknya? Musik apa yang pantas kupersembahkan padanya? Dan bagaimana perasaanku akan tersampaikan hanya dengan melalui gitar ini? Ia kembali tersenyum, mestinya dia tahu kalau aku tak bisa memainkan apapun untuknya, atau lebih tepatnya aku tidak tahu apa yang harus kumainkan dan apa yang mewakili perasaanku padanya.
Biola klasik berwarna hitam itu ia keluarkan dari tempatnya. Tampak anggun, biola hitam itu ia letakkan diantara dagu dan pundaknya, jari-jari tangan kanannya yang lentik itu memegang bow yang siap adu dengan senar biola, sedangkan jari tangan kananya bersiap menari diatas fingerboard. Laki-laki yang usianya terpaut 5 tahun lebih tua dariku itu kembali tersenyum ke arahku.
Perlahan lahan ia memulai permainannya, aku mengingatnya dengan pasti. Ia memainkan When The Love Falls. Aneh, aku tak pernah melihat laki-laki itu memainkan salah satu lagu dari Yiruma, seingatku ia selalu memainkan lagu klasik dari musisi ternama Beethoven, apa yang membuatnya memainkan lagu itu? Ditengah kebingunganku ia memberiku isyarat untuk mengikutinya. Ku petik senar gitarku satu persatu mengikuti alunannya. Ada 2 pilihan untuk mengikuti permainannya, memainkan versi Yiruma atau versi Sung Ha Jung. Dan aku memutuskan mengikuti permainannya dengan versi Yiruma. Lebih pelan daripada aransmen Sung Ha Jung, aku menikmatinya hingga tanpa sadar aku meneteskan air mata.
Kuletakkan gitarku karena tangisku semakin menjadi, aku tertunduk di hadapannya, ia masih memainkan biolanya hingga selesai.
“Nah, bagaimana perasaanmu sekarang?” Tanya laki-laki itu sembari memasukkan biolanya ke dalam tempatnya. Aku hanya diam, laki-laki itu duduk di sampingku dan ia mengelus kepalaku sekali lagi, “Alat musik itu akan menjadi sahabatmu yang paling setia, walau ia tak hidup. Ia akan selalu ada untukmu kapanpun itu. Jadi rawat ia sebaik mungkin.”
“Baiklah, aku mengerti. Aku akan merawat Acel dengan baik.” Acel, nama dari gitar berwarna coklat yang telah bersamaku sejak usiaku masih 13 tahun. Sedangkan gitar pertamaku adalah gitar akustik berwarna hitam pekat yang kudapat saat usiaku masih 10 tahun.
“Oh ya. Kakak harus kembali ke Jepang minggu depan, liburanku hampir habis.” Ya, laki-laki yang kumaksud adalah kakak ku sendiri, namun dia bukanlah kakak kandungku. Melainkan anak dari suami kakak ibuku dengan istri lain. Sangat berbeda dengan saudaranya yang lain, ibunya dulu berkebangsaan German, sedangkan ayahnya orang Indonesia. Lalu ayahnya menikah dengan bibiku karena istri pertamanya meninggal setelah satu tahun ia melahirkan putranya. Dan karena anak bibiku sudah 2, maka saat usia kakak 5 tahun, ia menitipkan kakak pada ibuku hingga sekarang. Dia, matanya sebiru lautan tanpa dasar, rambutnya yang sedikit coklat tua, kulitnya yang bersih, bibir yang tipis itu membuatnya terlihat bukan seperti keluarga kami.
“Kak..” Panggilku saat ia mencoba menangkap ular phyton peliharannya yang panjangnya hampir 2 meter itu.
“Ya, kenapa?”
“Bagaimana jika aku menyukaimu?” Ucapku tiba-tiba.
“He? Sungguh? Hahaha...” Ia tertawa cukup keras hingga terdengar dari lantai satu dan membuat ibu berteriak memintanya untuk mengecilkan suaranya, ia diam sejenak, “Kupikir itu ide yang bagus.” Lanjutnya disertai senyum.
Jika aku mengatakan bahwa aku tak menyukainya maka aku berbohong, sebagai adiknya, tentu aku sangat menyayanginya, dan di sisi lain, aku berharap bahwa aku bisa memilikinya, mustahil. Tapi ia baru saja mengatakan itu ide yang bagus, jadi, apa ini artinya... tidak, masih terlalu cepat menyimpulkan, usiaku pun masih belum genap 20, hah.
“Mau menunggu?”
“Berapa tahun?”
“4 dari sekarang.”
“Tentu.”
anasabila memberi reputasi
1
1.4K
9
Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan