tuandornaAvatar border
TS
tuandorna
Wartawan BBC Jonathan Head ungkap propaganda palsu Myanmar soal Rohingya
DUNIA | 13 September 2017 16:51
Reporter : Tim Merdeka
Merdeka.com - Lebih dari 300.000
orang yang telah meninggalkan
negara bagian Rakhine ke Bangladesh
selama dua minggu terakhir semuanya
berasal dari distrik Maungdaw,
Buthidaung dan Rathedaung, wilayah
terakhir di Myanmar dengan populasi
Rohingya yang belum terusir ke
kamp-kamp pengungsian.
Daerah-daerah ini sulit dijangkau.
Jalannya buruk, dan siapa pun yang
mau ke sana harus meminta izin
khusus, yang jarang diperoleh
wartawan. Berikut adalah catatan
jurnalistik wartawan BBC Jonathan
Head yang mengikuti perjalanan
langka ke medan konflik Myanmar.
Kami langsung mengambil
kesempatan untuk bergabung dalam
perjalanan kunjungan yang
diselenggarakan oleh pemerintah ke
Maungdaw, yang dijatah untuk 18
wartawan lokal dan asing.
Perjalanan ini akan berarti jika kita
bisa melihat tempat dan menemui
orang-orang di lapangan. Tapi
terkadang, meski di bawah
pembatasan, kita tetap bisa
mendapatkan wawasan berharga.
Betapa pun, pemerintah memiliki
pandangan yang perlu didengar juga.
Sekarang mereka menghadapi
pemberontakan bersenjata, meskipun
banyak yang beranggapan, hal itu
disebabkan perbuatan mereka sendiri.
Konflik komunal di negara bagian
Rakhine memiliki sejarah yang
panjang, dan akan sulit dihadapi
pemerintah mana pun.
Setibanya di Sittwe, ibu kota negara
bagian Rakhine, kami diberi instruksi.
Tidak ada yang boleh meninggalkan
kelompok atau mencoba bekerja
secara mandiri.
Jam malam diberlakukan pada pukul 6
sore, jadi tidak boleh berkeliaran
setelah gelap. Kami boleh meminta
untuk pergi ke tempat-tempat yang
menarik perhatian kami; dalam
praktiknya permintaan semacam itu
ditolak dengan alasan keamanan.
Sejujurnya, saya yakin mereka benar-
benar memperhatikan keselamatan
kami.
Sebagian besar perjalanan di wilayah
dataran rendah Myanmar ini
dilakukan melalui labirin kali dan
sungai di atas perahu-perahu yang
penuh sesak. Perjalanan dari Sittwe
ke Buthidaung memakan waktu enam
jam.
Dari sana kami menempuh perjalanan
selama satu jam di jalur yang sulit
menuju Bukit Mayu ke Maungdaw.
Saat kami menuju ke kota itu, kami
melewati desa terbakar pertama yang
kami lihat, Myo Thu Gyi. Di sana
bahkan pohon-pohon palem pun ikut
hangus.
Tujuan pemerintah membawa kami
adalah untuk menyeimbangkan narasi
yang sangat negatif yang bersumber
dari pengungsi Rohingya yang tiba di
Bangladesh, yang hampir semua
berbicara mengenai sebuah rencana
penghancuran yang disengaja oleh
militer Myanmar dan kelompok massa
Rakhine, dan pelanggaran hak asasi
manusia yang mengerikan.
Tapi langkah ini segera goyah.
Pertama kami dibawa ke sekolah kecil
di Maungdaw, yang penuh sesak
dengan keluarga Hindu yang
mengungsi. Mereka semua memiliki
cerita yang sama untuk diceritakan
yaitu serangan orang-orang Muslim,
atau melarikan diri dari ketakutan.
Anehnya, orang-orang Hindu yang
melarikan diri ke Bangladesh
semuanya mengatakan bahwa mereka
diserang oleh umat Buddha Rakhine
setempat, karena mereka mirip orang
Rohingya.
Di sekolah itu kami didampingi polisi
bersenjata dan beberapa pejabat.
Bisakah orang-orang di situ berbicara
secara bebas? Seorang pria mulai
menceritakan bagaimana tentara
menembaki desanya, dan dia segera
dikoreksi oleh tetangga.
Seorang perempuan dengan blus
berenda oranye dan longyi ( kain
tradisional Burma) berwarna abu-abu
dan ungu muda yang ketara, sangat
bersemangat menceritakan kekerasan
yang dilakukan orang-orang Muslim.
Kami kemudian dibawa ke sebuah kuil
Buddha, tempat seorang biksu
menggambarkan orang-orang Muslim
membakar rumah mereka sendiri, di
dekat tempat itu. Kami diberi foto-
foto yang menggambarkan mereka
tertangkap basah melakukan aksi itu.
Semuanya tampak aneh.
Di foto itu tampak sejumlah pria
dengan topi haji putih berpose saat
mereka membakar atap rumah yang
terbuat dari rumbia. Beberapa
perempuan mengenakan sesuatu yang
tampak seperti taplak meja berenda
di atas kepala mereka melambaikan
pedang dan parang dengan
melodramatis.
Kemudian saya mengetahui bahwa
salah satu perempuan itu sebenarnya
adalah perempuan Hindu dari sekolah
tersebut yang tampak bersemangat,
dan saya melihat bahwa salah satu
dari pria yang tampak di foto itu juga
hadir di antara orang-orang Hindu
yang mengungsi.
Mereka membuat foto-foto palsu
agar terlihat seolah-olah kelompok
Muslimlah yang melakukan
pembakaran.
Kami berkesempatan temu wicara
dengan Kolonel Phone Tint, pejabat
keamanan perbatasan setempat.
Dia menggambarkan bagaimana
teroris Bengali, demikian mereka
menyebut kaum militan Tentara
Penyelamatan Rohingya Arakan
(Arakan Rohingya Salvation Army,
ARSA) telah menguasai desa-desa
Rohingya, dan memaksa mereka
untuk menyediakan satu orang per
rumah tangga sebagai militan. Yang
tak mematuhi, rumahnya akan
dibakar, katanya. Dia menuduh
militan ARSA menanam ranjau darat
dan menghancurkan tiga jembatan.
Saya bertanya apakah dia
mengatakan bahwa semua desa yang
terbakar yang berjumlah puluhan itu
dihancurkan oleh militan. Dia
menegaskan bahwa itulah posisi
pemerintah.
Menanggapi sebuah pertanyaan
tentang kekejaman militer, dia
menepiskannya. "Mana buktinya?"
tanyanya.
"Lihatlah perempuan-perempuan itu,"
yang dimaksudnya adalah perempuan
pengungsi Rohingya: "siapa yang
membuat klaim ini - siapa
memangnya yang mau merudapaksa
mereka?"
Sejumlah warga Muslim yang dapat
kami temui di Maungdaw, kebanyakan
terlalu takut untuk berbicara di depan
kamera.
Saat bisa lolos dari para petugas
yang menguntit, kami berhasil
berbicara dengan beberapa orang
yang mengatakan betapa beratnya
hidup mereka: tidak diizinkan
meninggalkan lingkungan mereka
oleh pasukan keamanan, betapa
mereka kekurangan pangan, dan
betapa mereka dicekam ketakutan.
Seorang pemuda mengatakan bahwa
mereka ingin melarikan diri ke
Bangladesh, namun para pemimpin
mereka telah menandatangani sebuah
kesepakatan dengan pihak berwenang
untuk tetap tinggal.
Di pasar Bengali yang sekarang sepi,
saya bertanya kepada seorang pria
apa yang dia takutkan. Pemerintah,
katanya.
Tujuan utama perjalanan kami di luar
Maungdaw adalah kota pesisir Alel
Than Kyaw. Ini salah satu tempat
yang diserang oleh militan ARSA
pada 25 Agustus dini hari.
Saat kami mendekati kota itu, kami
melalui desa demi desa, semuanya
benar-benar kosong. Kami melihat
kapal-kapal yang ditinggalkan,
kambing dan sapi. Tidak ada orang.
Alel Than Kyaw telah diratakan ke
tanah. Bahkan sebuah klinik, dengan
plang yang menunjukkan bahwa klinik
itu dikelola oleh badan amal
Medecins Sans Frontieres (Dokter
Lintas Batas), telah hancur.
Di sebelah utara, di kejauhan kami
bisa melihat empat gulungan asap
yang membumbung naik, dan
terdengar semburan tembakan
senjata otomatis. Ada desa-desa yang
sedang dibumi-hanguskan, kami
menduga.
Letnan Polisi Aung Kyaw Moe
menjelaskan kepada kami bahwa dia
sudah mendapat peringatan terlebih
dahulu akan adanya serangan
tersebut.
Dia lebih dulu membawa penduduk
non-Muslim ke baraknya untuk
dilindungi, dan kemudian pasukannya
dturunkan menghadapi gerilyawan
yang membawa senjata api, parang
dan bahan peledak rakitan selama
tiga jam sampai mereka dipukul
mundur.
Setidaknya 17 militan dan seorang
petugas imigrasi tewas. Warga
Muslim desa itu melarikan diri tak
lama kemudian.
Namun dia kesulitan menjelaskan
mengapa sebagian kota masih
terbakar, dua minggu setelah
serangan tersebut, di musim hujan
pula. Mungkin sejumlah Muslim tetap
tinggal, dan kemudian membakar
rumah mereka sebelum pergi baru-
baru ini, jawabnya kurang
meyakinkan.
Kemudian, dalam perjalanan pulang
dari Alel Than Kyaw, sesuatu yang
sama sekali tidak direncanakan
terjadi.
Kami melihat asap hitam
membumbung dari balik pepohonan,
di tepi sawah. Itu sebuah desa lain
yang letaknya tepat di pinggir jalan.
Dan kebakaran baru saja dimulai.
Kami semua berteriak kepada polisi
pengawal kami untuk menghentikan
mobil. Begitu mobil berhenti, kami
langsung berlari menuju desa itu,
meninggalkan pengawas kami yang
kebingungan.
Polisi ikut bersama kami, tapi
kemudian menyatakan tidak aman
masuk ke desa. Jadi kami pergi
mendahului mereka.
Terdengar suara benda terbakar dan
gemeretak di mana-mana. Pakaian
perempuan, yang jelas-jelas Muslim,
bertebaran di jalan berlumpur. Dan
ada pemuda-pemuda berbadan kekar,
memegang pedang dan parang,
berdiri di jalan setapak, bingung
melihat 18 wartawan berkeringat
bergegas menuju mereka.
Mereka mencoba menghindar dari
kamera, dan dua dari mereka berlari
memasuki desa, menginstruksikan
orang-orang trakhir mereka untuk
segera keluar dengan tergesa-gesa.
Mereka mengaku bahwa mereka
adalah kelompok Buddha Rakhine.
Salah satu rekan saya berhasil
melakukan percakapan singkat
dengan salah satu dari mereka, yang
mengaku bahwa mereka membakari
rumah-rumah itu, dibantu polisi.
Saat kami masuk, kami bisa melihat
atap sebuah madrasah yang baru saja
dibakar. Buku sekolah dengan aksara
Arab dikeluarkan. Jeriken plastik
kosong, berbau bensin, tertinggal di
jalan setapak.
Desa itu bernama Gawdu Thar Ya. Itu
adalah desa Muslim. Tidak ada tanda-
tanda penghuninya. Pemuda-pemuda
Rakhine yang telah membakar desa
itu bergegas keluar, melewati para
polisi yang mengawal kami, beberapa
membawa barang-barang rumah
tangga yang mereka jarah.
Pembakaran itu terjadi di dekat
sejumlah barak polisi yang besar.
Tidak ada yang melakukan tindakan
apa pun untuk menghentikan semua
itu.


https://m.merdeka.com/dunia/wartawan-bbc-jonathan-head-ungkap-propaganda-palsu-myanmar-soal-rohingya.html
sebelahblog
anasabila
anasabila dan sebelahblog memberi reputasi
2
3.1K
20
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan