Quote:
AKTIVIS lingkungan dari Cimahi Khilda Baiti Rohmah mengembangkan bioetanol dari kulit pisang yang jumlahnya berton-ton di penangkaran kera Tangerang.
Selain dari kulit pisang, Khilda juga pernah melakukan banyak rangkaian uji coba terhadap kulit-kulit buah dan sayur lainnya. Ia juga menjajal bioetanol dari limbah kelapa sawit sampai whey keju.
Produk Khilda bersama komunitasnya Sampahkoe, smart bioetanol, telah mendapatkan lisensi perusahaan di Jerman.
Dilansir dari laman bioenerginusantara.com, penggunaan bioetanol lebih dulu maju di Amerika Serikat sejak 1990-an. Di SPBU-SPBU negeri Paman Sam, semua BBM yang dijual sudah dicampur 10% etanol. Di sana, bioetanol lebih banyak dihasilkan dari jagung, sorgum, kentang, gandum, tebu, bahkan biomassa seperti batang jagung. Meskipun banyak juga yang dari limbah sayuran.
AYO membuat bioetanol dari kulit buah agan sendiri? Tak ada salahnya coba panduan yang dituturkan Khilda ini.
Pertama, yang agan butuhkan hanyalah sampah-sampah sisa makanan organik di rumah. Tetapi, jumlahnya harus seperti orang sedang menggelar hajat. Ya, kata Khilda, dibutuhkan 5 kilogram sampah sayuran dan kulit buah-buahan untuk membuat 1 liter minyak bioetanol. Nah, kalau yang tersedia di rumah hanya 1 ons, jangan kecewa dengan hasil minyaknya yang cuma kurang dari 1 sendok teh.
Kemudian, yang paling penting adalah bakteri pengurai limbah hasil penelitiannya Khilda dkk. Ia telah mencampur lebih dari 40 bakteri ke dalamnya. Sehingga, bukan hanya mampu jadi pengurai limbah pertanian, namun juga filtrasi air bersih, pembuat energi alternatif seperti bioetanol, pembeku daging, sampai obat untuk ternak yang sakit.
“Kenapa makanannya jadi bagus untuk ternak, karena bisa menguraikan racun-racun dari makanannya. Supaya kesehatan dan daging ternaknya lebih bagus,” katanya. Di sela cerita soal bahan-bahan ini, terselip kisah seorang pemulung yang berpenghasilan Rp 100.000 per bulan. Padahal ia harus membiayai 8 orang anaknya. Khilda pun menjadikan tempat tinggal pemulung tersebut sebagai laboratorium uji coba bakterinya, dengan ternak itik skala kecil. Hasilnya dibagi dengan pemulung yang kini telah mandiri, dan formula bakteri Khilda pun semakin mantap dalam pengembangan bioetanol.
“Kalau dicoba di rumah, tinggal buat seperti pupuk cair,” tutur Khilda. Fermentasi saja sampahnya 5 hari hingga menjadi kompos setelah dicampur bakteri. Setelah mengering tinggal dicampur air 15 liter –tanpa bahan kimia lain. Setelah didestilasi dengan alat, zat padatnya pun masih berguna untuk kompos. Setelah bisa memproduksi 200 liter per hari, agan bisa mengantongi Rp 1,4 juta per hari.
Ini cuma sedikit kisah sukses Khilda, yang peduli lingkungan, bermanfaat buat sekitar. Eh, menghasilkan juga... Kuy baca kisah selengkapnya di mari...
https://gitapra.wordpress.com/2017/0...-1-bersambung/
