- Beranda
- Komunitas
- Entertainment
- The Lounge
Mengunjungi Kota yang Penduduknya Anti Perceraian


TS
skydavee
Mengunjungi Kota yang Penduduknya Anti Perceraian

Perceraianmerupakan hal yang sekarang ini sudah bukan barang tabu. Mahligai pernikahan yang dibangun dengan susah payah, banyak yang berujung pada keputusan untuk berpisah. Terlepas demi alasan dan faktor apapun, namanya perceraian tetap menyisakan kisah sedih yang diluar dari prediksi. Terutama bagi pasangan yang telah dikarunia dengan lahirnya sang buah hati.
Indeks perceraian akhir-akhir ini menunjukkan trend kenaikan yang cukup signifikan. Entah ingin mengejar volume naiknya angka kriminilitas dan korupsi, tampaknya ada yang salah dengan pola pikir pasangan yang berakhir dengan perceraian.
Tidak sedikit kuantitas pasangan yang bercerai, padahal usia pernikahan sudah terjalin puluhan tahun. Bahkan tak jarang pula, pasangan yang telah menjadi kakek nenek pun tetap bersikeras untuk berpisah. Jika alasan klasik yang dijadikan alasan perceraian adalah tidak ada "kecocokan" lagi, mengapa setelah puluhan tahun baru dijadikan sebagai dalil pembenar? Aneh bukan?
Ada pula pasangan yang baru dalam hitungan bulan, tanpa dinyana, berakhir dalam gugatan di pengadilan. Sepertinya telah terjadi pergeseran moral saat ini. Pernikahan yang indah nan sakral, seolah-olah hanya menjadi ajang mainan.
Dampak psikologis bagi anak paska perceraian orangtuanya kadang bukan hal yang dijadikan bahan pertimbangan. Demi status orang tua dengan "egois"nya, para pelaku perceraian menganggap bahwa ini merupakan jalan terbaik. Mungkin, anak bagi mereka tak ubahnya deretan boneka pajangan tanpa memiliki perasaan. Pertanyaannya, benarkah anak merasa bahagia melihat kedua orangtuanya yang mereka sayangi dan cintai bercerai? Anak model apakah jika memang ada yang justru bersorak gembira sampai salto dan teriak-teriak melihat orangtuanya beradu argumen dipengadilan, lantas perceraian hanya tinggal menunggu ketok palu sang pengadil? Mungkin hanya anak keturunan tetangga sebelah yang akan bertingkah seperti itu. Anak yang normal, ga bakalan terima orangtuanya bercerai berai.
Membangun rumah tangga merupakan tujuan yang mulya. Selain untuk meneruskan garis keturunan, pernikahan juga merupakan tes kadar kedewasaan seseorang. Menyatukan dua individu asing dalam ikatan ini, adalah hal yang gampang-gampang susah. Contoh gampangnya, dengan pernikahan, ada dua insan manusia saling bertukar pikiran terhadap permasalahan yang sedang dialami. Tidur juga ada yang menemani. Bahkan kebutuhan jasmaniah sebagai salah satu unsur manusiawi terpenuhi. Pertemanan mesra dengan "sabun" yang selama ini menjadi ajang pelampiasan, juga serta merta berakhir dengan adanya pasangan.
Susahnya, mungkin ada pembatasan gerak bagi pasangan yang sudah menikah. Jika dulu mau pulang malam atau ga pulang sekalipun, paling banter yang ngomel emak dirumah. Namun jika sudah terpatri dalam ikatan pernikahan, para pengomel akan bertambah seiring jumlah anggota dalam keluarga yang berhasil diproduksi. Wajarlah, prioritaskan keluarga daripada sekedar berkongkow ga jelas. Namun, pada dasarnya, pernikahan itu sebuah pengalaman indah yang jangan sampai terlupakan. Rumah tangga mana sih yang tidak pernah bermasalah? Ga ada. Semua orang pasti pernah cekcok. Rumah tangga ga cekcok jika menikahnya bukan dengan manusia.
Tanpa unsur pembandingan, karena perceraian bisa jadi momok, ada baiknya kita sedikit belajar dari penduduk di kota Transylvania, di Rumania.
Penduduk di kota ini baru memiliki satu angka perceraian selama kurun 300 tahun. Bayangkan di suatu negara entah berantah, cobalah cek angka perceraian dimasing-masing RW atau RT. Sekali lagi, bukan sebagai pembanding dengan tujuan negatif, tujuan ini adalah demi mencontoh sesuatu yang baik. Karena bagaimanapun, sesuai ulasan diatas, perceraian itu bagaikan mimpi buruk yang dialami oleh anak. Kita singkirkan saja "para" orangtua yang berlindung dibalik atribut "tua"nya. Kita fokus pada dampak psikologis bagi anak.
Lantas, trik model apakah yang dijalankan di Transylvania? Sehingga penduduk dikota itu sukses mempertahankan pernikahannya? Bahkan indeks perceraian baru terjadi setelah 300 tahun lamanya? Apakah kita tidak ingin meniru dan belajar demi kebaikan anak-anak yang bakalan jadi korban demi sebuah keputusan tak tenar "perceraian"?
Kecuali ajaran agama tertentu yang tidak memerintahkan pengikutnya untuk menikah, kita sepakat dulu, bahwa hampir sebagian agama menganjurkan jamaahnya agar menikah. Peran pemuka agama, memegang peranan penting tidak hanya sebagai pengikat, namun memiliki tanggungjawab moral agar ikatan yang sudah disahkan tetap langgeng sampai maut memisahkan.
Demikian halnya para pemuka agama di kota Transylvania. Jika melihat adanya permasalahan yang berpotensi akan terjadinya sebuah perceraian, mereka menggiring pasangan ini kesebuah bangunan kecil, yang terdapat di altar sebuah rumah ibadah. Pasangan yang sedang berkonflik, dimasukkan ke ruangan yang disebut dengan "penjara perkimpoian"
Spoiler for Penjara perkimpoian ini terletak di altar sebuah bangunan ibadah:
Pasangan ini lantas diharuskan melewati lorong panjang dan diwajibkan merenungkan hal ikhwal permasalahan mereka sembari menelusuri lorong tersebut. Mungkin, tujuan folosofisnya adalah mengajak mereka berkontemplasi, dan flash backke masa lalu.
Spoiler for Lorong panjang yang mewajibkan pasangan yang berkonflik untuk merenungi hubungannya:
Setelah sukses melewati lorong panjang, tiba saatnya pasangan yang sedang bermasalah ini dikurung pada sebuah ruangan kecil.
Spoiler for Ruangan serba kecil dan serba satu ini memaksa pasangan untuk berbagi. Banyak yang rujuk setelah melalui ruangan ini:
Ruangan yang terbilang kecil ini hanya berisi satu ranjang mini, satu meja juga berukuran kecil, satu bantal bahkan selimut juga satu. Karena peralatan yang ada serba satu, maka mau tidak mau, memaksa pasangan ini untuk berbagi. Ujung-ujungnya, pasangan yang bersiap untuk bercerai ini justru malah rujuk dan tidak melanjutkan niatnya untuk bercerai.
Spoiler for Kunci klasik yang ada dipenjara perkimpoian:
Jika kita amati, sebenarnya apa yang dilakukan itu cukup sederhana. Namun, justru hal yang sederhana itu kadang bisa merubah cara berpikir seseorang.
Sebagaimana sudah diulas, peran pemuka agama cukup vital dan terbukti dengan angka perceraian yang sangat-sangat minim sekali.
Kesimpulannya, jika ada pasangan yang sedang berkonflik, dan berniat membubarkan ikatan pernikahan, ada baiknya hal pertama kali dilakukan adalah melakukan konsultasi kepada pemuka agama. Jangan malah berburu lawyer. Bisa pula menggunakan jasa psikolog. Karena bagaimanapun, niat awal menikah, telah melakukan serangkaian proses panjang dan kadang melelahkan. Lantas, kenapa begitu mudah untuk menyerah?
Bukankah kita sering mendengar bahwa bukan perkara sulit untuk "memilih"? Tapi bagaimana "bertahan" pada pilihan yang sudah ada.
Karena perceraian adalah sesuatu yang "halal", tapi paling dibenci Tuhan...
Have a nice weekend
Salam skydavee...
referensi
Diubah oleh skydavee 13-09-2017 18:28
0
18.9K
96


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan