Baik wanita maupun pria memiliki kecenderungan gemar berbelanja, walaupun dalam perilaku berbelanja itu sendiri jelas berbeda antara keduanya.
Pada umumnya pria dikenal lebih jarang pergi berbelanja, mereka seakan terlihat malas berlama-lama di swalayan, mall, pasar atau pusat perbelanjaan lainnya. Namun kenyataannya justru para pria sendiri adalah pribadi-pribadi yang shopping freak dalam situasi tertentu, sebut saja bila hal-hal itu berkaitan dengan hobi mereka, pria tidak akan segan-segan merogoh dompet sangat dalam untuk memuaskan keinginan tersebut.
Namun ada hal lain yang juga menarik selain perilaku pria yang "diam-diam" gemar belanja. Dalam prakteknya para pria cukup banyak melibatkan gengsi dalam berbelanja, entah gengsi itu digunakan saat hendak membeli suatu barang, atau gengsi itu yang membuat seorang pria menolak suatu barang.
Dalam kamus besar bahasa Indonesia kata 'gengsi' diartikan sebagai kehormatan dan pengaruh, harga diri, martabat.
Jadi bila mengacu pada perilaku tersebut maka harus diakui bahwa ada kalanya pria hanyut secara emosional dalam kasus berbelanja. Tidak hanya para wanita yang mudah hanyut dalam emosional kala berbelanja.
Dan sebagai imbasnya seringkali keputusan diambil kurang rasional atau kurang beralasan hanya untuk memperoleh suatu pengakuan, gengsi atau menghindari rasa 'malu'.
Dan berikut adalah contoh-contoh perilaku berbelanja pria yang melibatkan gengsi.
Spoiler for 1:
1. Si 'Selalu Menang'.
Banyak kasus seorang pria membeli suatu barang hanya karena tidak ingin 'kalah' dari seseorang. Mereka merasa ada sebuah persaingan tak langsung untuk saling menunjukan siapa diri mereka. Sifat semacam ini memang lekat pada pria secara umum, artinya sifat kompetitif dan mau menang sendiri tanpa sadar terbawa dalam setiap sisi kehidupan pribadinya.
Pria kadang merasa 'puas' bila berada dalam posisi puncak dari sebuah persaingan, perasaan 'menang' yang semu ini merupakan perasaan temporer namun sulit untuk ditolak.
Namun bukan berarti semua pria mewariskan sifat semacam ini, banyak pribadi yang masih sanggup menahan diri atau tidak hanyut dalam lingkaran persaingan yang mereka anggap tidak perlu.
Contoh kasusnya bila ada seorang teman yang sama-sama menggemari jam tangan seperti kita lalu ia membeli jam bermerk cukup terkenal dengan harga yang lumayan mahal, sebut saja jam tersebut seharga 5 juta rupiah. Tanpa sadar perasaan gelisah pun menyelimuti kita, rasa iri dan tidak mau kalah membuat kita pergi ke toko jam beberapa hari kemudian dan memutuskan untuk membeli jam tangan yang lebih mahal dan berasal dari merk yang lebih prestisius. Pria semacam ini akan merasa puas saat mengenakan jam baru tersebut tapi akan lebih puas lagi bila jam tangan yang baru saja dibelinya dipamerkan kepada teman-temannya.
Spoiler for 2:
2.Si 'Ingin Selalu Sederajat'.
Hidup di kota besar bukanlah perkara yang mudah, selain harga-harga kebutuhan yang tinggi, seringkali kita juga kerepotan untuk mengejar sebuah 'ketertinggalan' pengakuan yang kita rasa mewakili sebuah identitas.
Sesungguhnya identitas adalah ciri pengenalan diri yang kita ciptakan tentang bagaimana kehendak kita agar orang lain mengenal siapa kita. Artinya secara sadar kita yang memilih mau seperti apa orang lain melihat kita.
Namun seringkali (umumnya di kota-kota besar), bagaimana kita menciptakan sebuah identitas sangat kuat dipengaruhi faktor dari luar. Andaikan kita bergaul dengan para eksekutif yang punya barang-barang bagus, berpenampilan dengan mengenakan produk-produk ternama, ada semacam keharusan untuk tampil setidaknya sejajar dengan mereka.
Perasaan untuk ingin dipandang sejajar dan sederajat akan menciptakan kesan bahwa kita merupakan orang-orang yang sederajat pula, memiliki posisi yang sama-sama penting (walaupun kadang hal ini hanya ilusi pikiran kita sendiri), perasaan berada dalam lingkungan 'yang lebih baik', perasaan naik level.
Sifat semacam ini memang agak mirip dengan sifat yang pertama, hanya saja perbedaannya adalah pada titik dimana seseorang tidak merasa dalam sebuah persaingan, mereka hanya berusaha untuk selalu berada dalam sebuah segmentasi tanpa merasa perlu mengalahkan siapa pun dalam kelompok tersebut.
Spoiler for 3:
3.Si 'Tak ingin dipermalukan'.
Pasti pernah saat kita berkunjung ke pusat perbelanjaan, mall, swalayan, kita menemukan sebuah barang yang diluar rencana belanja namun begitu kita inginkan, bisa saja barang-barang yang sebenarnya sudah lama kita inginkan namun tidak ketemu penjualnya dimana-mana, dan na'asnya kita menemukannya saat itu. Mengapa dikatakan na'as karena sebenarnya barang itu tidak ada dalam rencana belanja kita pada saat itu, bahkan uang kita pun sebenarnya pas-pasan.
Dengan perasaan excited bercampur khawatir biasanya kita akan tetap melihat-lihat barang tersebut, bahkan kalau sempat kita akan mencoba-cobanya. Pada titik inilah perasaan bimbang pun datang, apakah harus membeli atau pergi begitu saja dan melupakannya.
Namun berhubung thread ini berkaitan dengan gengsi-gengsi pria dalam berbelanja jadi ane hanya akan menampilkan daya magis dari sebuah gengsi.
Kembali ke pria yang bimbang tadi dan memutuskan untuk mencoba-coba barang yang dia suka itu. Umumnya saat proses itu ada pramuniaga yang membantu, si pramuniaga akan bersedia bolak-balik mengambilkan permintaan dari sang calon pembeli (tentu si pramuniaga berharap pria tersebut akan benar-benar membeli). Melihat pramuniaga yang sudah susah payah mengambilkan permintaannya, ditambah presentasi si pramuniaga yang menarik soal produk tersebut akhirnya pria itu memutuskan untuk membeli, mengindahkan barang lain yang semestinya lebih perlu untuk dia beli atau mengindahkan keterbatasan uang. Semua itu seketika terlupakan atau dilupakan.
Tetapi yang menarik justru bukan karena presentasi produk yang dilakukan si pramuniaga atau soal usahanya yang gigih mencarikan apa yang diminta si pria hingga akhirnya si pria memutuskan untuk membeli, namun transaksi itu bisa terjadi hanya karena si pria tidak ingin menanggung malu karena sudah terlanjur minta ini itu, tanya ini itu tetapi tidak jadi beli. Ada perasaan khawatir tentang bagaimana nanti seseorang memandang dirinya, dan dia malu akan cibiran yang sebenarnya tidak akan pernah dia dengar.
Dan ternyata begitulah sebuah gengsi bermain bagaikan sulap, sepersekian detik, ilusif namun efektif
Spoiler for 4:
4.Si 'Tak Ingin Direndahkan'.
Ada-ada saja prilaku yang dilandaskan oleh harga diri dan gengsi, biasanya kesan dari perilaku-perilaku semacam itu adalaha tidak logis, berlebihan, emosional dan tidak masuk akal.
Karena tingginya harga diri seseorang biasanya orang-orang melakukan tindakan yang tidak perlu, bahkan dalam kasus berbelanja pun ada hal semacam ini. Mungkin perilaku ini termasuk lebih jarang dari perilaku gengsi berbelanja pria yang lainnya, karena umumnya perilaku ini butuh sesuatu yang ekstra, entah budget ekstra, rasa tahan malu yang ekstra, rasa gengsi yang ekstra, intinya harus ekstra
Pernah ane lihat di Youtube seorang pemuda yang berpenampilan biasa datang ke toko handphone dan bertanya tentang iPhone keluaran baru dan ingin membelinya, entah bagaimana sang penjual mungkin menyinggung sang calon pembeli (berdialog bahasa Tiongkok jadi ane ngga paham), mungkin sang penjual merasa ponsel tersebut terlalu mahal bagi sang calon pembeli dan menyarankan ponsel yang lebih murah (mungkin ). Sang calon pembeli pun marah-marah.
Tak berapa lama kemudian ia memutuskan membeli semua iPhone keluaran terbaru yang dimiliki toko tersebut, dengan kesal dan disaksikan si pemilik toko, pemuda itu pun mulai menghancurkan ponsel-ponsel yang baru saja ia beli menggunakan palu dibantu seorang temannya. Tidak sampai puas disitu, pria ini pun membayar semua properti dan ponsel yang dipajang di toko tersebut lalu menghancurkannya.
Terlepas dari benar atau tidaknya isi video tersebut, tetapi perilaku berbelanja pria semacam ini memang ada. Tidak selalu dengan tersinggung dan menghancurkan semua properti toko, mungkin pria macam ini akan membeli lebih dari yang dia butuhkan untuk menunjukan kepada seseorang yang mempermalukannya bahwa salah sasaran bila merendahkan seseorang seperti dirinya.
Spoiler for 5:
5.Tambahan
Selain gengsi mempengaruhi pria untuk membeli barang, kadang gengsi juga berpengaruh dalam penolakan untuk membeli barang.
Alasan yang paling umum dari setiap penolakan untuk membeli suatu barang karena harga diri atau gengsi, rasa tidak dianggap/kurang dianggap oleh pihak yang menjual atau menawarkan produk tersebut.
Perilaku seperti ini memang sangat erat kaitannya dengan sifat tidak mampu menahan emosi walaupun tidak selalu ledakan emosinya ditunjukan. Seseorang yang merasa tidak dianggap akan mengambil keputusan emosional untuk membuat sebuah jalan keluar dibanding menempuh cara yang logis. Orang-orang semacam ini saat merasa dirinya tidak dihargai akan berusaha untuk tidak menghargai orang lain juga.
Contoh kasusnya adalah seseorang yang bertanya-tanya tentang sebuah prodak kepada pramuniaga namun mendapat respon kurang menyenangkan (walaupun setiap perilaku tidak menyenangkan yang dimaksud bisa berbeda-beda tarafnya), maka ia akan memutuskan pergi sambil mengindahkan si pramuniaga, ia hendak menunjukan kesan bahwa dirinya ingin dihargai. Walaupun pada sudut pandang yang lain bila hal tersebut disikapi lebih tenang, orang tersebut bisa sekedar menegur perilaku tidak menyenangngkan yang ia terima atau melaporkan pada atasannya, alih-alih pergi tanpa hasil untuk suatu barang yang mungkin ia perlukan.
Ada juga contoh perilaku lain untuk membatalkan sebuah transaksi, biasanya karena uang kita pas-pasan atau terkejut dengan harga yang menurut kita terlalu mahal maka kita menggunakan trik-trik tertentu untuk keluar dari 'rasa malu' karena tidak jadi beli.
Sebut saja bila kita berkunjung ke toko sepatu, dari luar toko kita lihat sepatu-sepatunya begitu menarik, dan kita memutuskan untuk masuk. Namun saat tiba di dalam kita terkejut dengan bandrol harga yang menurut kita terlalu mahal. Dengan sedikit memperhatikan produk-produk lain di dalam toko tersebut agar terlihat tetap tenang, kita juga berusaha mencari sesuatu yang tidak dijual oleh toko tersebut namun kurang lebih sama kelas dan harganya. Dengan cerdik kita menghampiri pramuniaga dan bertanya apakah merk sepatu A ada (kita sudah tahu kalau merk itu tidak dijual disana), pramuniaga pun menjawab bahwa tidak ada sepatu merk yang kita sebutkan, maka dengan wajah kecewa palsu kita pun keluar dari toko tersebut, merasa terselamatkan dari 'rasa malu' karena khawatir dianggap tidak mampu membeli sepatu dengan harga yang dijual toko tersebut
Spoiler for Penutup:
Dan sebagai penutup, berbelanja bagi pria merupakan sesuatu hal yang sama menariknya seperti wanita melihat kegiatan berbelanja itu sendiri. Hanya saja kita berbeda dalam berperilaku, dalam latar belakang bersikap atau berbeda saat membuat pilihan. Namun pada intinya saat kita memahami berbelanja merupakan sebuah kegiatan yang erat kaitannya dengan sesuatu yang kita inginkan, maka kita akan sadar pula bahwa berbelanja bukan sekedar pergi ke suatu toko, membeli barang dan pulang, tetapi berbelanja nyata sebuah kegiatan yang melibatkan psikologi, emosi, logika, akal sehat, imajinasi dan intelijensi. Maka dari itu diharapkan kita akan bijak membuat sebuah keputusan, kapan harus mengeluarkan uang hanya untuk sesuatu yang kita butuhkan, kapan harus mengeluarkan untuk sesuatu yang kita inginkan atau bahkan kapan kita harus menghambur-hamburkannya.