[EVENT SEJARAH] Rakai Panangkaran Dyah Pancapana Sang Sailendrawangsatilaka
TS
qiulani
[EVENT SEJARAH] Rakai Panangkaran Dyah Pancapana Sang Sailendrawangsatilaka
Sebelumnya ijinkan saya sebagai newbe yang baru pertama kali bikin thread di kaskus tercinta ini, ikut meramaikan event di sf Sejarah & Xenology. Mohon maaf apabila ada kesalahan pemaparan thread dari newbe
Sebagai pengantar, saya akan mencoba membahas seorang raja yang dahulu kala pernah berkuasa di Bumi Jawa yang dimana kekuasaan kerajaannya nantinya akan membentang dari kamboja hingga sampai ke filipina
Bangsa kita selalu berfikir bahwasannya kerajaan yang menguasai sebagian besar Nusantara dahulu hanya Kerajaan Sriwijaya dan Kerajaan Majapahit, padahal dahulu sebelum kedua kerajaan tersebut berdiri, terdapat kerajaan besar yang kekuasaanya bahkan lebih besar dari Nusantara itu sendiri, yaitu Kerajaan Medang I Bhumi Mataram (Kerajaan Medang yang beribukota di Mataram). Dari kerajaan ini-lah nantinya akan menghasilkan banyak sekali karya monumental yang hingga saat ini bisa kita temui, seperti Candi Gedung Songo, Candi Prambanan, Candi Borobudur, Candi Kalasan, dan lain sebagainya. Beberapa penguasa Kerajaan Sriwijaya sendiri berasal dari keturunan kerajaan medang, bahkan Kerajaan Khamer juga dahulu didirikan oleh seorang pangeran yang berasal dari Kerajaan Medang. Saya sendiri berpendapat penguasa Kerajaan Majapahit-pun berasal dari keturunan Kerajaan Medang ini (pendapat pribadi)
Nah saat ini saya tidak akan membahas kerajaannya, namun akan membahas seorang Raja yang dahulu pernah berkuasa di Kerajaan Medang, dan dari Raja ini-lah nantinya akan menyebabkan berdebatan yang tidak kunjung usai di kalangan arkeolog, yaitu tentang dua Dinasty yang diduga pernah berkuasa di Kerajaan Medang
tanpa basa-basi lagi yuk kita langsung saja membahas tentang Sri Maharaja Rakai Panangkaran Dyah Pancapana Sang Sailendrawangsatilaka,...
Sri Maharaja Rakai Panangkaran Dyah Pancapana
(746 M - 784 M)
Sri Maharaja Rakai Panangkaran Dyah Pancapana adalah raja kedua Kerajaan Medang I Bhumi Mataram yang memerintah pada sekitar tahun 770-an. Namanya sendiri tercatat didalam Prasasti Kalasan yang berangka tahun 778 M (Maharaja Dyah Pancapana Panamkarana), Prasasti Ratu Boko I/Prasasti Abhayagiri Wihara yang berangka tahun 792 M (Tejahpurnapane Panamkarana), Prasasti Mantyasih yang berangka tahun 907 M (Sri Maharaja Rakai Panangkaran), dan Prasasti Wanua Tengah III yang berangka tahun 908 M (Rakai Panangkaran). Namun sayangnya karena minimnya data sejarah mengenai Kerajaan Medang pada awal berdirinya, hal tersebut menyebabkan terjadinya beberapa penafsiran yang berbeda diantara arkeolog mengenai asal-usul Rakai Panangkaran ini. Ada arkeolog yang berpendapat bahwa Rakai Panangkaran ini berasal dari Wangsa Sanjaya, namun ada pula yang berpendapat bahwa Rakai Panangkaran ini berasal dari Wangsa Sailendra.
Spoiler for A. Hubungan dengan Sanjaya, Sri Maharaja dan Dharanindra:
Prasasti Abhayagiri Wihara
Berdasarkan Prasasti Mantyasih dan Prasasti Wanua Tengah III, Sanjaya menempati urutan pertama dalam daftar Raja-raja yang memerintah di Kerajaan Medang, sehingga dapat diperkirakan bahwa Sanjaya merupakan raja pertama di Kerajaan Medang, dan kemudian berdasarkan informasi yang diberikan oleh Prasasti Canggal yang berangka tahun 732 M, diketahui bahwa Sanjaya merupakan penganut agama Hindu Siwa. Sementara itu pada Prasasti Mantyasih dan Prasasti Wanua Tengah III, Rakai Panangkaran menempati urutan kedua daftar Raja-raja Kerajaan Medang, dan Rakai Panangkaran ini diduga merupakan penganut agama Budha Mahayana. Dugaan tersebut sendiri didasarkan atas informasi yang diberikan oleh Prasasti Kalasan, yang menceritakan bahwa Rakai Panangkaran telah mendirikan sebuah Candi Buddha beraliran Mahayana di Desa Kalasan. Sehubungan dengan ke dua berita ini, kemudian muncul beberapa teori seputar hubungan di antara Sanjaya dengan Rakai Panangkaran, yang diantaranya adalah sebagai berikut:
1. Teori pertama : Rakai Panangkaran Putera Sanjaya Tetapi Dikalahkan Wangsa Sailendra
Teori pertama ini di pelopori oleh Van Naerssen, yang dimana pada teori ini disebut-kan bahwa Rakai Panangkaran adalah putera Sanjaya dan termasuk kedalam Wangsa Sanjaya, namun Wangsa Sanjaya pada masa pemerintahan Rakai Panangkaran ini kemudian berhasil dikalahkan oleh Wangsa Sailendra yang beragama Buddha. Van Naerssen juga berpendapat bahwa pembangunan Candi Kalasan yang dilakukan Rakai Panangkaran tidak lain merupakan perintah dari Raja Sailendra kepada Rakai Panangkaran yang telah menjadi raja bawahan. Van Naerssen memperkirakan Raja Sailendra yang menjadi atasan Rakai Panangkaran tersebut adalah Dharanindra, yang dimana namanya ditemukan didalam Prasasti Kelurak yang berangka tahun 782 M. Teori ini dikemukakan Van Naerssen berdasarkan atas penafsirannya terhadap isi dari Prasasti Kalasan, yaitu Van Naerssen beranggapan bahwa Rakai Panangkaran bukanlah seorang raja dari Dinasti Śailendra, dan juga bukan seorang yang beragama Buddha. Van Naerssen menafsirkan bahwa didalam Prasasti Kalasan disebutkan adanya dua orang raja, yaitu Śri Mahārāja Dyāh Pancapana Panamkarana dan Raja Śailendravamsatilaka (Permata Wangsa Śailendra), hal ini tentu saja berbeda dengan pendapat dari kebanyakan para ahli yang menafsirkan bahwa Śri Mahārāja Dyāh Pancapana Panamkarana adalah Śailendravamsatilaka. Teori Van Naerssen ini sendiri kemudian banyak dikembangkan dan didukung oleh para sejarawan Barat, yang diantaranya adalah George Cœdès dan Dr. F.D.K. Bosch.
2. Teori kedua : Rakai Panangkaran Putera Sanjaya dan Merupakan Wangsa Sailendra
Teori kedua ini di pelopori oleh Prof. Poerbatjaraka, yang dimana pada teori ini disebutkan bahwa Rakai Panangkaran adalah putera Sanjaya, dan keduanya juga sama-sama berasal dari Wangsa Sailendra, bukan Wangsa Sanjaya. Poerbatjaraka menolak tentang keberadaan Wangsa Sanjaya, menurutnya Wangsa Sanjaya ini tidak pernah ada, karena Sanjaya sendiri merupakan anggota dari Wangsa Sailendra. Poerbatjaraka berpendapat bahwa Dinasti Sailendra ini pada awalnya beragama Hindu, karena istilah Sailendra sendiri bermakna “Penguasa Gunung” yang merupakan sebutan untuk Dewa Siwa. Selain itu istilah Wangsa Sanjaya sendiri tidak pernah dijumpai didalam prasasti manapun, sehingga Poerbatjaraka berpendapat bahwa Wangsa Sanjaya ini tidak pernah ada. Mengenai perpindahan agama pada Wangsa Sailendra ini, Poerbatjaraka berpendapat bahwa sebelum meninggal, Sanjaya telah memerintahkan agar puteranya yang bernama Rakai Panangkaran untuk pindah agama, dari agama Hindu Siwa menjadi Buddha. Teori ini dikemukakan oleh Poerbatjaraka berdasarkan atas kisah didalam Carita Parahyangan, yang menceritakan bahwa Rahyang Sanjaya telah menyuruh Rahyang Panaraban untuk berpindah agama, karena agama yang dianut Rahyang Sanjaya begitu kejam.
Prasasti Raja Sankhara
Menurut Poerbatjaraka tokoh Rahyang Panaraban pada Carita Parahyangan ini identik dengan Rakai Panangkaran, sehingga menurut Poerbatjaraka, yang dimaksud dengan "Para Guru Raja Sailendra" didalam Prasasti Kalasan tidak lain adalah para guru Rakai Panangkaran sendiri. Carita Parahyangan memang ditulis ratusan tahun sesudah kematian Sanjaya, namun kisah di Carita Parahyangan ini seolah terbukti dengan ditemukannya Prasasti Raja Sankhara yang mengisahkan tentang adanya seorang raja bernama Raja Sankhara, yang telah berpindah agama karena ayahnya meninggal dunia akibat menjalani ritual agama yang terlalu berat. Prasasti Raja Sankhara menceritakan bahwa ayah Raja Sankhara, yang diartikan Raja Sanjaya telah menjalankan ritual yang sangat berat atas saran sang guru, Resi Brahmana pemuja Siwa. Akibat ritual tersebut, dalam waktu 8 hari ayah Raja Sankhara sakit keras yang berujung kepada kematiannya. Raja Sankhara yang khawatir akan ajaran guru Siwa yang dianggapnya tidak benar, kemudian berpindah keyakinan menjadi penganut agama Budha Mahayana, dan memindahkan pusat kerajaannya ke arah timur (Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto 1984:109).
Poerbatjaraka berpendapat bahwa Raja Sankhara yang dimaksud oleh Prasasti Raja Sankhara tersebut sama dengan Rahyang Panaraban pada Carita Parahyangan dan juga identik dengan Rakai Panangkaran pada Prasasti Mantyasih. Dengan ditemukannya Prasasti Raja Sankhara ini, Poerbatjaraka menarik kesimpulan bahwa Sanjaya dan keturunannya merupakan anggota dari Wangsa Sailendra, dan Sanjaya sendiri tidak pernah mendirikan Wangsa Sanjaya. Teori Poerbatjaraka yang menyebutkan hanya ada satu Dinasti saja yang berkuasa di Kerajaan Medang, yaitu Wangsa Sailendra dapat diterima karena adanya bukti primer (Prasasti Raja Sankhara) yang menguatkan teori tersebut. Teori Prof. Poerbatjaraka ini sendiri kemudian banyak dikembangkan dan didukung oleh para sejarawan indonesia, yang diantaranya adalah Marwati Pusponegoro dan Nugroho Notosutanto. Menurut Poerbatjaraka sejak pemerintahan Rakai Panangkaran inilah Dinasti Sailendra mulai terpecah menjadi dua, yaitu Dinasti Sailendra masih memeluk agama Hindu Siwa dan Dinasti Sailendra yang sudah memeluk agama Budha. Agama Buddha sendiri kemudian dijadikan agama resmi negara oleh Rakai Panangkaran, sedangkan cabang Sailendra lainnya yang tetap menganut agama Hindu kemudian menurunkan Rakai Pikatan yang kelak kembali berkuasa di Kerajaan Medang.
3. Teori ketiga : Rakai Panangkaran Bukan Putera Sanjaya dan Merupakan Wangsa Sailendra
Teori ketiga ini dikemukakan oleh Slamet Muljana, yang dimana pada teori ini disebutkan bahwa Rakai Panangkaran bukanlah putera Sanjaya dan merupakan anggota dari Dinasti Sailendra. Pernyataan Slamet Muljana ini berdasarkan atas daftar para raja versi Prasasti Mantyasih, karena pada Prasasti Mantyasih tertulis nama Sanjaya yang bergelar Sang Ratu, sedangkan Rakai Panangkaran dan seterusnya bergelar Sri Maharaja. Perubahan gelar tersebut menurut Slamet Muljana membuktikan telah terjadinya pergantian Dinasti yang berkuasa di Kerajaan Medang. Slamet Muljana berpendapat tokoh yang bernama Rakai Panangkaran ini merupakan raja dari Wangsa Sailendra, yang telah berhasil merebut tahta Medang serta mengalahkan Wangsa Sanjaya. Menurut Slamet Muljana, Rakai Panangkaran tidak mungkin berstatus sebagai bawahan Wangsa Sailendra, karena dalam Prasasti Kalasan Rakai Panangkaran dipuji sebagai Sailendrawangsatilaka. Berbeda dengan Van Naerssen yang berpendapat bahwa terdapat dua orang raja yang disebutkan oleh Prasasti Kalasan, yaitu Śri Mahārāja Dyāh Pancapana Panamkarana dan Raja Śailendravamsatilaka, Slamet Muljana memperkirakan bahwa kalimat tersebut merujuk kepada satu orang, yang dimana Rakai Panangkaran merupakan Śailendravamsatilaka. Selain itu Slamet Muljana juga menolak teori Van Naerssen yang menyebutkan bahwa Rakai Panangkaran adalah bawahan Dharanindra. Menurut Slamet Muljana, Rakai Panangkaran dan Dharanindra sama-sama berasal dari Wangsa Sailendra, namun meskipun demikian Slamet Muljana tidak menganggap keduanya sebagai tokoh yang sama. Slamet Muljana berpendapat bahwa Dharanindra itu tidak sama dengan Rakai Panangkaran yang memiliki nama asli Dyah Pancapana, sesuai dengan informasi yang diberikan oleh Prasasti Kalasan. Slamet Muljana berpendapat bahwa Dharanindra adalah nama asli dari Rakai Panunggalan, yaitu raja ketiga Kerajaan Medang yang namanya disebut sesudah Rakai Panangkaran dalam Prasasti Mantyasih.
Spoiler for B. Pembangunan Candi Kalasan:
Prasasti Kalasan
Sri Maharaja Rakai Panangkaran menempati urutan kedua dalam daftar Raja-raja Kerajaan Medang versi Prasasti Mantyasih dan Prasasti Wanua Tengah III, yang dimana nama Rakai Panangkaran ini ditulis setelah Sanjaya yang diyakini sebagai pendiri Kerajaan Medang. Prasasti Mantyasih dan Prasasti Wanua Tengah III sendiri dikeluarkan oleh Sri Maharaja Dyah Balitung pada tahun 907 M dan 908 M, ratusan tahun sejak masa kehidupan Rakai Panangkaran. Sementara itu prasasti yang berasal dari zaman Rakai Panangkaran adalah Prasasti Kalasan yang berangka tahun 778 M. Prasasti Kalasan ini merupakan piagam peresmian pembangunan sebuah Candi Buddha untuk pemujaan Dewi Tara, yang dimana dasar pembangunan Candi ini berdasarkan atas permohonan para guru Rakai Panangkaran. Dalam Prasasti Kalasan juga, Rakai Panangkaran dipuji sebagai Sailendrawangsatilaka atau “Permata Wangsa Sailendra”. Candi Budha yang didirikan oleh Rakai Panangkaran ini, sekarang dikenal dengan nama Candi Kalasan.
Spoiler for C. Pendapat Penulis Mengenai Rakai Panangkaran:
Prasasti Mantyasih II
Berdasarkan ketiga teori yang berkembang mengenai Rakai Panangkaran seperti yang telah disebutkan diatas, serta berdasarkan bukti-bukti sejarah yang otentik, penulis memiliki teori tersendiri tentang Rakai panangkaran ini. Sebelum membahas tentang Rakai Panangkaran, penulis sebelumnya akan memberikan pendapat mengenai keberadaaan Dinasti Sanjaya dan juga Dinasti Sailendra. Penulis meyakini bahwasannya tidak ada yang namanya Wangsa Sanjaya, yang ada hanyalah Wangsa Sailendra. Hal ini didasari atas belum ditemukannya satupun prasasti ataupun sumber primer sejarah lainnya yang menyebutkan adanya Wangsa Sanjaya, sementara itu istilah Wangsa Sailendra dapat ditemukan dalam beberapa prasasti seperti Prasasti Sojomerto (Selendranamah), Prasasti Kalasan (Śailendragurubhis, Śailendrawańśatilakasya, Śailendrarajagurubhis), Prasasti Klurak (Śailendrawańśatilakena), Prasasti Kayumwuńan (Śailendrawańśatilaka), Prasasti Abhayagiriwihara yang ditemukan di bukit Ratu Baka (Dharmmatuńgadewasyaśailendra), Prasasti Ligor, dan Prasasti Nalanda. Dengan dasar inilah penulis meyakini bahwasannya Wangsa Sanjaya itu tidak ada, dan Sanjaya sendiri termasuk Wangsa Sailendra. Sementara itu mengenai tokoh Rakai Panangkaran ini, penulis lebih mendukung teori Prof. Poerbatjaraka yang juga didukung oleh Marwati Pusponegoro dan Nugroho Notosutanto. Namun satu hal yang masih mengganjal dari teori ini adalah nama tokoh yang disebutkan Carita Parahyangan, yaitu Rahyang Panaraban. Rahyang Panaraban ini oleh Poerbatjaraka di identikkan dengan Rakai Panangkaran, namun pada Prasasti Wanua Tengah III terdapat tokoh yang bernama Rakai Panaraban (1-4-784 M - ...) yang ditulis setelah Rakai Panangkaran. Apakah Rahyang Panaraban sama dengan Rakai Panangkaran ataukah Rahyang Panaraban sama dengan Rakai Panaraban yang disebutkan oleh Prasasti Wanua Tengah III? hal ini tentu masih perlu penelitian yang lebih mendalam. Mungkin saja penulis Carita Parahyangan salah menempatkan Rahyang Panaraban sebagai anak Sanjaya, atau bisa saja Rahyang Panaraban ini memang merupakan anak dari Sanjaya, bersama dengan Rahyang Tamperan dan juga Rahyang Panangkaran? semua ini masih perlu dilakukan penelitian lebih lanjut.
Kemudian untuk masalah penafsiran pada Prasasti Kalasan, penulis lebih setuju pendapat dari Van Naerssen, yang menyebutkan bahwa tedapat dua orang raja yang disebutkan di dalam Prasasti Kalasan, yaitu yaitu Śri Mahārāja Dyāh Pancapana Panamkarana dan Raja Śailendravamsatilaka (Permata Wangsa Śailendra). Hanya saja penulis tidak setuju pendapat Van Naerssen yang menyebutkan bahwa Śri Mahārāja Dyāh Pancapana Panamkarana merupakan raja bawahan Raja Śailendravamsatilaka, menurut penulis justru Raja Śailendravamsatilaka inilah yang merupakan raja bawahan dari Rakai Panangkaran, dengan alasan karena pada Prasasti Kalasan tersebut Rakai Panangkaran bergelar “Śri Mahārāja”, sedangkan Śailendravamśatilaka hanya bergelar “Rāja”. Hal ini cukup memberikan gambaran bahwa posisi Rakai Panangkaran yang bergelar “Śri Mahārāja” lebih mulia dan di atas dari posisi “Rāja” Śailendravamsatilaka, kemudian Prasasti Kalasan juga menyebutkan bahwa Raja Śailendra telah mengutus guru-gurunya untuk meminta perkenan Śri Mahārāja Dyāh Pancapana Panamkarana untuk membangun sebuah bangunan suci, dan apabila Rakai Panangkaran adalah raja bawahannya, mengapa Raja Śailendra harus minta ijin pada Panangkaran terlebih dulu?. Dari kedua alasan tersebutlah maka dapat ditarik kesimpulan bahwa Rakai Panangkaran adalah atasan dari Raja Sailendra.
Mengenai siapa Raja Sailendra yang disebutkan oleh Prasasti Kalasan ini, penulis berpendapat bahwa Raja Sailendra yang dimaksud adalah putera mahkota Kerajaan Medang atau anak dari Rakai Panangkaran yang telah diangkat menjadi raja bawahan. Lazimnya pada masa itu, bahwa putera mahkota yang akan menggantikan kedudukan seorang raja akan ditempatkan atau diberikan kekuasaan di suatu daerah tertentu sebagai raja bawahan, untuk melatih calon pengganti tersebut agar nantinya lebih cakap dalam memerintah. Penulis juga mencermati tentang beberapa teori yang berkembang mengenai tokoh yang bernama Dharanindra, dan pada akhirnya penulis mendukung teori Slamet Muljana yang menyebutkan bahwa Dharanindra merupakan nama asli dari Rakai Panunggalan, dan merupakan Raja ke-3 Kerajaan Medang. Hal tersebut didasarkan atas informasi Prasasti Kalasan, yang menyebutkan bahwa nama asli Rakai Panangkaran adalah Dyah Pancapana, jadi tidak mungkin Rakai Panangkaran sama dengan Dharanindra. Sementara itu nama Dharanindra disebutkan pada Prasasti Kelurak (782) yang dimana pada tahun tersebut raja yang berkuasa pada saat itu menurut Prasasti Wanua Tengah III adalah Rakai Panaraban (1-4-784 M - ...).
Sumber dan Referensi:
1. Atja dan Ayatrohaedi 1986 Negarakretabhumi I.5 Bandung: Bagian Proyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Sunda (Sundanologi). Direktorat Jendral Kebudayaan. Depdikbud.
2. Ayatrohaedi 1986 “Hubungan Keluarga antara Sanjayawangsa dan Sailendrawangsa”. Dalam Romantika Arkheologia, hal. 4-7. Jakarta: Keluarga Mahasiwa Arkeologi Fakultas Sastra Universitas Indonesia.
3. Boechari 1966 “Peminary Report on the Discovery of Old Malay Incription at Sojomerto”. Dalam MISI 3 Hlm. 2–3; 241-251.
4. Bosch, 1925 “Een oorkonde van het groot kloster van Nalanda”. Dalam TBG 65 : 509-588.
5. Bosch, 1928 “De Inscriptie van Kelurak”. Dalam TBG 68: 1-64. 1975 Crivijaya, Cailendra dan Sanjayavamca, (seri terjemahan no.50). Jakarta : Bhratara
6. Coedes, G. 1918 “Le Royaume de Crivijaya”, BEFEO 18: 1-36. 1934 “The Origin of the Cailendra of Indonesia”. JGIS I: 66-70.
7. Damais, L.C. 1970 Repertoire onomastique de l’epigrphi Javanaise. Paris : Ecole Francaise d’extreme-Orient.
8. De Casparis, J.G. 1956 Inscrities uit de Cailendra-tijd. Bandung: Masa Baru.
NB : update 1-2 dari post 11 pindah ke post 03
Finall Update post 11
mohon maaf apabila pembahasannya kaku, masih taraf belajar
================ [] ============== Horeee jadi HT tanggal 09-09-2017
Spoiler for Bukti HT:
Horeee jadi Hot Thread di Forsex juga
Spoiler for Bukti HT Forsex:
terima kasih momod, mimin dan teman-teman kaskuser smua Special Tnks untuk momod Forsex, kk heane dan para penghuni forsex