- Beranda
- Komunitas
- Entertainment
- The Lounge
Bahas Tuntas: “Pembantaian Glodok” Tahun 1740 (Tragedi Angke / Geger Pacinan)


TS
udinjual
Bahas Tuntas: “Pembantaian Glodok” Tahun 1740 (Tragedi Angke / Geger Pacinan)
Halo gan kali ini saya akan membahas mengenai geger pecinan atau tragedi angke yaitu suatu kejadian dimana para rakyat tionghoa di sekitar batavia di bunuh dan dijarah tokonya oleh para belanda
Dan Kerusuhan yang dimaksud adalah
Geger Pacinan juga dikenal sebagai
Tragedi Angke.
Untuk menggambarkan betapa horonya tragedi ini Pemerintah Hindia Belanda menyebutnya: Chinezenmoord, "Pembunuhan orang Tionghoa" merupakan sebuah pogrom terhadap orang - orang keturunan Tionghoa di Batavia, Hindia Belanda. Kekerasan terhadap warga keturunan Tionghoa berlangsung dari 9 Oktober hingga 22 Oktober 1740.
Mau tau lebih selanjutnya simak trit ane brikut ini
Geger Pacinan , juga dikenal sebagai Tragedi Angke (dalam bahasa Belanda:
Chinezenmoord , yang berarti “Pembunuhan orang Tionghoa”)
merupakan sebuah
pogrom terhadap orang keturunan Tionghoa di kota pelabuhan Batavia, Hindia-Belanda (sekarang Jakarta).
Pogrom adalah adalah istilah serangan penuh kekerasan besar-besaran yang terorganisasi atas sebuah kelompok tertentu, etnis, keagamaan, atau lainnya, yang dibarengi oleh penghancuran terhadap lingkungannya (rumah, tempat usaha, pusat-pusat keagamaan, dll.)
Kekerasan dalam batas kota Batavia ini berlangsung dari 9 Oktober hingga 22 Oktober 1740, sedangkan berbagai pertempuran kecil terjadi hingga akhir November di tahun yang sama.
Keresahan dalam masyarakat Tionghoa dipicu oleh represi pemerintah dan berkurangnya pendapatan akibat jatuhnya harga gula yang terjadi menjelang pembantaian ini.
Untuk menanggapi keresahan tersebut, pada sebuah pertemuan Dewan Hindia (Raad van Indië), badan pemimpin
Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC), Guberner-Jenderal Adriaan Valckenier menyatakan bahwa kerusuhan apapun dapat ditanggapi dengan kekerasan mematikan.
Pernyataan Valckenier tersebut diberlakukan pada tanggal 7 Oktober 1740 setelah ratusan orang keturunan Tionghoa, banyak di antaranya buruh di pabrik gula, membunuh 50 pasukan Belanda.
Penguasa Belanda mengirim pasukan tambahan, yang mengambil semua senjata dari warga Tionghoa dan memberlakukan jam malam.
Dua hari kemudian, setelah ditakutkan oleh isyu dan desas-desus tentang kekejaman etnis Tionghoa, kelompok etnis lain di Batavia mulai membakar rumah orang Tionghoa di sepanjang Kali Besar.
Sementara itu, pasukan Belanda menyerang rumah orang Tionghoa dengan meriam.
-valkenier-
Kekerasan ini dengan cepat menyebar di seluruh kota Batavia sehingga lebih banyak orang Tionghoa dibunuh.
Meski Valckenier mengumumkan bahwa ada pengampunan untuk orang Tionghoa pada tanggal 11 Oktober, kelompok pasukan tetap terus memburu dan membunuh orang Tionghoa hingga tanggal 22 Oktober, saat Valckenier dengan tegas menyatakan bahwa pembunuhan harus dihentikan.
Di luar batas kota, pasukan Belanda terus bertempur dengan buruh pabrik gula yang berbuat rusuh. Setelah beberapa minggu penuh pertempuran kecil, pasukan Belanda menyerang markas Tionghoa di berbagai pabrik gula. Orang Tionghoa yang selamat mengungsi ke Bekasi.
Diperkirakan bahwa lebih dari 10.000 orang keturunan Tionghoa dibantai. Jumlah orang yang selamat tidak pasti, ada dugaan dari 600 sampai 3.000 yang selamat.
Pada tahun berikutnya, terjadi berbagai pembantaian di seluruh pulau Jawa. Hal ini memicu suatu perang selama dua tahun atau yang dikenal dengan “Perang Jawa (1741–1743)” , dengan tentara gabungan Tionghoa dan Jawa melawan pasukan Belanda.
Setelah itu, Valckenier dipanggil kembali ke Belanda dan dituntut atas keterlibatannya dalam pembantaian ini, Gustaaf Willem van Imhoff menggantikannya sebagai gubernur jenderal. Hingga zaman modern, pembantaian ini kerap ditemukan dalam sastra Belanda. Pembantaian ini mungkin juga menjadi asal nama beberapa daerah di Jakarta.

Dan Kerusuhan yang dimaksud adalah
Geger Pacinan juga dikenal sebagai
Tragedi Angke.
Untuk menggambarkan betapa horonya tragedi ini Pemerintah Hindia Belanda menyebutnya: Chinezenmoord, "Pembunuhan orang Tionghoa" merupakan sebuah pogrom terhadap orang - orang keturunan Tionghoa di Batavia, Hindia Belanda. Kekerasan terhadap warga keturunan Tionghoa berlangsung dari 9 Oktober hingga 22 Oktober 1740.
Mau tau lebih selanjutnya simak trit ane brikut ini

Quote:
Geger Pacinan , juga dikenal sebagai Tragedi Angke (dalam bahasa Belanda:
Chinezenmoord , yang berarti “Pembunuhan orang Tionghoa”)
merupakan sebuah
pogrom terhadap orang keturunan Tionghoa di kota pelabuhan Batavia, Hindia-Belanda (sekarang Jakarta).
Pogrom adalah adalah istilah serangan penuh kekerasan besar-besaran yang terorganisasi atas sebuah kelompok tertentu, etnis, keagamaan, atau lainnya, yang dibarengi oleh penghancuran terhadap lingkungannya (rumah, tempat usaha, pusat-pusat keagamaan, dll.)
Kekerasan dalam batas kota Batavia ini berlangsung dari 9 Oktober hingga 22 Oktober 1740, sedangkan berbagai pertempuran kecil terjadi hingga akhir November di tahun yang sama.
Keresahan dalam masyarakat Tionghoa dipicu oleh represi pemerintah dan berkurangnya pendapatan akibat jatuhnya harga gula yang terjadi menjelang pembantaian ini.
Untuk menanggapi keresahan tersebut, pada sebuah pertemuan Dewan Hindia (Raad van Indië), badan pemimpin
Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC), Guberner-Jenderal Adriaan Valckenier menyatakan bahwa kerusuhan apapun dapat ditanggapi dengan kekerasan mematikan.
Pernyataan Valckenier tersebut diberlakukan pada tanggal 7 Oktober 1740 setelah ratusan orang keturunan Tionghoa, banyak di antaranya buruh di pabrik gula, membunuh 50 pasukan Belanda.

Dua hari kemudian, setelah ditakutkan oleh isyu dan desas-desus tentang kekejaman etnis Tionghoa, kelompok etnis lain di Batavia mulai membakar rumah orang Tionghoa di sepanjang Kali Besar.

Sementara itu, pasukan Belanda menyerang rumah orang Tionghoa dengan meriam.

Kekerasan ini dengan cepat menyebar di seluruh kota Batavia sehingga lebih banyak orang Tionghoa dibunuh.
Meski Valckenier mengumumkan bahwa ada pengampunan untuk orang Tionghoa pada tanggal 11 Oktober, kelompok pasukan tetap terus memburu dan membunuh orang Tionghoa hingga tanggal 22 Oktober, saat Valckenier dengan tegas menyatakan bahwa pembunuhan harus dihentikan.
Di luar batas kota, pasukan Belanda terus bertempur dengan buruh pabrik gula yang berbuat rusuh. Setelah beberapa minggu penuh pertempuran kecil, pasukan Belanda menyerang markas Tionghoa di berbagai pabrik gula. Orang Tionghoa yang selamat mengungsi ke Bekasi.
Diperkirakan bahwa lebih dari 10.000 orang keturunan Tionghoa dibantai. Jumlah orang yang selamat tidak pasti, ada dugaan dari 600 sampai 3.000 yang selamat.
Pada tahun berikutnya, terjadi berbagai pembantaian di seluruh pulau Jawa. Hal ini memicu suatu perang selama dua tahun atau yang dikenal dengan “Perang Jawa (1741–1743)” , dengan tentara gabungan Tionghoa dan Jawa melawan pasukan Belanda.
Setelah itu, Valckenier dipanggil kembali ke Belanda dan dituntut atas keterlibatannya dalam pembantaian ini, Gustaaf Willem van Imhoff menggantikannya sebagai gubernur jenderal. Hingga zaman modern, pembantaian ini kerap ditemukan dalam sastra Belanda. Pembantaian ini mungkin juga menjadi asal nama beberapa daerah di Jakarta.
Quote:
Sekilas Tentang “Perang Jawa” (1741–1743)
Perang Jawa atau juga disebut “Perang Tionghoa” terjadi dari tahun 1741 hingga 1743, adalah konflik bersenjata antara gabungan tentara Tionghoa dengan Jawa melawan pemerintah kolonial Belanda yang meletus di Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Belanda berhasil memenangkan perang ini, yang mengakibatkan jatuhnya Kesultanan Mataram dan secara tidak langsung mengarah ke pendirian Kasunanan Surakarta dan Kesultanan Yogyakarta .
Setelah tentara Belanda membantai 10.000 orang Tionghoa di Batavia (sekarang Jakarta), beberapa orang yang selamat yang dipimpin oleh Khe Pandjang pergi ke Semarang.
Meskipun telah diperingati bahwa pemberontakan akan segera meletus, kepala militer VOC atau Vereenigde Oostindische Compagnie , Bartholomeus Visscher mengabaikan nasihat yang masuk dan tidak menyiapkan bala bantuan.
Akibatnya, Sunan Mataram Pakubuwono II memilih untuk mendukung orang Tionghoa, sementara berpura-pura membantu orang Belanda.
Setelah korban pertama berjatuhan pada 1 Februari 1741 di kota Pati, pemberontakan menyebar ke seluruh Jawa Tengah.
Orang Jawa turut membantu orang Tionghoa dengan berpura-pura bertempur melawan orang Tionghoa tersebut, agar orang Belanda mengira bahwa mereka didukung orang Jawa.
Tipuan menjadi semakin jelas dan tentara Tionghoa terus mendekati Semarang. Setelah merebut Rembang, Tanjung, dan Jepara, tentara gabungan mengepung Semarang pada Juni 1741.
Visscher kemudian memerintahkan untuk menghabisi semua orang Tionghoa di Jawa. Pangeran Cakraningrat IV dari Madura menawarkan bantuan, dan dari Madura ke arah barat ia membantai semua orang Tionghoa yang dapat ditemui dan memadamkan pemberontakan di Jawa Timur.
Pada akhir tahun 1741, pengepungan kota Semarang berhasil dipatahkan setelah tentara Pakubuwono II melarikan diri karena tentara Belanda memiliki senjata api yang lebih kuat.

Perang Jawa atau juga disebut “Perang Tionghoa” terjadi dari tahun 1741 hingga 1743, adalah konflik bersenjata antara gabungan tentara Tionghoa dengan Jawa melawan pemerintah kolonial Belanda yang meletus di Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Belanda berhasil memenangkan perang ini, yang mengakibatkan jatuhnya Kesultanan Mataram dan secara tidak langsung mengarah ke pendirian Kasunanan Surakarta dan Kesultanan Yogyakarta .
Setelah tentara Belanda membantai 10.000 orang Tionghoa di Batavia (sekarang Jakarta), beberapa orang yang selamat yang dipimpin oleh Khe Pandjang pergi ke Semarang.
Meskipun telah diperingati bahwa pemberontakan akan segera meletus, kepala militer VOC atau Vereenigde Oostindische Compagnie , Bartholomeus Visscher mengabaikan nasihat yang masuk dan tidak menyiapkan bala bantuan.
Akibatnya, Sunan Mataram Pakubuwono II memilih untuk mendukung orang Tionghoa, sementara berpura-pura membantu orang Belanda.
Setelah korban pertama berjatuhan pada 1 Februari 1741 di kota Pati, pemberontakan menyebar ke seluruh Jawa Tengah.
Orang Jawa turut membantu orang Tionghoa dengan berpura-pura bertempur melawan orang Tionghoa tersebut, agar orang Belanda mengira bahwa mereka didukung orang Jawa.
Tipuan menjadi semakin jelas dan tentara Tionghoa terus mendekati Semarang. Setelah merebut Rembang, Tanjung, dan Jepara, tentara gabungan mengepung Semarang pada Juni 1741.
Visscher kemudian memerintahkan untuk menghabisi semua orang Tionghoa di Jawa. Pangeran Cakraningrat IV dari Madura menawarkan bantuan, dan dari Madura ke arah barat ia membantai semua orang Tionghoa yang dapat ditemui dan memadamkan pemberontakan di Jawa Timur.
Pada akhir tahun 1741, pengepungan kota Semarang berhasil dipatahkan setelah tentara Pakubuwono II melarikan diri karena tentara Belanda memiliki senjata api yang lebih kuat.
Quote:
Kampanye militer Belanda selama tahun 1742 memaksa Pakubuwono II untuk menyerah, namun beberapa pangeran Jawa ingin meneruskan perang, sehingga pada 6 April Pakubuwono II tidak diakui oleh para pemberontak dan keponakannya, Raden Mas Garendi, dipilih sebagai penggantinya.
Begitu Belanda berhasil merebut kembali semua kota di pantai utara Jawa, para pemberontak menyerang ibukota Pakubuwono II di Kartosuro, sehingga ia terpaksa melarikan diri bersama keluarganya.
Cakraningrat IV merebut kembali kota tersebut pada Desember 1742, dan pada awal 1743 pemberontak Tionghoa terakhir telah menyerah. Setelah perang ini berakhir, orang Belanda semakin menancapkan kekuasaannya Jawa melalui perjanjian dengan Pakubuwono II.
Begitu Belanda berhasil merebut kembali semua kota di pantai utara Jawa, para pemberontak menyerang ibukota Pakubuwono II di Kartosuro, sehingga ia terpaksa melarikan diri bersama keluarganya.
Cakraningrat IV merebut kembali kota tersebut pada Desember 1742, dan pada awal 1743 pemberontak Tionghoa terakhir telah menyerah. Setelah perang ini berakhir, orang Belanda semakin menancapkan kekuasaannya Jawa melalui perjanjian dengan Pakubuwono II.
Quote:
Latar Belakang Kejadian “Geger Pacinan” (Pembantaian Glodok)
Kembali ke tragedi Pembataian Glodok atau
Geger Pacinan ,
pada periode awal kolonialisasi Hindia-Belanda oleh Belanda, banyak orang keturunan Tionghoa dijadikan tukang dalam pembangunan kota Batavia di pesisir barat laut pulau Jawa. Mereka juga bertugas sebagai pedagang, buruh di pabrik gula, serta pemilik toko.
Perdagangan antara Hindia-Belanda dan Tiongkok, yang berpusat di Batavia, menguatkan ekonomi dan meningkatkan imigrasi orang Tionghoa ke Jawa. Jumlah orang Tionghoa di Batavia meningkat pesat, sehingga pada tahun 1740 ada lebih dari 10.000 orang. Ribuan lagi tinggal di luar batas kota.
Pemerintah kolonial Belanda mewajibkan mereka membawa surat identifikasi, dan orang yang tidak mempunyai surat tersebut dipulangkan ke Tiongkok. Kebijakan deportasi ini diketatkan pada dasawarsa 1730-an, setelah pecahnya epidemik malaria yang membunuh ribuan orang, termasuk Gubernur Jenderal Dirk van Cloon.
Menurut sejarawan Indonesia Benny G. Setiono, epidemik ini diikuti oleh meningkatnya rasa curiga dan dendam terhadap etnis Tionghoa yang jumlahnya semakin banyak dan kekayaan yang semakin menonjol.
Akibatnya, Komisaris Urusan Orang Pribumi, Roy Ferdinand, di bawah perintah Gubernur Jenderal Adriaan Valckenier, memutuskan pada tanggal 25 Juli 1740 bahwa warga keturunan Tionghoa yang mencurigakan akan dideportasi ke Zeylan (kini Sri Lanka) dan dipaksa menjadi petani kayu manis.
Warga keturunan Tionghoa yang kaya diperas penguasa Belanda, yang mengancam mereka dengan deportasi. Stamford Raffles, seorang penjelajah asal Inggris dan ahli sejarah pulau Jawa, mencatat bahwa orang Belanda diberi tahu
Kapitan Cina (pemimpin etnis Tionghoa yang ditentukan Belanda) untuk Batavia, Ni Hoe Kong, agar mendeportasikan semua orang Tionghoa berpakaian hitam atau biru, sebab merekalah yang miskin.
Ada pula desas-desus bahwa orang yang dikirimkan ke Zeylan tidak pernah sampai ke sana, tetapi justru dibuang ke laut atau bahwa mereka mati saat membuat kerusuhan di kapal.Ancaman deportasi ini membuat orang Tionghoa resah, dan banyak buruh Tionghoa meninggalkan pekerjaan mereka.
Sementara, penduduk pribumi di Batavia, termasuk orang-orang dari pernikahan campuran di Batavia sebagai pemilik wilayah (kini suku Betawi), menjadi semakin curiga terhadap orang Tionghoa. Masalah ekonomi ikut berperan, sebagian besar penduduk pribumi miskin dan beranggapan bahwa orang Tionghoa yang tinggal di daerah-daerah menjadi terkemuka dan sejahtera.
suasana batavia
Biarpun sejarawan Belanda A.N. Paasman mencatat bahwa orang Tionghoa menjadi “bak orang Yahudi untuk Asia”,keadaan sebenarnya lebih rumit. Banyak orang Tionghoa miskin yang tinggal di sekitar Batavia merupakan buruh di pabrik gula, yang merasa dimanfaatkan para pembesar Belanda dan Tionghoa lainnya.
Orang Tionghoa yang kaya memiliki pabrik dan menjadi semakin kaya dengan mengurus perdagangan, mereka mendapatkan penghasilan dari pembuatan dan distribusi arak, sebuah minuman keras yang dibuat dari molase dan beras.
Namun, penguasa Belanda yang menentukan harga gula, ini juga menyebabkan keresahan. Sebagai akibat penurunan harga gula di pasar dunia, yang disebabkan kenaikan jumlah ekspor ke Eropa, maka industri gula di Hindia-Belanda merugi.
Hingga tahun 1740, harga gula di pasar global sudah separuh dari harga pada tahun 1720. Karena gula menjadi salah satu ekspor utama Hindia-Belanda, negara jajahan itu mengalami kesulitan finansialnya.
Pada awalnya, beberapa anggota Dewan Hindia ( Raad van Indië ) beranggapan bahwa orang Tionghoa tidak mungkin menyerang Batavia dan kebijakan yang lebih tegas mengatur orang Tionghoa ditentang oleh fraksi yang dipimpin mantan gubernur Zeylan Gustaaf Willem baron van Imhoff, yang kembali ke Batavia pada tahun 1738.
Namun, orang keturunan Tionghoa tiba di luar batas kota Batavia dari berbagai kampung dan pada tanggal 26 September Valckenier memanggil para anggota dewan untuk pertemuan darurat.
Pada pertemuan tersebut, Valckenier memerintah agar kerusuhan yang dipicu orang Tionghoa dapat ditanggapi dengan kekuatan yang mematikan. Kebijakan ini terus ditantang oleh fraksi van Imhoff, sedangkan Vermeulen (1938) yang berpendapat bahwa ketegangan antara kedua fraksi politik ini ikut berperan dalam pembantaian.
Pada tanggal 1 Oktober malam, Valckenier menerima laporan bahwa ribuan orang Tionghoa sudah berkumpul di luar gerbang kota Batavia. Amukan mereka dipicu oleh pernyataannya pada pertemuan dewan lima hari sebelumnya.
Valckenier dan anggota Dewan Hindia lain tidak percaya hal tersebut. Namun, setelah orang Tionghoa membunuh seorang sersan keturunan Bali di luar batas kota, dewan memutuskan untuk melakukan tindakan serta menambah jumlah pasukan yang menjaga kota.
Dua kelompok yang terdiri dari 50 orang Eropa dan beberapa kuli pribumi, dikirim ke pos penjagaan di sebelah selatan dan timur Batavia dan rencana penyerangan pun dibuat.
Kembali ke tragedi Pembataian Glodok atau
Geger Pacinan ,

Perdagangan antara Hindia-Belanda dan Tiongkok, yang berpusat di Batavia, menguatkan ekonomi dan meningkatkan imigrasi orang Tionghoa ke Jawa. Jumlah orang Tionghoa di Batavia meningkat pesat, sehingga pada tahun 1740 ada lebih dari 10.000 orang. Ribuan lagi tinggal di luar batas kota.
Pemerintah kolonial Belanda mewajibkan mereka membawa surat identifikasi, dan orang yang tidak mempunyai surat tersebut dipulangkan ke Tiongkok. Kebijakan deportasi ini diketatkan pada dasawarsa 1730-an, setelah pecahnya epidemik malaria yang membunuh ribuan orang, termasuk Gubernur Jenderal Dirk van Cloon.
Menurut sejarawan Indonesia Benny G. Setiono, epidemik ini diikuti oleh meningkatnya rasa curiga dan dendam terhadap etnis Tionghoa yang jumlahnya semakin banyak dan kekayaan yang semakin menonjol.
Akibatnya, Komisaris Urusan Orang Pribumi, Roy Ferdinand, di bawah perintah Gubernur Jenderal Adriaan Valckenier, memutuskan pada tanggal 25 Juli 1740 bahwa warga keturunan Tionghoa yang mencurigakan akan dideportasi ke Zeylan (kini Sri Lanka) dan dipaksa menjadi petani kayu manis.
Warga keturunan Tionghoa yang kaya diperas penguasa Belanda, yang mengancam mereka dengan deportasi. Stamford Raffles, seorang penjelajah asal Inggris dan ahli sejarah pulau Jawa, mencatat bahwa orang Belanda diberi tahu
Kapitan Cina (pemimpin etnis Tionghoa yang ditentukan Belanda) untuk Batavia, Ni Hoe Kong, agar mendeportasikan semua orang Tionghoa berpakaian hitam atau biru, sebab merekalah yang miskin.
Ada pula desas-desus bahwa orang yang dikirimkan ke Zeylan tidak pernah sampai ke sana, tetapi justru dibuang ke laut atau bahwa mereka mati saat membuat kerusuhan di kapal.Ancaman deportasi ini membuat orang Tionghoa resah, dan banyak buruh Tionghoa meninggalkan pekerjaan mereka.
Sementara, penduduk pribumi di Batavia, termasuk orang-orang dari pernikahan campuran di Batavia sebagai pemilik wilayah (kini suku Betawi), menjadi semakin curiga terhadap orang Tionghoa. Masalah ekonomi ikut berperan, sebagian besar penduduk pribumi miskin dan beranggapan bahwa orang Tionghoa yang tinggal di daerah-daerah menjadi terkemuka dan sejahtera.

Biarpun sejarawan Belanda A.N. Paasman mencatat bahwa orang Tionghoa menjadi “bak orang Yahudi untuk Asia”,keadaan sebenarnya lebih rumit. Banyak orang Tionghoa miskin yang tinggal di sekitar Batavia merupakan buruh di pabrik gula, yang merasa dimanfaatkan para pembesar Belanda dan Tionghoa lainnya.
Orang Tionghoa yang kaya memiliki pabrik dan menjadi semakin kaya dengan mengurus perdagangan, mereka mendapatkan penghasilan dari pembuatan dan distribusi arak, sebuah minuman keras yang dibuat dari molase dan beras.
Namun, penguasa Belanda yang menentukan harga gula, ini juga menyebabkan keresahan. Sebagai akibat penurunan harga gula di pasar dunia, yang disebabkan kenaikan jumlah ekspor ke Eropa, maka industri gula di Hindia-Belanda merugi.
Hingga tahun 1740, harga gula di pasar global sudah separuh dari harga pada tahun 1720. Karena gula menjadi salah satu ekspor utama Hindia-Belanda, negara jajahan itu mengalami kesulitan finansialnya.
Pada awalnya, beberapa anggota Dewan Hindia ( Raad van Indië ) beranggapan bahwa orang Tionghoa tidak mungkin menyerang Batavia dan kebijakan yang lebih tegas mengatur orang Tionghoa ditentang oleh fraksi yang dipimpin mantan gubernur Zeylan Gustaaf Willem baron van Imhoff, yang kembali ke Batavia pada tahun 1738.
Namun, orang keturunan Tionghoa tiba di luar batas kota Batavia dari berbagai kampung dan pada tanggal 26 September Valckenier memanggil para anggota dewan untuk pertemuan darurat.
Pada pertemuan tersebut, Valckenier memerintah agar kerusuhan yang dipicu orang Tionghoa dapat ditanggapi dengan kekuatan yang mematikan. Kebijakan ini terus ditantang oleh fraksi van Imhoff, sedangkan Vermeulen (1938) yang berpendapat bahwa ketegangan antara kedua fraksi politik ini ikut berperan dalam pembantaian.
Pada tanggal 1 Oktober malam, Valckenier menerima laporan bahwa ribuan orang Tionghoa sudah berkumpul di luar gerbang kota Batavia. Amukan mereka dipicu oleh pernyataannya pada pertemuan dewan lima hari sebelumnya.
Valckenier dan anggota Dewan Hindia lain tidak percaya hal tersebut. Namun, setelah orang Tionghoa membunuh seorang sersan keturunan Bali di luar batas kota, dewan memutuskan untuk melakukan tindakan serta menambah jumlah pasukan yang menjaga kota.
Dua kelompok yang terdiri dari 50 orang Eropa dan beberapa kuli pribumi, dikirim ke pos penjagaan di sebelah selatan dan timur Batavia dan rencana penyerangan pun dibuat.
Quote:
Peristiwa Pembantaian
Setelah berbagai kelompok buruh pabrik gula keturunan Tionghoa memberontak, dengan menggunakan senjata yang dibuat sendiri untuk menjarah dan membakar pabrik, ratusan orang Tionghoa yang diduga dipimpin Kapitan Cina Ni Hoe Kong membunuh 50 pasukan Belanda di Meester Cornelis (kini Jatinegara) dan Tanah Abang pada tanggal 7 Oktober.
Untuk menanggapi serangan ini, pemimpin Belanda mengirim 1.800 pasukan tetap yang ditemani schutterij (milisi) dan sebelas batalyon wajib militer untuk menghentikan pemberontakan. Mereka melaksanakan jam malam dan membatalkan perayaan Tionghoa yang sudah dijadwalkan.
Karena takut bahwa orang Tionghoa akan berkomplot pada malam hari, yang tinggal di dalam batas kota dilarang menyalakan lilin dan disuruh menyerahkan semua barang, hingga pisau paling kecil sekalipun.
Pada hari berikutnya, pasukan Belanda berhasil menangkis suatu serangan dari hampir 10.000 orang Tionghoa, yang dipimpin oleh kelompok dari Tangerang dan Bekasi, di tembok kota, Raffles mencatat sebanyak 1.789 warga keturunan Tionghoa meninggal dalam serangan ini. Untuk menanggapi serangan ini, Valckenier kembali mengadakan pertemuan Dewan Hindia pada tanggal 9 Oktober.
Sementara, gosip mulai tersebar dalam kelompok etnis lain, termasuk budak dari Bali dan Sulawesi serta pasukan Bugis dan Bali, bahwa orang Tionghoa berencana membunuh atau memerkosa orang pribumi, atau menjadikan mereka sebagai budak.
Untuk mencegah hal tersebut, kelompok-kelompok ini mulai membakar rumah-rumah milik orang Tionghoa di sepanjang Kali Besar, Batavia. Peristiwa ini disusul oleh serangan Belanda terhadap tempat tinggal orang Tionghoa di Batavia. Politikus Belanda yang anti-kolonis W.R. van Hoëvell menulis bahwa “wanita hamil dan yang sedang menyusui, anak kecil, dan para pria
gaek jatuh dalam serangan. Tahanan dibantai seperti domba.
Pasukan di bawah pimpinan Letnan Hermanus van Suchtelen dan Kapten Jan van Oosten, seorang serdadu Belanda yang selamat dari serangan di Tanah Abang, mengambil posisi di daerah pecinan: Suchtelen dan pasukannya menempatkan diri di pasar burung, sementara pasukan van Oosten mendapatkan pos dekat kanal.
Sekitar pukul 5.00 sore, serdadu Belanda mulai menembakkan meriam ke arah rumah orang Tionghoa, sehingga rumah-rumah tersebut terbakar. Beberapa orang Tionghoa tewas di rumah mereka, sementara yang lainnya ditembak saat keluar dari rumah atau melakukan bunuh diri.
Yang berhasil mencapai kanal dibunuh oleh pasukan Belanda yang menunggu di perahu kecil,sementara pasukan Belanda lainnya mondar-mandir di antara rumah-rumah yang sedang terbakar, mencari dan membunuh orang Tionghoa yang masih hidup.
Tindakan ini kemudian tersebar di seluruh kota Batavia. Menurut Vermeulen, sebagian besar pelaku merupakan pelaut dan unsur masyarakat lain yang “tidak tetap ataupun baik”. Dalam periode ini ada banyak penjarahandan penyitaan properti.

Pada hari berikutnya kekerasan ini terus menyebar, dan pasien Tionghoa dalam sebuah rumah sakit dibawa ke luar dan dibunuh.Usaha untuk memadamkan kebakaran di daerah Kali Besar belum membawa hasil. Kebakaran itu pada malam hari semakin ganas, dan baru padam pada tanggal 12 Oktober.
Sementara, sebuah kelompok yang terdiri dari 800 pasukan Belanda dan 2.000 orang pribumi menyerbu Kampung Gading Melati, di mana terdapat orang Tionghoa yang bersembunyi di bawah pimpinan Khe Pandjang.
Biarpun warga Tionghoa mengungsi ke daerah Paninggaran di Pekalongan, mereka diusir lagi oleh pasukan Belanda. Terdapat sekitar 450 orang Belanda dan 800 orang Tionghoa yang menjadi korban dalam kedua serangan tersebut.
Setelah berbagai kelompok buruh pabrik gula keturunan Tionghoa memberontak, dengan menggunakan senjata yang dibuat sendiri untuk menjarah dan membakar pabrik, ratusan orang Tionghoa yang diduga dipimpin Kapitan Cina Ni Hoe Kong membunuh 50 pasukan Belanda di Meester Cornelis (kini Jatinegara) dan Tanah Abang pada tanggal 7 Oktober.
Untuk menanggapi serangan ini, pemimpin Belanda mengirim 1.800 pasukan tetap yang ditemani schutterij (milisi) dan sebelas batalyon wajib militer untuk menghentikan pemberontakan. Mereka melaksanakan jam malam dan membatalkan perayaan Tionghoa yang sudah dijadwalkan.
Karena takut bahwa orang Tionghoa akan berkomplot pada malam hari, yang tinggal di dalam batas kota dilarang menyalakan lilin dan disuruh menyerahkan semua barang, hingga pisau paling kecil sekalipun.
Pada hari berikutnya, pasukan Belanda berhasil menangkis suatu serangan dari hampir 10.000 orang Tionghoa, yang dipimpin oleh kelompok dari Tangerang dan Bekasi, di tembok kota, Raffles mencatat sebanyak 1.789 warga keturunan Tionghoa meninggal dalam serangan ini. Untuk menanggapi serangan ini, Valckenier kembali mengadakan pertemuan Dewan Hindia pada tanggal 9 Oktober.
Sementara, gosip mulai tersebar dalam kelompok etnis lain, termasuk budak dari Bali dan Sulawesi serta pasukan Bugis dan Bali, bahwa orang Tionghoa berencana membunuh atau memerkosa orang pribumi, atau menjadikan mereka sebagai budak.
Untuk mencegah hal tersebut, kelompok-kelompok ini mulai membakar rumah-rumah milik orang Tionghoa di sepanjang Kali Besar, Batavia. Peristiwa ini disusul oleh serangan Belanda terhadap tempat tinggal orang Tionghoa di Batavia. Politikus Belanda yang anti-kolonis W.R. van Hoëvell menulis bahwa “wanita hamil dan yang sedang menyusui, anak kecil, dan para pria
gaek jatuh dalam serangan. Tahanan dibantai seperti domba.
Pasukan di bawah pimpinan Letnan Hermanus van Suchtelen dan Kapten Jan van Oosten, seorang serdadu Belanda yang selamat dari serangan di Tanah Abang, mengambil posisi di daerah pecinan: Suchtelen dan pasukannya menempatkan diri di pasar burung, sementara pasukan van Oosten mendapatkan pos dekat kanal.
Sekitar pukul 5.00 sore, serdadu Belanda mulai menembakkan meriam ke arah rumah orang Tionghoa, sehingga rumah-rumah tersebut terbakar. Beberapa orang Tionghoa tewas di rumah mereka, sementara yang lainnya ditembak saat keluar dari rumah atau melakukan bunuh diri.
Yang berhasil mencapai kanal dibunuh oleh pasukan Belanda yang menunggu di perahu kecil,sementara pasukan Belanda lainnya mondar-mandir di antara rumah-rumah yang sedang terbakar, mencari dan membunuh orang Tionghoa yang masih hidup.
Tindakan ini kemudian tersebar di seluruh kota Batavia. Menurut Vermeulen, sebagian besar pelaku merupakan pelaut dan unsur masyarakat lain yang “tidak tetap ataupun baik”. Dalam periode ini ada banyak penjarahandan penyitaan properti.

Pada hari berikutnya kekerasan ini terus menyebar, dan pasien Tionghoa dalam sebuah rumah sakit dibawa ke luar dan dibunuh.Usaha untuk memadamkan kebakaran di daerah Kali Besar belum membawa hasil. Kebakaran itu pada malam hari semakin ganas, dan baru padam pada tanggal 12 Oktober.
Sementara, sebuah kelompok yang terdiri dari 800 pasukan Belanda dan 2.000 orang pribumi menyerbu Kampung Gading Melati, di mana terdapat orang Tionghoa yang bersembunyi di bawah pimpinan Khe Pandjang.

Biarpun warga Tionghoa mengungsi ke daerah Paninggaran di Pekalongan, mereka diusir lagi oleh pasukan Belanda. Terdapat sekitar 450 orang Belanda dan 800 orang Tionghoa yang menjadi korban dalam kedua serangan tersebut.
Quote:
Pasca Tragedi “Geger Pacinan”
Sebagian besar sejarawan mencatat sebanyak 10.000 orang Tionghoa yang berada di dalam kota Batavia dibunuh, dan 500 lagi mengalami luka berat. Antara 600 dan 700 rumah milik orang Tionghoa dijarah dan dibakar.
Vermeulen mencatat 600 orang Tionghoa yang selamat,sementara sejarawan Indonesia A.R.T. Kemasang mencatat 3.000 orang yang selamat. Sejarawan Tionghoa-Indonesia Benny G. Setiono mencatat bahwa sebanyak 500 tahanan dan pasien rumah sakit dibunuh dengan jumlah orang yang selamat sebanyak 3.431.
Pembantaian ini disusul oleh periode yang rawan pembantaian terhadap warga keturunan Tionghoa di seluruh pulau Jawa, termasuk satu pembataian lagi di Semarang pada tahun 1741, dan beberapa pembantaian lain di Surabaya dan Gresik.
Sebagai salah satu syarat untuk berakhirnya kekerasan, yakni semua penduduk Batavia keturunan Tionghoa dipindahkan ke suatu
pecinan di luar batas kota Batavia, yang kini menjadi Glodok. Hal ini membuat orang Belanda lebih mudah mengawasi orang Tionghoa.
Untuk meninggalkan pecinan, orang Tionghoa membutuhkan tiket khusus. Namun, pada tahun 1743, sudah ada ratusan pedagang keturunan Tionghoa yang bertempat di dalam kota Batavia.
Orang Tionghoa lain dipimpin oleh Khe Pandjang mengungsi ke Jawa Tengah, di mana mereka menyerang berbagai pos perdagangan Belanda dan bergabung dengan pasukan di bawah pimpinan Sultan Mataram, Pakubuwana II. Meskipun perang ini sudah selesai pada tahun 1743, namun selama 17 tahun terdapat konflik di Jawa secara terus-menerus.
Pada tanggal 6 Desember 1740 van Imhoff dan dua anggota Dewan Hindia lainnya ditangkap atas perintah Valckenier dengan tuduhan pembangkangan dan pada tanggal 13 Januari 1741 mereka dikirimkan ke Belanda dengan kapal yang berbeda, mereka tiba di Belanda pada tanggal 19 September 1741.
Di Belanda, van Imhoff meyakinkan Heeren XVII, pemegang saham utama VOC, bahwa Valckenier yang memicu pembantaian di Batavia, serta menyampaikan pidato berjudul “Consideratiën over den tegenwoordigen staat van de Ned. O.I. Comp” (“Pertimbangan atas Keadaan Mutakhir di Hindia-Belanda”) pada tanggal 24 November.
Sebagai akibat dari pidato itu, van Imhoff dan anggota dewan lain dibebaskan dari semua tuntutan.
Pada tanggal 27 Oktober 1742, van Imhoff dikirimkan kembali ke Batavia menggunakan kapal Hersteller sebagai Gubernur Jenderal Hindia-Belanda yang baru. Ia tiba di Batavia pada tanggal 26 Mei 1743.
Valckenier sudah diminta digantikan sebagai Gubernur Jenderal pada akhir tahun 1740, dan pada bulan Februari 1741 menerima surat yang memerintahkan dia mengangkat van Imhoff sebagai penggantinya. Versi lain ialah bahwa Heeren XVII menggantikan Valckenier sebagai hukuman atas terlalu banyak gula yang diekspor daripada kopi pada tahun 1739, yang sangat merugikan VOC.
Van Imhoff dan dua anggota Dewan Hindia lain ditangkap untuk pembangkangan setelah menantang Valckenier.
Saat Valckenier menerima surat tersebut, van Imhoff sudah dalam perjalanan ke Belanda. Valckenier meninggalkan Hindia-Belanda pada tanggal 6 November 1741, setelah memilih Johannes Thedens sebagai penggantinya sampai van Imhoff sudah kembali.
Pada tanggal 25 Januari 1742 dia mendarat di Cape Town, Afrika Selatan, tetapi ditangkap dan diselidiki oleh Gubernur Hendrik Swellengrebel atas perintah Heeren XVII.
Valckenier dikirim kembali ke Batavia pada bulan Agustus 1742, di mana ia dipenjarakan di Benteng Batavia dan tiga bulan kemudian ia digugat atas beberapa tuntutan, termasuk keterlibatannya dalam
Geger Pacinan ini.
Pada bulan Maret 1744, ia dinyatakan bersalah dan dituntut dengan hukuman mati dan harta bendanya disita. Pada bulan Desember 1744, kasus tersebut dibuka kembali setelah Valckenier membuat pernyataan yang panjang untuk membela dirinya.
Valckenier meminta lebih banak bukti dari Belanda, tetapi meninggal dunia dalam kurungan pada tanggal 20 Juni 1751 sebelum penyelidikan diselesaikan. Hukuman mati dibatalkan pada tahun 1755.
Vermeulen berpendapat bahwa penyeledikan Valckenier tidak adil dan dipicu oleh amarah masyarakat di Belanda.
https://indocropcircles.wordpress.co...geger-pacinan/Sebagian besar sejarawan mencatat sebanyak 10.000 orang Tionghoa yang berada di dalam kota Batavia dibunuh, dan 500 lagi mengalami luka berat. Antara 600 dan 700 rumah milik orang Tionghoa dijarah dan dibakar.
Vermeulen mencatat 600 orang Tionghoa yang selamat,sementara sejarawan Indonesia A.R.T. Kemasang mencatat 3.000 orang yang selamat. Sejarawan Tionghoa-Indonesia Benny G. Setiono mencatat bahwa sebanyak 500 tahanan dan pasien rumah sakit dibunuh dengan jumlah orang yang selamat sebanyak 3.431.
Pembantaian ini disusul oleh periode yang rawan pembantaian terhadap warga keturunan Tionghoa di seluruh pulau Jawa, termasuk satu pembataian lagi di Semarang pada tahun 1741, dan beberapa pembantaian lain di Surabaya dan Gresik.
Sebagai salah satu syarat untuk berakhirnya kekerasan, yakni semua penduduk Batavia keturunan Tionghoa dipindahkan ke suatu
pecinan di luar batas kota Batavia, yang kini menjadi Glodok. Hal ini membuat orang Belanda lebih mudah mengawasi orang Tionghoa.

Untuk meninggalkan pecinan, orang Tionghoa membutuhkan tiket khusus. Namun, pada tahun 1743, sudah ada ratusan pedagang keturunan Tionghoa yang bertempat di dalam kota Batavia.
Orang Tionghoa lain dipimpin oleh Khe Pandjang mengungsi ke Jawa Tengah, di mana mereka menyerang berbagai pos perdagangan Belanda dan bergabung dengan pasukan di bawah pimpinan Sultan Mataram, Pakubuwana II. Meskipun perang ini sudah selesai pada tahun 1743, namun selama 17 tahun terdapat konflik di Jawa secara terus-menerus.
Pada tanggal 6 Desember 1740 van Imhoff dan dua anggota Dewan Hindia lainnya ditangkap atas perintah Valckenier dengan tuduhan pembangkangan dan pada tanggal 13 Januari 1741 mereka dikirimkan ke Belanda dengan kapal yang berbeda, mereka tiba di Belanda pada tanggal 19 September 1741.
Di Belanda, van Imhoff meyakinkan Heeren XVII, pemegang saham utama VOC, bahwa Valckenier yang memicu pembantaian di Batavia, serta menyampaikan pidato berjudul “Consideratiën over den tegenwoordigen staat van de Ned. O.I. Comp” (“Pertimbangan atas Keadaan Mutakhir di Hindia-Belanda”) pada tanggal 24 November.
Sebagai akibat dari pidato itu, van Imhoff dan anggota dewan lain dibebaskan dari semua tuntutan.
Pada tanggal 27 Oktober 1742, van Imhoff dikirimkan kembali ke Batavia menggunakan kapal Hersteller sebagai Gubernur Jenderal Hindia-Belanda yang baru. Ia tiba di Batavia pada tanggal 26 Mei 1743.
Valckenier sudah diminta digantikan sebagai Gubernur Jenderal pada akhir tahun 1740, dan pada bulan Februari 1741 menerima surat yang memerintahkan dia mengangkat van Imhoff sebagai penggantinya. Versi lain ialah bahwa Heeren XVII menggantikan Valckenier sebagai hukuman atas terlalu banyak gula yang diekspor daripada kopi pada tahun 1739, yang sangat merugikan VOC.

Saat Valckenier menerima surat tersebut, van Imhoff sudah dalam perjalanan ke Belanda. Valckenier meninggalkan Hindia-Belanda pada tanggal 6 November 1741, setelah memilih Johannes Thedens sebagai penggantinya sampai van Imhoff sudah kembali.
Pada tanggal 25 Januari 1742 dia mendarat di Cape Town, Afrika Selatan, tetapi ditangkap dan diselidiki oleh Gubernur Hendrik Swellengrebel atas perintah Heeren XVII.
Valckenier dikirim kembali ke Batavia pada bulan Agustus 1742, di mana ia dipenjarakan di Benteng Batavia dan tiga bulan kemudian ia digugat atas beberapa tuntutan, termasuk keterlibatannya dalam
Geger Pacinan ini.
Pada bulan Maret 1744, ia dinyatakan bersalah dan dituntut dengan hukuman mati dan harta bendanya disita. Pada bulan Desember 1744, kasus tersebut dibuka kembali setelah Valckenier membuat pernyataan yang panjang untuk membela dirinya.
Valckenier meminta lebih banak bukti dari Belanda, tetapi meninggal dunia dalam kurungan pada tanggal 20 Juni 1751 sebelum penyelidikan diselesaikan. Hukuman mati dibatalkan pada tahun 1755.
Vermeulen berpendapat bahwa penyeledikan Valckenier tidak adil dan dipicu oleh amarah masyarakat di Belanda.
Diubah oleh udinjual 08-09-2017 22:22
0
7.9K
Kutip
24
Balasan


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan