- Beranda
- Komunitas
- News
- Berita dan Politik
Tommy Soeharto Ikut Bersuara Keras Atas Kekerasan yang Dialami Etnis Rohingya


TS
matt.gaper
Tommy Soeharto Ikut Bersuara Keras Atas Kekerasan yang Dialami Etnis Rohingya
Putra kedua mantan Presiden Soeharto, Hutomo Mandala Putra atau Tommy Soeharto, bersuara terkait kekerasan yang dialami etnis Rohingya di Myanmar. Karena kekerasan yang dialami etnis Rohingya sudah berulangkali namun tidak ada upaya dari pemerintah Myanmar untuk menghentikannya.
Padahal kekerasan tersebut bisa diakhiri jika saja pemerintah Myanmar mengajarkan warganya tentang indahnya keberagaman, toleransi antar umat beragama, dan kerjasama dalam persatuan negara. Sehingga tidak ada lagi ribuan etnis Rohingya yang mengurangi ke negara lain karena ketakutan akan dihabisi.
"Tragedi pembantaian dan pengusiran muslim Rohingya berakar dari kebencian etnis mayoritas disana terhadap minoritas muslim Rohingya," kata Tommy di Jakarta, Rabu (6/9/2017).
Tommy menuturkan, kebencian ditimbulkan juga terkait dengan warga muslim Rohingya di Propinsi Rakhine yang memiliki taraf kehidupan ekonomi yang sedikit lebih baik dari umat Buddha Rakhine. Akibatnya hal tersebut menjadi pemantik munculnya kecemburuan sosial yang berujung pada konflik.
"Padahal, kebencian etnis yang mengakar bercampur dengan kecemburuan sosial ini sebenarnya sudah bisa dideteksi oleh pemerintah Myanmar. Tapi itulah yang tidak dilakukan," paparnya.
Dalam kesempatan ini, Tommy juga menyebutkan, dari tinjauan sejarah Propinsi Rakhine sebenarnya adalah bagian dari Kerajaan Arakan sejak tahun 1400-an. Dan muslim Rohingya sudah menetap disana dan tercatat sebagai bagian pemerintahan dan militer kerajaan yang dipimpin oleh Raja Narameikhla (Min Saw Mun).
Namun tahun 1785, Kerajaan Buddha Burma di Selatan menjajah sebagian wilayah kerajaan Arakan yang menyebabkan lebih separuh muslim Rohingya tereksekusi dan melarikan diri ke Bengal. Tahun 1826, tatkala Inggris menjajah Kerajaan Arakan dari arah Barat untuk berperang menghadapi kerajaan Burma, mereka membawa kembali muslim Rohingya di Bengal ke daerah Arakan yang menjadi Rakhine sekarang.
"Inilah yang membuat panas suhu politik di wilayah itu hingga menimbulkan konflik dan ketidaknyamanan antara Muslim Rohingya dan Buddha Rakhine," jelasnya.
Pasca Perang Dunia II, sambung Tommy, konflik antara Rohingya dengan Rakhine (Buddist Myanmar) pecah kembali. Alasan pecahnya perang antara Rohingya dan Rakhine ini karena pasca kemerdekaan Myanmar pada tahun 1948 orang-orang Rohingya yang sudah turun termurun disana meminta haknya sebagai warga negara Myanmar.
Tapi hal tersebut tidak dikabulkan karena Rakhine menganggap mereka sebagai etnis yang berbeda, yakni orang-orang Bengali (Bangladesh), sedangkan Rohingya menganggap diri mereka adalah bagian dari Myanmar. Rasisme dan diskriminasi ini menyulut keinginan Rohingya untuk berpisah dari Myanmar dan mendirikan Negara sendiri.
Namun pemerintah Myanmar atas nama kesatuan negara tidak ingin sebagian provinsi Rakhine berpisah.
Persoalan semakin rumit ketika muncul Gerakan 969 yang diprakarsai oleh Biksu Ashin Wirathu. Gerakan yang mengambil nama dari simbol angka kesucian dalam ajaran Buddha dan merupakan gerakan yang memarjinalkan suku agama tertentu di Myanmar, yang tujuannya membesarkan pengaruh dan dominasi umat Buddha di Myanmar.
Ashin bahkan sempat terlontar perkataannya bahwa ia takut jika Myanmar bakal seperti Indonesia yang di masa lalunya didominasi umat Hindu dan Buddha, namun di akhir abad 16 sudah berganti didominasi oleh Islam. Dengan adanya propaganda ini, semangat warga provinsi Rakhine bagian selatan semakin membara untuk meneror dan mengusir Muslim Rohingya.
"Tindakan ini semakin massif saat tersiar kabar bahwa pemerintah pusat Myanmar turut mendukung gerakan ini," paparnya.
Seperti diketahui sedikitnya 400 orang tewas dalam aksi kekerasan yang dilakukan oleh kelompok militer dan biksu terhadap etnis muslim Rohingya. Korban nyawa merengut anak-anak, dewasa, dan perempuan. Kekerasan yang terjadi dalam dua pekan terakhir telah memaksa jutaan orang Rohingya terpaksa harus mengungsi.
http://www.harianterbit.com/m/nasional/read/2017/09/06/86492/0/25/Tommy-Soeharto-Ikut-Bersuara-Keras-Atas-Kekerasan-yang-Dialami-Etnis-Rohingya
Terpaksa harus mengungsi
Padahal kekerasan tersebut bisa diakhiri jika saja pemerintah Myanmar mengajarkan warganya tentang indahnya keberagaman, toleransi antar umat beragama, dan kerjasama dalam persatuan negara. Sehingga tidak ada lagi ribuan etnis Rohingya yang mengurangi ke negara lain karena ketakutan akan dihabisi.
"Tragedi pembantaian dan pengusiran muslim Rohingya berakar dari kebencian etnis mayoritas disana terhadap minoritas muslim Rohingya," kata Tommy di Jakarta, Rabu (6/9/2017).
Tommy menuturkan, kebencian ditimbulkan juga terkait dengan warga muslim Rohingya di Propinsi Rakhine yang memiliki taraf kehidupan ekonomi yang sedikit lebih baik dari umat Buddha Rakhine. Akibatnya hal tersebut menjadi pemantik munculnya kecemburuan sosial yang berujung pada konflik.
"Padahal, kebencian etnis yang mengakar bercampur dengan kecemburuan sosial ini sebenarnya sudah bisa dideteksi oleh pemerintah Myanmar. Tapi itulah yang tidak dilakukan," paparnya.
Dalam kesempatan ini, Tommy juga menyebutkan, dari tinjauan sejarah Propinsi Rakhine sebenarnya adalah bagian dari Kerajaan Arakan sejak tahun 1400-an. Dan muslim Rohingya sudah menetap disana dan tercatat sebagai bagian pemerintahan dan militer kerajaan yang dipimpin oleh Raja Narameikhla (Min Saw Mun).
Namun tahun 1785, Kerajaan Buddha Burma di Selatan menjajah sebagian wilayah kerajaan Arakan yang menyebabkan lebih separuh muslim Rohingya tereksekusi dan melarikan diri ke Bengal. Tahun 1826, tatkala Inggris menjajah Kerajaan Arakan dari arah Barat untuk berperang menghadapi kerajaan Burma, mereka membawa kembali muslim Rohingya di Bengal ke daerah Arakan yang menjadi Rakhine sekarang.
"Inilah yang membuat panas suhu politik di wilayah itu hingga menimbulkan konflik dan ketidaknyamanan antara Muslim Rohingya dan Buddha Rakhine," jelasnya.
Pasca Perang Dunia II, sambung Tommy, konflik antara Rohingya dengan Rakhine (Buddist Myanmar) pecah kembali. Alasan pecahnya perang antara Rohingya dan Rakhine ini karena pasca kemerdekaan Myanmar pada tahun 1948 orang-orang Rohingya yang sudah turun termurun disana meminta haknya sebagai warga negara Myanmar.
Tapi hal tersebut tidak dikabulkan karena Rakhine menganggap mereka sebagai etnis yang berbeda, yakni orang-orang Bengali (Bangladesh), sedangkan Rohingya menganggap diri mereka adalah bagian dari Myanmar. Rasisme dan diskriminasi ini menyulut keinginan Rohingya untuk berpisah dari Myanmar dan mendirikan Negara sendiri.
Namun pemerintah Myanmar atas nama kesatuan negara tidak ingin sebagian provinsi Rakhine berpisah.
Persoalan semakin rumit ketika muncul Gerakan 969 yang diprakarsai oleh Biksu Ashin Wirathu. Gerakan yang mengambil nama dari simbol angka kesucian dalam ajaran Buddha dan merupakan gerakan yang memarjinalkan suku agama tertentu di Myanmar, yang tujuannya membesarkan pengaruh dan dominasi umat Buddha di Myanmar.
Ashin bahkan sempat terlontar perkataannya bahwa ia takut jika Myanmar bakal seperti Indonesia yang di masa lalunya didominasi umat Hindu dan Buddha, namun di akhir abad 16 sudah berganti didominasi oleh Islam. Dengan adanya propaganda ini, semangat warga provinsi Rakhine bagian selatan semakin membara untuk meneror dan mengusir Muslim Rohingya.
"Tindakan ini semakin massif saat tersiar kabar bahwa pemerintah pusat Myanmar turut mendukung gerakan ini," paparnya.
Seperti diketahui sedikitnya 400 orang tewas dalam aksi kekerasan yang dilakukan oleh kelompok militer dan biksu terhadap etnis muslim Rohingya. Korban nyawa merengut anak-anak, dewasa, dan perempuan. Kekerasan yang terjadi dalam dua pekan terakhir telah memaksa jutaan orang Rohingya terpaksa harus mengungsi.
http://www.harianterbit.com/m/nasional/read/2017/09/06/86492/0/25/Tommy-Soeharto-Ikut-Bersuara-Keras-Atas-Kekerasan-yang-Dialami-Etnis-Rohingya
Terpaksa harus mengungsi
0
4.3K
52


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan