- Beranda
- Komunitas
- News
- Berita dan Politik
Rohingya: Membandingkan Respons Indonesia & Negara Lain


TS
infidelpig
Rohingya: Membandingkan Respons Indonesia & Negara Lain
HOT THREAD 2
Quote:
Benarkah bersikap keras, seperti menarik dan mengusir duta besar, efektif untuk membantu Rohingya?
Quote:
tirto.id - Seruan agar pemerintah mengambil langkah tegas secara diplomatik terhadap Myanmar terus digaungkan pelbagai elemen masyarakat.
Senin (5/9) di Nusa Tenggara Barat, 22 ormas yang mengatasnamakan “Aliansi Kemanusiaan Peduli Myanmar" menuntut agar pemerintah Indonesia segera mengambil langkah diplomatik terhadap negara-negara ASEAN untuk mengeluarkan Myanmar dari keanggotaan ASEAN dan mendesak agar Hadiah Nobel Aung San Suu Kyi dicabut. Dalam aksi tersebut, terlontar pula permintaan agar Presiden Jokowi menutup Kedubes Myanmar di Jakarta dan menarik Duta Besar Indonesia di Myanmar.
Hal senada disampaikan mantan Menteri Hukum dan HAM Yusril Ihza Mahendra. Menurut Yusril, Indonesia dapat menggalang negara-negara ASEAN lain untuk bertindak nyata mendesak Pemerintah Myanmar untuk menghentikan pembantaian muslim Rohingya.
Pemerintah Indonesia tidak tinggal diam. Menteri Luar Negeri Retno Marsudi segera diutus berangkat ke Myanmar pada Senin (4/9). Ia membawa serangkaian agenda guna membahas krisis keamanan dan kemanusiaan di Provinsi Rakhine, rumah bagi populasi muslim Rohingya.
Dalam agenda pertama, Retno Marsudi bertemu Panglima Angkatan Bersenjata Myanmar, Jenderal Senior U Min Aung Hlaing di Naypyidaw. Retno menyampaikan meredakan ketegangan di Negara Bagian Rakhine harus menjadi prioritas pemerintah Myanmar.
"Otoritas keamanan Myanmar perlu segera menghentikan segala bentuk kekerasan yang terjadi di Negara Bagian Rakhine dan memberi perlindungan kepada seluruh masyarakat termasuk masyarakat muslim," ujar Menlu Retno, seperti dilansir Antara.
Sementara U Min Aung Hlaing merespons dengan menyampaikan bahwa otoritas keamanan Myanmar terus berupaya memulihkan keamanan dan stabilitas di Rakhine.
Pada hari kedua, Retno Marsudi menemui Aung San Suu Kyi, penasihat negara Myanmar yang setara perdana menteri. Retno menyampaikan usulan Indonesia yang disebut Formula 4+1: (1) mengembalikan stabilitas dan keamanan; (2) menahan diri secara maksimal dan tidak menggunakan kekerasan; (3) perlindungan kepada semua orang yang berada di Negara Bagian Rakhine tanpa memandang suku dan agama; dan (4) pentingnya segera dibuka akses untuk bantuan kemanusiaan.
Kunjungan Menlu Retno Marsudi ke Myanmar dan serangkaian agenda lobi diplomasi Indonesia berbuah dibukanya akses penyaluran bantuan kemanusiaan dari Indonesia, yang dikoordinasikan oleh pemerintah Myanmar dan melibatkan International Committee of the Red Cross (ICRC).
Sikap dan pendekatan konstruktif seperti ini tidak akan tercapai jika Indonesia memutus hubungan diplomatik dengan Myanmar.
Senin (5/9) di Nusa Tenggara Barat, 22 ormas yang mengatasnamakan “Aliansi Kemanusiaan Peduli Myanmar" menuntut agar pemerintah Indonesia segera mengambil langkah diplomatik terhadap negara-negara ASEAN untuk mengeluarkan Myanmar dari keanggotaan ASEAN dan mendesak agar Hadiah Nobel Aung San Suu Kyi dicabut. Dalam aksi tersebut, terlontar pula permintaan agar Presiden Jokowi menutup Kedubes Myanmar di Jakarta dan menarik Duta Besar Indonesia di Myanmar.
Hal senada disampaikan mantan Menteri Hukum dan HAM Yusril Ihza Mahendra. Menurut Yusril, Indonesia dapat menggalang negara-negara ASEAN lain untuk bertindak nyata mendesak Pemerintah Myanmar untuk menghentikan pembantaian muslim Rohingya.
Pemerintah Indonesia tidak tinggal diam. Menteri Luar Negeri Retno Marsudi segera diutus berangkat ke Myanmar pada Senin (4/9). Ia membawa serangkaian agenda guna membahas krisis keamanan dan kemanusiaan di Provinsi Rakhine, rumah bagi populasi muslim Rohingya.
Dalam agenda pertama, Retno Marsudi bertemu Panglima Angkatan Bersenjata Myanmar, Jenderal Senior U Min Aung Hlaing di Naypyidaw. Retno menyampaikan meredakan ketegangan di Negara Bagian Rakhine harus menjadi prioritas pemerintah Myanmar.
"Otoritas keamanan Myanmar perlu segera menghentikan segala bentuk kekerasan yang terjadi di Negara Bagian Rakhine dan memberi perlindungan kepada seluruh masyarakat termasuk masyarakat muslim," ujar Menlu Retno, seperti dilansir Antara.
Sementara U Min Aung Hlaing merespons dengan menyampaikan bahwa otoritas keamanan Myanmar terus berupaya memulihkan keamanan dan stabilitas di Rakhine.
Pada hari kedua, Retno Marsudi menemui Aung San Suu Kyi, penasihat negara Myanmar yang setara perdana menteri. Retno menyampaikan usulan Indonesia yang disebut Formula 4+1: (1) mengembalikan stabilitas dan keamanan; (2) menahan diri secara maksimal dan tidak menggunakan kekerasan; (3) perlindungan kepada semua orang yang berada di Negara Bagian Rakhine tanpa memandang suku dan agama; dan (4) pentingnya segera dibuka akses untuk bantuan kemanusiaan.
Kunjungan Menlu Retno Marsudi ke Myanmar dan serangkaian agenda lobi diplomasi Indonesia berbuah dibukanya akses penyaluran bantuan kemanusiaan dari Indonesia, yang dikoordinasikan oleh pemerintah Myanmar dan melibatkan International Committee of the Red Cross (ICRC).
Sikap dan pendekatan konstruktif seperti ini tidak akan tercapai jika Indonesia memutus hubungan diplomatik dengan Myanmar.
Quote:
Terbentur Prinsip Non-Intervensi
Sebagai sesama anggota ASEAN, Indonesia dan Myanmar memegang prinsip non-intervensi. Prinsip ini melarang negara anggota mencampuri urusan domestik anggota ASEAN lain.
Bagi banyak negara anggota ASEAN, prinsip non-intervensi semula memiliki dua tujuan normatif. Pertama, menjadi mekanisme penyeimbang antara Blok Barat dan Blok Timur dalam Perang Dingin. Kedua, sebagai jaminan keamanan, kedaulatan, dan kebebasan dalam berhubungan dengan negara tetangga.
Tetapi, dalam perkembangannya, prinsip non-intervensi menjelma begitu kaku dan justru menyabotase upaya-upaya kolektif penegakan HAM di negara-negara ASEAN. Kasus Rohingya di Myanmar adalah contoh konkret.
Ketika kekerasan terhadap komunitas muslim Rohingya di Rakhine meningkat sejak 2012 dan menjadi bahan pemberitaan internasional, Sekjen ASEAN Surin baikwan mengusulkan untuk mengadakan perundingan tripartit antara ASEAN, PBB, dan pemerintah Myanmar untuk mencegah kekerasan yang lebih luas. Namun Myanmar memilih menolak usulan dialog tersebut.
Penolakan Myanmar sah karena prinsip non-intervensi. Dengan memakai opsi ini, tekanan dari ASEAN terbentur tembok pertahanan non-intervensi sehingga masalah Rohingya gagal dibahas bersama dalam konteks ASEAN.
Kekakuan prinsip non-intervensi juga terjadi pada kasus invasi Indonesia ke Timor Timur yang melibatkan pembunuhan massal pada 1975-1983. Akibat prinsip non-intervensi, baru pertengahan 1990-an, negara-negara ASEAN berani buka suara. Jelas sudah sangat terlambat jika ingin menghentikan kekerasan di Timor.
Pada dekade yang sama, konflik antara Vietnam dan Kamboja membuka perdebatan apakah prinsip non-intervensi masih berlaku atau diabaikan saja. Ini terlihat ketika ASEAN merilis pernyataan yang menyayangkan meluasnya konflik di Indocina setelah Vietnam melakukan intervensi militer di Kamboja pada 1978.
ASEAN mendesak Vietnam agar bersikap sesuai prinsip-prinsip piagam PBB dan Dasasila Bandung, yang melarang keras intervensi terhadap politik domestik. Selanjutnya, ASEAN mendesak Dewan Keamanan PBB untuk membahas persoalan konflik Vietnam-Kamboja dan mengambil suatu tindakan. Menurut ASEAN, intervensi Vietnam adalah ilegal dan menyalahi hukum internasional—meski saat itu Kamboja belum masuk keanggotaan ASEAN.
Upaya diplomasi ASEAN mulai mendapat momentum ketika kedua belah pihak meneken Perjanjian Perdamaian Paris pada 1991. Dari sederet langkah ini, tidak jarang beberapa analis memandang ASEAN telah melanggar prinsip non-intervensi selama kurun 1979-1999, hingga Kamboja akhirnya diterima sebagai anggota ASEAN.
Begitu juga sikap ASEAN terhadap kebijakan perang melawan narkoba di bawah pemerintahan Rodrigo Duterte, yang tak mengindahkan prosedur-prosedur hukum.
Setelah negara-negara anggota ASEAN tampak memberikan respons signifikan, Amnesty International mendorong para kepala negara, yang akan bertemu di KTT ASEAN di Manila, mengambil tindakan melawan kejahatan kemanusiaan oleh rezim Duterte. Tetapi, tampaknya dalam pertemuan April lalu itu, seruan peringatan kepada Duterte tidak dilaksanakan maupun dibicarakan secara khusus.

Sebagai sesama anggota ASEAN, Indonesia dan Myanmar memegang prinsip non-intervensi. Prinsip ini melarang negara anggota mencampuri urusan domestik anggota ASEAN lain.
Bagi banyak negara anggota ASEAN, prinsip non-intervensi semula memiliki dua tujuan normatif. Pertama, menjadi mekanisme penyeimbang antara Blok Barat dan Blok Timur dalam Perang Dingin. Kedua, sebagai jaminan keamanan, kedaulatan, dan kebebasan dalam berhubungan dengan negara tetangga.
Tetapi, dalam perkembangannya, prinsip non-intervensi menjelma begitu kaku dan justru menyabotase upaya-upaya kolektif penegakan HAM di negara-negara ASEAN. Kasus Rohingya di Myanmar adalah contoh konkret.
Ketika kekerasan terhadap komunitas muslim Rohingya di Rakhine meningkat sejak 2012 dan menjadi bahan pemberitaan internasional, Sekjen ASEAN Surin baikwan mengusulkan untuk mengadakan perundingan tripartit antara ASEAN, PBB, dan pemerintah Myanmar untuk mencegah kekerasan yang lebih luas. Namun Myanmar memilih menolak usulan dialog tersebut.
Penolakan Myanmar sah karena prinsip non-intervensi. Dengan memakai opsi ini, tekanan dari ASEAN terbentur tembok pertahanan non-intervensi sehingga masalah Rohingya gagal dibahas bersama dalam konteks ASEAN.
Kekakuan prinsip non-intervensi juga terjadi pada kasus invasi Indonesia ke Timor Timur yang melibatkan pembunuhan massal pada 1975-1983. Akibat prinsip non-intervensi, baru pertengahan 1990-an, negara-negara ASEAN berani buka suara. Jelas sudah sangat terlambat jika ingin menghentikan kekerasan di Timor.
Pada dekade yang sama, konflik antara Vietnam dan Kamboja membuka perdebatan apakah prinsip non-intervensi masih berlaku atau diabaikan saja. Ini terlihat ketika ASEAN merilis pernyataan yang menyayangkan meluasnya konflik di Indocina setelah Vietnam melakukan intervensi militer di Kamboja pada 1978.
ASEAN mendesak Vietnam agar bersikap sesuai prinsip-prinsip piagam PBB dan Dasasila Bandung, yang melarang keras intervensi terhadap politik domestik. Selanjutnya, ASEAN mendesak Dewan Keamanan PBB untuk membahas persoalan konflik Vietnam-Kamboja dan mengambil suatu tindakan. Menurut ASEAN, intervensi Vietnam adalah ilegal dan menyalahi hukum internasional—meski saat itu Kamboja belum masuk keanggotaan ASEAN.
Upaya diplomasi ASEAN mulai mendapat momentum ketika kedua belah pihak meneken Perjanjian Perdamaian Paris pada 1991. Dari sederet langkah ini, tidak jarang beberapa analis memandang ASEAN telah melanggar prinsip non-intervensi selama kurun 1979-1999, hingga Kamboja akhirnya diterima sebagai anggota ASEAN.
Begitu juga sikap ASEAN terhadap kebijakan perang melawan narkoba di bawah pemerintahan Rodrigo Duterte, yang tak mengindahkan prosedur-prosedur hukum.
Setelah negara-negara anggota ASEAN tampak memberikan respons signifikan, Amnesty International mendorong para kepala negara, yang akan bertemu di KTT ASEAN di Manila, mengambil tindakan melawan kejahatan kemanusiaan oleh rezim Duterte. Tetapi, tampaknya dalam pertemuan April lalu itu, seruan peringatan kepada Duterte tidak dilaksanakan maupun dibicarakan secara khusus.

Quote:
Respons Negara-Negara Tetangga Non-ASEAN
Di luar ASEAN, Myanmar banyak menjalin hubungan diplomatik dengan berbagai negara Asia lain. Hubungan urusan dagang baik ekspor dan impor menjadi tumpuan ekonomi kedua belah pihak.
Dikutip dari Observatory of Economic Complexity, pada 2015 tujuan ekspor utama Myanmar adalah Cina (5,03 miliar dolar), Thailand (3,27 miliar dolar), India (963 juta dolar), Jepang (858 juta dolar), dan terakhir Korea Selatan (504 juta dolar).
Adapun sebagian besar barang impor Myanmar berasal dari Cina (9,4 miliar dolar), disusul Thailand (4,11 miliar dolar), Singapura (2,44 miliar dolar), Jepang (1,04 miliar dolar), dan terakhir India (859 juta dolar)
Cina sebagai mitra dagang yang menguasai 41 persen ekspor dan memasok 44 persen impor Myanmar pada Maret lalu memblokir resolusi Dewan Keamanan PBB untuk krisis di negara bagian Rakhine.
Seperti dilansir Reuters, tindakan Cina yang didukung Rusia itu diambil setelah 15 anggota DK PBB membahas situasi Rakhine. Walhasil, upaya menyelidiki kekerasan militer Myanmar terhadap etnis Rohingya urung tercapai, karena diveto oleh Cina dan Rusia.
Analis intelijen Anders Corr turut menajamkan soal sikap diam Cina terhadap masalah kemanusiaan yang menimpa orang Rohingya di Negara Bagian Rakhine. Karena terdapat pengaruh bisnis yang luas di Rakhine, Cina sebagai sekutu dekat Myanmar seharusnya memiliki tanggung jawab yang tinggi untuk banyak bersuara menekan dan memoderasi tingkah laku Myanmar. Hasil temuan Corr dari seorang diplomat Asia malah menyebut Cina secara diam-diam menyetujui pelanggaran HAM di Rakhine.
Di luar ASEAN, Myanmar banyak menjalin hubungan diplomatik dengan berbagai negara Asia lain. Hubungan urusan dagang baik ekspor dan impor menjadi tumpuan ekonomi kedua belah pihak.
Dikutip dari Observatory of Economic Complexity, pada 2015 tujuan ekspor utama Myanmar adalah Cina (5,03 miliar dolar), Thailand (3,27 miliar dolar), India (963 juta dolar), Jepang (858 juta dolar), dan terakhir Korea Selatan (504 juta dolar).
Adapun sebagian besar barang impor Myanmar berasal dari Cina (9,4 miliar dolar), disusul Thailand (4,11 miliar dolar), Singapura (2,44 miliar dolar), Jepang (1,04 miliar dolar), dan terakhir India (859 juta dolar)
Cina sebagai mitra dagang yang menguasai 41 persen ekspor dan memasok 44 persen impor Myanmar pada Maret lalu memblokir resolusi Dewan Keamanan PBB untuk krisis di negara bagian Rakhine.
Seperti dilansir Reuters, tindakan Cina yang didukung Rusia itu diambil setelah 15 anggota DK PBB membahas situasi Rakhine. Walhasil, upaya menyelidiki kekerasan militer Myanmar terhadap etnis Rohingya urung tercapai, karena diveto oleh Cina dan Rusia.
Analis intelijen Anders Corr turut menajamkan soal sikap diam Cina terhadap masalah kemanusiaan yang menimpa orang Rohingya di Negara Bagian Rakhine. Karena terdapat pengaruh bisnis yang luas di Rakhine, Cina sebagai sekutu dekat Myanmar seharusnya memiliki tanggung jawab yang tinggi untuk banyak bersuara menekan dan memoderasi tingkah laku Myanmar. Hasil temuan Corr dari seorang diplomat Asia malah menyebut Cina secara diam-diam menyetujui pelanggaran HAM di Rakhine.
Diubah oleh infidelpig 09-09-2017 00:01
0
55.4K
Kutip
371
Balasan


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan