BeritagarIDAvatar border
TS
MOD
BeritagarID
Yogyakarta boleh dipimpin perempuan

Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta, Sri Sultan Hamengkubowono X (tengah), memberi sambutan pada peringatan Pengesahan Undang Undang No. 13/2012 tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta di Pasar Beringharjo, Yogyakarta, Kamis (31/8/2017).
Bersama Aceh dan Jakarta, Yogayakarta adalah daerah istimewa dalam skala besar di Indonesia. Aceh lantaran sejarah perjuangan pada masa kolonial Belanda dan nuansa religi hingga menjadi satu-satunya daerah di Indonesia yang menerapkan Syairat Islam, serta Jakarta berkat statusnya sebagai ibukota.

Adapun Yogyakarta akibat historinya dalam urusan pemerintahan negara seperti pernah menjadi ibukota Republik Indonesia pada 1946. Bahkan Yogyakarta punya keistimewaan dalam tata kelola pemerintahan daerah.

Sultan Yogyakarta sekaligus menjadi raja dan gubernur. Jabatan gubernur pun langsung ditetapkan tanpa harus melewati proses pemilihan umum seperti diatur dalam Pasal 18 dan 19 Undang Undang No. 13/2012 tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta.

2 Agustus lalu, Sri Sultan Hamengkubuwono X ditetapkan kembali menjadi Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) DIY untuk periode 2017-2022. Sementara wakilnya adalah Sri Paduka Paku Alam X.

Namun para periode mendatang, boleh jadi gubernur DIY adalah perempuan. Kebetulan Sri Sultan Hamengkubuwono tidak memiliki putra, melainkan lima putri.

Persoalannya, putri atau istri Sultan bisa menjadi raja tetapi belum tentu berhak menjadi gubernur. Penghalangnya adalah Pasal 18 ayat (1) huruf m Undang Undang No. 13/2012 yang berisi:

"Calon Gubernur dan calon Wakil Gubernur adalah warga negara Republik Indonesia yang harus memenuhi syarat: m. menyerahkan daftar riwayat hidup yang memuat, antara lain riwayat pendidikan, pekerjaan, saudara kandung, istri, dan anak."

Namun pasal tersebut kini dimentahkan Mahkamah Konstitusi (MK). Dalam keputusan uji materiel di Jakarta, Kamis (31/8), MK menyatakan perempuan bisa menjadi gubernur DIY.

MK dalam laman resmi menyatakan bahwa frasa "...yang memuat, antara lain riwayat pendidikan, pekerjaan, saudara kandung, istri, dan anak" bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.

MK menilai ayat dalam pasal tersebut membatasi kesempatan perempuan untuk memimpin DIY.

"...dalam masyarakat Indonesia yang demokratis, tidak ada gagasan moral, nilai-nilai agama, keamanan, ataupun ketertiban umum yang terganggu atau terlanggar jika pihak-pihak yang disebutkan dalam Pasal 18 ayat (1) huruf m Undang-Undang KDIY, termasuk perempuan, menjadi calon Gubernur atau calon Wakil Gubernur di DIY," ujar Ketua MK Arief Hidayat dalam penyampaian amar putusannya.

Sementara Hakim Konstitusi Suhartoyo menyatakan syarat "berkas riwayat hidup" untuk pencalonan justru menggambarkan sikap tidak menghormati keistimewaan Yogyakarta.

Keputusan MK ini disambut gembira para penggugat yang terdiri delapan pihak dari lintas profesi dan latar belakang. Mereka adalah abdi dalem Keraton Ngayogyakarta, perangkat desa, dan pegiat antidiskriminasi hak asasi perempuan. Mereka diwakili kuasa hukum Irmanputra Sidin.

Ilham dalam Tribunnews menilai keputusan MK memberi kekuatan hukum yang kokoh kepada siapapun di kalangan kasultanan dan kadipaten Yogyakarta untuk menjadi gubernur. "...perempuan ataupun laki-laki adalah berhak memimpin, berhak menjadi raja...," katanya.

Bahkan ia menilai putusan terbaru MK adalah cerminan manifestasi perlindungan hak setiap orang di muka bumi. Peraturan tak boleh mendiskriminasi hak perempuan untuk menjadi raja, ratu, sultan, sultanah, Arung (Bugis), Butta (Makassar), kaisar dan lainnya.

Sejak awal, pasal termaksud memang kontroversial. Pakar hukum tata negara, Saldi Isra, pada November 2016, pernah menyebut pasal tersebut berlebihan. Saldi kebetulan menjadi saksi ahli dalam uji materiel dimaksud.

Saldi menilai jabatan gubernur dan wakil gubernur DIY seharusnya diperlakukan sama seperti daerah lain. Artinya bisa dijabat oleh para perempuan.

Bahkan dalam level lebih tinggi seperti pemilihan umum presiden dan wakil presiden sekali pun tak ada syarat pencantuman suami dan istri seperti pada UU No. 42/2008.

Kata "istri" dalam pasal tersebut dinilai oleh Pemohon bertentangan dengan UUD 1945, karena seolah-olah hanya laki-laki saja yang berhak menjadi gubernur DIY.

Kata "istri" dalam UU termaksud disebut sebagai bentuk diskriminasi dan seolah-olah hanya lelaki yang boleh menjadi pemimpin DIY. Saldi, dikutip Inilah.com, pun menilai pasal di atas berpotensi melanggar prinsip negara hukum --bukan cuma diskriminatif.



Sumber : https://beritagar.id/artikel/berita/...mpin-perempuan

---

Baca juga dari kategori BERITA :

- Menyoal PDRB dan jaminan kualitas hidup manusia

- Sumpah antikorupsi di balai Kota Tegal

- Kesunahan tidak makan sebelum salat Iduladha

anasabila
anasabila memberi reputasi
1
1.1K
3
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan