- Beranda
- Komunitas
- News
- Berita dan Politik
Media Sosial, Manipulasi Religiusitas dan (jatuhnya) Marwah Islam


TS
sitorusborus
Media Sosial, Manipulasi Religiusitas dan (jatuhnya) Marwah Islam
Quote:
Ketika Martin van Bruinessen (2013) tiba pada kesimpulan bahwa Islam Indonesia tengah, katakanlah, mensaksimatai tumbuh-pesatnya konservativisme, ia mendasarkan kesimpulan itu pada corak organisasi Islam yang tumbuh, pada perubahan paradigma di tubuh organisasi-organisasi Islam yang telah mapan, pada fenomena munculnya radikalisasi Islam, dan pada karakter sebagian fatwa MUI yang --dalam bahasa Woodward (2014)-- kadang digunakan oleh organisasi radikal untuk menjustifikasi aksi intoleran mereka. Tetapi, mungkin Bruinessen belum sampai pada analisis tentang kausalitas fenomena tersebut terhadap ekspresi religiusitas di media sosial. Gus Dur sebetulnya telah memprediksi tentang ekspresi keberislaman yang cenderung formalistik dan simbolik, dan kecenderungan itu kian kita lihat dalam perilaku bermedia sosial. Untuk mengawali analisis ini, fakta dasar perlu disajikan. Pertama, umat muslim di Indonesia mencapai lebih dari 207 juta orang, terbesar di dunia, dan merupakan pengguna media sosial aktif. Menurut Balea (2016), 85% masyarakat Indonesia memiliki ponsel, dengan 43% di antaranya adalah smartphone. Tapi, uniknya jumlah ponsel yang terjual jauh melebihi jumlah total populasi Indonesia —mencapai lebih dari 300 juta unit. Artinya, satu orang dapat memiliki dua atau lebih ponsel. Dari angka-angka tersebut bisa ditambahkan data ini: pengguna internet tercatat sebanyak 100 juta orang (eMarketer, 2016) dengan trafik mobile web mencapai 79% dan Facebook adalah media sosial paling laris. Kedua, telah sejak lama bangsa Indonesia diyakinkan bahwa agama adalah faktor penting dalam hidup. Kita bahkan sampai pada pemersepsian bahwa mereka yang tidak beragama adalah tidak bermoral —persepsi yang layak untuk dikontestasi. Di kalangan muslim tradisional, konservativisme sebetulnya dapat dilacak jauh hingga ke masa al-Ghazali, ketika masyarakat muslim menjadi antipati terhadap filsafat, dan ketika kanon hukum Islam —al-Quran, hadits, danijma ulama— dianggap telah final sehingga tidak diperlukan lagi pembaharuan.
Yang terjadi kemudian adalah dominasi proses duplikasi dan taklid. Bagi kalangan modernis, konservativisme juga ditemukan, ditopang oleh sentimen negatif terhadap ijma ulama. Belum lagi jika kita tambahkan Salafi-Wahabi yang menawarkan ide 'pemurnian Islam' yang antipati terhadap dialog Islam dan budaya lokal Nusantara. Terlepas dari apapun coraknya, ide untuk berislam secara konservatif pada akhirnya memperkecil ruang berpikir kritis dan kontekstualisasi ajaran. Ayat-ayat al-Quran ditafsirkan secara lebih rigid dan tekstual. Muslim cenderung diajarkan untuk hanya menerima dan tidak dilatih untuk mempertanyakan, mengkontestasi, dan mengkroscek. Ia membangun isolasi, menutup diri, yang berujung pada pikiran yang sempit (closed-mindedness). Closed-mindedness, bagaimanapun, membuat seseorang enggan mendengar dan melihat dari kacamata orang lain sekaligus merasa diri paling benar. Ketika media sosial menjadi konteks, orang-orang jenis ini bertransformasi menjadi orang yang gampang diperdaya, dimanipulasi, dipolitisasi. Jari mereka superreaktif untuk mengklik like, share, dan comment. Energi mereka inilah yang menjadi penyumbang keuntungan besar para buzzer. Tetapi, konservativisme bukan penyebab tunggal; minimnya kemampuan literasi media dan rendahnya minat baca juga menyebabkan isu-isu dan sentimen keagamaan dapat dengan mudah dimanipulasi dan dipolitisasi, terlebih di sosial media.
Manipulasi Religiusitas
Dengan potret dan corak pasar model demikian, yang perlu dilakukan para buzzer —baik atas pesanan politik maupun semata ekonomi— adalah menyentuh atau menyinggung rasa dan semangat keberislaman si konsumen. Oleh sebab ketidakkritisan dan pikiran yang sempit para konsumen ini, para buzzer tidak perlu berpayah membangun narasi yang kredibel serta fakta yang teruji dan faktual. Mereka hanya butuh menyajikan beragam posting-an yang mampu memicu entah rasa penasaran, ketertarikan, kekaguman, atau bahkan kemarahan dan kebencian. Biasanya, judul yang disajikan bersifat provokatif, demi tujuan clickbait. Tetapi, cara kerja mereka sepertinya tidak sesederhana itu. Dalam soal pemilihan dan penggunaan akun, misalnya, ada beberapa pendekatan yang dilakukan. Pertama, membuat akun palsu atas nama ustad yang sedang ngetop. Yang dijual adalah kredibilitas para ustad ini. Kecenderungan para muslim awam untuk taklid buta menjadi pelipat ganda keuntungan. Kedua, menggunakan akun yang diafiliasikan terhadap organisasi Islam tertentu, biasanya yang bercorak radikal. Pemilihan ini boleh jadi untuk menjaring dan memperkuat kohesi organisasi —sekaligus indoktrinasi. Ketiga, menggunakan akun yang murni anonim tetapi secara konsisten dan persisten mengunggah posting-an yang berbau hoax dan provokatif. Keempat, dan ini yang disayangkan, membuat akun dengan nama-nama Islami. Dilansir dari @TurnBackHoax, sebagian akun penyebar hoaxmemiliki nama-nama Islami sebagai berikut: muslimcyberarmy, Indonesiabertauhid, dakwah_tauhid, serambimekah, beritaislam212, mahasiswamuslim, ansor_212, suaraummat, dan sejenisnya.
Untuk menunjang dan menggenjot publisitas, para buzzer memiliki banyak akun media sosial, termasuk akun-akun back up kalau-kalau akun yang pertama diblokir. Tetapi, memanipulasi akun saja tidak cukup; mereka juga butuh narasi yang kuat, provokatif, yang mampu menarik perhatian khalayak. Dalam upaya tersebut mereka melakukan setidaknya lima pendekatan. Pertama, memelintir berita. Misalnya, pemberitaan tentang pertemuan Presiden Jokowi dengan Raja Salman dipelintir dengan caption berita yang provokatif dan bernada kebencian. Akun atas nama Khazanah Islami, misalnya, menyebar berita tentang muslim di Burma yang diperlakukan seperti binatang dengan foto yang ditampilkan berupa foto dari adegan film dokumenter di India. Gus Dur juga dipelintir demi untuk mengesankan bahwa pencinta Gus Dur mestinya mendukung Habib Rizieq. Foto Gus Mus setali tiga uang. Kedua, dengan 'mengislam-islamkan' tokoh dalam sejarah. Baru-baru ini akun Indonesiabertauhidid mem-posting berita bahwa Jack Sparrow sebenarnya adalah muslim. Kita juga mendengar bagaimana Gajah Mada diyakini sebetulnya bernama Gaj Ahmada, seorang muslim. Juga bantahan tentang foto Cut Nyak Dien yang diklaim sebagai keliru karena yang benar harusnya berhijab. Dan seterusnya bisa Anda tambahkan. Dikultivasi setiap waktu. Terakhir, kultivasi sentimen negatif atas apa yang selama ini dianggap sebagai "musuh" Islam, semisal syiah, PKI, dan liberalisme. Sentimen negatif atas musuh bersama ini menjual karena mampu menyentuh, katakanlah, patriotisme buta para pengguna media sosial. Selain, boleh jadi juga bertujuan untuk menjatuhkan marwah tokoh atau organisasi tertentu. Salah satu tokoh yang paling banyak dipelintir, diserang, dan difitnah kaitannya dengan sentimen ini adalah KH. Said Aqil Siradj, Ketua Umum PBNU. Kita sudah bisa menebak tujuannya ke mana. Tentu saja, motivasi penyebaran hoax tidak melulu ekonomi, tetapi juga politik. Dan, ketika kedua hal tersebut menjadi ilah, maka risiko-risiko jangka panjang menjadi prioritas nomor terakhir. Sedangkan, sebagaimana yang kita tahu, risiko penyebaran hoax dengan membawa nama Islam tidak hanya berakhir di intoleransi dan disintegrasi bangsa, tetapi bahkan pada marwah dan kefitrahan Islam itu sendiri.
Yang terjadi kemudian adalah dominasi proses duplikasi dan taklid. Bagi kalangan modernis, konservativisme juga ditemukan, ditopang oleh sentimen negatif terhadap ijma ulama. Belum lagi jika kita tambahkan Salafi-Wahabi yang menawarkan ide 'pemurnian Islam' yang antipati terhadap dialog Islam dan budaya lokal Nusantara. Terlepas dari apapun coraknya, ide untuk berislam secara konservatif pada akhirnya memperkecil ruang berpikir kritis dan kontekstualisasi ajaran. Ayat-ayat al-Quran ditafsirkan secara lebih rigid dan tekstual. Muslim cenderung diajarkan untuk hanya menerima dan tidak dilatih untuk mempertanyakan, mengkontestasi, dan mengkroscek. Ia membangun isolasi, menutup diri, yang berujung pada pikiran yang sempit (closed-mindedness). Closed-mindedness, bagaimanapun, membuat seseorang enggan mendengar dan melihat dari kacamata orang lain sekaligus merasa diri paling benar. Ketika media sosial menjadi konteks, orang-orang jenis ini bertransformasi menjadi orang yang gampang diperdaya, dimanipulasi, dipolitisasi. Jari mereka superreaktif untuk mengklik like, share, dan comment. Energi mereka inilah yang menjadi penyumbang keuntungan besar para buzzer. Tetapi, konservativisme bukan penyebab tunggal; minimnya kemampuan literasi media dan rendahnya minat baca juga menyebabkan isu-isu dan sentimen keagamaan dapat dengan mudah dimanipulasi dan dipolitisasi, terlebih di sosial media.
Manipulasi Religiusitas
Dengan potret dan corak pasar model demikian, yang perlu dilakukan para buzzer —baik atas pesanan politik maupun semata ekonomi— adalah menyentuh atau menyinggung rasa dan semangat keberislaman si konsumen. Oleh sebab ketidakkritisan dan pikiran yang sempit para konsumen ini, para buzzer tidak perlu berpayah membangun narasi yang kredibel serta fakta yang teruji dan faktual. Mereka hanya butuh menyajikan beragam posting-an yang mampu memicu entah rasa penasaran, ketertarikan, kekaguman, atau bahkan kemarahan dan kebencian. Biasanya, judul yang disajikan bersifat provokatif, demi tujuan clickbait. Tetapi, cara kerja mereka sepertinya tidak sesederhana itu. Dalam soal pemilihan dan penggunaan akun, misalnya, ada beberapa pendekatan yang dilakukan. Pertama, membuat akun palsu atas nama ustad yang sedang ngetop. Yang dijual adalah kredibilitas para ustad ini. Kecenderungan para muslim awam untuk taklid buta menjadi pelipat ganda keuntungan. Kedua, menggunakan akun yang diafiliasikan terhadap organisasi Islam tertentu, biasanya yang bercorak radikal. Pemilihan ini boleh jadi untuk menjaring dan memperkuat kohesi organisasi —sekaligus indoktrinasi. Ketiga, menggunakan akun yang murni anonim tetapi secara konsisten dan persisten mengunggah posting-an yang berbau hoax dan provokatif. Keempat, dan ini yang disayangkan, membuat akun dengan nama-nama Islami. Dilansir dari @TurnBackHoax, sebagian akun penyebar hoaxmemiliki nama-nama Islami sebagai berikut: muslimcyberarmy, Indonesiabertauhid, dakwah_tauhid, serambimekah, beritaislam212, mahasiswamuslim, ansor_212, suaraummat, dan sejenisnya.
Untuk menunjang dan menggenjot publisitas, para buzzer memiliki banyak akun media sosial, termasuk akun-akun back up kalau-kalau akun yang pertama diblokir. Tetapi, memanipulasi akun saja tidak cukup; mereka juga butuh narasi yang kuat, provokatif, yang mampu menarik perhatian khalayak. Dalam upaya tersebut mereka melakukan setidaknya lima pendekatan. Pertama, memelintir berita. Misalnya, pemberitaan tentang pertemuan Presiden Jokowi dengan Raja Salman dipelintir dengan caption berita yang provokatif dan bernada kebencian. Akun atas nama Khazanah Islami, misalnya, menyebar berita tentang muslim di Burma yang diperlakukan seperti binatang dengan foto yang ditampilkan berupa foto dari adegan film dokumenter di India. Gus Dur juga dipelintir demi untuk mengesankan bahwa pencinta Gus Dur mestinya mendukung Habib Rizieq. Foto Gus Mus setali tiga uang. Kedua, dengan 'mengislam-islamkan' tokoh dalam sejarah. Baru-baru ini akun Indonesiabertauhidid mem-posting berita bahwa Jack Sparrow sebenarnya adalah muslim. Kita juga mendengar bagaimana Gajah Mada diyakini sebetulnya bernama Gaj Ahmada, seorang muslim. Juga bantahan tentang foto Cut Nyak Dien yang diklaim sebagai keliru karena yang benar harusnya berhijab. Dan seterusnya bisa Anda tambahkan. Dikultivasi setiap waktu. Terakhir, kultivasi sentimen negatif atas apa yang selama ini dianggap sebagai "musuh" Islam, semisal syiah, PKI, dan liberalisme. Sentimen negatif atas musuh bersama ini menjual karena mampu menyentuh, katakanlah, patriotisme buta para pengguna media sosial. Selain, boleh jadi juga bertujuan untuk menjatuhkan marwah tokoh atau organisasi tertentu. Salah satu tokoh yang paling banyak dipelintir, diserang, dan difitnah kaitannya dengan sentimen ini adalah KH. Said Aqil Siradj, Ketua Umum PBNU. Kita sudah bisa menebak tujuannya ke mana. Tentu saja, motivasi penyebaran hoax tidak melulu ekonomi, tetapi juga politik. Dan, ketika kedua hal tersebut menjadi ilah, maka risiko-risiko jangka panjang menjadi prioritas nomor terakhir. Sedangkan, sebagaimana yang kita tahu, risiko penyebaran hoax dengan membawa nama Islam tidak hanya berakhir di intoleransi dan disintegrasi bangsa, tetapi bahkan pada marwah dan kefitrahan Islam itu sendiri.
Sungguh miris

Spoiler for :
0
2.2K
Kutip
18
Balasan


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan